21/03/2024
IBU PALSU MAHAMERU by Adinasya Mahila
-
-
-
PART 1
“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”
Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.
Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.
“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.
“Sab!”
“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya.
“Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.
“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, setelah itu kamu bisa kembali ke PG Group mengembalikan mobil dan p**ang,” ujar Gama panjang lebar.
“Ja-ja-jadi saya bisa p**ang sebelum jam lima sore Pak?”
Sabrina sedikit terkejut dengan perkataan Gama, ini jelas sangat menguntungkan baginya. Jika bisa p**ang lebih cepat dari pekerja yang lain, dia bisa membuka jasa les bela diri atau sekadar membantu bekerja di cucian mobil milik ibunya.
“Em … ya … begitu,” jawab Gama ragu-ragu. Sedetik kemudian dia kaget karena Sabrina menyambar kunci mobil dari tangannya dan langsung merubah posisi berdirinya dengan tagap bak polisi militer.
“Silahkan Pak! saya akan mengantar Anda dengan selamat sejahtera dan sentosa sampai ke gedung PG Group.” Sabrina memiringkan badan, tangan kanannya terulur seolah di depan Gama sudah tergelar karpet merah yang siap menjadi pijakan pria itu.
Tingkah Sabrina ini jelas mengundang tawa Gama. Pria yang terkenal baik dan berhati lembut itu pun tersenyum dan bahkan sengaja melangkah dengan tegap untuk membalas perlakuan sang asisten.
“Aku menyukaimu,” puji Gama. Dia jelas menyukai Sabrina karena perilaku yang sopan dan hormat dari gadis itu bukan yang lain.
“Terima kasih Pak, saya juga menyukai Anda,” jawab Sabrina dan hanya dibalas Gama dengan senyuman. Keduanya berjalan keluar dari gedung SIGN Agensi menuju tempat kerja kedua Gama.
_
_
Setibanya di PG group Sabrina bertemu dengan sekretaris Gama, seorang pria yang membuatnya tiba-tiba saja meleyot karena ketampanannya bak aktor korea bernama Cha Eun Woo. Sabrina pun tak bisa menyembunyikan rasa girangnya. Dari pada berpikir seperti sang ibu yang berharap dia akan berjodoh dengan Gama, lebih baik dia mendekati sekretaris pria itu. Namun, siapa sangka saat buka suara, Sabrina langsung bergidik ngeri. Kuduknya berdiri karena suara sekretaris Gama yang bernama Leo itu bak kucing terjepit pintu.
“Yah … lekong,” gumam Sabrina dalam hati. Ia pun nyengir sebelum duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.
Hanya Gama saja lah di perusahaan itu yang memiliki dua orang yang mengurus jadwal pekerjaannya seperti ini, selain kehidupan pribadinya yang memang lain dari pada yang lain, pekerjaan pria itu pun berbeda dari orang pada umumnya.
Sabrina juga diharuskan berkoordinasi dengan Leo yang kini sudah berdiri di depan mejanya dengan tangan memegang sebuah berkas.
“Ini jadwal yang sudah aku susun selama satu bulan untuk Pak Gama, kamu harus bisa menyesuaikannya. Ingat Sabsab! Pekerjaan Pak Gama sebagai model itu hanya sampingan, pekerjaan dia yang sebenarnya adalah di sini, di PG Group,” ucap Leo penuh penekanan.
Sabrina memilih mendengarkan saja saat Leo memerintahnya seperti itu, sebagai anak baru yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah mengikuti perintah senior, tapi bukan Sabrina namanya jika tidak bawel.
“Apa pekerjaanku menjemput anak Pak Gama juga bisa dikatakan sampingan? Atau tambahan? bukankah pekerjaan utamaku menjadi asisten? aku akan berbicara ke Pak Gama untuk membagi tugas kita menjemput anaknya, bagaimana?”
Leo menekuk bibir, pria gemulai itu langsung menggebrak meja dan menatap tajam Sabrina yang sudah memundurkan kepala karena kaget. Tangan gadis itu sudah berada di depan dada, dia tak berani menatap mata Leo karena sepertinya pria itu tidak s**a dengan usulnya barusan.
“Jangan libatkan aku jika berurusan dengan Mahameru – anak Pak Gama,” kata Leo.
“Ke-ke-kenapa? apa ada masalah?” tanya Sabrina. Perlahan dia menegakkan punggung saat menyadari Leo sudah menjauhkan badan dari mejanya. Leo yang tak langsung menjawab membuat Sabrina penasaran dan berjalan mengejar pria itu sampai ke meja yang berada di seberangnya.
“Katakan padaku Leonardo Dekaprio! Kenapa kamu tidak ingin berurusan dengan bocah itu?”
Leo memutar bola matanya malas, sebelum membuang napas kasar. “Itu karena …. “
*
Tepat pukul tiga sore Sabrina sudah berdiri di depan sebuah gedung sekolah ternama. Suasana di sana cukup ramai, banyak mobil yang terparkir dan beberapa pria berseragam nampak sedang berbincang.
Sekolah anak-anak kalangan atas memang beda begitu pikir Sabrina, di sana dia sama sekali tidak menemukan mobil merek Alpansa seperti yang ingin dia kredit ke Mas Dodot. Kebanyakan mobil buatan Eropa, bahkan dia melihat ada mobil mirip tank tempur di sana.
Sabrina memandang foto Maha yang dikirimkan Gama ke aplikasi berbalas pesan miliknya, jika dilihat wajah anak itu sangat imut dan menggemaskan, tapi Sabrina agak takut juga mengingat ucapan Leo padanya beberapa jam yang lalu.
“Itu karena dia pernah beberapa kali hampir membuatku masuk UGD. Pertama, dia kabur saat aku menjemputnya dan aku hampir saja tertabrak mobil. Kedua, dia berpura-pura ingin p**is dan malah mengunciku di dalam kamar mandi sampai asmaku kambuh. Ketiga, dia meneriaki aku penculik sampai aku hampir dipukuli oleh orang-orang. Anak itu monster, jangan tertipu wajahnya yang imut.”
Sabrina membenarkan letak tali tasnya yang ada di depan dada setelah memasukkan ponsel. Ia melihat anak-anak satu persatu mulai keluar dan mendekat ke arah sopir dan orang tua yang menjemput mereka. Kepala gadis itu nampak menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari anak sang atasan. Tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Sabrina dia akan melakukan pekerjaan seperti ini. Hingga setelah beberapa menit, bibirnya memulas senyum melihat sosok bocah yang dia cari sejak tadi.
Namun, ada yang berbeda dari penampilan anak itu dari teman-temannya. Jika semua anak terlihat rapi dengan dasi dan rompi seragam. Maha nampak acak-acakan, dasinya berada di tangan sedangkan kerah bajunya sudah setengah tegak. Anak itu berjalan sambil mengentak-hentakkan kaki digandeng sang guru, tak lama seorang anak yang juga digandeng guru lain melepaskan gandengan. Anak itu berlari mendahuli Maha sambil menangis dan langsung memeluk ibunya.
Sabrina dengan jelas mendengar anak itu berkata baru saja dipukul oleh Maha. Namun, dia tak ambil pusing dan memilih menyapa putra atasannya itu dengan ramah.
“Maha, ayo p**ang! kakak a …. Aduh!”
Sabrina tercekat, dia memegang bagian belakang rambutnya yang terasa ditarik dengan kasar.
*
PART 2
“Apa asisten Anda baru lagi, Pak?”
Pertanyaan bik Mun dijawab Gama dengan anggukan kepala. Pria yang baru saja p**ang dan sedang duduk melepas sepatunya itu mengerutkan kening. Setelahnya Gama balas melempar pertanyaan ke bik Mun sambil meletakkan sepatu ke rak dan berjalan masuk.
“Bukankah aku sudah memberitahu Bibi? aku sudah mengirim pesan.”
“Kuota saya habis Pak. Belum beli.” Bik Mun tertawa aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Mendapati sang majikan bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, Bik Mun pun menceritakan bagaimana kondisi asistennya saat mengantar p**ang Maha tadi. Bak pembawa acara gosip, wanita itu menjelaskan penampilan Sabrina yang begitu acak-acakan. Menurut cerita yang dia dapat dari Maha, gadis itu terlibat perkelahian dengan ibu dari teman sang putra yang tiba-tiba saja menarik rambut dan menamparnya. Bik Mun bahkan memperagakan beberapa adegan yang ceritanya dia dapat dari bocah itu.
“Mereka sampai dipisah oleh dua satpam, dua guru dan beberapa orangtua murid lain yang kebetulan menjemput,”ucap Bik Mun dengan sangat menggebu.
“Apa?”
Gama tak percaya. Ia memang tidak bertemu Sabrina lagi setelah gadis itu menjemput Maha. Sabrina memilih menitipkan kunci mobil ke satpam yang berjaga di lobi gedung PG Group, lantas berpamitan via aplikasi berbalas pesan kepadanya.
“Rambutnya berantakan saya bahkan menawarkan sisir tapi dia tidak mau, cuma itu saja sih Pak, selebihnya dia tidak kenapa-napa kok.”
“Apa?"
Mulut Gama menganga lebar. Tak bisa dia bayangkan bagaimana mungkin Sabrina tidak terluka jika terlibat perkelahian yang lumayan brutal seperti cerita bik Mun barusan. Gama yakin gadis itu pasti mendapatkan memar di beberapa bagian tubuh.
“Enggak Pak, orang mas Maha bilang dia cuma sekali kena tampar setelahnya dia mengunci tangan wanita yang menjambak rambutnya itu, dipelintir, dipanggul kek karung beras lalu hampir dibanting. Untung dicegah banyak orang.”
Bibir Gama kelu, dia sampai menggelengkan kepala agar sadar karena ucapan pembantu sekaligus pengasuh putranya itu sedikit tidak masuk akal.
“Lalu di mana Maha?” tanyanya sambil menaiki anak tangga. Padahal Gama sudah tahu kebiasaan putranya setiap dia p**ang kantor pasti sedang menonton kartun di kamar.
“Biasa Pak, sedang nonton Kidi and Pret.”
“Maha!” panggil Gama dengan suara lantang. Ia yakin pasti ada alasan kuat yang mendasari ibu dari teman putranya itu marah, sampai menarik rambut dan berkelahi dengan asisten barunya.
“Apa yang kamu lakukan sampai mama temanmu memukul asisten Papa?”
Mendengar suara papanya, Maha yang awalnya duduk di atas ranjang menonton langsung berguling dan bersembunyi di dalam selimut. Anak itu memiringkan badan berpura-pura tidak mendengar panggilan dari sang papa.
Gama membuang napas kasar sesaat setelah membuka pintu, begitu juga dengan bik Mun yang melongok dari belakang punggungnya untuk melihat apa yang sedang dilakukan Maha sekarang. Bik Mun memilih berpamitan meninggalkan pasangan ayah dan anak itu. Lagi p**a seperti perjanjian, pekerjaannya selesai saat Gama p**ang.
“Maha!” panggil Gama lagi. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang di seberang putranya berbaring. Pria itu memukul lembut pantat Maha sambil bertanya lagi. “Apa kamu berkelahi lagi? kenapa bisa? dengan siapa lagi kali ini?”
Maha bergeming. Bocah itu seolah sedang melakukan gerakan tutup mulut yang sukses membuat Gama mengusap muka lalu menyugar rambut.
“Maha, sudah berapa kali Papa bilang bertengkar itu perbuatan jelek. Apa lagi kamu membuat asisten baru Papa dijambak oleh mama temanmu.”
“Dia hanya dijambak sekali,” jawab Maha.
Bocah itu akhirnya mau membalikkan badan dan menjawab Gama. Ia seolah tidak terima jika papanya menganggap yang terjadi pada Sabrina sangat buruk .
“Apa maksudmu?” kening Gama sudah berkerut. “Bangun! ceritakan ke Papa,” titahnya.
“Wanita itu, dia dijambak sekali tapi membalas lebih dari dua kali,” celoteh Maha. “Papa, dia kuat. Dia bahkan membuat pak satpam terjengkang.”
“Hah … apa? di-di-dia membuat apa?” Gama terbata-bata, dia bahkan memiringkan kepala menunjukkan telinganya ke arah Maha karena tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh putranya.
“Aku marah ke Kenzo, dia bilang saat acara hari ibu kenapa papa yang datang bukan mama. Lalu saat hari ayah kenapa papa lagi yang datang. Dia mengataiku sungokong yang lahir dari batu karena tidak punya ibu. Aku bahkan tidak tahu apa itu sungokong, apa dia sejenis singkong?” tanya Maha dengan polosnya.
Gama pun bingung harus merespon apa, rasanya antara ingin tertawa atau menangis, hingga dia memilih meraih tubuh Maha dan mendudukkan bocah itu ke pangkuan.
“Lalu kamu apakan Kenzo, hem ...” Gama menyelam jauh ke dua bola mata bening milik Maha, mata polos yang membuatnya tak pernah tega untuk membentak.
“Aku hanya mendorong lalu memukulnya, dia menarik dasiku lalu aku gigit tangannya. Dia menangis tapi aku tidak,” jawab Maha jemawa, seolah siapa yang tidak menangis adalah pemenangnya.
“Maha, kamu tahu ‘kan gara-gara itu mama Kenzo salah sasaran dan marah ke asisten baru Papa? Apa kamu tidak kasihan ke …. “ Gama menjeda kata, dia bingung haruskah memakai kata ‘kak’ atau ‘tante’ untuk menyebut Sabrina.
“Ke … ke wanita Hercules itu?” sambung Maha.
“Hah …. Apa?” Gama cengo, dia bingung dari mana sang putra bisa mendapatkan kata Hercules untuk menyebut Sabrina.
_
_
Di sisi lain, wanita yang menjadi obyek pembicaraan ayah dan anak itu memilih mengurung diri di kamar setelah sampai di rumah. Sabrina benar-benar takut jika sampai wanita yang hampir dia banting sore tadi melaporkannya dengan tuduhan tindak penganiayaan. Gadis itu meringkuk di bawah selimut meski jam masih menunjukkan pukul enam sore. Beruntung ibunya sedang ada arisan dan dilanjut pengajian rutin bulanan, jika tidak dia pasti sudah habis diwawancara bak artis ternama yang baru saja terlibat skandal perselingkuhan.
“Beraninya anakmu memukul anakku?”
Teriakan wanita itu terngiang di telinga Sabrina. Bagaimana bisa dirinya yang masih sangat muda dikira ibunda Maha. Apa mukanya begitu boros dan terlihat tua? Sabrina menggeleng lalu menendang selimut sampai teronggok ke lantai. Gadis itu bangun dan bergegas duduk di depan meja riasnya, dia menolehkan muka ke kiri dan kanan untuk memastikan tanda-tanda penuaan di wajah bak iklan produk kecantikan di televisi.
“Tidak, aku belum keriput. Aku masih dua puluh empat tahun. Sial! wanita itu perlu pakai kacamata kuda sepertinya,” gerutu Sabrina. Ia menepuk kulit p**i secara bergantian bak baru saja memoleskan serum.
Tak berselang lama ponsel Sabrina yang berada di atas nakas pun berbunyi. Dia menoleh berpikir bahwa panggilan itu mungkin saja dari debt collector pinjol yang salah alamat atau penipuan iseng berhadiah miliaran rupiah, tapi karena terus menerus berdering akhirnya Sabrina mendekat untuk melihat siapa yang melakukan panggilan. Gadis itu kaget, matanya membola melihat nama Gama pada layarnya. Sabrina mengerjab bahkan sampai menggosok mata, dia ketakutan berpikir jangan-jangan memang sudah dilaporkan oleh ibu dari teman Maha ke polisi.
Meski ragu perlahan Sabrina menggeser tanda hijau di layar, dia tempelkan benda p**ih itu ke telinga dan berujar dengan nada suara yang meresahkan indera pendengaran seorang Lintang Gutama.
“A …. Ah …. pak Gama!”
*
PART 3
“Kamu rapi banget, apa mungkin kemarin kamu salah kostum dan dimarahi bosmu?”
Mirna memindai penampilan putrinya pagi itu. Sabrina yang belum menceritakan peristiwa perkelahian akibat ulah anak sang atasan hanya bisa mencebik lalu duduk. Ia mengangkat piring dan langsung mengambil satu centong penuh nasi. Namun, Sabrina kaget karena Mirna malah menahan tangannya. Wanita yang melahirkannya itu mengambil alih centong nasi sambil geleng-geleng. Alih-alih menambah porsi nasi di piring Sabrina, Mirna malah mengembalikan separuh nasi itu lalu mengingatkan putrinya untuk diet.
“Jaga penampilan kamu, kamu itu kerja di agensi model.”
“Ya ‘kan cuma kerja Bu, bukannya aku modelnya.” Sabrina merajuk, dia pandangi nasi dipiringnya yang tinggal sedikit, tapi tak mengapa melihat telur dadar dia langsung mengambil dua. Terang saja Murni langsung memukul tangannya dengan centong nasi yang masih dipegang.
“Iya tapi kamu setiap hari ketemu model, bosmu saja model, kamu mau kontrakmu nggak diperpanjang karena penampilanmu yang tidak meyakinkan?” Murni mengambil satu telur dari piring Sabrina dan meletakkannya ke tempat semula.
“Lagian kita cuma berdua. Ibu ngedadar telur tiga, kalau yang dua bukan buat aku terus buat siapa?” amuk Sabrina.
“Buat Ibu lah.”
Kicep, Sabrina membuang muka karena kesal, bibirnya sudah maju mundur karena tidak bisa membalas ucapan Mirna. Ia pun memilih untuk tak berdebat lagi dan mulai sarapan dengan tenang.
“Ini kamu makan sayur togenya aja yang banyak biar subur. Ingat Sab, kamu sudah dua puluh empat tahun, buruan cari pacar! Liat anaknya pak RT si Nurleli udah punya dua buntut.” Murni mulai membandingkan kehidupan pribadi sang putri, hal yang paling tidak dis**ai oleh Sabrina tapi juga tidak bisa dihindari.
“Aku akan cari pria yang sudah berbuntut, jadi nanti tak lama saat aku menikah dengannya aku langsung punya dua buntut,” ucap Sabrina sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut.
“Hati-hati ngomong kalau ada malaikat lewat!”
Murni memberi peringatan tapi Sabrina tak peduli, sebenarnya pagi itu dia ingin sarapan banyak untuk mengisi tenaga. Semalam saat menelpon, Gama bertanya banyak soal peristiwa perkelahiannya dengan ibu dari teman Maha. Ia sudah lega karena sepertinya belum ada laporan terhadapnya. Namun, subuh tadi Sabrina dikagetkan dengan pesan yang dikirimkan oleh Gama. Atasannya itu memintanya ikut ke sekolah sang putra.
“Doakan Sab ya Bu,” ujar Sabrina.
Padahal tadi dia sempat kesal pada Mirna. Namun, tetap saja sebagai anak dia merasa butuh doa sang ibunda, agar apa yang akan dilaluinya lancar hari ini. Ia takut jika akan dijadikan tersangka. Semalam Sabrina mencoba mencari informasi di gulugulu tentang sekolah di mana anak atasannya menimba ilmu. Tak main-main, biaya pendidikan di sana pertahun hampir empat ratus juta rupiah. Jiwa missqueen Sabrina meronta-ronta. Gadis itu berpikir sampai kambing bisa terbang pun dia tidak akan bisa menyekolahkan anaknya di sana.
“Ampun deh Sab, kamu kayak mau pergi wajib militer aja. Kayak drama yang ibu tonton streaming kemarin, mana akhirnya ditembak sama temannya dan dikubur hidup-hidup,” ucap Mirna sambil membuka gerbang rumah dan mengeluarkan papan bertuliskan ‘cucian buka’. Halaman rumah mereka memang sangat besar, maka dari itu Mirna dan almarhum suaminya memilih membuka bisnis cucian mobil, terlebih rumah itu berada di pinggir jalan raya dan dekat pasar.
Sabrina semakin takut. Bukan membuatnya bersemangat, Mirna malah semakin mengecilkan hatinya. Gadis itu berjalan menuju tempat pemberhentian bus sambil memikirkan cara yang baik dan benar untuk memberitahu mas Dodot, bahwa dia tidak jadi mengambil mobil.
*
“Maaf ya merepotkan, tapi kepala sekolah Maha meminta aku datang bersamamu.” Gama menoleh Sabrina yang duduk tepat di sebelahnya, di matanya gadis itu sangat tegang.
“Tidak masalah Pak,” ujar Sabrina yang malah sungkan karena sang atasan memilih untuk mengendarai mobil sendiri. Ia sudah meminta kunci mobil SUV mewah milik Gama, tapi ditolak mentah-mentah tadi.
“Apa kamu benar tidak terluka? Katakan saja jika memang ada yang sakit, kamu bisa ke rumah sakit dan tidak perlu memikirkan biayanya, aku akan …. “
Sabrina menggeleng, dia benar-benar merasa Gama terlalu baik. Pembawaan pria itu yang tenang dan santun membuat dirinya berpikir harus lebih berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai dia lepas kendali dan berubah menjadi Reog. Mulutnya memang terkadang tidak bisa terfilter jika sudah keasyikan bicara. Sungguh, berdekatan dengan Gama membuat Sabrina berubah menjadi sosok kalem.
“Ayo!” Gama menoleh, dia heran karena Sabrina berjalan sangat pelan saat hendak masuk ke gedung sekolah Maha.
“Pak, nanti saya harus bilang apa kalau ditanya, sa-sa-saya takut salah ucap.” Gadis si ahli bela diri itu gentar, tangannya bertaut di depan badan. Bibirnya mengatup dan wajah Sabrina berubah sedikit pucat.
“Bicara saja apa adanya soal kejadian kemarin.”
“Ja-jadi saya juga harus bilang kalau saya pelintir tangannya?” Sabrina memasang mimik muka hampir menangis, dia benar-benar merasa riwayatnya akan tamat sebentar lagi.
_
_
Sabrina hanya bisa menunduk saat mendapati wanita yang dia jambak kemarin ternyata juga sudah berada di sana. Ia tidak berani mendongakkan kepala karena terlalu ngeri. Wanita itu datang bersama seorang pria yang Sabrina duga pasti adalah pengacara. Dia hanya mendengarkan saja orang-orang yang ada di sana bergantian berbicara. Dan benar saja pria yang bersama ibunda teman Maha ingin melaporkan dirinya ke polisi atas dugaan tindak penganiayaan.
“Anda mau melaporkan dia?” Gama tersenyum menghina, dia tatap kepala sekolah dengan sorot mata mengancam.
“Kalau begitu bagaimana dengan tindak pembulian yang dilakukan ke putra saya.” Gama beralih menatap wanita sombong ibu teman Maha dan berhasil membuat wanita itu memalingkan muka.
“Putranya mengatai anak saya tidak punya ibu, lahir dari batu seperti sungokong, bukankah itu artinya Maha disamakan dengan monyet? Saya pikir pertemuan ini untuk mendamaikan kami, tapi ternyata ada pengacara, jika seperti ini saya pasti akan membawa pengacara saya Pak Rudi Tabuti ke sini.”
Gama tiba-tiba memegang pergelangan tangan Sabrina dan membuat asistennya itu kaget. “ Anda bilang luka memar ‘kan? lalu bagaimana dengan ini?” Gama menunjukkan tangan Sabrina ke semua orang yang ada di sana.
Sabrina mengerjab, dia tidak menyangka bahwa Gama bisa melihat luka lecet bekas cakaran wanita itu di tangannya. Meski tidak dalam tapi memang sedikit meninggalkan bekas merah.
“Silahkan laporkan dan lihat apa yang akan saya lakukan,” ancam Gama. Menguap sudah sosoknya yang tenang, kalem dan tak banyak bicara. Di mata Sabrina, pria itu kini nampak keren dan sungguh berwibawa.
Kepala sekolah pun menggerakkan kedua tangan, wanita berbadan gempal dan berkacamata itu membuat tanda menolak atas apa yang baru saja Gama ucapkan, dia tidak bisa membiarkan hal ini sampai terjadi di sekolah yang dia pimpin. Selain menjaga reputasi sekolah, Gama adalah salah satu donatur terbesar yang sekolahnya miliki. Berbeda dengan orangtua Kenzo yang kaya tapi pelit.
“Siapa sih wanita ini sampai Anda membela mati-matian, melihat dari penampilannya dia pasti pengasuh putra Anda?” hina ibunda Kenzo.
Namun, tak mereka sangka di saat yang bersamaan Kenzo dan Maha sudah masuk bersama guru mereka. Putra Gama itu tiba-tiba saja berlari dan langsung menghambur ke arah Sabrina. Maha memeluk pinggang gadis yang duduk di samping papanya itu posesif.
“Mama!”
-
-
Onty onlen : Pintar kamu nakkkk pintar
Gama : Mlongo tak percaya
BACA LANJUTANNYA DI KBM APP
https://read.kbm.id/book/detail/838e5c3d-d725-42f2-8077-224e05c680e7