10/06/2025
# # Terjebak Seminar Bisnis
Pukul delapan pagi, Dani sudah duduk di kursi baris ketiga ruangan hotel itu. AC dingin menusuk tulang, padahal jaket sudah menempel rapat. Di panggung kecil, seorang pria berdasi sedang berbicara dengan semangat membara, seperti motivator di acara televisi pagi hari. Slide di layar besar menampilkan grafik naik-turun yang tak sepenuhnya dimengerti Dani. Tapi satu hal pasti: dia merasa tertipu.
Dani datang karena ajakan temannya, Rudi. Katanya, ini seminar bisnis yang *“bisa mengubah hidup”*. Gratis p**a. Tapi kenyataannya, baru setengah jam duduk, Dani mulai merasa hidupnya justru sedang dipermainkan.
“Dalam lima tahun, saya berhasil punya tiga rumah, empat mobil, dan passive income ratusan juta per bulan!” teriak pembicara.
Ruangan riuh oleh tepuk tangan dan sorakan. Beberapa peserta menatap dengan mata berbinar, seperti sedang menyaksikan mukjizat. Dani cuma mengangguk sopan, berusaha tidak menampakkan kebosanan. Di tangannya, brosur-brosur berwarna cerah sudah menumpuk: promosi kursus online, paket "mentoring eksklusif", hingga tawaran jadi reseller produk-produk aneh yang katanya "laku keras di marketplace".
Rudi di sebelahnya malah tampak antusias. “Keren banget ya! Gila, gue harus ikut yang platinum!”
“Yang platinum itu dua juta, Rud,” bisik Dani. “Kita ke sini karena katanya gratis.”
“Gratis yang basic lah. Tapi kalau mau sukses, ya harus investasi!” Rudi membalas dengan penuh semangat, seperti sudah dicuci otaknya.
Dani memijat pelipis. Ini bukan seminar bisnis. Ini lebih mirip jebakan berlapis presentasi.
Ketika sesi “testimoni alumni sukses” dimulai, Dani mulai mengatur strategi kabur. Tapi panitia tampaknya ahli dalam menjaga mangsa. Setiap pintu dijaga dengan senyum ramah dan rayuan halus, “Sudah mau p**ang, Kak? Sebentar lagi sesi penting, loh!”
Akhirnya Dani nekat pura-pura menerima telepon penting, berjalan cepat sambil komat-kamit seperti aktor sinetron. Begitu berhasil keluar ruangan, dia menghela napas lega seolah lepas dari kepungan sekte.
Di halte, ia kirim pesan ke Rudi:
> “Gue cabut duluan. Kalau mau jual ginjal buat ikut platinum, jangan pakai namaku ya.”
Beberapa menit kemudian, Dani duduk di warteg, menyantap nasi goreng telur. Rasanya sederhana, tapi nyata. Tak seperti mimpi cepat kaya yang tadi coba dijual pakai mic dan blazer mahal.
Ia tersenyum kecil. Mungkin, bisnis yang paling masuk akal saat ini adalah belajar jujur pada diri sendiri: tidak semua pintu sukses perlu dibuka dengan brosur dan bonus affiliate.