03/02/2025
KUHANCURKAN RUMAHKU KETIKA MADUKU INGIN MENGUASAINYA #1
Napen : Angga Pratama
Aplikasi : KBM
Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.
“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.
“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atikah begitu menggebu-gebu. Bagaimana dia tidak begitu geram dan marah, rumah tangganya hancur juga karena orang ketiga.
“Astaghfirullahaladzim,” aku hanya beristighfar, enggan berkomentar apapun, takut bernasib sama seperti Atikah yang s**a berkoar-koar membanggakan suaminya, nyatanya, suaminya justru membuangnya. Masih ada untungnya Atikah belum memiliki anak.
“Makanya Ris, tuh si Azzam kamu jaga baik-baik. Mana ganteng, kerja enak di kantor camat lagi, aku yakin pasti banyak pelak-or yang sudah mengincar Azzam,” tukas Atikah lagi dengan bibir tipisnya yang kadang berjengit. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan meneguk saliva dengan kasar. Tentu saja ada rasa khawatir jika mas Azzam akan berpaling, apalagi zaman sekarang gempuran tentang orang ketiga ini semakin marak sekali, dan sepertinya mereka yang menjadi orang ketiga tidak memiliki rasa malu sama sekali.
“Dengar gak sih, Ris? Jangan sampai menyesal di kemudian hari, apalagi anak anakmu masih kecil begitu, kasihan. Kalau aku mah bebas, gak ada yang gandoli dan membebani,” sambungnya lagi dengan nada ketus.
“Iya, Tik. Aku denger kok, nanti motor mas Azzam aku pakein GPS atau kamera tersembunyi, jadi tahu kemana dia perginya,” jawabku sedikit bercanda, karena, jika melihat sikap mas Azzam selama ini sepertinya ia tidak akan berpaling. Mas Azzam sangat perhatian, sering membantuku untuk menyiapkan keperluan jualan, karena kami memiliki tujuan, menyelesaikan rumah kami.
“Bercandanya gak lucu, Ris. Jangan sampai nanti kalau Azzam main serong, kamu curhat sama aku sambil nangis-nangis ya,” timpal Atikah lagi sambil menatap sinis aku, namun tangannya terus bekerja membereskan barang-barang dagangannya, sama sepertiku.
***
Mas Azzam langsung menyambut dan membantuku ketika aku baru saja sampai, aku berhenti di teras rumah kami yang belum ada atapnya, karena rumah kami juga baru 60 persen yang jadi, itu sebabnya aku dan mas Azzam bekerja keras. Mas Azzam bekerja di kantor camat dari pagi hingga pukul 3 sore, dan aku mempersiapkan dagangan sambil momong kedua anak kami yang masih balita. Sekitar pukul 4 sore aku berangkat berjualan dan bergantian dengan mas Azzam untuk mengurus Melisa dan Azkira.
Aku melongok ke dalam sambil meletakkan barang-barang di ambang pintu, terdengar suara Melisa dan Azkira tertawa ketika sedang menonton, lalu terdengar suara orang sedang memasak, karena spatula yang menghantam kuali.
“Siapa yang sedang memasak, mas?” bertanya sambil terus menurunkan perkakas jualan burger miniku.
“Ibu, tadi mas ngerasa tidak enak badan, lapar, jadi minta tolong sama ibu untuk masakin mie,” jawab mas Azzam, memang terdengar bicara agak sengau dan sesekali menyedot kembali cairan yang akan keluar dari hidungnya.
“Bukannya aku tadi sudah masak ayam kecap,” menjawab dengan agak kesal, karena aku sudah menyempatkan diri tetap masak di sela kesibukan mempersiapkan dagangan dan pada akhirnya tidak di makan juga.
“Lagi pengen makan mie saja, tadi Melisa dan Azkira makan kok,” jawabnya lagi, tetapi aku tidak menggubrisnya lagi, karena sudah terlanjur kesal. Aku langsung saja masuk ke belakang, membawa semuanya ke dapur.
“Nah ini dia, istri tidak becus, suami sudah capek kerja, demam, malah di suruh ngurusin anak dan rumah lagi,” celetuk ibu mertua dengan nada ketus dan menjudge aku. Aku mengabaikan ucapan ibu, langsung saja menyalami lalu keluar menuju kamar mandi, karena gerah, namun aku masih bisa mendengar omelan ibu. Aku bersikap seperti itu karena ibu selalu saja menunjukkan sikap yang sama setiap kali bertemu, menuduhku ini dan itu.
“Istrimu itu, Zam, tidak punya sopan santun. Orang tua ngomong malah dicuekin,” ibu mengadu pada mas Azzam.
Setelah membersihkan diri aku langsung masuk ke kamar, tidak peduli dengan omelan ibu.
Drrtt!
Kulihat ponsel mas Azzam terus bergetar di dekat bantal, ingin menjawab panggilan masuk tersebut, namun urung karena namanya 'Pak ketua'.