Ngopidiyyah

Ngopidiyyah Belajar agama, sejarah, politik, gak bikin bosan ! di ngopidiyyah semuanya asyik dengan meme lucu.
(1)

Pernahkah kita bertanya:kenapa sekarang anak muda lebih ingin jadi influencer daripada guru?Jawabannya sederhana karena ...
07/11/2025

Pernahkah kita bertanya:
kenapa sekarang anak muda lebih ingin jadi influencer daripada guru?
Jawabannya sederhana karena gaji berbicara lebih keras daripada idealisme.

Seorang guru bisa mengajar 25 tahun dan belum tentu sanggup membeli rumah,
sementara seorang artis TikTok bisa dapat penghasilan setara gaji tahunan guru hanya dari satu iklan.
Itulah ironi zaman ketika ilmu tak lagi menjadi jalan kemuliaan,
karena masyarakat tak lagi menghargainya sebagai nilai ekonomi.

Akibatnya, minat terhadap ilmu menurun.
Jurusan-jurusan pendidikan sepi,
riset-riset ilmiah tidak menarik sponsor,
dan profesi guru dianggap “pengabdian” yang tak perlu dibayar mahal.

Akhirnya banyak orang tak minat lagi jadi tenaga pendidik, tak ada yang minat lagi menyentuh buku untuk menjadi akademisi, tak mau lagi ada cita-cita menjadi penulis. Akhir masyarakat lari ke dunia industri hiburan daripada pendidikan.

Padahl majunya suatu negara ditentukan ke kualitas tenaga pendidiknya, dan ketertarikan masyarakat dalam menghargai ilmu pengetahuan:

Untuk mengatasi surutnya minat Masyarakat akan ilmu pengetahuan maka dahulu dimasa Kejayaan Islam para Pemimpin mendongkrak minat masyarakat dengan memberikan gaji kepada para peneliti, guru madsarah, pegawai perpustakaan dengan nilai fantastis.

Semisal dimasa Khilafah Abbasiyah (Baghdad):
Guru di madrasah Nizāmiyyah menerima sekitar 20–30 dinar per bulan, setara ± Rp 100 juta jika dikonversi dengan nilai emas sekarang.
Mereka juga diberi rumah, makanan, dan fasilitas perpustakaan.

Pegawai Perpustakaan di Bayt al-Ḥikmah:
Mereka bekerja dengan menyalin naskah dan penerjemah bisa dibayar hingga 200 dinar untuk satu karya besar sekitar Rp 1 miliar dalam nilai modern.

Ada p**a gaji pegawai yang didasarkan pada hasil karya ilmiah dan penerjemahan, semisal jika seseorang berhasil menerjemahkan buku seberat 500 gram maka Negara akan memberikan 500 gram emas kepada penerjemah, hasil keringat dibayar dengan sesuai takaran emas.

Hari ini Misalnya penerjemah kitab klasik Arab atau Buku Bahasa Inggris,
honornya bisa cuma Rp 50-100 ribu per halaman,
padahal beban ilmiahnya berat banget perlu paham nahwu, balaghah, grammar, kaidah linguistik dll.
Makanya zaman Khilafah dulu penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq penerjemah Kristen bisa dibayar ratusan dinar emas oleh Khalifah hanya untuk menerjemahkan satu karya besar setara sekitar Rp 1 miliar hari ini.

Umar bin Khattab r.a. bahkan menetapkan gaji dua dirham per hari bagi muʾadzdzin jumlah yang stabil untuk kebutuhan hidup zaman itu.

Dua dirham setara dengan harga dua ekor ayam. Dibiayai penuh oleh negara dari Bayt al-Māl dan waqf.



Khilafah paham bahwa kemiskinan bisa mematikan semangat ilmiah.
Jika orang berilmu hidup kekurangan,
anak muda akan mencari jalan yang lebih “cepat” menghasilkan uang.
Tapi ketika negara menjamin kesejahteraan ilmuwan dan guru,
ilmu menjadi cita-cita, dan idola anak muda.

Sistem ini menciptakan iklim sosial di mana:
• menjadi guru adalah kehormatan,
• menjadi peneliti adalah karier terhormat,
• dan menjadi penjaga perpustakaan pun dianggap bagian dari jihad menjaga peradaban.

Itulah sebabnya ilmu berkembang pesat.
Murid-murid berdatangan dari Andalusia sampai Samarkand.
Perpustakaan berdiri di setiap kota besar.
Dan Islam menjadi mercusuar dunia.



Pelajaran untuk Zaman Sekarang

Kita sering bicara “meningkatkan minat baca” atau “menumbuhkan budaya ilmiah”,
padahal akar masalahnya bukan hanya minat, tapi nasib ekonomi para penjaga ilmu.
Tidak akan lahir ilmuwan hebat dari sistem yang menelantarkan pendidik.
Tidak akan lahir ulama besar dari masyarakat yang lebih menghargai sensasi daripada pemikiran.

Khilafah dulu menaikkan gaji guru bukan sekadar kebijakan fiskal,
tapi strategi peradaban:
agar ilmu tetap diminati,
agar orang cerdas tetap mau mengajar,
dan agar kemuliaan umat berdiri di atas pengetahuan, bukan pop**aritas.

Hasilnya?
Dari sistem inilah lahir tokoh-tokoh dunia:
Al-Khawarizmi (penemu aljabar),
Ibn Sina (pelopor kedokteran),
Al-Biruni, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan ribuan lainnya.

Mereka bukan hanya mengajar, tapi membangun peradaban global sementara Eropa kala itu masih terjerat kegelapan.

Tokoh tokoh raksasa dunia Islam itu semua ahli ilmu, yang ilmunya barakah bisa kita baca dan nikmati hari ini. adapun nama nama artis hiburan, nama mereka terkubur dalam sejarah tak dikenal.

Hari ini banyak evolusionis modern enggan menyebut manusia sebagai keturunan kera. Mereka merasa istilah itu memalukan, ...
07/11/2025

Hari ini banyak evolusionis modern enggan menyebut manusia sebagai keturunan kera. Mereka merasa istilah itu memalukan, menimbulkan salah paham, dan bisa dipolitisasi oleh orang yang menolak evolusi.
Para ilmuwan evolusi menjelaskan kalau sebutan manusia bukan keturunan kera, mereka mengaku tidak pernah mengatakan bahwa manusia adalah keturunan langsung dari kera seperti simpanse, gorila, atau orangutan yang hidup sekarang.

Yang mereka katakan adalah:
“Manusia dan kera modern memiliki nenek moyang bersama yang hidup jutaan tahun lalu.”

Artinya: manusia dan simpanse berasal dari spesies purba yang mirip kera, tapi bukan dari kera yang kita kenal hari ini.
Dari nenek moyang itu, dua garis keturunan berpisah:

- satu berkembang menjadi manusia,
- satu lagi berkembang menjadi kera modern.

Artinya kenyataannya tidak berubah:
Menurut mereka manusia dan kera modern tetap memiliki nenek moyang bersama yang hidup jutaan tahun lalu makhluk berbulu, berjalan dengan empat kaki, dan hidup di pepohonan.

Dari nenek moyang ini, satu garis berkembang menjadi manusia, sementara yang lain menjadi kera modern.

Dalam bukunya The Descent of Man (1871), Imam Mereka, Darwin pencetus Teori Evolusi
menulis:

“The evidence of the descent of man from some lower form.”
Terjemahan:
“Bukti mengenai keturunan manusia dari beberapa bentuk yang lebih rendah.”

“In regard to bodily size or strength, we do not know whether man is descended from some small species, like the chimpanzee, or from one as powerful as the gorilla…”
Terjemahan:
“Mengenai ukuran tubuh atau kekuatan, kita tidak tahu apakah manusia diturunkan dari spesies kecil, seperti simpanse, atau dari yang sama kuatnya dengan gorila…”

Para pembela Darwin sering pandai bermain kata-kata. Mereka bilang, “Manusia bukan keturunan kera modern.”

Kedengarannya orang yang mengkritik Darwin seolah olah strawman, seolah olah yang mengkritik Darwin tak paham teori evolusi.

tapi sebenarnya penolakan kata “manusia dari keturunan kera” itu hanya trik bahasa. Mereka ingin kita tertipu oleh istilah seperti “nenek moyang primata purba” “common ancestor” atau “garis keturunan yang punah”,

Padahal kenyataannya tetap sama manusia tetap berasal dari kera purba. Retoritika itu hanyalah cara mereka membuat fakta ini terdengar lebih sopan dan tidak kontroversial.

Huxley, pembela utama Darwin, menulis buku berjudul Evidence as to Man’s Place in Nature (1863).
Ia berkata:

“It is quite certain that the ape which most nearly approaches man is either the chimpanzee, or the gorilla…”
Terjemahan:
“Sudah sangat pasti bahwa kera yang paling mendekati manusia adalah simpanse atau gorila…”

Dan dalam debat publiknya yang terkenal dengan Pendeta Kristen Wilberforce, ketika ditanya apakah ia menganggap dirinya keturunan kera, Huxley menjawab dengan tegas dan tanpa ragu bahwa ia tidak malu mengaku kera sebagai leluhur, daripada mengaku manusia bodoh yang menolak bukti ilmiah. Pernyataannya di debat Publik Oxford itu lantas menjadi gelak tawa kalangan Agamawan yang saat itu menolak teori Evolusi.

Selain itu banyak menulis evolusionis sendiri tanpa sungkan-sungkan menyebut mereka memang keturunan kera.

Ricard Dawkin berkata:

"I'm an ape and so are you"
Artinya: aku kera dan kamu juga kera.”

Bayangkan nenek moyang manusia menurut teori evolusi: makhluk primata purba yang berbulu lebat dari kepala sampai kaki, kulitnya kotor penuh lumpur dan darah, berjalan merangkak dengan tangan dan kaki, hidup liar di pepohonan, makan apa saja yang bisa digigit, tidak berakal, tidak punya moral, dan bahkan bergulat dengan sesamanya hanya untuk bertahan hidup. Hidupnya keras, penuh rasa takut, sakit, dan kematian di setiap hari.

Lalu bandingkan dengan manusia: Allah menciptakan manusia dari Adam yang mulia, diberi akal, pengetahuan, dan kemampuan berpikir tinggi, berbeda total dari makhluk hina dan liar itu. Manusia lahir bukan dari kebetulan atau makhluk rendah, tapi dari ciptaan Allah yang sempurna, mulia, dan terhormat.

“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik, dan Kami lebihkan mereka dengan keunggulan yang sempurna atas banyak makhluk yang Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70)

Perbedaan pandangan tentang asal-usul manusia bukan sekadar soal sains atau sejarah. Jika manusia dianggap hanya hasil evolusi dari primata purba, moral benar dan salah, halal dan haram serta tujuan hidup pun menjadi relatif.

Dalam sosialis Darwinisme, menipu, mencuri, tak masalah selama menguntungkan sebab benar dan salah ditentukan sepanjang bisa bertahan hidup sebagai seleksi alam.

Ilmuan evolusionis juga memandang bahaa, perbudakan bangsa Afrika (yang lemah) kulit hitam tentu tak masalah dan sah-sah saja.

Toh salah sendiri mereka lemah.
Dan bangsa Afrika yang jelek itu bukan sepenuhnya manusia tapi kera yang belum sempurna evolusinua.

(Next time Insya Allah kita bahas)

Sedangkan dalam Islam, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia, diberi akal, hati, dan tanggung jawab hidupnya bukan sekadar bertahan, tapi memiliki makna dan tujuan pasti: beribadah, menegakkan keadilan, dan menjadi khalifah di bumi.

Dengan kata lain, bagaimana kita memandang asal-usul manusia menentukan cara kita memahami diri, moral, dan arah hidup.

06/11/2025

Kapan Tidak Perlu Mengucap Salam?

Yusuf telat masuk kelas. Ia tidak mengucapkan salam karena takut mengganggu dosen yang sedang menjelaskan pelajaran. Melihat itu, dosen pun marah:

“Emang di pondokmu nggak diajari adab ya?”

Yusuf merasa tersinggung dan sejak saat itu memutuskan untuk drop out dari kuliah.

Siapa yang benar dan siapa yang salah?
1. Dosen merasa tidak dihargai, karena ada mahasiswa yang masuk tanpa permisi.
2. Mahasiswa tidak mengucap salam dengan niat untuk tidak mengganggu jalannya pelajaran.



Hukum Mengucapkan Salam dalam Islam

Memberi salam adalah sunnah, karena menunjukkan sopan santun dan penghormatan.
Hadits Nabi ﷺ:
“Apabila seseorang masuk majelis, hendaklah ia memberi salam.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

Namun, jika berada di majelis ilmu yang sedang berlangsung, mengucapkan salam bisa menjadi makruh karena mengganggu konsentrasi orang lain.

Syaikh Ibn Utsaimīn menjelaskan:
“Jika majelis tersebut adalah majelis tahqiq ilmu dan pembahasan, maka lebih utama tidak mengucapkan salam, sebab akan menyibukkan orang lain. Begitu juga ketika seseorang sedang membaca Al‑Qur’an, salam yang mengganggu bisa membuatnya harus mengulang bacaannya. Seorang muslim harus memperhatikan maslahat ini.”
(Liqa’ Bab al-Maftuh, 68)



Kondisi Lain yang Makruh untuk Memberi Salam

Menurut Imam Nawawi As-Syafi’i (Al-Adzkar, 262) dan Imam As-Safarīnī al-Hanbali (Ghidā’ al-Albāb), memberi salam makruh kepada orang yang sedang:
1. Berwudhu
2. Di kamar mandi
3. Makan
4. Tidur atau mengantuk
5. Membaca Al‑Qur’an atau berdzikir
6. Mengenakan pakaian
7. Berbicara, menyampaikan hadits, menjadi khatib, atau menjadi penceramah
8. Mendengarkan pengajar
9. Guru fiqih atau pengajar
10. Peneliti ilmu
11. Muadzin atau imam yang sedang shalat
12. Menunaikan hajat (buang air)
13. Bersama istri atau bersenang-senang dengannya
14. Sibuk menuntaskan suatu urusan
15. Dan sejenisnya (aktivitas lain yang mengganggu)
16. Sedang berperang



Kisahnya tadi nyata loh dan dialami langsung ustadz saya.

Kesimp**annya memberi salam itu sunnah, tapi dalam kondisi tertentu boleh ditinggalkan untuk tidak mengganggu orang lain.

Orang yang paham Islam tahu kapan harus salam, kapan harus diam, dan kapan harus melepaskan senyuman.

Menghakimi orang yang tidak memberi salam dalam situasi ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap etika Islam.

Dan…….
Selamat hari raya Jum’at, semoga tetap sehat😁

Jangan Cepat Percaya: Di Balik Angka “35% Mahasiswa Radikal”Kita sering dikejutkan dengan berita mencengangkan: “35% mah...
03/11/2025

Jangan Cepat Percaya: Di Balik Angka “35% Mahasiswa Radikal”

Kita sering dikejutkan dengan berita mencengangkan: “35% mahasiswa Indonesia terpapar paham radikal.”
Lalu muncul lagi pernyataan dari pejabat Badan Intelijen Negara bahwa “hampir setengah generasi muda kita sudah terpengaruh ideologi teroris.”

Angkanya terdengar menakutkan.
Narasinya terasa genting.
Dan seperti biasa, setelah itu nggaran deradikalisasi pun bertambah.

Namun, mari berhenti sejenak.
Apakah benar separuh mahasiswa negeri ini sudah menjadi calon teroris?
Apakah kampus yang sejatinya rumah nalar dan ilmu, benar-benar telah berubah menjadi sarang radikal?

Kalimat sederhana ini layak kita tanyakan:
“Dengan standar apa seseorang disebut radikal?”

Dalam ilmu metodologi, ada kaidah yang sederhana:

“Data tidak pernah lebih objektif daripada instrumen yang dipakai untuk mengumpulkannya.”

Artinya, jika alat ukurnya keliru, hasilnya pasti bias seindah apa pun bentuknya.
nah,...Masalah terbesar dari survei “radikalisme mahasiswa” di Indonesia adalah bukan pada respondennya, tapi pada kacamata si peneliti.

coba kita lihat...betapa anehnya standart mereka.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Unesa bertajuk Preventing Radicalism in Campus, ada tiga pertanyaan yang sering dijadikan indikator awal untuk menilai kecenderungan radikal:

Lebih baik mana: kitab suci hukum agama atau Pancasila

Lebih baik mana: Lebih baik mana antara negara Islam atau negara Nasional?

Penelitian lain yang banyak dikutip — seperti karya J.H.G. Purwasih (2020) dan Ilman Nafi’a dkk. (2022) — bahkan memasukkan pernyataan seperti:

“Saya lebih mendukung hukum agama menggantikan hukum nasional.”

“Saya tidak setuju pemimpin non-Muslim.”

“Saya merasa identitas keagamaan saya lebih penting daripada identitas kebangsaan.”

Jika Anda menjawab setuju, maka Anda termasuk “terpapar paham radikal.”

penelitian di UIN, kursioner yang pernag kami diterima pertanyaan lanjutan disusul dengan
"apakah anda setuju dengan maulid nabi?"
"apakah anda qunut subuh saat solat ?"
"apakah anda setuju dengan aksi 2-1-2 ?"

betapa anehnya standart yang digunakan.

mereka membayangkan bahwa
orang yang menganggap agamanya lebih baik daripada orang lain, langsung dicap intoleran
orang yang kontra pancasila langsung dianggap akan menggulingkan kedaulatan negara.
orang yang tidak setuju pemimpin non muslim sudah dicap radikal.

Inilah tragedi epistemologis sekuler, dalam menilai radikal.

sebenarnya menyikapi semuanya itu sederhana.

Perbedaan pandangan terhadap Pancasila sebenarnya tidak jauh beda dengan perbedaan pandangan dalam banyak hal di masyarakat.
Ada yang s**a demokrasi liberal, ada yang lebih s**a sistem musyawarah apakah yang satu harus dicap musuh negara?

Seperti juga orang berbeda soal cara beragama:
ada yang merayakan Maulid, ada yang tidak;
ada yang pakai qunut, ada yang tidak;
ada yang ziarah kubur tiap pekan, ada yang jarang.

Semua itu bagian dari warna keberagamaan umat, bukan tanda radikalisme.
Jadi kalau ada Muslim yang lebih memilih hukum Islam dibanding hukum buatan manusia, atau menolak pemimpin non-Muslim, itu tidak otomatis berarti ia ingin menggulingkan negara.
Itu hanya soal keyakinan, bukan kekerasan.

Sama seperti orang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, bukan berarti ia makar;
atau orang yang mengkritik sistem pendidikan, bukan berarti ia anti-nasionalis.

Perbedaan bukan ancaman, mari biasa-biasa saja.
Orang boleh beda pandangan “saya s**a soto”, “kamu s**a bakso”.
boleh beda "saya s**a khilafah" "kamu s**a pancasila"
Yang nggak boleh itu pakai cara maksa, hanya karena selera tak sama.

02/11/2025

Presenter: "Bagaimana saya bisa mengenali para munafik pada zaman ini, Wahai Syaikh?"

Syaikh: "Sungguh ciri-ciri mereka itu saat Islam diserang maka mereka diam, akan tetapi saat melihat seorang muslim tergelincir dalam kesalahan maka mereka semangat menyerang."

Asy-Syaikh ath-Tharifiyy

Coba bayangkan kalau manusia hidup tanpa percaya Tuhan.Artinya, nggak ada lagi yang namanya dosa atau pahala.Artinya, ng...
01/11/2025

Coba bayangkan kalau manusia hidup tanpa percaya Tuhan.
Artinya, nggak ada lagi yang namanya dosa atau pahala.
Artinya, nggak ada “halal” dan “haram”.

Yang disebut “baik” dan “buruk” cuma tergantung pada menurut siapa dan situasi apa.

Nah, dari cara berpikir kayak gitu, muncul pandangan aneh bahkan sampai ada yang membolehkan kanibalisme (memakan daging manusia) kalau dianggap tidak merugikan siapa pun.

Aktivis Pro Cannibalisme di Amerika
https://youtube.com/shorts/FsrRLtzLMK8?si=qNn65g9-3LDqKtuk

Ilmuan Evolusionis, Ricard Dawkin

https://x.com/richarddawkins/status/591137284742893569?s=46

https://x.com/richarddawkins/status/969939225180364805?s=46

1. Etika tanpa Tuhan: Etika Konsekuensialisme

Bagi sebagian orang yang tidak percaya Tuhan, ukuran benar-salah bukan dari agama, tapi dari akibatnya.
Kalau sesuatu nggak merugikan orang lain, berarti boleh.
Kalau sesuatu menguntungkan kita berarti benar.

Contoh kasus umum:

Bersetubuh dengan PSK,
Bagi ateis tidak masalah.
Sebab selama bukan pemerkosaan.
Tidak ada yang dirugikan dan sama sama menguntungkan.

Akhirnya ateis tak mempermasalahkan, hubungan diluar nikah, minuman keras, narkoba dll selama didasari tak merugikan pihak lain.

Sekarang kita beralih ke kasus Kanibalisme Misalnya gini:
Kalau ada orang meninggal dan dia mengizinkan tubuhnya dimakan orang lain, maka menurut logika etika sekuler, itu tidak salah.

Kenapa ?

Karena tidak ada yang disakiti
Tidak ada yang dirugikan.
Dilandas dasar atas s**a sama s**a.

Begitu juga, kalau suatu budaya di suatu tempat menganggap makan manusia itu biasa, maka bagi mereka hal itu tidak masalah secara moral.

Lihat kan?
Kalau moral cuma berdasarkan logika manusia, maka sesuatu yang menjijikkan pun bisa dianggap “boleh”.

2. Argumen Relativisme Moral

Sebagian Ateis memakai standart benar dan salah secara relativism, artinya “Tidak ada standar moral universal; yang disebut benar atau salah tergantung pada norma sosial atau budaya.”

Beberapa masyarakat purba atau kelompok terisolasi (misalnya suku Fore di Papua Nugini, atau beberapa masyarakat Aztec) pernah mempraktikkan kanibalisme
Dalam pandangan Relativisme:

Kanibalisme hanya salah karena budaya modern menilainya tabu, bukan karena ada prinsip etika universal yang melarangnya.

Jadi secara teoritis, dalam masyarakat yang tidak menganggapnya tabu, tindakan itu bisa “dibolehkan secara moral.” Karena menurut adat setempat dilegalkan. Hanya saja kita menganggapnya tabu.

3. Islam: tubuh manusia itu suci, bahkan setelah mati

Dalam Islam, tubuh manusia itu punya kehormatan.
Nggak boleh dirusak, apalagi dimakan, meskipun orangnya sudah meninggal.
Nabi ﷺ bersabda:

“Mematahkan tulang orang mati sama dosanya seperti mematahkannya ketika hidup.” (HR. Abū Dāwūd)

Artinya, tubuh manusia harus tetap dihormati.
Karena Allah yang menciptakan kita, dan tubuh ini bukan milik kita sendiri, tapi amanah dari Allah.
Itu sebabnya Islam melarang keras segala bentuk tindakan yang merendahkan manusia.

Tanpa Tuhan, manusia kehilangan arah
Kalau manusia cuma mengandalkan pikirannya sendiri untuk menentukan mana yang baik dan mana yang salah, maka semuanya bisa dibolak-balik.
Yang dulu dianggap keji bisa jadi “wajar”, yang dulu dianggap dosa bisa jadi “pilihan pribadi”.
Itu sebabnya banyak nilai-nilai aneh muncul di dunia modern mulai dari pernikahan sejenis, aborsi bebas, sampai wacana “kanibalisme etis”.

Padahal semua itu muncul karena manusia memisahkan akal dari wahyu.
Begitu manusia merasa nggak butuh Tuhan, maka batas moral pun hilang.
Dan di situlah “kegilaan” dimulai.

Pada tahun 2005, muncul sebuah buku yang bikin banyak umat Islam mengernyit:“Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi ...
31/10/2025

Pada tahun 2005, muncul sebuah buku yang bikin banyak umat Islam mengernyit:
“Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual.”

Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dan salah satu penulisnya adalah M. Kholidul Adib Ach.
Sejak diterbitkan, buku ini langsung menimbulkan kehebohan.
Bukan karena judulnya yang nyeleneh, tapi karena isinya benar-benar menabrak ajaran dasar Islam tentang keluarga dan moralitas.



Siapa sebenarnya M. Kholidul Adib?

Tak banyak yang tahu detail tentang sosoknya.
Ia diketahui pernah aktif di IAIN Walisongo Semarang, terlibat dalam Lembaga eLSA, dan juga dikenal sebagai aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Latar belakangnya cukup menarik: datang dari lingkungan Islam, tapi pemikirannya justru condong ke arah liberal dan pro-LGBT.



Isi Buku dan Gagasan yang Diperdebatkan

Buku Indahnya Kawin Sesama Jenis berisi kump**an tulisan yang membela hak-hak kaum homoseksual di Indonesia.
Namun, yang membuat umat Islam bereaksi keras bukan sekadar soal “hak”, tapi karena isi buku ini mengubah total cara pandang terhadap agama, moral, dan keluarga.

Beberapa gagasan utama M. Kholidul Adib antara lain:
1. Homoseksualitas itu alami, bukan penyimpangan.
Adib berpendapat bahwa cinta sesama jenis adalah bagian dari “fitrah ciptaan Tuhan”.
Menurutnya, homoseksual tidak boleh dianggap aib, karena katanya “orientasi seksual” adalah kodrat, bukan pilihan.
Ia menulis:
“Homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah.”

Dalam pandangannya, seseorang tidak bisa disalahkan hanya karena mencintai sesama jenis.



2. Perkawinan tidak harus antara laki-laki dan perempuan.
Ini bagian paling kontroversial.
Adib berpendapat, sudah saatnya masyarakat meninjau ulang definisi “perkawinan”.
Ia menulis:
“Pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya, boleh saja sesama jenis.”

Ia juga menyebut bahwa undang-undang Indonesia yang hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk diskriminasi. Dia menyarankan agar UU Perkawinan No 1/1974 diganti saja, dan melegalkan pernikahan sejenis sejauh s**a sama s**a.



3. Menafsir ulang kisah Nabi Luth.

Dalam bukunya, Adib mencoba menafsirkan ulang kisah Nabi Luth dengan sudut pandang yang sangat berbeda dari pemahaman para ulama selama ini. Ia menulis bahwa kebencian Nabi Luth terhadap kaum homoseksual bukan disebabkan oleh alasan moral dan agama, melainkan karena faktor pribadi dan sosial. Menurut Adib, Nabi Luth merasa kecewa karena dua laki-laki yang datang ke rumahnya-yang ternyata memiliki kecenderungan sesama jenis—menolak untuk menikahi kedua putrinya. Dari situ, kata Adib, muncul penilaian negatif Nabi Luth terhadap mereka.

Adib bahkan menggambarkan istri Nabi Luth sebagai sosok yang justru memahami dan membela kaum homoseksual. Ia menulis bahwa sang istri berusaha menyadarkan Nabi Luth agar tidak menghakimi kedua laki-laki itu, namun justru dianggap melawan suami. Dengan cara pandang seperti ini, Adib ingin menegaskan bahwa Nabi Luth telah salah paham terhadap kaum homo.

Lebih jauh, Adib menilai bahwa Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa. Ia menafsirkan bahwa azab terhadap kaum Nabi Luth bukan karena mereka mencintai sesama jenis, tetapi karena perilaku mereka yang kejam, memperkosa tamu, dan menindas orang lain. Dengan demikian, menurut Adib, orientasi seksual sesama jenis seharusnya tidak dianggap salah, selama hubungan itu didasari kasih sayang dan kesetaraan.



4. Pendekatan Hak Asasi dan Kesetaraan.
Dalam kerangka berpikirnya, semua manusia bebas menjalani hidup sesuai pilihannya.
Adib memakai pendekatan HAM dan demokrasi bahwa negara harus melindungi siapa pun, termasuk kaum LGBT.
Baginya, tidak ada perbedaan nilai antara laki-laki dan perempuan, bahkan dalam urusan pernikahan.



Kenapa Pemikirannya Dianggap Menghebohkan?

Karena apa yang ia tulis bertentangan dengan ajaran Islam yang paling dasar.
Islam dengan tegas mengatur bahwa pernikahan hanya sah antara laki-laki dan perempuan.
Hubungan sesama jenis (liwāṭ) disebut sebagai dosa besar, bukan karena kebencian terhadap pelakunya, tapi karena ia merusak tatanan moral dan fitrah manusia.

Para ulama dari berbagai mazhab sepakat, pernikahan sejenis adalah tidak sah dan haram.
Selain menyalahi hukum fikih, gagasan ini juga menghantam maqāṣid as-syarī‘ah tujuan pokok syariat Islam, yaitu menjaga keturunan (ḥifẓ an-nasl), menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql), dan menjaga agama (ḥifẓ ad-dīn).

Maka tak heran, banyak ulama dan aktivis Muslim menyebut buku ini berbahaya.
Bukan karena ingin menghakimi, tapi karena pemikirannya bisa menyesatkan generasi muda yang belum memahami agama secara mendalam.



Reaksi Umat dan Akademisi

Begitu buku ini terbit, banyak yang bereaksi keras.
Ada yang menyebutnya bentuk liberalisasi agama yang kebablasan.
Ada juga yang menilainya sebagai upaya menormalkan dosa besar dengan bungkus HAM dan kebebasan.
Bahkan beberapa media Islam menulis artikel khusus yang menyebut buku ini sebagai “tantangan bagi umat Islam di era kebebasan moral.”

Namun ironisnya, di kalangan kampus, buku ini justru dijadikan bahan kajian.
Sebagian akademisi malah memujinya sebagai “pemikiran progresif.”
Padahal, dari sisi syariat, pemikiran semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar Islam.



Yang menyedihkan adalah meskipun pemikirannya menimbulkan kehebohan besar dan jelas menabrak ajaran agama tidak ada teguran apa pun terhadap M. Kholidul Adib.
Ia tetap melanjutkan studinya, memperoleh gelar sarjana, bahkan sampai doktor, seolah tidak pernah ada yang salah.

Fenomena ini membuat banyak orang geleng-geleng kepala.
Bagaimana mungkin di lingkungan kampus Islam, seseorang bisa menyebarkan gagasan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan tetap dihormati sebagai akademisi?
Apakah kebebasan berpikir di dunia akademik kini berarti bebas menabrak batas iman dan moral?

Inilah ironi dunia pendidikan Islam kita hari ini.

———————

Follow dan ikuti halaman Ngopidiyyah untuk postingan menarik lainnya.

30/10/2025

Tetangga saya sapinya mati mendadak karena tercekik tali… tapi anehnya, ada ya yang mau beli bangkainya 4 juta ? Untuk apa ya?

Orang kayaknya bisnis banyak yang ga peduli halal haram.

“Biar jamaah ga bosan, kalau gak gini nanti ngaji sepi.” “ orang orang udah pusing cari nafkah, masa di pengajian harus ...
29/10/2025

“Biar jamaah ga bosan, kalau gak gini nanti ngaji sepi.”

“ orang orang udah pusing cari nafkah, masa di pengajian harus dipusingin ?.”

Terus apa lagi coba kata kata mereka?

Hindu Bali: Pendatang atau Warga Asli Pulau Bali?Pernahkah kamu mendengar orang-orang di Pulau Dewata sering berkata den...
28/10/2025

Hindu Bali: Pendatang atau Warga Asli Pulau Bali?

Pernahkah kamu mendengar orang-orang di Pulau Dewata sering berkata dengan bangga:

“Kami adalah pewaris tradisi Majapahit!”

Ungkapan itu sering diucapkan dengan nada penuh nasionalisme dan kebanggaan sejarah. Tapi, pernahkah kita bertanya benarkah itu suara asli masyarakat Bali pribumi?
Atau justru cerminan dari sejarah penaklukan dan perpindahan kekuasaan berabad-abad silam?

Mari kita telusuri jejaknya.

Ambisi Majapahit dan Perlawanan Kebo Iwa

Pada masa kejayaan Majapahit, Gajah Mada terkenal dengan Sumpah Palapa-nya: bertekad menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Namun penyatuan itu tidak selalu dilakukan lewat diplomasi banyak p**a yang ditempuh dengan kekuatan senjata.

Sekitar tahun 1434 M, Majapahit mengerahkan ratusan kapal perang untuk menyerang Bali.
Namun, pas**an Majapahit tak menduga bahwa perlawanan rakyat Bali akan begitu sengit.
Pulau kecil ini punya satu sosok yang menjadi simbol perlawanan: Kebo Iwa, panglima besar yang bukan hanya ahli strategi perang, tapi juga sangat dicintai rakyatnya.

Selama Kebo Iwa memimpin, Majapahit berkali-kali gagal menaklukkan Bali.
Biaya perang membengkak, dan kekuatan Gajah Mada mulai dipermalukan oleh ketangguhan sang panglima.

Trik Licik Gajah Mada

Mengetahui tak bisa menang dengan pedang, Majapahit lalu memakai tipu daya.
Gajah Mada mengirim undangan damai kepada Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit menandatangani perjanjian perdamaian.
Sebagai ksatria sejati, Kebo Iwa datang sendirian, tanpa senjata, tanda niat baik dan kejujuran.

Namun di tengah perjalanan dan saat berada di tanah Jawa, ia dikhianati dan dibunuh secara licik.
Kisah ini terekam dalam Babad Usana Bali dan kematian Kebo Iwa menjadi tragedi besar bagi rakyat Bali.

Jatuhnya Bali dan Lahirnya Bali Aga

Setelah kehilangan Kebo Iwa, Bali kehilangan pemimpin dan ahli strategi militer.
Majapahit pun melancarkan invasi ulang kali ini Bali jatuh dengan mudah.

Raja Bali saat itu, Sri Astasura Bumi Banten, gugur bersama putra mahkota dan ribuan rakyat.
Majapahit kemudian mengangkat seorang bangsawan Jawa, Aji Kṛṣṇa Kepakisan, sebagai raja Bali di bawah kendali Majapahit.

Rakyat Bali asli yang menolak kekuasaan asing ini mengungsi ke pegunungan di wilayah Karangasem, Bangli, dan Buleleng.
Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Bali Aga. penduduk asli Bali yang mempertahankan adat dan keyakinan leluhur mereka.

Banyak perbedaan dari keduanya, Hindu Majapahit kemudian hari memperkenalkan kasta dan pembakaran mayat, sedangkan orang Bali asli hidup secara egaliter tanpa kelas sosial dan mengenal sistem pengkuburan jenazah. Anda sampai hari ini bisa datang ketrunyan bagaimana masyarakat Hindu disana masih menaruh jenazah tanpa dibakar. Banyak deh bedanya.

1478, Majapahit runtuh karena perang saudara, kekuasaaan Islam di Jawa oleh Demak semakin meluas, sehingga orang-orang Hindu berpindah ke Bali secara besar-besaran dan disambut baik oleh raja-raja Bali keturunan Jawa Majapahit tadi. Kemudian hari Keturunan Aji Krishan Kepakisan menyebar menjadi kerajaan kecil seperti Bedahulu, Gelgel dll menjadi raja-raja Bali. Sehingga dikenalah bahwa Bali adalah penerus Majapahit. Makanya Majapahit dihormati banget, kenapa ? karena yah nenek moyangnya mereka itu raja Bali dari Jawa. Adapun Bali asli merasa dirugikan karena kedatangan orang-orang Ini.

Nikmat Sumpah Palapa mana yang kamu dustakan?

———————

Klik ikuti halaman Ngopidiyyah untuk postingan menarik lainnya.

Banyak orang mengira dirinya hidup tanpa ideologi. Mereka berkata, “Saya hanya ingin hidup tenang,” atau “Saya tidak iku...
28/10/2025

Banyak orang mengira dirinya hidup tanpa ideologi. Mereka berkata, “Saya hanya ingin hidup tenang,” atau “Saya tidak ikut-ikut urusan ideologi.” Padahal, setiap keputusan yang kita ambil tentang tujuan hidup, cara mencari bahagia, dan bagaimana memandang manusia selalu berpijak pada ideologi tertentu, entah disadari atau tidak.

Jika kamu memutuskan hidupmu untuk mengejar kekayaan, maka orientasimu adalah materi dan tanpa sadar kamu telah menjadi materialis.

Jika kamu memutuskan hidupmu untuk mengejar kebebasan mutlak tanpa batas, kamu sedang memuja liberalisme.

Jika kamu hidup hanya untuk bangsa dan suku, maka kamu adalah nasionalis.

Jika kamu hanya ingin tenang, sabar, dan menerima takdir tanpa memperjuangkan perubahan, maka kamu hidup sebagai stoik.

Jika kamu menolak agama dan meyakini bahwa manusia bisa hidup tanpa Tuhan, maka kamu sedang tunduk pada sekularisme atau bahkan ateisme.

Jika kamu meyakini bahwa hidup hanyalah hasil evolusi kera, bahwa manusia tidak punya tujuan selain bertahan hidup, maka kamu seorang darwinis.

Dan jika kamu berkata bahwa hidup tidak punya makna apa-apa, nggak ada tujuan, bahwa semua hal sia-sia dan kosong, maka kamu sedang hidup dalam nihilisme.

Semua orang berideologi. Tidak ada hidup yang netral dari nilai dan arah. Yang berbeda hanyalah ideologi mana yang menjadi poros hidupmu.

Namun, semua ideologi buatan manusia memiliki keterbatasan:

Stoikisme berhenti di batin.
Kapitalisme berhenti di harta.
Nasionalisme berhenti di batas.
Darwinisme berhenti di tubuh.
Nihilisme berhenti di kehampaan.
Sekularisme berhenti di dunia.
Dan Postmodernisme berhenti di kebingungan.

Namun Islam memandang manusia lebih tinggi dari itu semua.
Manusia bukan hewan yang bekerja untuk bertahan hidup.
Bukan mesin ekonomi, bukan budak bangsa, bukan makhluk tanpa makna.
Islam memuliakan manusia sebagai ʿabdullāh (hamba Allah) dan khalīfatullāh (wakil Allah di bumi).
Ia memiliki ruh, akal, dan amanah; hidupnya bukan kebetulan, tapi ada tujuan.

Sementara Islam datang sebagai sistem hidup yang sempurna.
Ia tidak lahir dari filsafat hayalan manusia yang hina tapi dari wahyu pencipta manusia.
Ia tidak memisahkan antara dunia dan akhirat, antara pribadi dan negara, antara ibadah dan sosial.

Dalam Islam, cara kencing diatur agar menjaga kebersihan.
Cara makan harus halal, diatur agar menjaga kesehatan.
Cara berdagang diatur agar terhindar dari penipuan dan riba.
Cara memimpin diatur agar keadilan tegak di bumi.
Semua ada tuntunannya, karena Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi ideologi peradaban.

Islam mengatur kehidupan dari perkara paling kecil hingga perkara paling besar.

Itulah sebabnya Islam tidak bisa disamakan dengan ideologi buatan manusia.
Yang lain menebak bagaimana manusia seharusnya hidup; Islam memberi tahu langsung dari Pencipta kehidupan.
Maka siapa yang menolak aturan Islam, hakikatnya bukan sedang menolak syariat, tapi sedang menolak kebenaran fitrahnya sendiri.

Address

Yogyakarta City

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ngopidiyyah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share