07/11/2025
Pernahkah kita bertanya:
kenapa sekarang anak muda lebih ingin jadi influencer daripada guru?
Jawabannya sederhana karena gaji berbicara lebih keras daripada idealisme.
Seorang guru bisa mengajar 25 tahun dan belum tentu sanggup membeli rumah,
sementara seorang artis TikTok bisa dapat penghasilan setara gaji tahunan guru hanya dari satu iklan.
Itulah ironi zaman ketika ilmu tak lagi menjadi jalan kemuliaan,
karena masyarakat tak lagi menghargainya sebagai nilai ekonomi.
Akibatnya, minat terhadap ilmu menurun.
Jurusan-jurusan pendidikan sepi,
riset-riset ilmiah tidak menarik sponsor,
dan profesi guru dianggap “pengabdian” yang tak perlu dibayar mahal.
Akhirnya banyak orang tak minat lagi jadi tenaga pendidik, tak ada yang minat lagi menyentuh buku untuk menjadi akademisi, tak mau lagi ada cita-cita menjadi penulis. Akhir masyarakat lari ke dunia industri hiburan daripada pendidikan.
Padahl majunya suatu negara ditentukan ke kualitas tenaga pendidiknya, dan ketertarikan masyarakat dalam menghargai ilmu pengetahuan:
Untuk mengatasi surutnya minat Masyarakat akan ilmu pengetahuan maka dahulu dimasa Kejayaan Islam para Pemimpin mendongkrak minat masyarakat dengan memberikan gaji kepada para peneliti, guru madsarah, pegawai perpustakaan dengan nilai fantastis.
Semisal dimasa Khilafah Abbasiyah (Baghdad):
Guru di madrasah Nizāmiyyah menerima sekitar 20–30 dinar per bulan, setara ± Rp 100 juta jika dikonversi dengan nilai emas sekarang.
Mereka juga diberi rumah, makanan, dan fasilitas perpustakaan.
Pegawai Perpustakaan di Bayt al-Ḥikmah:
Mereka bekerja dengan menyalin naskah dan penerjemah bisa dibayar hingga 200 dinar untuk satu karya besar sekitar Rp 1 miliar dalam nilai modern.
Ada p**a gaji pegawai yang didasarkan pada hasil karya ilmiah dan penerjemahan, semisal jika seseorang berhasil menerjemahkan buku seberat 500 gram maka Negara akan memberikan 500 gram emas kepada penerjemah, hasil keringat dibayar dengan sesuai takaran emas.
Hari ini Misalnya penerjemah kitab klasik Arab atau Buku Bahasa Inggris,
honornya bisa cuma Rp 50-100 ribu per halaman,
padahal beban ilmiahnya berat banget perlu paham nahwu, balaghah, grammar, kaidah linguistik dll.
Makanya zaman Khilafah dulu penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq penerjemah Kristen bisa dibayar ratusan dinar emas oleh Khalifah hanya untuk menerjemahkan satu karya besar setara sekitar Rp 1 miliar hari ini.
Umar bin Khattab r.a. bahkan menetapkan gaji dua dirham per hari bagi muʾadzdzin jumlah yang stabil untuk kebutuhan hidup zaman itu.
Dua dirham setara dengan harga dua ekor ayam. Dibiayai penuh oleh negara dari Bayt al-Māl dan waqf.
⸻
Khilafah paham bahwa kemiskinan bisa mematikan semangat ilmiah.
Jika orang berilmu hidup kekurangan,
anak muda akan mencari jalan yang lebih “cepat” menghasilkan uang.
Tapi ketika negara menjamin kesejahteraan ilmuwan dan guru,
ilmu menjadi cita-cita, dan idola anak muda.
Sistem ini menciptakan iklim sosial di mana:
• menjadi guru adalah kehormatan,
• menjadi peneliti adalah karier terhormat,
• dan menjadi penjaga perpustakaan pun dianggap bagian dari jihad menjaga peradaban.
Itulah sebabnya ilmu berkembang pesat.
Murid-murid berdatangan dari Andalusia sampai Samarkand.
Perpustakaan berdiri di setiap kota besar.
Dan Islam menjadi mercusuar dunia.
⸻
Pelajaran untuk Zaman Sekarang
Kita sering bicara “meningkatkan minat baca” atau “menumbuhkan budaya ilmiah”,
padahal akar masalahnya bukan hanya minat, tapi nasib ekonomi para penjaga ilmu.
Tidak akan lahir ilmuwan hebat dari sistem yang menelantarkan pendidik.
Tidak akan lahir ulama besar dari masyarakat yang lebih menghargai sensasi daripada pemikiran.
Khilafah dulu menaikkan gaji guru bukan sekadar kebijakan fiskal,
tapi strategi peradaban:
agar ilmu tetap diminati,
agar orang cerdas tetap mau mengajar,
dan agar kemuliaan umat berdiri di atas pengetahuan, bukan pop**aritas.
Hasilnya?
Dari sistem inilah lahir tokoh-tokoh dunia:
Al-Khawarizmi (penemu aljabar),
Ibn Sina (pelopor kedokteran),
Al-Biruni, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan ribuan lainnya.
Mereka bukan hanya mengajar, tapi membangun peradaban global sementara Eropa kala itu masih terjerat kegelapan.
Tokoh tokoh raksasa dunia Islam itu semua ahli ilmu, yang ilmunya barakah bisa kita baca dan nikmati hari ini. adapun nama nama artis hiburan, nama mereka terkubur dalam sejarah tak dikenal.
⸻