
07/08/2025
"Gantikan adikmu menikah! Atau saya akan membuat lisensi dokter-mu di c a b u t dengan berbagai macam cara. Ingat! Kamu cuma a n a k yang lahir dari rahim perempuan j a l a n g yang terpaksa saya biarkan hidup!"
Dia bahkan tidak mau aku memanggilnya Ayah, dan sekarang minta aku berkorban untuk a n a k kesayangannya?
——————————
Kinan berdiri kaku di ambang ruang tamu, menatap wajah-wajah yang kini menatapnya seolah ia hanyalah pengganggu. Membuat udara di dalam ruangan terasa lebih dingin daripada udara pagi di luar sana.
Ayahnya, Gemilang, menatapnya dengan sorot mata t a j a m. Wajahnya tegas seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda, seperti seseorang yang sedang menahan a m a r a h dan juga rasa kesal kepada dirinya.
“Kinan, duduk.” Suaranya terdengar datar, tanpa nada kasih sayang sedikit pun.
Kinan melangkah pelan menuju sofa terdekat, ia merasakan tatapan m e n u s u k dari wanita yang duduk di sebelah ayahnya, Siapa lagi kalau bukan Nyonya Laras, istri sah ayahnya. Wajahnya seperti selalu, tanpa senyum dan penuh dengan k e b e n c i a n ketika melihatnya.
Arya dan Kenzo duduk di sofa utama, ekspresi mereka nyaris tak terbaca. Namun, yang lebih menarik perhatian Kinan adalah tiga orang asing yang duduk di kursi seberang. Sepertinya mereka sepasang suami-istri paruh baya dan juga ada dengan anak laki-lakinya yang seumuran dengan Arya.
Pria muda itu mengenakan setelan mahal, posturnya tegap dan aura percaya dirinya begitu kuat. Tatapannya dingin saat bertemu dengan mata Kinan, seolah sedang menilai sesuatu pada dirinya.
"Kamu pasti bertanya-tanya siapa mereka," suara ayahnya, Gemilang, kembali terdengar dengan nada dingin dan penuh otoritas. "Ini Pak Hendrawan, di sampingnya istrinya, Ibu Sinta, dan yang terakhir adalah putranya, Arga. Calon suamimu."
Kinan merasakan napasnya tercekat. Kata-kata ayahnya barusan membuatnya membeku di tempat.
"Calon suami?"
Ia menatap sosok pria bernama Arga yang duduk dengan ekspresi datar di hadapannya. Pria itu tampak tenang, namun sorot matanya t a j a m, seolah sedang menilainya dari ujung kepala hingga kaki.
Di sampingnya, Pak Hendrawan tampak m a r a h, tangannya m e n g e p a l di atas meja. Sementara istrinya, Ibu Sinta, menatap Kinan dengan ekspresi tak terbaca.
"Kamu benar-benar mempermainkan kami, Gemilang!" suara Pak Hendrawan terdengar penuh a m a r a h.
Ayah Kinan, Gemilang, tetap duduk tenang di kursinya, hanya m e n d e s a h pelan sebelum menatap tamunya dengan penuh wibawa.
"Tidak ada niatan saya untuk mempermainkan keluarga kamu, Hendrawan," ucapnya dengan nada dingin. "Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. A n a k saya, Keyla, tiba-tiba k a b u r kemarin karena dia menolak perjodohan ini."
"Dan kamu membiarkannya?" Ibu Sinta m e n y e l a dengan suara s i n i s. "Bagaimana mungkin seorang ayah membiarkan anaknya kabur dari tanggung jawabnya?"
Kinan mengalihkan pandangannya ke ayahnya. Keyla. Adik tirinya yang selama ini lebih mendapatkan tempat di hati keluarga ini dibandingkan dirinya.
Ayahnya menghela napas panjang sebelum menjawab, "Jika saja sejak awal Arga mengatakan bahwa setelah menikah, ia akan membawa Keyla pindah ke Jayamala, maka dari awal Keyla pasti akan menolak. Kamu juga tahu bagaimana situasi di sana, bukan?"
Pak Hendrawan mendecakkan lidah. "Jadi hanya karena alasan itu, Keyla lari? Bukan kah saat pengajuan nikah, Keyla sudah tahu konsekuensi menikah dengan seorang tentara?"
"A n a k saya masih muda wajar saja pikirannya masih labil. Yang pasti dia tak ingin tinggal di wilayah yang sedang dilanda p e r a n g saudara seperti itu," balas Gemilang tegas.
"Apa pun alasannya, ini benar-benar tidak bisa diterima!" suara Pak Hendrawan meninggi. "Persiapan sudah 100% rampung dan kamu malah baru memberitahukan masalah ini kepada kami subuh-subuh begini? Kamu g i l a? Mau di taruh di mana wajah kami jika pernikahan hari ini harus dibatalkan?"
"Untuk itu, kami sudah mempersiapkan penggantinya." Tiba-tiba Arya angkat bicara, nada suaranya tenang dan malah terdengar sangat dingin. "Ayah m e m u t u s k a n menggantinya dengan Kinan."
Kinan hanya bisa menundukkan kepalanya, kedua tangannya m e n g e p a l di atas p a h a nya. Tidak ada yang terkejut dengan keputusan ini di dalam keluarganya, karena memang sudah mereka rencanakan sejak awal.
Ia tahu betul posisinya di rumah ini. Ia bukan tokoh utama dalam kisah keluarganya sendiri karena ia hanya bayangan yang diingat ketika dibutuhkan. Dan hari ini, kenyataan itu kembali m e n a m p a r nya dengan k e r a s.
Tatapan t a j a m Arga masih tertuju padanya, seolah menilai apakah ia layak menggantikan Keyla atau tidak. Di sisi lain, Pak Hendrawan tampak m u r k a, matanya m e n y a l a penuh a m a r a h.
"Kamu pikir dengan menggantikannya semudah ini, masalah akan selesai, Gemilang? Kamu tahukan standar keluarga kami seperti apa? Apalagi Arga adalah a n a k semata wayang dari keluarga kami," suara Pak Hendrawan bergetar, menahan e m o s i yang hampir m e l e d a k.
Gemilang tetap duduk tenang, wajahnya tak berubah sedikit pun. “Saya tahu, namun pernikahan ini harus tetap berlangsung. Kinan atau Keyla, tidak ada bedanya. Yang penting, perjanjian kita tetap berjalan. Dan sebagai bentuk itikad baik, saya akan menyerahkan sepenuhnya proyek pembangunan resort di bukit kepada kamu, Hendrawan. Bukankah ini penawaran terbaik?”
Hendrawan tertawa sumbang, s i n i s. "Kamu kira saya akan m e n j u a l an ak saya hanya karena itu? Maaf, Gemilang, saya bukan kamu."
Gemilang menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja, lalu menatap Hendrawan dengan senyum tipis. “Oke. Kalau begitu, apakah kamu siap menghadapi s k a n d a l besar hanya karena a n a k mu gagal menikah? Pernikahan ini batal di saat-saat terakhir, mempelai wanitanya kabur, dan g o s i p b u r u k akan menyebar. Bayangkan reputasi Arga. Setelah ini, apakah masih ada wanita dari keluarga terpandang yang mau menikah dengannya?”
Hendrawan m e n g e p a l k a n tangannya, siap membalas perkataan itu, tapi gerakan spontan itu langsung dihentikan oleh Arga.
Arga menghela napas panjang sebelum akhirnya a n g k a t bicara. Suaranya tenang tapi m e n u s u k, “Baiklah, pernikahan akan tetap terjadi. Namun sebelum itu, saya ingin bertanya langsung kepada Kinan. Bagaimana menurutmu? Apa kamu setuju dengan pernikahan ini?”
Ruangan tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata kini tertuju pada Kinan.
Kinan menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa s e s a k di d a d a nya. Apakah ia setuju? Tentu saja tidak. Tapi apakah ia memiliki pilihan? Tidak.
Ia mengangkat wajahnya sedikit, menatap kosong ke depan. "Bapak Gemilang sudah memutuskan," jawabnya lirih, tanpa keberanian untuk menatap pria di depannya. "Saya sendiri tidak punya hak untuk menolak."
Sinta, ibu dari Arga, mengangkat alisnya. Ekspresinya mencerminkan ketidakpercayaan. “Sepertinya kamu tidak begitu bahagia dengan pernikahan ini, Kinan.”
Tentu saja tidak. Tapi ia tidak bisa mengatakan itu, bukan?
“Tidak ada yang peduli terhadap kebahagiaan saya…” jawab Kinan, suaranya terdengar seperti bisikan yang penuh kepasrahan.
Arga menatapnya lama, sorot matanya sulit diartikan. Kemudian, ia bersandar ke belakang, tangannya disilangkan di d a d a. “Jadi, kamu hanya akan menerima begitu saja? Tanpa protes, tanpa perlawanan?”
Kinan m e n g e p a l k a n tangannya semakin erat. “Apa gunanya melawan kalau hasilnya akan tetap sama?”
Sebuah s e r i n g a i samar muncul di wajah Arga. Ia mencond**gkan tubuhnya ke depan, menyandarkan sikunya di atas meja. “Saya tidak s**a wanita yang lemah.”
Kinan menahan napasnya. Sakit hati? Tidak. Ia sudah m a t i rasa.
“Saya juga tidak menyukai wanita yang hanya pasrah tanpa mencoba mengubah takdirnya,” lanjut Arga, suaranya terdengar seperti tantangan. “Jika kamu memang ingin menikah dengan saya, buktikan bahwa kamu pantas. Jika tidak, lebih baik pergi sekarang juga sebelum semuanya terlambat.”
Jantung Kinan berdebar. Ia tahu ini dibalik kata-kata tersebut menyiratkan berbagai macam makna dan untuk pertama kalinya, ia merasa ingin membuktikan bahwa ia tidak lemah serta sepasrah itu.
"Kamu tidak pantas menilai saya sebagai wanita lemah yang hanya bisa pasrah pada keadaan," suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena a m a r a h yang m e n d i d i h di da danya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak keras menjatuhkan air mata. Ia tidak akan membiarkan mereka melihatnya h a n c u r.
Tatapan t a j a m nya menyapu satu per satu wajah di ruangan itu. "Kamu tidak tahu perjuangan saya untuk tetap hidup sampai sekarang ini seperti apa!" teriaknya, suaranya menggema di dalam ruangan yang mendadak sunyi. Semua orang terpaku, menatapnya dengan berbagai ekspresi kaget, tidak percaya, dan bahkan rasa ji jik.
Kinan menoleh ke arah Gemilang, pria yang selama ini memegang kendali atas hidupnya, pria yang membuat dirinya hadir di dunia.
"Sebelum menikah, kalian semua pasti tidak tahu, kan, siapa saya sebenarnya?" tanyanya, menatap Hendrawan, Sinta, dan Gemilang dengan t a j a m.
"Kinan, jangan melewati batas!" t e r i a k Gemilang memperingatinya.
Kinan malah tersenyum tipis, penuh ironi. "Ada apa? Bukankah saya juga akan menikah dengan Arga? Saya rasa mereka berhak tahu kebenarannya sekarang, kan?"
"Kamu tidak malu memberitahukan a i b diri kamu sendiri kepada mereka?" Laras, istri sah Gemilang, malah m e n a n t a n g Kinan, bukannya terkejut atau panik.
Kinan m e n d e n g u s, seolah mendengar lelucon konyol. "Kenapa saya harus malu? Bukankah yang harus malu itu adalah suami Nyonya?" jawabnya, menatap Laras dengan senyum manis yang penuh e j e k a n.
"Ada apa ini? Cepat katakan kepada kami!" Hendrawan mulai tidak sabar, rasa penasarannya semakin memuncak.
Kinan menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Jadi, sebenarnya saya bukan a n a k pungut seperti yang mereka katakan kepada orang-orang."
Ia berhenti sejenak, membiarkan mereka menunggu dengan tegang.
"Saya bisa dibilang a n a k kandung Bapak Gemilang."
Ruangan mendadak terasa lebih dingin.
Seseorang tersenyum miring di sudut ruangan. "Lebih tepatnya, a n a k h a r a m yang lahir dari h u b u n g a n gelap Ayah," koreksi Arya, saudara tirinya.
Kinan tertawa kecil, mengangguk. "Yap, benar sekali. Saya an ak har am itu. Saya tak memiliki nasab, namun saya jelas hadir ke dunia ini gara-gara bapak Gemilang."
Seketika, ruangan penuh dengan keheningan. Hendrawan, Arga dan Sinta memandang Gemilang dengan berbagai ekspresi.
Gemilang tetap duduk diam, wajahnya kaku seperti batu, namun matanya menatap Kinan dengan t a j a m.
Tapi Kinan tidak peduli. Ia menatap semua orang dengan sorot mata yang penuh kepedihan dan a m a r a h yang selama ini ia simpan sendiri.
"Saya dilahirkan dari r a h i m seorang wanita p e n g h i b u r. Dan setelah saya hadir ke dunia, wanita itu membuang saya kepada laki-laki ini." Ia mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke arah Gemilang.
"Kalian kira hidup saya bahagia setelah itu? Tidak. Saya hidup hanya karena saya tidak bisa m a t i. Sebab saya tahu, pergi dengan cara mendahului takdir itu benar-benar tindakan bodoh."
Udara dalam ruangan terasa semakin berat. Tak ada yang berani membuka suara.
"Kalian tahu sampai saat ini, saya menerima c a c i m a k i oleh orang-orang di dalam keluarga ini. Baik secara fisik maupun m e n t a l, saya sudah diuji. Saya dipandang rendah, dijadikan bayangan, tidak pernah dianggap ada kecuali saat dibutuhkan. Dan sekarang, saya diminta menikah hanya karena a n a k emas di keluarga ini kabur dari tanggung jawabnya. Kalian pikir saya tidak melakukan perlawanan?"
Kinan menatap mereka satu per satu.
"Saya sudah melawan, tapi apa hasilnya? Saya masih tetap kalah." Jeda sebentar, "ironis bukan? Bahkan a n j i n g pun bisa memilih tuannya, tapi kenapa saya tidak memiliki hak untuk memilih pilihan saya sendiri.
Sinta yang mendengar itu menghela napas panjang, menundukkan kepala. Laras terlihat sedikit gelisah, sementara Hendrawan masih memasang ekspresi terkejut.
Namun, di tengah keheningan itu, Arga akhirnya bersuara.
"Kalau begitu, kenapa kamu tetap bertahan sampai sejauh ini?" tanyanya pelan, tetapi suaranya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.
Kinan menoleh padanya, menatapnya dalam-dalam.
"Karena sejak lahir, saya tidak pernah diberi pilihan untuk pergi."
**********
Judul: Suamiku, Tentara Dingin!
Penulis: Istri_V
L i n k ceritanya ada di kolom komentar 👇