14/02/2025
Apa yang telah kulakukan? Aku mendadak begitu berani melawan Tuan Aeril. Namun, sepenuhnya ini adalah salahku yang sudah melibatkan dirinya dalam masalahku. Aku terus berjalan, kulepas heelsku agar mudah berjalan.
Suara gerung mobil kemudian terdengar nyaring di belakang, aku terus melangkah sampai tiba tiba kendaraan miliknya datang lalu menghadang. Lelaki itu turun, dia membukakan pintu mobilnya untukku, kemudian mempersilakan aku untuk masuk.
“Jom!” serunya. Rahangku masih gemetar.
“Maaf Tuan, saya tidak jadi meminta Tuan untuk berpura pura jadi kekasih saya.”
“Sudahlah, tak ape demi Mahira.”
“Saya akan bekerja untuk Tuan. Tapi untuk permintaan saya dibatalkan saja. Saya minta maaf sudah merepotkan Tuan.”
Dia menghela napas.
“Sorry …." ucapnya. Aku refleks menatapnya.
“Maafkan ucapan saya yang kasar … jom, kita selesaikan urusanmu!” katanya seraya mempersilakanku masuk ke dalam mobilnya.
Perlahan aku masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya membuang wajah darinya dan diam memandang langit.
“Saya tak tahu nak ke mana?”tanyanya setelah mobilnya menuju arah balik ke alun alun cisaat. Aku mengusap wajahku lalu menarik napas dalam dalam. Mendadak ragu, Tuan bisa membantuku, bagaimana jika di sana Tuan justru mengulangi hal sama yang membuatku semakin dijatuhkan banyak orang.
“Kita balik saja Tuan,” lirihku menunduk.
Dia mengembuskan napas lalu menghentikan mobilnya di tepian.
“Saya kan sudah minta maaf, saya takkan memperbesar lagi masalah nih, mula mula saya marah karena tak semestinya saya melakukan ini. Tapi demi Mahira apapun akan saya lakukan!”
“Saya akan tetap bekerja, kita pulang saja Tuan.”
Dia mendengus.
“Sejak awal saya sudah serius, jika tidak untuk ape, saya bawa kamu ke mall berdandan cantik macam nih. Karena saya tahu, kamu tak mungkin lusuh di hadapan keluargamu. Apa hal mereka katakan nanti, tak mungkin lah awak jadi kekasih saya sementara penampilan awak macam pengemis," tuturnya.
Dia merogoh sakunya lalu mengembalikan uangku. “Jom ambil. saya ikhlas,” katanya lagi.
Aku diam.
“Ayolah, kita terlambat nanti!”
Aku mengangguk setelahnya aku sangat yakin, untuk kembali menuju tempat yang sudah sangat memberiku rasa trauma. Kuarahkan jalannya, sampai akhirnya terlihat janur kuning yang melengkung tak jauh dari rumahku. Beberapa pengunjung terlihat memasuki jalan di depan pekarangan rumahku yang sudah dipasang tenda sepanjang 10 meter. Saat mobil berhenti persis di depan tenda, semua orang terpukau melihat kehadiran mobil mewah buatan Eropa milik Tuan. Mendadak peluh membanjiri tubuhku, dadaku sesak bukan main, air mataku luruh lagi.
“Jom turun!” seru Tuan, gemetar tanganku seperti serangan tremor yang tak mampu kuatasi.
“Apa hal? Are you okay?” tanya Tuan lagi.
“Kita kembali saja Tuan. Maaf sudah merepotkan,” kataku kemudian menangis di hadapannya saking tak mampu mengontrol emosiku.
“Ini pernikahan adikmu kan?” tanyanya.
Aku diam.
“Ya kan?”
"Aku mengangguk.
“Awak tak rindukah dengan keluarga awak?” tanyanya pelan. Aku menunduk.
Dia mengembuskan napas, “Awak tak boleh macam tuh, seburuk-buruknya mereka tuh tetap keluarga awak!” katanya lagi menasihati.
Dia membuka sabuk pengamannya, kemudian turun. Aku memerhatikannya dari dalam, cukup lama terdiam di depan pintu mobil, setelahnya dia membukakan pintu untukku. Aku tercenung, sejenak menatap mata Tuan yang mendadak terlihat teduh tak seperti sebelumnya.
Semua orang yang berdiri di depan tenda memerhatikan kami. Bagaimana tidak, paras Tuan sama seperti mobil eropanya yang begitu mewah.
“Kau lupa pakai kasut," katanya. Dia meraih kakiku kembali, hingga semua orang yang berada persis di sisi mobil malu malu tersenyum menatap kami.
“Mala ya! Malaa!” seru beberapa yang mengenalku.
“Jom,” ajaknya. Dia menyodorkan tangannya. “Capai tangan saya,” katanya. Aku menggeleng.
“Capailah!” serunya lagi.
“Tak nak Tuan, tak boleh," bisikku.
Dia menyeringai. “Kau nak buat mereka sakit hati kan?” tebaknya.
Aku mendongak menatapnya. “Bagaimana Tuan bisa tahu?”
“Karena hanya awak yang pulang ke kampung halaman tapi menangis macam kena azab. Tadi I dengar dari pengunjung, mempelai lelakinya adalah kekasihmu dicuri oleh adikmu?"
Air mataku runtuh. "dan kausempat dicampakkan oleh keluargamu?"
Aku diam menunduk lagi.
“Jom! Buktikan ke mereka!” tandasnya lagi.
Aku turun sendiri dan menolak menggenggam tangannya, setelah berdiri di hadapannya dan melihat beberapa tamu juga tenda, nyaliku habis lagi. Aku gemetar, dadaku sesak.
“Tarik napas,” bisik Tuan. “Jom!” Dia meraih tanganku begitu saja, setelah itu menarikku ke dalam.
“Tuan jangan Tuan!”
“Dont call me Tuan!” serunya mendelik. “Call me, sayang,” katanya lagi mempersungguh.
Dia menarik tanganku kembali, di saat seperti itu semua orang nyaris menyebut nyebut namaku dengan terpukau, tersenyum ada yang setengah berbisik membicarakan masalah yang sebelumnya.
“Mala! Mala cantik!” seru beberapa tamu yang sepertinya menyaksikan bencana besar dalam hidupku kemarin. Saat tiba di meja tamu, Tuan menulis namanya kemudian kembali meraih tanganku dengan paksa dan menggandengnya.
“Jika nak berperang, meski kuat!” serunya.
Kalimat itu langsung menyetrumku untuk menjadi kuat. Seperti pasangan ratu raja yang memasuki istana dan dihormati prajurit, saat kami melangkah semua orang menepi dan menatap kami dengan tatapan berbinar seperti terkesima. Suara musik sunda yang mengalun di sepanjang acara mendadak berhenti begitu kami mendekat ke pelaminan. Di hadapanku, terlihat Mamak Bapak, Erhan dan Dewi berada di atas pelaminan, mereka yang sebelumnya sibuk menyalami tamu satu per satu, langsung terperangah dengan kehadiran kami.
“Mala!!" Suara suara orang menyebut namaku semakin mengalihkan perhatian mereka. Mamak melotot, Bapak langsung turun dari pelaminannya menangis. Dewi tercengang pucat dan Erhan terdiam seperti patung dan menatapku dengan mata kaca kaca.
“Malaa! Bapak senang kamu datang Nak.”
“Mala tak diundang Pak!” kataku ketus, berusaha tegar untuk melawan rasa sakit bertubi tubi yang diberikan mereka kemarin.
“Bapak sudah minta Mamak.”
“Apa kabar Pakcik?” sapa Tuan, aku gelagapan.
“Ahh iya.”
Sementara Tuan mengajak menyapa Bapak. Mamak tajam menatapku, tiada senyum di wajahnya, seperti ketakutan aku akan membuat onar lagi di pernikahan putri kandungnya. Saat aku membuang wajah, Tuan seperti paham dengan kondisiku dia langsung menarikku kembali untuk naik ke atas pelaminan. Bapak mengikuti. Dengan degup tak karuan, aku mendekat.
“Selamat!” seru Tuan pada Mamak, Erhan dan Dewi.
“Mala …. kamu …," rintih Mamak.
“Tak diundang. Mamak ingin bilang begitu?” potongku.
“Bukan ….”
“Tak apa Mak, tak apa apa,” kataku tersenyum. “Mala ke sini karena menghormati Bapak,” tambahku.
“Apa kabar Makcik,” seru Tuan lagi. Erhan dan Dewi menyimak.
“Andaa siapa?” tanya Mamak.
“Saya! Saya … Aeril Ibrahim, pengusaha batu bara asal Malaysia. Saya cinta sangat dengan putri Makcik, Kemala, saya minta pamit karena hendak membawa Mala menemui keluarga saya,” kata Tuan menggetarkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Aku terpaku memandang Tuan saat dirinya mengatakan itu, kalimat pamungkas membuatku kehilangan kendali hingga mendadak hati mengamini dan dirinya menjadi seseorang yang akan kusemogakan.
“Benarkah?” seru Bapak tersenyum.
“Ya benar! Saya janji takkan membuat dia menangis Pakcik dan akan memberikan dia apa saja yang dia nak.”
Bapak tersenyum lebar menangis.
“Ya kan sayang!” serunya. Aku gelagapan.
“Sudah berapa lama kalian berhubungan?” tanya Erhan tiba tiba.
“Jika sudah punya kekasih, kenapa kakak buat onar di acara pertunanganku kemarin?” rutuk Dewi ketus, wajahnya bengis.
“Karena ….”
“Mala tak pernah terima cinta saya!”seru Tuan memotong ucapanku, hingga aku kembali mengalihkan pandangku ke wajahnya. “Dia baru saja menerima saya, dia nih … perempuan setia, selalu menolak saya karena janjinya pada mantan kekasihya masih dipegangnya erat, tapi kemarin saya temukan dia kacau, sejak tuh dia menerima cinta saya." Aku ingin menangis.
" I bersyukur dapatkan dia, tahniah buat kalian!” Ucapan Tuan semakin membuat debaran di dadaku sulit kukendalikan, getarnya sampai ke ulu hati, getaran yang berbeda dengan getaran cinta yang kurasaakan saat bersama Erhan.
“Anda tahu siapa mantan kekasihnya?” tanya Erhan. Dewi menarik tangan Erhan.
“Hmmp. tak tahu. Tapi yang jelas, dia mesti merugi saat ini,” kata Tuan tersenyum lebar. Aku yang semula tak percaya diri mendadak terangkat harga diri.
“Ah yaa! Saya tak bawa apa apa dari Malaysia, tapi saya rase ini cukup untuk bulan madu yaa,” kata Tuan aku mendelik saat melihat Tuan menyerahkan selembar cek pada Dewi.
“Jom sayang, kita harus cepat. Pesawat menanti!” seru Tuan. Aku yang kebingungan dengan sikap Tuan langsung ditarik olehnya. Saat kami turun, beberapa pengunjung mengikuti kami sampai ke mobil mewah milik Tuan. Dari atas pelaminan Mamak menatap lurus ke arahku dengan bibir datar tapi mata berkaca-kaca.
Tuan membukakan pintu untukku, setelahnya dia masuk dan mobil perlahan meninggalkan acara. Mobil Tuan dikejar oleh anak anak kampung juga diperhatikan dengan jeli oleh masyarakat.
Aku sangat terharu, sementara Tuan terlihat tenang seraya menyetir.
“Kau hutang banyak padaku.”
“Terima kasih Tuan. Berapa yang harus saya bayar?”
“Tak usah kaupikirkan.”
“Terima kasih Tuan!” seruku.
“Sama-sama. Keluarga macam tuh tak layak kautangisi,” tambahnya lagi.
Aku menarik napas.
“Sekarang kau mesti tepati janjimu. Jaga baik baik putriku!”
“Siaaap!” seruku tersenyum.
“Senyum senyum kau sekarang!” tandasnya aku langsung membuang wajah.
Bantuan Tuan akhirnya mampu membuatku lepas dari bayangan Erhan dan Mamak. Namun, meski begitu rasa sakit ini masih saja ada, seperti tak bisa tergantikan.
Kami langsung berkendara menuju Villa di Cisaat untuk mengambil barang barangku, setelahnya kami berangkat menuju Jakarta. Kukira hari itu juga Tuan akan membawaku ke Malaysia, tapi di luar dugaan, Tuan justru membawaku ke sebuah apartement, dari parkiran aku mengikutinya, sampai naik lift dan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Setelah dia buka pintu apartementnya, suara anak menangis langsung menggetarkan hati.
“Mahira!” seruku bergegas menepikan tubuh Tuan sambil mencari cari arah suara tangisan.
“Mahiraaa!” lirihku menangis, balita yang kutinggalkan tujuh bulan lalu itu langsung menoleh menatapku, dia menangis, lalu langsung beringsut dari pelukan baby sitternya dan berlari ke arahku.
“Mahiraa!” rintihku.
“Bamayaaa!” Air mataku runtuh, kudekap erat Mahiraku, menangis sesenggukan di pelukannya.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah