Dwi Lestari Zulkarnain

Dwi Lestari Zulkarnain Kalian cari novel online? Sini merapat, banyak rekomendasi. Penulis KBM APLIKASI dan 16 judul cerbung di sana.

"Gantikan adikmu menikah! Atau saya akan membuat lisensi dokter-mu di c a b u t dengan berbagai macam cara. Ingat! Kamu ...
07/08/2025

"Gantikan adikmu menikah! Atau saya akan membuat lisensi dokter-mu di c a b u t dengan berbagai macam cara. Ingat! Kamu cuma a n a k yang lahir dari rahim perempuan j a l a n g yang terpaksa saya biarkan hidup!"

Dia bahkan tidak mau aku memanggilnya Ayah, dan sekarang minta aku berkorban untuk a n a k kesayangannya?

——————————

Kinan berdiri kaku di ambang ruang tamu, menatap wajah-wajah yang kini menatapnya seolah ia hanyalah pengganggu. Membuat udara di dalam ruangan terasa lebih dingin daripada udara pagi di luar sana.

Ayahnya, Gemilang, menatapnya dengan sorot mata t a j a m. Wajahnya tegas seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda, seperti seseorang yang sedang menahan a m a r a h dan juga rasa kesal kepada dirinya.

“Kinan, duduk.” Suaranya terdengar datar, tanpa nada kasih sayang sedikit pun.

Kinan melangkah pelan menuju sofa terdekat, ia merasakan tatapan m e n u s u k dari wanita yang duduk di sebelah ayahnya, Siapa lagi kalau bukan Nyonya Laras, istri sah ayahnya. Wajahnya seperti selalu, tanpa senyum dan penuh dengan k e b e n c i a n ketika melihatnya.

Arya dan Kenzo duduk di sofa utama, ekspresi mereka nyaris tak terbaca. Namun, yang lebih menarik perhatian Kinan adalah tiga orang asing yang duduk di kursi seberang. Sepertinya mereka sepasang suami-istri paruh baya dan juga ada dengan anak laki-lakinya yang seumuran dengan Arya.

Pria muda itu mengenakan setelan mahal, posturnya tegap dan aura percaya dirinya begitu kuat. Tatapannya dingin saat bertemu dengan mata Kinan, seolah sedang menilai sesuatu pada dirinya.

"Kamu pasti bertanya-tanya siapa mereka," suara ayahnya, Gemilang, kembali terdengar dengan nada dingin dan penuh otoritas. "Ini Pak Hendrawan, di sampingnya istrinya, Ibu Sinta, dan yang terakhir adalah putranya, Arga. Calon suamimu."

Kinan merasakan napasnya tercekat. Kata-kata ayahnya barusan membuatnya membeku di tempat.

"Calon suami?"

Ia menatap sosok pria bernama Arga yang duduk dengan ekspresi datar di hadapannya. Pria itu tampak tenang, namun sorot matanya t a j a m, seolah sedang menilainya dari ujung kepala hingga kaki.

Di sampingnya, Pak Hendrawan tampak m a r a h, tangannya m e n g e p a l di atas meja. Sementara istrinya, Ibu Sinta, menatap Kinan dengan ekspresi tak terbaca.

"Kamu benar-benar mempermainkan kami, Gemilang!" suara Pak Hendrawan terdengar penuh a m a r a h.

Ayah Kinan, Gemilang, tetap duduk tenang di kursinya, hanya m e n d e s a h pelan sebelum menatap tamunya dengan penuh wibawa.

"Tidak ada niatan saya untuk mempermainkan keluarga kamu, Hendrawan," ucapnya dengan nada dingin. "Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. A n a k saya, Keyla, tiba-tiba k a b u r kemarin karena dia menolak perjodohan ini."

"Dan kamu membiarkannya?" Ibu Sinta m e n y e l a dengan suara s i n i s. "Bagaimana mungkin seorang ayah membiarkan anaknya kabur dari tanggung jawabnya?"

Kinan mengalihkan pandangannya ke ayahnya. Keyla. Adik tirinya yang selama ini lebih mendapatkan tempat di hati keluarga ini dibandingkan dirinya.

Ayahnya menghela napas panjang sebelum menjawab, "Jika saja sejak awal Arga mengatakan bahwa setelah menikah, ia akan membawa Keyla pindah ke Jayamala, maka dari awal Keyla pasti akan menolak. Kamu juga tahu bagaimana situasi di sana, bukan?"

Pak Hendrawan mendecakkan lidah. "Jadi hanya karena alasan itu, Keyla lari? Bukan kah saat pengajuan nikah, Keyla sudah tahu konsekuensi menikah dengan seorang tentara?"

"A n a k saya masih muda wajar saja pikirannya masih labil. Yang pasti dia tak ingin tinggal di wilayah yang sedang dilanda p e r a n g saudara seperti itu," balas Gemilang tegas.

"Apa pun alasannya, ini benar-benar tidak bisa diterima!" suara Pak Hendrawan meninggi. "Persiapan sudah 100% rampung dan kamu malah baru memberitahukan masalah ini kepada kami subuh-subuh begini? Kamu g i l a? Mau di taruh di mana wajah kami jika pernikahan hari ini harus dibatalkan?"

"Untuk itu, kami sudah mempersiapkan penggantinya." Tiba-tiba Arya angkat bicara, nada suaranya tenang dan malah terdengar sangat dingin. "Ayah m e m u t u s k a n menggantinya dengan Kinan."

Kinan hanya bisa menundukkan kepalanya, kedua tangannya m e n g e p a l di atas p a h a nya. Tidak ada yang terkejut dengan keputusan ini di dalam keluarganya, karena memang sudah mereka rencanakan sejak awal.

Ia tahu betul posisinya di rumah ini. Ia bukan tokoh utama dalam kisah keluarganya sendiri karena ia hanya bayangan yang diingat ketika dibutuhkan. Dan hari ini, kenyataan itu kembali m e n a m p a r nya dengan k e r a s.

Tatapan t a j a m Arga masih tertuju padanya, seolah menilai apakah ia layak menggantikan Keyla atau tidak. Di sisi lain, Pak Hendrawan tampak m u r k a, matanya m e n y a l a penuh a m a r a h.

"Kamu pikir dengan menggantikannya semudah ini, masalah akan selesai, Gemilang? Kamu tahukan standar keluarga kami seperti apa? Apalagi Arga adalah a n a k semata wayang dari keluarga kami," suara Pak Hendrawan bergetar, menahan e m o s i yang hampir m e l e d a k.

Gemilang tetap duduk tenang, wajahnya tak berubah sedikit pun. “Saya tahu, namun pernikahan ini harus tetap berlangsung. Kinan atau Keyla, tidak ada bedanya. Yang penting, perjanjian kita tetap berjalan. Dan sebagai bentuk itikad baik, saya akan menyerahkan sepenuhnya proyek pembangunan resort di bukit kepada kamu, Hendrawan. Bukankah ini penawaran terbaik?”

Hendrawan tertawa sumbang, s i n i s. "Kamu kira saya akan m e n j u a l an ak saya hanya karena itu? Maaf, Gemilang, saya bukan kamu."

Gemilang menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja, lalu menatap Hendrawan dengan senyum tipis. “Oke. Kalau begitu, apakah kamu siap menghadapi s k a n d a l besar hanya karena a n a k mu gagal menikah? Pernikahan ini batal di saat-saat terakhir, mempelai wanitanya kabur, dan g o s i p b u r u k akan menyebar. Bayangkan reputasi Arga. Setelah ini, apakah masih ada wanita dari keluarga terpandang yang mau menikah dengannya?”

Hendrawan m e n g e p a l k a n tangannya, siap membalas perkataan itu, tapi gerakan spontan itu langsung dihentikan oleh Arga.

Arga menghela napas panjang sebelum akhirnya a n g k a t bicara. Suaranya tenang tapi m e n u s u k, “Baiklah, pernikahan akan tetap terjadi. Namun sebelum itu, saya ingin bertanya langsung kepada Kinan. Bagaimana menurutmu? Apa kamu setuju dengan pernikahan ini?”

Ruangan tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata kini tertuju pada Kinan.

Kinan menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa s e s a k di d a d a nya. Apakah ia setuju? Tentu saja tidak. Tapi apakah ia memiliki pilihan? Tidak.

Ia mengangkat wajahnya sedikit, menatap kosong ke depan. "Bapak Gemilang sudah memutuskan," jawabnya lirih, tanpa keberanian untuk menatap pria di depannya. "Saya sendiri tidak punya hak untuk menolak."

Sinta, ibu dari Arga, mengangkat alisnya. Ekspresinya mencerminkan ketidakpercayaan. “Sepertinya kamu tidak begitu bahagia dengan pernikahan ini, Kinan.”

Tentu saja tidak. Tapi ia tidak bisa mengatakan itu, bukan?

“Tidak ada yang peduli terhadap kebahagiaan saya…” jawab Kinan, suaranya terdengar seperti bisikan yang penuh kepasrahan.

Arga menatapnya lama, sorot matanya sulit diartikan. Kemudian, ia bersandar ke belakang, tangannya disilangkan di d a d a. “Jadi, kamu hanya akan menerima begitu saja? Tanpa protes, tanpa perlawanan?”

Kinan m e n g e p a l k a n tangannya semakin erat. “Apa gunanya melawan kalau hasilnya akan tetap sama?”

Sebuah s e r i n g a i samar muncul di wajah Arga. Ia mencond**gkan tubuhnya ke depan, menyandarkan sikunya di atas meja. “Saya tidak s**a wanita yang lemah.”

Kinan menahan napasnya. Sakit hati? Tidak. Ia sudah m a t i rasa.

“Saya juga tidak menyukai wanita yang hanya pasrah tanpa mencoba mengubah takdirnya,” lanjut Arga, suaranya terdengar seperti tantangan. “Jika kamu memang ingin menikah dengan saya, buktikan bahwa kamu pantas. Jika tidak, lebih baik pergi sekarang juga sebelum semuanya terlambat.”

Jantung Kinan berdebar. Ia tahu ini dibalik kata-kata tersebut menyiratkan berbagai macam makna dan untuk pertama kalinya, ia merasa ingin membuktikan bahwa ia tidak lemah serta sepasrah itu.

"Kamu tidak pantas menilai saya sebagai wanita lemah yang hanya bisa pasrah pada keadaan," suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena a m a r a h yang m e n d i d i h di da danya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak keras menjatuhkan air mata. Ia tidak akan membiarkan mereka melihatnya h a n c u r.

Tatapan t a j a m nya menyapu satu per satu wajah di ruangan itu. "Kamu tidak tahu perjuangan saya untuk tetap hidup sampai sekarang ini seperti apa!" teriaknya, suaranya menggema di dalam ruangan yang mendadak sunyi. Semua orang terpaku, menatapnya dengan berbagai ekspresi kaget, tidak percaya, dan bahkan rasa ji jik.

Kinan menoleh ke arah Gemilang, pria yang selama ini memegang kendali atas hidupnya, pria yang membuat dirinya hadir di dunia.

"Sebelum menikah, kalian semua pasti tidak tahu, kan, siapa saya sebenarnya?" tanyanya, menatap Hendrawan, Sinta, dan Gemilang dengan t a j a m.

"Kinan, jangan melewati batas!" t e r i a k Gemilang memperingatinya.

Kinan malah tersenyum tipis, penuh ironi. "Ada apa? Bukankah saya juga akan menikah dengan Arga? Saya rasa mereka berhak tahu kebenarannya sekarang, kan?"

"Kamu tidak malu memberitahukan a i b diri kamu sendiri kepada mereka?" Laras, istri sah Gemilang, malah m e n a n t a n g Kinan, bukannya terkejut atau panik.

Kinan m e n d e n g u s, seolah mendengar lelucon konyol. "Kenapa saya harus malu? Bukankah yang harus malu itu adalah suami Nyonya?" jawabnya, menatap Laras dengan senyum manis yang penuh e j e k a n.

"Ada apa ini? Cepat katakan kepada kami!" Hendrawan mulai tidak sabar, rasa penasarannya semakin memuncak.

Kinan menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Jadi, sebenarnya saya bukan a n a k pungut seperti yang mereka katakan kepada orang-orang."

Ia berhenti sejenak, membiarkan mereka menunggu dengan tegang.

"Saya bisa dibilang a n a k kandung Bapak Gemilang."

Ruangan mendadak terasa lebih dingin.

Seseorang tersenyum miring di sudut ruangan. "Lebih tepatnya, a n a k h a r a m yang lahir dari h u b u n g a n gelap Ayah," koreksi Arya, saudara tirinya.

Kinan tertawa kecil, mengangguk. "Yap, benar sekali. Saya an ak har am itu. Saya tak memiliki nasab, namun saya jelas hadir ke dunia ini gara-gara bapak Gemilang."

Seketika, ruangan penuh dengan keheningan. Hendrawan, Arga dan Sinta memandang Gemilang dengan berbagai ekspresi.

Gemilang tetap duduk diam, wajahnya kaku seperti batu, namun matanya menatap Kinan dengan t a j a m.

Tapi Kinan tidak peduli. Ia menatap semua orang dengan sorot mata yang penuh kepedihan dan a m a r a h yang selama ini ia simpan sendiri.

"Saya dilahirkan dari r a h i m seorang wanita p e n g h i b u r. Dan setelah saya hadir ke dunia, wanita itu membuang saya kepada laki-laki ini." Ia mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke arah Gemilang.

"Kalian kira hidup saya bahagia setelah itu? Tidak. Saya hidup hanya karena saya tidak bisa m a t i. Sebab saya tahu, pergi dengan cara mendahului takdir itu benar-benar tindakan bodoh."

Udara dalam ruangan terasa semakin berat. Tak ada yang berani membuka suara.

"Kalian tahu sampai saat ini, saya menerima c a c i m a k i oleh orang-orang di dalam keluarga ini. Baik secara fisik maupun m e n t a l, saya sudah diuji. Saya dipandang rendah, dijadikan bayangan, tidak pernah dianggap ada kecuali saat dibutuhkan. Dan sekarang, saya diminta menikah hanya karena a n a k emas di keluarga ini kabur dari tanggung jawabnya. Kalian pikir saya tidak melakukan perlawanan?"

Kinan menatap mereka satu per satu.

"Saya sudah melawan, tapi apa hasilnya? Saya masih tetap kalah." Jeda sebentar, "ironis bukan? Bahkan a n j i n g pun bisa memilih tuannya, tapi kenapa saya tidak memiliki hak untuk memilih pilihan saya sendiri.

Sinta yang mendengar itu menghela napas panjang, menundukkan kepala. Laras terlihat sedikit gelisah, sementara Hendrawan masih memasang ekspresi terkejut.

Namun, di tengah keheningan itu, Arga akhirnya bersuara.

"Kalau begitu, kenapa kamu tetap bertahan sampai sejauh ini?" tanyanya pelan, tetapi suaranya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.

Kinan menoleh padanya, menatapnya dalam-dalam.

"Karena sejak lahir, saya tidak pernah diberi pilihan untuk pergi."

**********
Judul: Suamiku, Tentara Dingin!
Penulis: Istri_V
L i n k ceritanya ada di kolom komentar 👇

Ternyata adik istriku lebih meng goda dibanding istriku sendiri. Aku harus mendapatkan dia kembali. Bagaimana pun carany...
07/08/2025

Ternyata adik istriku lebih meng goda dibanding istriku sendiri. Aku harus mendapatkan dia kembali. Bagaimana pun caranya harus. Tapi, ada satu yang menjadi pengha lang, aku harus sing kirkan dia sehingga...

(5)

"Selamat atas pernikahan mba dan suami, Mudah-mudahan langgeng terus sampai ma ut berpi sah semoga cepet dikasih momo ngan," ucap Rosa terhadap istriku-Dira. Sesaat kemudian, Rosa malah melirikku sambil tersenyumkan ke sebe lah mata kearah ku.

“Iya Rosa… Terima kasih ya, sudah datang ke pernikahan Mbak,” ucap Dira istriku terse nyum menatap Rosa.

Entah kenapa, aku bertemu kembali dengan Rosa seakan terngiang-ngiang kenangan sewaktu aku masih menjadi keka sihnya.

Rosa adalah cinta pertamaku, aku berpa caran dengan Rosa saat dia masih mengin jak sekolah menengah atas. Waktu itu Rosa masih kelas sebelas, aku dulu sangat mencintainya dan sangat menyayanginya. Akan tetapi, setelah hampir dua tahun hubu nganku dengan Rosa. Aku memer gokinya berse lingkuh dengan pria lain. Aku sangat ma rah dan ke cewa, perempuan yang aku sayangi malah tega menghianati.

Sejujurnya, aku masih ada rasa sayang pada Rosa. Tapi, sekarang aku sudah menikah dengan Dira. Dan aku juga baru tahu, kalau Rosa ternyata adiknya Dira..

Aku masih mena tap wa jah cantiknya, mataku sama sekali tak berke dip mena tap Rosa yang semakin cantik.

"Mas..Kenapa mas ngeliatin Rosa seperti itu?" Tanya Dira mengagetkan aku, aku sampai malu karena perbuatanku yang bisa mencu rigakan Dira. Aku mena tap Rosa kembali, ia tersenyum mena tap kepo losanku.

“Iya, sayang. Aku nggak ngeliatin kok!” Jawabku membu ang mu ka dan aku kembali duduk. Dira menatap heran padaku. Aku tidak mau Dira tahu kalau Rosa ini adalah man tan kekasihku, kalau Dira tahu ini bisa jadi bu merang dalam kehi dupan.

"Oh iya, Ros. Kamu datang kesini dengan siapa?" tanya Dira menatap lekat wa jah Rosa.

"Aku datang datang sendiri saja Mbak, tidak punya pa sangan. Oh iya, Kalau begitu aku kesana dulu ya, Mbak" jawab Rosa pamit sambil menun juk "

Iya Rosa, silahkan," jawab istriku sambil tersenyum

Rosa berlalu pergi dari hadapanku, hatiku kembali berde bar bertemu Rosa. Apa aku mulai ja tuh cinta padanya lagi? Tapi kalau itu benar. Bagaimana na sib istriku, aku tidak mau membuatnya terluka dan kecewa. Kami baru saja melangsungkan pernikahan.

Setelah selesai acara resepsi, sekarang aku sudah berada di kamar pengantin bersama Dira. Dan aku juga sudah mandi begitu juga dengan Dira. Aku menatap jam di depan, ternyata sekarang sudah pukul 20:00 Dira sedang menatap cermin, entah sedang apa? Saya sama sekali tidak tahu.

"Sayang kamu dari tadi menatap cermin terus. Sini d**g, sekarangkan malam pertama kita," ujarku mengajak Dira

"Iya Mas!!" Jawab Dira mendekatiku, ia menatap kearahku. Dira memang sangat cantik sekali.

Tanpa berpikir panjang, saya segera mendekap Dira dan kami langsung beradu kasih di atas kasur pengantin. Kami begitu menikmatinya.

🍁🍁🍁

Satu bulan sudah aku menikah dengan istriku Dira, kami memutuskan untuk pergi bulan madu ke Bali. Dan sekarang, kami tengah berada dalam perjalanan menggunakan pesawat terbang.

Sudah selama tiga kami di pesawat, akhirnya kami bisa sampai di Bandara Bali. Sekarang kami bermaksud mencari penginapan, aku mencari keseluruh ja lanan. Tepat sekali, saya menemukan Ho tel, kami se nang, segera masuk ke da lam ho tel dan bertanya pada resepsionis sambil memba yarnya, ia langsung memberikan saya sebuah kartu pengi napan.

Aku berjalan menuju ke arah kamar yang sudah aku pesan, nampaknya sebuah kamar yang tak jauh, aku segera menempelkan kartu ke arah tombol bawah knop, terdengar suara bunyi dan pintu pun akhirnya terbuka dengan sendirinya.

Aku masuk dan menatap ke seluruh ruangan, kamar ini sangat indah dan desainnya juga bagus elegan, aku dan istriku begitu menyukainya.

Tanpa berle ha-le ha, aku segera tertidur di atas kasur yang empuk ini bersama Dira istri ku, kami sudah sangat lelah sekali.

Pukul 15:45 Dira membangunkan aku, aku membuka mata dengan sedikit di pak sakan, aku masih sangat takut sekali.

"Mas bangun... Kita ke pantai yuk? Mumpung sekarang sudah sore aku mau nik matin keindahan pantai waktu sore," ucap Dira istriku, ia terus membangunkan aku, aku segera duduk dan menatapnya

"Iya sudah, kalau kamu mau ke pantai, ayo! ! Tapi aku ganti baju dulu ya," paksaku membangun mengganti pakaian mamakai pakaian khusus pantai.

Setelah itu, aku dan istriku segera keluar dari kamar, kami berjalan meninggalkan ho tel penginapan. Aku menatap kesekeliling ternyata di depan ada sebuah pantai, kami segera kami bisa segera sampai.

Keindahan pantai Bali sangat mempe sona banyak sekali wisatawan bule yang duduk atau sedang berkumpul dengan lawan bicaranya apalagi pantainya bagus indah jernih. Peman dangannya pun bagus sangat memanjakan mata cocok untuk berfoto selfie.

“Mass, duduk disana yuk,” ucap Dira istriku mengajak duduk di tepi pantai. Aku langsung menuruti keinginan istriku dan menganggukan kepala. Aku berjalan ceria menampilkan keindahan lautan yang indah.

Aku duduk di tepi pantai menikmati keindahan lautan, aku begitu takjub dengan pantai ini. Aku menatap kearah lautan banyak sekali yang berenang. Aku mena tap istriku yang juga tengah menatap kearah pantai.

“Dek, indah sekali ya, segar lagi,” ucapku memulai pembicaraan pada istriku. Ia langsung menganggukan kepala

"Iya Mas. Indah banget, aku baru pertama kali pergi ke pantai Bali ini, biasanya aku kalau ke pantai s**a yang dekat-dekat saja," jawab Dira istriku tersenyum padaku.

"Iya, tak apa, Dek... Sekali-kali kita liburan ke Bali. Mas juga baru pertama kali ke sini. Mudah-mudahan setelah nanti kita p**ang kamu langsung positif ha mil ya? Aku pengen cepet-cepet punya anak dari kamu,

"Amin Mas, mudah-mudah saja, aku segera di kasih kepercayaan dan kita bisa menjadi seorang orang tua," sahut istriku tersenyum, aku menganggukkan kepala, "Mas, kita cari makan yuk? Di sekitaran sini saja, perutku sudah mulai la par ni,"

"Iya sudah, Dek. Kita cari makan saja sekarang, Mas juga sudah sanang lapar sekali ingin makan.

Kami berdua langsung menuju tempat makan yang berada di sekitaran pantai Bali ini. Kami menatap kesekeliling untung saja di depan ada rumah makan , kami segera berjalan dan masuk ke dalam.

Karyawan rumah makanami datang dan menyodorkan menu, saya langsung memesan beberapa makanan spesial yang ada di Rumah Makan ini.

Karyawan langsung pergi, dan kami duduk sambil menunggu pesanan kami tiba. Setelah 20 menit kemudian, akhirnya makanan tersaji di hadapan kami.

Makanan nya sangat menggugah selera naf su makan. Kami segera menik mati makanan ini, sangat enak sekali rasanya, Membuat aku pengen nambah terus menerus.

Setelah menikmati makanan, kami memutarnya tak lupa kami memba yar makanan yang telah kami nikmati. Aku memaksa mening galkan rumah makan ini menuju Ho tel pengi napan. Adzan magrib sudah berkuman dang, waktunya kami harus menunaikan ibadah solat magrib.

Sekarang kami sudah berada di Ho tel dan segera masuk ke ka mar, kami segera berwudhu dan setelah itu kami menunaikan ibadah shalat magrib bersama dengan di imami olehku, sementara Dira sebagai makmun. Kami menunaikan shalat dengan khusu' dan hanya melaksankan kewajiban 3 rakaat saja.

Setelah selesai melaksanakan shalat magrib, aku dan Dira menatap keindahan langit di lobi hotel, sangat menyejukan dan kami begitu takjub.

🍁🍁🍁

Pagi menyapa, aku bangun dari tidur pukul 20:16 WIB. Aku menatap kesekeliling ruangan, istriku tidak berada di samping tempat tidurku. Apa yang mungkin Anda cari tentang udara segar? Mungkin saja!

Tiba-tiba, pintu terbuka. Aku mena tap ke arah pintu, betapa terkejutnya aku yang datang ternyata______

Selengkapnya bisa dibaca di aplikasi KBM App. Yuk ke kbm app. Di sana sudah tamat.

Cari dengan 👇

Judul : Istri Yang Kucampakkan Ternyata Wanita Sukses

Username : alvina_afriyanti14

"Calon suamiku tidak datang di hari pernikahan kami, karena dia harus menikahi wanita lain yang sudah mengand ung ana kn...
07/08/2025

"Calon suamiku tidak datang di hari pernikahan kami, karena dia harus menikahi wanita lain yang sudah mengand ung ana knya. Tiba-tiba muncul seorang geland angan yang mengaku ingin menikahiku, dengan memberikan mah ar uwang sebanyak satu koper."

***
# 3

Kami semua sontak menoleh bersamaan ke arah ambang pintu saat suara lantang itu terdengar memanggil namaku.

Di sana, berdiri seorang pria dengan wajah penuh peluh. Napasnya tersengal, dan matanya tampak sembab seakan baru saja berlari jauh. Tub uh kekarnya masih terbalut pakaian pengantin adat Jawa lengkap, lengkap dengan blangkon dan keris di pinggangnya. Pemandangan itu membuat dadaku terasa ses ak.

"M-Mas Yoga?"

Bibirku bergetar menyebut namanya, seolah tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini.

Aku belum sempat bereaksi lebih jauh ketika tiba-tiba ayah melangkah cepat, tatapan matanya menyala penuh am arah.

Pl ak!

Sebuah tamp aran keras mendarat di p**i Mas Yoga, disusul satu lagi.

Pl ak! Pl ak!

Suara bent uran telapak tangan ayah di p**i Mas Yoga bergema, membelah suasana yang sejak tadi sudah dipenuhi ketegangan. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam, hanya bisa menyaksikan kejadian yang tak terduga itu.

Wajah Mas Yoga tampak terkejut. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, ayah sudah mencengk eram kerah bajunya dengan kas ar, menariknya lebih dekat.

"Beraninya kau datang ke sini setelah mempermainkan putriku, hah?!" bent ak ayah dengan suara keras. Suaranya menggema hingga ke seluruh penjuru ruangan.

Mas Yoga menunduk, wajahnya puc at. "Maa fkan saya, Pak. Tol ong beri saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya." Suaranya serak, nyaris tak terdengar.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Yoga!" sahut ayah, masih dengan nada tinggi. "Kau sudah menyak iti hati Arundhati, memperm alukan keluarga kami di hadapan semua orang. Apa kau pikir kami masih ingin mendengar kebohonganmu?!"

Mas Yoga menggeleng panik, mencoba mencari celah agar bisa bicara.

"Saya mohon, Pak. Ini semua kesalahpahaman. Saya tidak bermaksud menyak iti Arundhati."

"Berhenti memb ual atau aku hanc urkan kau di sini juga!" bent ak ayah. Tangan kanannya mengepal siap melayangkan puk ulan lagi.

Di tengah ketegangan itu, Mas Yoga memaksakan diri menatapku. Mata kami bertemu, dan aku bisa melihat kepanikan serta keputusasaan di sana.

"Arundhati, dengarkan aku dulu, Sayang. Aku mohon, dengarkan aku," pintanya penuh harap.

Dadaku sesak. Kata ‘Sayang’ yang keluar dari mulutnya terasa seperti dur i yang menus uk hati. Bagaimana mungkin dia masih punya keberanian memanggilku seperti itu, setelah kabar tentang dirinya mengham ili perempuan lain tersebar ke seluruh desa?

Ayah yang semakin em osi langsung kembali melayangkan tamp aran.

Pl ak!

"Dasar baj ingan! Siapa yang memberimu hak untuk memanggil putriku seperti itu?! Pergi dari sini sebelum kau kuh ajar sampai kau lupa jalan p**ang!" anc am ayah. Suaranya benar-benar meledak-ledak.

Namun Mas Yoga tetap berdiri di tempatnya, keras kepala, menolak pergi.

"Tidak, Pak! Saya tidak akan pergi sebelum bicara dengan Arundhati!" teriaknya lantang.

Ia terus meneriakkan namaku.

"Arundhati! Arundhati! Tolong dengarkan aku, sekali saja!"

Ayah yang mulai kehabisan kesabaran langsung mengangkat tangannya, siap mem ukul lebih keras.

Aku hanya bisa diam sambil menang is. Tub uh ku gemetar menahan campuran rasa benci, sak it hati, dan sayang yang belum benar-benar sirna. Aku ingin membenci pria itu sepenuhnya. Tapi separuh hati ku masih ingin tahu alasan di balik semua pengkhia natan ini.

Tepat sebelum tangan ayah mengenai wajah Mas Yoga lagi, aku berteriak.

"Cukup, Ayah! Jangan puk ul Mas Yoga lagi!"

Suasana ruangan seketika membeku. Semua mata kini menatapku. Ayah menoleh dengan wajah penuh em osi, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.

"Arun, biarkan saja! Pria baj ingan seperti dia memang pantas diperlakukan begini. Dia bukan hanya menyak itimu, tapi juga sudah mempermal ukan nama baik keluarga kita!" balas ayah dengan em osi yang masih membara.

Ayah kembali mengangkat tangan. Aku refleks berlari ke arahnya, meraih tangan ayah, menahannya.

"Sudah cukup, Ayah. Aku mohon, jangan lakukan ini lagi," pintaku dengan suara bergetar, ai r mata terus mengalir di p**i.

Untuk sesaat ayah hanya terdiam, napasnya memburu menahan am arah. Tangannya yang terangkat perlahan-lahan ia turunkan. Tapi tatapan matanya masih men usuk taj am ke arah Mas Yoga.

Dengan enggan, ayah akhirnya melepaskan kerah baju Mas Yoga, mendorongnya sedikit ke belakang.

"Kau beruntung putriku masih punya hati. Tapi ingat, satu kata atau gerakan yang tak pantas, aku tak segan membun uhmu, Yoga!" anc am ayah sambil menunjuk wajahnya.

Mas Yoga hanya bisa menunduk. Dadanya terlihat naik turun, sebelum kemudian dia kembali menatapku dengan sorot mata yang membuat hatiku kembali terir is.

Aku tidak tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti, luk a di hati ini tak bisa sembuh begitu saja.

Aku masih berdiri di antara ayah dan Mas Yoga, di antara rasa cinta dan kebencian yang saling berbenturan. Dan aku tahu malam ini, keputusan berat harus segera diambil. Aku harus menghadapi semua ini dengan tegar. Meski rasa sakit yang kurasakan begitu dalam.

"Arundhati, dengarkan penjelasan ku dulu. Aku sama sekali tidak mencintai Namira. Semua ini hanya sebuah kesalahan, dan kekhilafan sesaat. Sungguh, hanya kau yang selalu ada di hatiku," ucap Mas Yoga terbata, dengan suara bergetar penuh harap.

Tapi ucapannya justru membuat dadaku semakin ses ak. Napas terasa berat, dan tanpa sadar aku mengepalkan tangan, berusaha meredam amar ah yang sejak tadi hampir mel edak.

"Cukup, Mas! Cukup!" seruku dengan suara meninggi, memotong kalimatnya. "Kau masih saja berani berkata seperti itu tentang perempuan yang saat ini sedang mengandung ana kmu? Apa kau tidak merasa mal u?!"

Aku benar-benar tidak habis pikir. Baru kali ini aku menyaksikan secara langsung betapa pic iknya hati seorang pria yang pernah kucintai sepenuh jiwa. Wajahnya yang dulu selalu berhasil membuatku luluh, kini justru memancing rasa jij ik yang tak terkendali. Sungguh aku mua k!

"Dengar baik-baik, Mas. Aku semakin mua k denganmu. Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan perasaan perempuan. Menjadikan mereka pelampiasan na fsu sesaat," desisku pelan tapi taj am, seakan setiap kata adalah bel ati yang kutanc apkan di dadanya.

Mas Yoga menggeleng cepat, seperti tidak terima dengan tuduhan ku barusan. Dia masih saja berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah jelas-jelas hancur.

"Tidak Sayang. Jangan bicara seperti itu. Aku tahu kau masih sangat mencintaiku, begitu p**a aku yang hanya mencintaimu. Karena itu aku sudah memutuskan, kau akan tetap menjadi yang utama. Aku ingin kau menjadi istriku, yang sah di mata agama dan negara," ucap Mas Yoga dengan begitu percaya diri kalau aku pasti akan memaa fkannya.

"Sementara Namira, dia bilang tidak masalah jika dimadu. Kalian berdua akan hidup bersamaku. Kita akan bahagia bersama," sambungnya tanpa merasa malu. Dia pikir karena cinta, aku bisa direndahkan begitu saja. Jangan mimpi!

Aku menatap pria itu lama, antara ingin tertawa dan menang is mendengar kata-kata bod oh itu keluar dari mulutnya. Hatiku benar-benar hanc ur, tapi sekaligus bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkanku dari lelaki sek eji dia.

***

Baca cerita selengkapnya hanya di aplikasi KBM-App

Judul : Mah ar Satu Koper Dari Suami Geland angan
Penulis : Richan25

Ternyata selama ini aku sudah terti pu oleh cinta suamiku sendiri. Aku kira dia tulus mencintaiku, ternyata hanya buat p...
06/08/2025

Ternyata selama ini aku sudah terti pu oleh cinta suamiku sendiri. Aku kira dia tulus mencintaiku, ternyata hanya buat pela rian saja, sampai ia hadiahkan madu untuk kehami lanku. Tapi lihat saja, aku akan balas sakit hatiku dan mengembalikannya mis kin seperti dulu.

🌷( 7) 🌷

"Apa jangan-jangan, benar kata Kak Levi. Kamu bahagia mendengar aku kegu gu ran?" tanyaku memicingkan mata.

"Tentu saja Mas sedih, Sa yang mendengar itu."

"Tapi kenapa kamu tidak menanyakan kabarku?"

"Tidak, tadi itu Mas hanya kaget saja. Kenapa Pak Baskoro bisa ada di sini," kilahnya.

"An ak kita sudah tiada, Mas. Mereka penyebabnya, mertua dan istri baru kamu yang telah menger jaiku hingga aku kegu gu ran. Aku tidak terima dengan perbuatan mereka, Mas," ungkapku.

"Tidak mungkin mereka berbuat seke jam itu padamu, mereka itu pasti mau membantu pekerjaanmu. Kamu jangan salah paham sama mereka, ya?"

Sudah kuduga, Mas Hanan pasti tidak akan percaya. Dia sendiri juga tidak menginginkanku. Bahkan dia mau mence rai kanku setelah an ak ini la hir.

"Baiklah, untuk saat ini kamu memang selalu membela mereka. Tapi suatu hari kamu akan menye sal!"

"Ngomong apa kamu ini, lebih baik kalau kamu sudah merasa baikan, kita p**ang saja. Di sini bi aya ma hal, siapa yang akan memba yar bia ya rumah sakitnya?"

Mas Hanan menyuruhku duduk, kemudian ia berusaha melepas selang infus yang ada di tanganku. Aku berusaha menghindar, walau tenagaku masih sangat lemah.

"Jangan, Mas aku belum benar-benar pulih. Pe rutku masih sa kit." Aku terus berusaha menyembunyikan tanganku, agar Mas Hanan tidak melepasnya secara paksa, pasti akan terasa sa kit sekali.

"Kamu mau jadi istri dur ha ka! cepat turun, kita p**ang sekarang?!" bent aknya.

Ya, allah baru kali ini Mas Hanan memben takku. Selama ini, ia selalu bersikap manis. Atau mungkin, karena cita- citanya untuk menikahi Indira sudah terwujud, sehingga ia tak perlu lagi pura-pura menjadi suami yang baik untukku. Ah, aku bo doh sekali, ternyata selama ini ia memang hanya memakai topeng untuk menutupi Ketidak s**aannya padaku.

Tak terasa air mata mengalir begitu saja, aku terlalu berharap bisa mendapatkan cintanya dengan tulus. Tapi ternyata, aku hanya dijadikan pela rian saja.

"Apa-apaan ini! ka sar sekali kamu sama adikku?!" seru Kak Levi begitu masuk ka mar rawatku.

"Dia ini istriku, kamu tidak usah ikut campur! Aisyah harus p**ang sekarang, kalau kelamaan di sini, siapa yang akan memba yar bia ya rumah sakitnya. Memangnya kamu mampu untuk memba yarnya, apalagi ini di ruangan V V I P, pasti ma hal bia yanya. Pekerjaan hanya sopir, berlagak memasukkan adiknya di ka mar ini, mana mampu kamu memba yarnya. Dasar mis kin!" jawab Mas Hanan.

"Ternyata seperti ini, ya, wajah asli kamu. Kasihan sekali adikku, sudah terti pu dengan cinta pal sumu."

"Kenapa memangnya? aku sudah capek berpura-pura mencintainya, sekarang aku sudah mendapatkan cinta sejatiku, dan bisa mendapatkan apa saja yang kumau, karena aku sudah memiliki ja ba tan. Memangnya kamu, sopir!" ledeknya.

"Cukup! jangan hi na Kakakku. Aku tidak mau p**ang bersama kamu, Mas. Lebih baik aku p**ang ke rumah orang tua kan dungku saja," tandasku.

"Kalau kamu tidak mau menurut padaku, aku akan mence rai kanmu, dan kamu akan hidup mis kin bersama orang tuamu. Apa kamu mau, meninggalkan rumah me wahku?" an cam nya.

"Ya, aku akan meninggalkan rumah itu, dan tak akan kembali lagi ke sana. Dari pada hidup bersama orang-orang ja hat sepertimu dan istri barumu itu," jawabku tegas.

"Baiklah, aku akan segera urus perce rai an kita. Siap-siaplah ,menjadi jan da mis kin," ucapnya sambil tersenyum sinis, dan pergi meninggalkanku.

Setelah dia pergi, tak ada lagi air mata yang tumpah, yang ada hanya keben cian dan penye salan. Kenapa dulu aku bisa terti pu dengan cintanya yang palsu. Ternyata aku bo doh sekali, tidak bisa membedakan mana yang tulus dan tidak.

"Kamu jangan sedih, kami akan selalu ada untukmu. Lela ki som b**g sepertinya, tidak pantas untuk dipertahankan, kata-katanya tadi, pasti akan berbalik ke dirinya sendiri. Istirahatlah dulu, kamu masih terlihat lemah," ucap Kak Levi.

"Iya, Kak. Tolong bantu aku, untuk segera menju al rumah itu. Aku tak rela mereka menikmati hakku, setelah menya ki tiku. Kalau rumah itu sudah terju al, aku akan segera mence rai kannya. Dia tak mungkin menggugatku terlebih dahulu, karena dia pasti tidak mau keluar u an g."

"Jangan khawatir, Kakak pasti membantumu."

***

Tiga hari di rumah sakit, rasanya sudah ingin cepat p**ang. Tapi aku p**ang ke rumah orang tuaku, mereka tulus menerimaku. Tu buhku juga sudah membaik, tapi tidak dengan hatiku. Aku kehilangan ja nin ku karena mereka, dan aku akan memba lasnya!

"Ais, ada kabar gembira buat kamu. Rumahnya, sudah ada yang mau be li, tapi orangnya mau melihat dulu. Kira-kira, kapan kita bisa ke sana?" Kata Kak Levi saat sedang makan malam bersama di rumah.

"Alhamdulillah, secepat itu ternyata, Kak? tapi, kita harus cari kesempatan agar mereka keluar rumah dulu. Kalau tidak, bisa ketahuan nanti. Tapi bagaimana caranya, ya?" Aku bingung, kalau mereka tahu aku menju al rumah itu, rencanaku pasti akan ga gal.

"Kamu tidak usah khawatir, Ais. Papa yang akan mengaturnya," ucap Papa.

"Kalau menurut Kakak, lebih cepat lebih baik," sambung Kak Levi.

"Bagaimana kalau besok saja, Papa akan menyuruh Hanan mengajak keluarganya, untuk liburan beberapa hari. Biar orang yang mau lihat rumah itu bisa leluasa," jawab Papa.

"Terima kasih ya, Pa?" ungkapku terharu.

Papa mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang. Begitupun Kak Levi, ia juga menelfon seseorang.

"Papa sudah menghubungi Hanan, ia sangat setuju Papa suruh liburan ke Bali, dan berangkatnya besok pagi," ucap Papa setelah mema tikan sambungan telepon.

"Ya, jelas setuju, semua sudah ditanggung Papa, dia nggak keluar u a ng sepe ser pun," sahut Mama sambil tersenyum.

"Kalau kamu bagaimana, Levi, orangnya sudah kamu hubungi?" tanya Papa setelah Kak Levi mema tikan ponselnya.

"Sudah, Pa. Tapi orangnya mau langsung menempati rumah itu jika deal hari itu juga," jawab Kak Levi.

"Ya sudah tidak apa-apa, besok kamu atur semuanya. Dan kamu, Ais jangan terlalu banyak pikiran dulu, utamakan kesehatanmu. Urusan ini, biar Papa dan Kakakmu yang atur, kamu tinggal terima beres saja ya, Sa yang?" ucap Papa.

Aku mengangguk dan tersenyum, merasa beruntung ternyata masih memiliki keluarga yang lengkap dan sa yang padaku. Dulu aku kira, sudah tidak memiliki keluarga, karena sejak kecil hidup di panti asuhan.

Malamnya aku tak bisa tidur, memikirkan besok bagaimana kalau orangnya tidak s**a dengan rumahku. Ah, lebih baik berpikir positif saja, semoga langsung deal.

Pagi menjelang, aku bergegas bangun dan siap-siap. Ternyata Kak Levi sudah menungguku, katanya orang itu mau lihat rumahnya pagi ini juga.

Kami meluncur menuju rumah yang mau aku ju al, ternyata orangnya juga sudah menunggu di sana. Beruntungnya lagi, Mas Hanan sekeluarga juga sudah berangkat. Jadi kami bisa leluasa.

Setelah melihat-lihat isi dalam rumah itu, alhamdulillah orangnya s**a, dan langsung deal hari itu juga, dan mulai besok, sudah mau ditempati.

Semua barang-barang milikku sudah aku kemasi, begitupun barang-barang milik Mas Hanan dan istri barunya, juga Bu Lusi. Aku menceritakan tentang Mas Hanan kepada pemilik rumah yang baru, tidak satupun kututup-tutupi, agar beliau tidak salah paham padaku.

Tiga hari kemudian...

Mas Hanan p**ang, sampai depan gerbang, ia mendapati dua orang security berjalan mendekat ke arahnya.

"Mas ini siapa, kenapa ada di rumahku. Tolong minggir ya, Mas aku mau masuk," ucap Mas Hanan, setelah turun dari mobil, dan diikuti Indira dan Bu Lusi.

"Apakah Bapak ini, Pak Hanan?" tanya salah satu security itu.

"Iya, aku Hanan. Pemilik rumah ini!" jawab Mas Hanan ang kuh.

Kedua security itu mengangguk, kemudian ke dalam mengambil beberapa kardus dan tas, berisi barang-barang mereka, dan diletakkan di luar gerbang, didepan mereka bertiga.

"Maksudnya apa ini?!" ben tak Mas Hanan pada security itu.

"Itu barang-barang kalian, silakan pergi dari sini. Rumah ini sudah dibe li oleh bos kami!" jawab security itu tegas.

"Apa!!!"

Bersambung-

***

Judul : Hadiah Madu Atas Keha milanku
Penulis : Cahaya terang
Tamat di K B M app.

Kepoin lanjutannya di sini ya

Address

Purworejo

Telephone

+6281578051081

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Dwi Lestari Zulkarnain posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Dwi Lestari Zulkarnain:

Share