
19/09/2025
Di kantor, jangan ada yang tahu kita ini suami-istri. Kamu dianggap karyawan dan aku atasanmu. Tidak ada perilaku khusus untukmu. Paham?
Heran, kenapa dia kayak keba karan jenggot saat pria lain mendekatiku? Apa dia cembu ru?
***
Seharusnya ini hari terbahagia dalam hidupku. Hari di mana aku resmi menjadi istrinya. Tapi sejak pagi, dari akad sampai resepsi, Gilang tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. Tidak ada senyuman dan tidak ada kata-kata manis.
“Dasimu agak miring, Mas. Aku perbaiki, ya?”
Tanganku ditepis. "Tidak perlu. Jangan sok peduli."
Perih, kata-katanya seperti dvri. Tapi aku diam. Aku menggenggam buket bunga ini erat-erat, menahan semua yang ingin tumpah. Sementara dia? Dia lebih banyak senyum dengan layar ponselnya. Entah dengan siapa dia bertukar pesan.
Setelah resepsi, kami menginap di ho tel. Katanya supaya bisa menikmati ma lam per ta ma. Nyatanya? Tidak ada yang indah dari malam ini.
“Mas, keluargamu baik sekali. Mereka ramah sama aku,” kataku, berusaha memecah dinginnya udara.
"Nggak usah baper. Mereka cuma menjalankan kewajiban."
Aku terdiam. Dia melepas jasnya, lalu menatapku tak s**a.
“Pernikahan ini cuma kesepakatan. Jangan pernah berpikir kamu bisa jadi bagian dari hidupku.”
Hatiku run tuh. “Mas, kita, kan, sudah saling kenal dari kecil.”
“Kamu kenal aku, tapi aku tidak pernah mengenalmu. Bagiku, kamu penghalang. Ingat itu.”
Aku tertawa kecil, menutupi re tak yang semakin dalam.
"Sebetulnya Mas beruntung mendapatkan aku. Lihat nih, aku cantik, pintar ...."
Dia menatapku dengan si nis. "Kau terlalu percaya diri. Dengar, jangan bo dohi diri sendiri. Aku nggak akan pernah mencintaimu."
Kata-kata itu menghantamku, tapi aku masih berusaha berdiri tegak. Beberapa menit kemudian dia berdiri di depanku.
"Jangan berharap banyak dariku. Jangan pernah menaruh perasaan padaku. Dan jangan campuri urusan pribadiku, atau kamu akan menyesal."
Lalu dia mengambil ponselnya dan hendak keluar kamar.
“Mas, mau ke mana? Ini malam per ta ma kita.”
“Bukan urusanmu.” Pintu tertutup ke ras.
Aku terduduk yang ditemani oleh kesunyian. Hanya suara jam dinding menemani dan air mataku akhirnya jatuh. Ma lam per tama yang kuimpikan jadi awal kebahagiaan, ternyata hanya mimpi buruk.
Aku menatap pintu itu lama sekali, lalu berbisik pada diriku sendiri.
"Aku akan bertahan. Entah bagaimana caranya, aku akan membuat Mas Gilang jatuh cinta padaku. Membuat hidupmu hampa tanpa aku."
***
Tiga hari setelah pernikahan, dan Mas Gilang te ga mengu sirku dari ka mar.
“Malam ini kamu pindah ke ka mar tamu,” kata Gilang ke tus
Aku yang masih mengeringkan rambut cuma diam sebentar. Rasanya ingin ma rah kalimat yang terkesan tak menginginkanku, tapi aku malah tersenyum.
“Takut aku ngorok, Mas?” godaku.
“Aku serius, Ginela. Mulai malam ini kita ti dur terpisah. Titik.”
Kalimat itu seperti badai yang menyakitkan, tetapi aku masih berusaha menertawakan suasana.
“Baru tiga hari menikah, Mas. Orang tua kita bisa ke cewa kalau tahu. Gini deh, aku akan ti dur jauh-jauh darimu. Di paling pojok, kalau kamu mau."
“Cukup, Ginela. Jangan bikin aku mu'ak. Kalau kamu nggak pindah, aku yang akan mindahin barang-barangmu.”
Nyaliku menciut, tetapi aku tidak mau terlihat kalah.
“Baiklah, Mas Gilang Sayang. Kamu menang,” jawabku sambil tersenyum, walau da'daku mulai sesak.
Sebelum keluar ka mar, aku sempat membalikan badan dan menggodanya, “Kalau nanti malam kangen, jangan ragu ketuk pintu kamarku.”
Di ruang tengah, Nayla, adik Gilang langsung panik saat tahu aku diusir.
“Bang, apa-apaan ini? Dia istrimu! Kalian baru tiga hari menikah, masa harus begini!”
Gilang hanya menatap dengan tatapan acuh tak acuh.
“Ini rumah tanggaku. Bukan urusanmu. Kalau kamu ikut campur, aku berhenti biayai hidupmu.”
Nayla ma rah dan berusaha membelaku habis-habisan. Tapi aku menghentikannya agar semuanya tak makin runyam.
“Nayla, biar aku yang hadapi. Ini ru mah tangga kami.”
Padahal dalam hati, aku ingin sekali berteriak. "Kenapa suamiku sendiri memperlak*kan aku seperti ini?"
Malamnya, setelah aku memindahkan barang ke ka mar tamu, Gilang memanggilku lagi.
“Mulai besok kamu kerja di kantorku,” katanya tanpa basa-basi.
Aku sempat kaget, sekaligus senang. “Benar, Mas? Wah, berarti kita bisa sering ketemu d**g di kantor.”
"Nggak usah baper, ini semua karena keinginan Papa mama."
Senyumku perlahan memudar. Jadi itu alasannya? Bukan karena ingin bekerja bersamaku, tapi karena perintah orang tua.
“Tapi ada syarat. Tidak ada yang boleh tahu kalau kamu istriku. Di kantor, kamu hanya karyawan biasa dan aku atasanmu. Tidak ada perilaku khusus dariku dan jangan ganggu urusanku di sana."
Aku terpak sa mengangguk. “Baik, Mas. Aku sanggup.”
“Bagus.”
Sebelum pergi, aku mendekat dan ingin tahu batasan antara hu bu ngan kita di kantor. Agar kelak tidak ada salah paham.
“Kalau di kantor aku karyawan biasa, apa kalau ketemu di lift aku harus bilang ‘permisi, Pak Bos’?” godaku.
Dia menatapku tak s**a. “Ginela, aku serius. Jangan bercanda.”
Aku tersenyum. “Aku juga serius, Mas. Aku hanya ingin tahu batasan kita di sana.”
"Oke, kamu nggak usah berlebihan, bersikap sewajarnya saja."
Saat hendak keluar ka mar, aku menoleh sebentar, lalu menutup pintu, menahan napas panjang, sambil berkata dalam hati
"Baiklah, Mas Gilang. Kalau kau ingin aku jadi orang asing di hidupmu, aku akan jadi orang asing yang paling kau sesali, yang pernah kau abaikan."
Baca selengkapnya di kbm app
Judul GILANG (BERSAMA TANPA RASA)
Penulis : Herlina Teddy