Masss Al

Masss Al Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Masss Al, Digital creator, Kuala Lumpur.

24/09/2025

Rumah tanggaku dihancurkan oleh suami dan sahabatnya yang matre, mereka berdua meng4muk setelah tau ternyata warisan mertua aku kuasai bersama...

Fasakh! Ternyata Aku Janda

Bab. 7

"Berani kau padaku, Anisa!" geram Anyelir.

Anisa menatap tajam ke arah Anyelir, suara dingin penuh luka.
“Dan jangan kira Musa bisa tetap menjadi pewar4 ris utama keluarga Sujiwa. Dia telah keluar dari Is lam. Itu bukan hanya mencederai ikatan pernik4 han kami, tapi juga wari s4nnya. Dia tidak berhak!"

“Anisa, Nak." Bu Rahmat, lirih. Menatap sang menantu, yang kini sudah menjadi mantan menantu dengan tatapan iba. Betapa kuatnya Anisa, hari ini Anisa benar-benar hancur tapi tetap tegak berdiri.

“Kau pikir kau siapa, ha?! Bisa seenaknya mencabut hak Musa?" Anyelir meradang, melangkah maju hendak menyerang Anisa.

“Aku perempuan yang masih berpegang pada Al lah.” Anisa tegas, tanpa takut.

Tiba-tiba-

“BAPAK!” teriak Anisa dengan panik dan teriakan putus asa.

Suara detak mesin monit o r sempat terdengar nyaring, lalu lenyap. Kepala Rahmat Sujiwa terkulai ke samping. Matanya terbuka setengah. Nafasnya hilang lalu timbul kembali, begitu berulang-ulang.

Anisa bergegas ke sisi ranjang, menekan tombol merah darurat.
“Bapak! Bapak, jangan pergi dulu! Jangan sekarang!”

Bu Rahmat dengan suara gemetar, wajah basah air mata. “All a h… Al la h… All a h…”

Anisa berlutut di sisi kiri, ikut berbis*k sama seperti yang diucapkan oleh Bu Rahmat.
“All a h… All a h… La ilaha illall a h…”

Anyelir berteriak histeris. “DOKTER! MUSA! CEPAT CARI DOKTER! AKU NGGAK ENAK! FEELING-KU BURUK!”

Musa masih membeku di tempat, wajah pucatm
“Ta… Tapi—”

Anyelir memukul dada Musa dengan telapak tangannya.
“MUSA! G0B L0K! CEPAT LARI! MISI KITA NGGAK BOLEH GAGAL! KITA BUTUH SURAT W4 SIAT ITU! BAPAKMU TIDAK BOLEH M4 T I SEKARANG!”

Langkah Musa terdengar terburu-buru keluar ruangan. Detik demi detik menjadi p3 d4ng bagi semua yang ada di sana.

Pintu terbuka. Dua orang dokter dan satu perawat masuk cepat. Mereka memeriksa. Salah satu langsung ke arah ECG.

“Pasien… tidak ada detak. ECG flatline. Kami akan lakukan CPR.” ucap Dokter dengan suara datar sesuai prosedur.

Beberapa menit berlalu. P0mpa da d a dilakukan. Keheningan tercabik oleh isak tangis.

“Maafkan kami… Rahmat Sujiwa dinyatakan men i ng gal dunia pukul 17.42.” ucap Dokter dengan suara rendahnya. Turut prihatin.

Dunia Bu Rahmat dan Anisa berhenti. Napas mereka seolah ikut lenyap bersama suara itu.

“BAPAAAKKKK!!!” Bu Rahmat berteriak kencang, lalu ambruk lagi di lantai.

Anisa berlari ke arah sang ibu mertua mengabaikan tubuhnya sendiri yang berguncang, mata berkunang.
“Bapak… Bapak. Ya Al l ah... innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un.…” ucap Anisa terbata. "Bu, istighfar Bu. Istighfar.... "

Air mata membanjiri wajah Anisa, ia memeluk sang ibu mertua yang pingsan dibantu beberapa perawat, Anisa menjaga ketegaran kalau sebenarnya dia rapuh. Tangannya masih menggenggam jemari suaminya yang dingin.

“INI GI L A! INI NGGAK BOLEH TERJADI! MUSA HARUS DAPAT HAKNYA! KITA HARUS BICARA KE PENGACARA! SEKARANG!” Anyelir berteriak sambil menendang kursi kecil yang ada di sampingnya.

Anisa melirik tajam ke arah Anyelir sambil memeluk sang ibu mertua yang masih pingsan dan berusaha disandarkan oleh seorang perawat.

Anyelir tanpa rasa bersalah, dengan nada cemas campur ambisi masih saja melanjutkan kata-katanya.
“Kita harus segera bicara dengan notaris! S u rat rumah, saham, tanah-tanah itu harus segera diurus sebelum semuanya membeku! Kalau enggak-”

“Belum sepuluh menit Bapak dinyatakan w a fat, dan kau sudah bicara soal h4 r ta?” potong Anisa cepat. Anisa menoleh tajam, suaranya dingin membekukan.

"Kenapa? Kau keberatan?" Sahut Anyelir tak tahu malu.

Anisa menatap Anyelir dan Musa dengan tatapan getir. "Kau benar-benar 1b li s? Anyelir! 1 b li s!"

"Kalau aku 1 bl is, maka berhati-hatilah denganku perempuan kampung! Jangan pernah menghalangi jalanku!"

Musa yang duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata, tapi tak berkata sepatah pun keluar dari mulutnya.

Musa seperti patung batu. Tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya entah di mana. Air matanya jatuh tanpa suara. Penyesalan? Kesedihan? Hanya T u h a n dan hatinya yang tahu.

Anisa menunduk, menggenggam tangan Bu Rahmat yang masih lemas dan terisak. Beliau sudah sadar.
“Bu… Ibu tidak sendiri. Saya akan urus semuanya. Ada saya, Bu. Ada Atika dan Ryan...”

“Kenapa secepat ini, Nak… Kenapa…” Bu Rahmat berbis*k lirih, matanya tak lepas dari tubuh suaminya yang ditutupi selimut putih. "Katakan pada ibu bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk, Nak. Mimpi buruk.... "

Anisa mengecup tangan ibu mertuanya, lalu berdiri dengan langkah mantap walau tubuhnya sendiri nyaris ambruk. Dia menuntun sang ibu mertua lalu didudukkan di kursi nunggu pasien tepat di samping jen az ah Rahmat Sujiwa.

"Berd0a, berdzikir dan bacakan Bapak ayat-ayat s u ci Alquran, Bu. Jangan pernah putus, saya yang akan urus semuanya.... " ucap Anisa lembut.

Anisa menghampiri perawat di depan pintu.
“Maaf, bisa tolong sampaikan pada pihak rumah sakit? Kami ingin proses pemulasaran j 3 na zah dilakukan sesuai syariat I s lam. Tolong secepatnya.”

Perawat menunduk sopan.
“Baik, Bu. Kami akan segera menghubungi tim f0 re n s*k dan bagian tata laksana pemulasaran.”

“Musa, kau lihat itu kenapa dia yang mengurus pemulasaran bapakmu! Kau putranya! Semua urusan bapakmu baik dari pemulasaran j3 n4 zah hingga w4 ri s4nnya kamu yang ambil alih bukan dia. Karena kamu pewaris utama!” Anyelir masih belum berhenti, mendekati Musa, berusaha memprovokasi Musa yang sedang linglung

"Anye-"

“Kau bukan siapa-siapa bagiku sekarang, Musa. Dan kalau kau masih punya sisa kehormatan, jangan ganggu aku, Anisa, Tika dan Ryan dengan pertarungan warisan. Jangan rusak hari wafat suamiku dengan kebengisanmu sebagai manusia!" potong Bu Rahmat dingin.

"Nyonya! Kau lebih membela perempuan kampung ini daripada putramu-"

"Kur4ng a j 4 r! Aku sudah cukup bersabar melayani mulut t 4 j a m! Keluar Kau sekarang juga! Aku tidak mau hari kem 4 ti4n Bapak mertuaku dinodai oleh kotornya hati dan 0takmu, perempuan mur4 han!" Kata-kata Anyelir terpotong ketika tangan Anisa c3ng kr4m rambut ikal bergelombang Anyelir bersamaan dengan kalimat tajamnya.

Tak sampai di situ Anisa men4 rik rambut Anyelir hingga perempuan itu ters3 ret dan menj3 rit-j3 rit kesakitan hingga ke luar ruang rawat dan menjadi pusat perhatian berapa orang yang kebetun lewat.

"Pergi kau sekarang juga sebelum aku menggebukimu, jal4ng!" ucap Anisa lalu mengh3 m pas pegangannya hingga Anyelir terhu y ung dan j4 tuh ke lantai dalam posisi yang sangat tidak elegan membuat beberapa orang yang berada di lorong rumah sakit melongo.

Musa berg i dik n g e r i, Anisa yang biasanya kalem dan lembut tiba-tiba berubah jadi b a d a s! Secepat itukah Anisa berubah dan melakukan perlawanan? Musa tiba-tiba merasa t a k u t.

Fasakh! Ternyata Aku Janda
MrsFree
Sudah Tamat di K-----B----M

21/09/2025

"Operasi darurat sekarang juga!"

"Apa perlu izin keluarga?” tanya seorang suster.

Dokter itu menghentak suara, "Kalau tunggu keluarga, pasien bisa menin ggal! Tanggung jawab ada di saya. Cepat siapkan ruang operasi!"

-------------------------------------

Tiiiiiiiittttttt!!!

***

🌹 Dice raikan Karena Kegugvran, Dinikahi Dokter Dominan 🌹

(Aisy Luqman)

“Yakin gak bakalan b*nuh diri lagi?” tanyanya setengah menyindir.

Aku menggeleng. Entah mengapa dia tersenyum padaku, kemudian menjulurkan tangannya, terus menyuapiku.

Aku tak kuasa menolak. Sebab kalau menolak, dia marah. Terpaksa aku menerima suapan demi suapan yang ia berikan padaku. Anehnya, aku merasa hangat. Kehangatan yang tidak kurasakan sebelumnya.

“Aku sudah bilang, aku bertanggung jawab. Aku yang menab rakmu. Kalau aku biarkan kau m*ti, itu berarti aku pengecut.”

Dia menyendok lagi, kembali menyuapkan.

Aku terpaksa membuka mulut lagi. Karena malu, tanganku pun mencoba menolak pelan, tapi kalah oleh s*kapku yang dominan.

***
Keesokan harinya, badanku sudah agak ringan sekarang. lu ka-lu ka memang masih nyeri, tapi tak separah kemarin. Dokter-dokter lain datang bergantian, memeriksa, menuliskan sesuatu di lembar catatan. Aku berbaring, menatap atap putih. Rasanya… aneh. Ada rasa lega, tapi juga cemas. Aku tahu aku tak bisa selamanya di sini.

Tiba-tiba pintu terbuka. Suara langkah itu khas. Berat, tenang, penuh percaya diri.
Aku tak perlu menoleh untuk tahu siapa.

“Bagaimana rasanya sekarang?” suara baritonnya terdengar.

Aku menarik napas. “Lebih baik.”

“Lebih baik saja?” ia mendekat, berdiri di sisi ranjang. “Kau sudah melalui serangkaian pemeriksaan. Hasilnya stabil. Tapi tu buhmu masih lemah. Jangan coba-coba sok kuat.”

Aku terdiam, lalu memberanikan diri. “Dok… saya ingin pulang.”

Ia mengangkat alis. “Pulang?”

“Iya.”

Aku menatap tanganku sendiri, berusaha tak menantang tatapannya.

“Saya tidak bisa terus di sini. Lagipula… saya harus temui Ibu.”

“Ibumu?”

Aku mengangguk. “Beliau di rumah sakit.”

“Rumah sakit mana?”

“Harapan Bunda.”

“Namanya?”

“Untuk apa Anda bertanya?”

“Jawab saja, namanya siapa?”

“Sumara.”

Dia terlihat tenang. Meraih ponsel di sakunya. Entah apa yang dia lakukan, seperti ada notifikasi pesan masuk dan dia tampak membaca dalam diam.

“Dok… “ panggilku lagi.

“Hm?” jawabnya sambil sibuk menggeser layar ponsel.

“Jadi gimana?”

“Apanya?”

“Kapan saya boleh pulang?”

“Tunggu.”

“Saya tak punya u ang buat bayar lebih. Jika masih menunggu terlalu lama, pasti akan membengkak biayanya.”

Dia menatapku.

“Mm… i-tu, utang biaya perawatan, saya janji nanti akan diganti ketika saya sudah sembuh.”

Dia tetap menatap. Kali ini dengan tatapan yang super ta jam, membuatku jadi ketakutan.

Takut melihat sorot itu.

Takut untuk dimarahinya seperti kemarin.

“Sudah?” tanyanya. Singkat. Sampai-sampai membuatku tak mengerti.

“Su-sudah apanya?”

“Memang keras kepa la! Sudah aku bilang aku penjaminnya, tidak perlu bayar tagihan apapun, tetap saja bicara yang tidak masuk akal. Sampai genap selusin kamu bahas tentang ini, aku mintai pertanggungjawaban betulan baru tahu rasa kamu!”

Aku menelan ludah.

“Terima kasih,” ucapku tulus.

Dia seperti terkejut. Kemudian mengangkat dagu, dan menatapku serius.

“Dengan kondisi seperti ini, tak usah berpikiran untuk ke RS Harapan Bunda.”

“Tapi, Dok-” protesku.

“Kau bahkan belum bisa berjalan jauh tanpa berpegangan. Bagaimana bisa jadi caregiver?”

Aku menelan ludah. “Tapi saya a n aknya. Tidak ada lagi yang urus beliau.”

“Bukan berarti kau boleh menghan curkan tu buhmu sendiri. Rumah sakit itu, sudah ada yang menjaga ibumu.”

Aku tersentak.

“Maksud dokter?”

“Tak usah banyak berpikir. Urusan ibumu sudah ada yang ngurus, begitu saja cukup.”

Dia berbalik badan, hendak berlalu. Aku pun segera mencegatnya. “Dokter tunggu!” panggilku.

Langkah kakinya berhenti, namun tidak menoleh.

Aku mengangkat kepa la, mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalau begitu, saya pulang ke rumah saja.”

Dalam sepersekian detik, hening. Hingga sebuah pertanyaan menggantung. “Dimana?” tanyanya.

Aku bingung mau bilang apa.
Rumah.
Jika dulu saat berkata tentang rumah, maka rumah Mas Agus merupakan rumahku juga.
Namun, saat ini sudah tidak lagi. Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang mantan istri yang sudah dice raikan.

“Rumahmu di mana?” tanyanya cepat, sontak membuyarkan lamunanku.

“Di… tempat Ibu.”

***

Hari berganti. Namun, dokter itu belum mengizinkan aku pulang. Padahal, tu buhku sudah membaik. Aku bisa duduk tanpa terlalu kesakitan.

Perawat datang melepas infus, mengganti perban, lalu pergi.

Entah apa yang aku pikirkan. Kenapa dia belum datang? Terbiasa dijenguk olehnya beberapa kali dalam sehari, hari ini aku jadi merindukan perhatiannya.

Aku menoleh ke jendela, mengedarkan pandangan sambil membatin, seharusnya aku tidak boleh berpikiran seperti itu.

Namun, tak lama kemudian, pintu terbuka. Dan dia benar-benar datang.

“Bangun pagi sekali,” suara bariton itu, begitu khas.

Aku mengangguk. “Saya sudah tidak mengantuk.”

“Bagus. Berarti obatnya bekerja dengan baik.”

Ia berjalan mendekat, memeriksa bekas jahitan di perutku dengan ekspresi datar. Aku refleks meringis.

“Jangan tegang.”

“Sakit,” bis*kku.

“Memang harus sakit. Kalau tidak, artinya kamu bukan manusia.”

Aku menatapnya. “Dokter bisa saja kalau bicara.”

“Aku realistis. Kalau kamu tidak tahan sedikit rasa sakit, jangan harap bisa bangkit cepat.”

Aku mengangguk. Seperti refleks saja, patuh terhadap s*kap dominannya.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?”

Aku terhenyak dari lamunan.

“Ngg… lebih baik.”

“Bagus. Jika ada apa-apa, keluarkan saja.”

“Maksudnya?”

“Dipikiranmu. Keluarkan saja. Jangan dipendam. Itu hanya akan jadi bumerang.”

Aku mengulum senyum. “Terima kasih,” ucapku tulus.

Dia hanya menghela napas.

“Dokter…” panggilku.

“Hm?”

“Maaf.”

“Untuk?”

“Saya jadi merasa bersalah. Kemarin saya… sempat kacau. Bahkan berpikir untuk—”

“Cukup.” suaranya tegas, memotong. “Aku tidak ingin mendengar kata-kata bodoh itu keluar lagi dari mulutmu.”

Aku menunduk. “Tapi memang itu yang saya rasakan.”

“Lalu sekarang? Masih ingin mengakhiri hidupmu?”

Aku menggeleng. “Tidak. Saya sadar itu bodoh.”

Hening beberapa detik.

“Dice raikan suami setelah keguguran bukan aib, kan?” tanyaku ha ti-ha ti.

Dia menatapku. Lama. Dingin. Tapi tatapan itu seperti menembus.

“Aib hanya kalau kamu menyerah.”

“Ya!” Aku mengangguk. “Pengecut,” lanjutku.

“Siapa?”

“Saya. Kalau saya jadi mengakhiri hidup, betapa pengecutnya diri ini. Kalah di medan perang, padahal masih ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya, dengan merawat ibu.”

Dia tampak terpaku, menatapku tak berkedip dalam sepersekian detik hingga…

“Lumayan!” katanya, singkat dan seperti biasa, menyisakan banyak tanya di ruang pikiranku.

“Dari caramu bicara sekarang, sepertinya kamu masih punya nyali. Dan seharusnya, beginilah wanita bers*kap. Jangan lemah! Keguguran tak membuat kesempatanmu berakhir. Kamu masih bisa menjadi ibu, walau tak dengan lelaki brengsek itu.”

Aku terpaku. Ada rasa aneh di da daku. Antara senang, malu, tapi juga… entah, sedikit cemas.

Apa benar seperti itu?
Apa benar masih ada kesempatan kedua untukku?

***
Kelanjutannya di KBM App
Judul : Dice raikan Karena kegu guran, Dinikahi Dokter Dominan
Penulis :Aisy Luqman

Seruu bangett😍😍
18/09/2025

Seruu bangett😍😍

Karina maju, menatap Rayhan dengan senyum lembut. Dalam hatinya, ia hanya melihat kekayaan Rayhan sebagai jalan keluar dari utang-utang keluarganya. Rayhan sangat loyal padanya, baik dulu maupun sekarang, Rayhan tak pernah membatasinya menggunakan uang nya.

“Rayhan…” Karina mengusap rahang pria itu pelan.

Rayhan menatapnya kabur, kepalanya pusing.

“Nad…” gumamnya lirih. Tangan Rayhan terulur, mengira Karina adalah Nadine.

Seketika wajah Karina memerah. Bagaimana bisa di saat sadar seperti ini Rayhan justru memanggil nama wanita lain.

TERSEDIA DI KBM APP

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

Seru ini
16/09/2025

Seru ini

Sementara itu…

Di sebuah rumah tua di pinggir kota, Nadine terbaring di atas dipan usang dengan selimut tipis. Rumah peninggalan neneknya yang sudah lama kosong kini jadi tempatnya berteduh sementara.

Ia menatap langit-langit kusam. Besok, ia berencana melanjutkan perjalanan ke Bali lewat jalur darat. Bukan karena tak mampu membeli tiket pesawat, tapi ia takut Rayhan bisa melacaknya.

Nadine tersenyum miris. “Kenapa aku kepikiran Rayhan bakal nyariin aku? Dia udah jelas-jelas ngusir aku kemarin…” gumamnya getir.

Pikiran Nadine melayang pada momen saat Rayhan mengusirnya di depan Karina. Itu luka paling sakit. Setahun lebih ia membersamai Rayhan, setidaknya laki-laki itu bisa menghargainya sedikit saja, itu jauh lebih dari cukup tapi sepertinya Rayhan benar-benar melupakannya.

“Sebentar lagi kita pergi, Nak. Mama nggak mau kamu dekat sama orang-orang jahat itu,” bis*knya sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.

Janinnya terasa tenang, seakan ikut memahami kondisi sang ibu.

“Mama, Papa… doakan aku,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Tersedia di KBM app

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

Seru banget
13/09/2025

Seru banget

Rayhan memijit pelipisnya sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen Nadine. Ya, apartemen yang dulu ia belikan untuk wanita itu—yang kini kosong, ditinggalkan tanpa jejak.

Nadine pergi entah ke mana. Nomor ponselnya dibuang, jejaknya lenyap. Semakin Rayhan mencari, semakin terasa hampa hidupnya.

Setengah jam kemudian, mobilnya berhenti di depan apartemen. Ia tak langsung masuk, hanya berdiri mematung, menatap pintu yang pernah menjadi gerbang kebahagiaannya.

Dulu, pulang kerja selalu jadi momen paling ia tunggu. Nadine menyambutnya dengan gaun rumahan dan senyum manis yang mampu meluruhkan semua lelahnya. Meja makan penuh dengan hidangan hangat buatan tangan Nadine, wangi masakan menguar memenuhi ruangan. Nadine bukan sekadar pelampiasan, tapi rumah bagi Rayhan.

Kini, saat pintu terbuka, semua itu lenyap. Hanya aroma pengharum ruangan yang tercium, menggantikan wangi masakan dan tawa ceria.

Rayhan melangkah menuju dapur. Kosong. Bersih tanpa noda, seolah tak pernah ada kehidupan di sana. Ia menarik napas berat, lalu masuk ke kamar.

Wajahnya kaku. Warna pastel yang mendominasi ruangan itu—warna kes**aan Nadine—menampar ingatannya. Semua barang masih tersusun rapi, sama persis seperti saat Nadine terakhir kali ada di sini.

“Kamu benar-benar pergi ninggalin aku, Din…” ucapnya pelan.

Rayhan terduduk di tepi ranjang. Pikirannya kacau. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia cepat-cepat merogoh saku, berharap nama Nadine muncul di layar. Tapi bukan. Karina yang menelepon.

Rayhan mendecak kesal. Dengan emosi ia melempar ponselnya ke sofa. Ia tak ingin mendengar suara siapa pun kecuali Nadine.

Tersedia di K-----B----M

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

Menumpas pelakor
12/09/2025

Menumpas pelakor

AKU PERCAYA SEMUA URUSAN TOKO PADA KARYAWANKU.

TAPI, DIA JUSTRU MEN-CU-RI DAN MEMBUATKU MA-LU.

JADI TAK SALAH AKU SURUH SUAMIKU MENJEM-BLOS-KANNYA KE PEN-JA-RA.

PART 3

FLASHBACK TIGA TAHUN LALU.

Maudy baru saja sampai di tokonya ketika keri-butan itu terjadi.
Hari ini ia baru saja dari b ank guna menye-tor u-ang penjualan kemarin.

Keningnya melipat melihat ada keru-munan di depan rukonya.

"Saya gak mau tahu! Saya sudah pesan sejak sebulan lalu! Masa sampai saat ini belum sampai juga!"

Seorang ibu tampak e-mo-si.

"Iya, saya juga sama! Mana udah ba-yar lagi. Katanya mau kirim, mau kirim! Nyatanya mana! Ini toko kok jadi gak ama-nah sih!"

Ibu yang lain sampai meng-geb-rak meja penerima tamu.

Ada apa ini? Maudy jelas heran.

"Ini pesanan saya yang ke sekian. Kok bisa sih berma-salah! Biasa juga gak!"

Satu orang laki-laki dengan pakaian batik tak mau kalah ma rah-ma rah juga.

"Iya benar! Mana ibu Maudynya? Kenapa gak keluar juga?"

"Suruh dia keluar! Biar kami bisa bicara dengannya!"

"Jangan cuma bisanya me-ni pu kami semua!"
"Aku kira yang jadi kor-bannya aku saja, gak tahunya banyak!"

Silva yang saat itu bertu gas tampak kewa-lahan.

"Sa bar ya bu-ibu! Saya dan karyawan tengah mencari tahu dimana letak kesal ahanya."
Wajah ga dis itu pu cat pa si.

Se u mur hidup membantu sahabatnya, baru kali ini dia mendapat ma sa lah seperti ini.
Rasanya tak mungkin Maudy meni pu para pelanggannya! Ini pasti ada yang salah!

"Pokoknya kami minta ganti secepatnya! Mana ini pesanan se ra gam orang mau pes ta! Saya kan harus tanggung jawab!"

Maudy s ho ck luar biasa.
Ya Tuhan. Kok bisa sih?
Walau dia belum bicara dengan mereka, tapi dari kata-kata mereka yang ma rah-ma rah, Maudy yakin ada yang tidak be res.

Padahal ia yakin semua baik-baik saja.

"Ada apa ini bu?" tanyanya saat sudah sampai di depan ruko.

Bangunan tiga lantai yang sudah Maudy rom bak demi kenyamanannya berjualan on line.

"Nah ini dia orangnya."

Ibu yang tadi ma rah-ma rah menunjuk ke arah Maudy!

"Tenang ibu-ibu. Ini mbak Maudynya baru saja sampai. Biar kita cari dimana letak kesa lahannya dulu ya. Bu Maudy-nya kasih jalan dulu ya."

Silvana ini sebenarnya hanya membantu Maudy sebagai sahabat. Maklum kalau mau le ba ran, usaha on line Maudy ini la ris manis sekali.

Akhirnya para tamu yang tadi ma rah-ma rah, sepakat menunggu sampai Maudy masuk ruko.

"Sil, bawa mereka ke ruang ra pat ya," titah Maudy.
Ia tak e nak jika harus ramai di depan ruko begini.

"Oke Dy." Silva menurut.

"Bapak, ibu. Mari naik ke lantai dua ya. Kita bicara baik-baik di sana. Mbak Maudy akan bertang gung ja wab apapun yang terjadi."

Semua menurut.
Mereka dikumpulkan oleh Maudy ke ruangan di lantai dua.
Total ada lima belas orang yang rata-rata orang luar pu lau.

Ada yang dari Papua, Sumatra, Sulawesi dan Ambon.

Semua mereka datang ke sini, karena sudah mu ak dengan janji dari s taff Mawis Collection.

Singkatan dari nama Maudy dan Wisnu, nama suami istri ini.

Maudy sampai s ho ck ketika semua bicara.

"Pesanan kalian pen ding? Yang benar?"

Seingat Maudy semua pesa nan tak ada masalah.

"Memang siapa yang urus pesa nan semuanya?" Silvana bertanya pada Maudy.
Dia kasi han pada na sib sahabatnya ini. Wajahnya sudah pu cat pa si.

"Aryani, dimana dia? Kenapa dia gak ada di sini?" tanya Maudy.

Maudy baru sa dar. Tangan kanannya itu tak ada.

"Maaf bu. Mbak Aryani izin tidak masuk dua hari ini. Katanya adiknya ke ce la kaan."
"Apa? Kok bisa?"
Maudy saling pandang dengan Silvana. Seminggu ini ia sibuk.

Maudy menge cek ponselnya.
Ada pesan dari Aryani. Maudy lupa.
Mau tak mau Silvana kembali bicara mewakili Maudy.

"Ibu dan bapak. Coba kita selesaikan sama-sama masalah yang tengah kita hadapi ini. Bisa saya lihat bukti tran sferan bapak dan pesa nan bapak?"

Karena menurut Silvana ada yang aneh di sini.
Semua bergerak cepat.

Maudy dan Silvana menco ck kan bukti transferan dan pesanan juga barang yang keluar.

"Lho Maudy, ini ... ini barang stoknya memang keluar tapi gak di kirim ke alamat ini."

"Ini juga, masa pesannya lima ko di cuma di kirim satu ko di."

"Lah kok bukti trans ferannya ke no re ke ning Aryani sih!"

Akhirnya setelah semua dila cak, terbukti Aryani lah pela kunya.

"Dia ko rup si di butikku?"
Sungguh Maudy s hock bukan kepalang.
Masalahnya selama ini Maudy selalu memberikan yang terbaik pada semua karyawannya, termasuk Aryani.

Pinja man gadis itu di sini sudah menyentuh angka dua pu luh ju ta. Kurang baik apa dia selama ini?
Wajah Maudy me rah pa dam.

Mas Wisnu harus tahu masalah ini.

Ia segera menelpon suaminya.

"Hallo Mas Wisnu."

Air matanya berli nang. Maudy ka lut luar biasa. Masalahnya keru gian yang di de rita para pelang gannya lumayan banyak.

"Ada apa sayang? Kamu kenapa?" Wisnu di seberang sana, tiba-tiba khawatir mendengar telepon sang istri.

"Aryani Mas. Dia mencu ri dari bu tikku. Mas, cepat kemari aku pu sing, aku bi ngung!"
Isa kan kecil Maudy membuat Wisnu cepat bergerak datang ke sana.

"Baik, aku ke sana sekarang juga!"

**

Wisnu segera tiba di butik istrinya.
Ia me-me-luk istrinya yang me-nangis bi-ngung. Baru kali ini masa-lah menerpa usaha sang istri.
Pasalnya keru-gian yang Maudy de-rita nyaris se-ratus lima puluh ju-ta!
Pantas istrinya na ngis-na ngis di telepon, menyuruhnya cepat datang.

"Tenang bapak ibu, saya akan ganti semua keru gian yang bapak dan ibu tang gung. Kami akan bertang gung jawab!"

Dan begitulah Wisnu terpaksan mencairkan depo si tonya yang awalnya untuk keperluan si buah hati.

Semua tampak pu as dengan penggantian yang Wisnu lakukan.

"Maaf tadi kami sudah ma rah-ma rah. Ternyata Bu Maudy kor ban di sini."

"Iya, maaf ya bu. Semoga pelakunya cepat diketemukan."

"Terima kasih bapak dan ibu. Dan kami selaku Mawis Collection meminta maaf atas semua yang terjadi. Semoga ke depannya, tak ada lagi kesa lahan seperti ini. Jangan ka pok ya Pak Bu belanja di tempat kami ini," tutur Silva mewakili Maudy.

Gadis itu menghela napas ketika semua beres.

"Maafkan aku Mas. Maafkan aku."

Maudy menatap suaminya dengan penuh penye salan.
Wisnu meme luk istrinya dan mengajaknya duduk dengan tenang.
Kese dihan istrinya adalah hal yang tak ingin dia lihat.

"Kamu gak usah se dih gitu. Mas akan bantu apapun itu, asal kamu gak se dih lagi."
Silvana ikutan terha ru.

Wisnu ternyata suami yang baik hati dan bertanggung jawab terhadap istrinya.
Lihatlah, uang sebanyak itu dia keluarkan asal nama baik istrinya tidak han cur.

"Seharusnya aku dengar kata-kata Mas Wisnu. Aryani itu perempuan tidak baik. Seharusnya aku gak percaya pada wanita itu! Astaga! Aku bahkan sudah menganggapnya seperti saudara!"

Wisnu sudah sering memperingati agar Maudy tak mudah percaya pada siapapun. Apalagi karyawannya sendiri. Tapi istrinya ini ternyata mudah terkena ra yuan ma nis mu lut Aryani.
Hingga keesokan harinya, Maudy dan Wisnu menunggu kedatangan Aryani di ruko Mawis.
Saat gadis itu muncul, Maudy segera mencer canya habis-habisan.

"Dasar karyawan gak tahu di un tung! Kembalikan uangku yang kau cu ri!"
Aryani yang tak percaya aksinya ketahuan menjadi pu cat pa si.

"Mbak? Maksudnya apa ya?"

P L AK!!!

Sebuah tam paran Maudy berikan pada Aryani.

"Kau makan dari tanganku, dan kau tega men cu ri dan membuat namaku ru sak? Dasar breng sek!"

P L AK!!

Lagi, sebuah tam paran kembali Maudy berikan.
Membuat ga dis di depannya ja tuh tersung kur.
Tahu kelakuannya terci um, Aryani segera meme luk kaki Maudy.

"Mbak, maafkan aku Mbak. Aku khi laf!"
Maudy segera menge nyahkan ce ka lan Aryani.

"Aku akan hubungi po li si, mende kam lah kau dipen jara Aryani!"

JUDUL : MENUM-PAS PEL4KOR SAMPAI KE AKAR.
PENULIS : HERNI RAFAEL.
APK : KBM

12/09/2025

Demi Suami, Aku Menolak Promosi Sebagai Dokter Utama dan Memilih Jadi Asistennya Selama Lima Tahun. Tapi Saat Tahu Dia Sel1ngkuh dengan Mantan Pacarnya, Aku Memberikan Pukulan Terakhir: Meninggalkannya dan Diam-Diam Merebut Posisi yang Paling Dia Impikan!

Part 4

"Maaf Sayang aku terlambat pulang. Tadi acara seminarnya ternyata berlangsung lebih lama dari yang direncanakan."

Rio merangkulku dari belakang. Seperti biasa, jari tangannya yang kokoh dan keras itu mengelvs kepalaku dengan s*kap lembut dan penuh rasa sayang. Seolah aku benda rapuh yang mudah retak sehingga harus diperlakukan sebaik mungkin.

Ah, kalau saja aku tak melihat langsung perselingkvhannya. Seandainya aku tak menyaks*kan langsung perselingkvhannya. Pasti saat ini aku masih mengira aku salah satu wanita yang paling beruntung di dunia.

Menyedihkan. Ternyata kenyataannya aku hanya salah satu wanita yang jadi bodoh saat jatuh cinta.

"Jangan marah. Aku janji setelah semua kesibukan berakhir, kita bisa ambil cuti dan menghabiskan waktu liburan hanya berdua," ucap lelaki yang baru beberapa jam yang lalu memadu kasih dengan wanita lain itu.

Rio pasti tak menyadari, ada jejak wangi parfum wanita lain yang kini menempel di kemejanya. Aroma wangi yang seketika membuatku bergegas melepaskan diri dari rangkvlan tangan yang sudah memelvk wanita lain sebelumnya itu. Rasa m u a k sekaligus j i j i k meletup hingga ke ubun-ubunku. Perasaan kotor yang tak bisa dicegah saat dia menyentvhku.

"Sayang kamu kenapa?"

Dahinya yang lebar itu mengernyit. Sorot mata set4jam elang itu menatapku penuh selidik. Tentu saja, selama ini aku paling s**a disentuh olehnya. Aku paling senang bermanja dan berdekatan dengannya.

Hanya di rumah kami bisa berdekatan tanpa menjaga jarak. Rumah adalah ruang tanpa privasi di mana aku bisa dengan bebas mengklaim dia sebagai hak milik. Sebagai suami yang hanya bisa kuakui saat tak ada rekan kerja maupun kenalan kami yang melihat.

"Ah, aku gak papa," dustaku. Tanganku terangkat menyentvh wajah dengan s*kap setenang mungkin. Aku harus menahan diri. Rio tak boleh tahu kalau aku sudah tahu semua kebohongannya.

"Bagaimana seminarnya tadi? Apakah menyenangkan? Sayang sekali aku tak bisa menyaks*kannya," sambungku seraya merangkai dusta yang sama.

Aku tak perlu berpura-pura sedih karena tak bisa menyaks*kan kehebatan lelaki dengan kharisma yang tumpah ruah saat menjadi pembicara itu. Aku memang sedang bersedih untuk alasan yang berbeda.

"Maafkan aku Sayang. Demi aku kamu harus menggantikan jadwal praktikku. Kau tahu Elta Sayang? Entah bagaimana hidupku tanpamu."

Rio menatapku dengan penuh cinta. Seolah ada bara api membara di sana. Telapak tangannya yang lebar merangkum wajahku dengan ekspresi penuh sesal.

Aku tersenyum tipis. Dua sudut bibirku tertarik dan melengkung ke atas. Dengkusan samar meluncur dari bibirku dengan sendirinya. Ekspresi wajah penuh cinta itu... aku merasa m u a l melihatnya.

Yah, demi dia dan segudang prestasinya, aku menahan diri bertahun-tahun menjadi asistennya di rumah sakit. Aku siap sedia menggantikan jadwal praktik berikut jadwal operasinya agar dia bisa leluasa mengepakkan sayap dan terbang tinggi ke angkasa.

Aku bersedia membantunya membuat makalah sekaligus menerjemahkan hasil penelitian dalam bahasa asing demi kemajuannya. Aku yang membuat slide powerpoint beserta video untuk ia tampilkan di depan umum hingga dirinya dikenal sebagai sosok hebat yang luar biasa.

Hanya boleh ada satu matahari. Itu alasanku mengalah. Sebagai istri, aku mendukung sepenuhnya impian Rio. Aku belajar berpuas diri dan mendukung sepenuhnya dari belakang. Dia suamiku. Aku bangga dengan pencapaiannya. Sayang sekali, semua pengorbananku ternyata sia-sia.

Aku menghela napas dalam-dalam. Sekujur tubuhku menggigil saat menyadari begitu banyak kompromi yang sudah kulakukan demi bersama dirinya. Aku yang keras kepala dan ambisius, demi dirinya rela tenggelam. Aku letakkan dia sebagai prioritas utama.

Tapi itu dulu. Mulai sekarang aku akan hidup untuk diriku sendiri. Aku akan mengejar impianku sendiri. Aku tak mau lagi berdiri di belakang Rio. Aku tak sudi lagi hanya menjadi pemandu sorak baginya saat aku bukan pemeran utama dalam hidupnya.

"Sayang? Kamu melamun?" Rio menyentuh rambutku. Gerakan pelan yang mengalihkan aku dari lamunan.

"Kamu mikirin apa? Kamu gak marah sama aku kan?" Ia bertanya dengan raut wajah bersalah.

Aku kembali tersenyum seraya menggelengkan kepala.

"Aku gak marah. Aku mengerti kesibukanmu. Aku cuma terlalu lelah. Tadi ada banyak pasien yang datang," ujarku beralasan.

"Maafkan aku Sayang. Aku terus merepotkanmu. Aku janji setelah aku menjadi dokter bedah syaraf terbaik di kota ini aku akan mendesak mamaku untuk mengakuimu." Ia mengusap rambutku untuk menenangkan.

"Aku yakin setelah aku berhasil menjadi dokter utama bedah syaraf di rumah sakit AR Bunda Pusat, mamaku pasti luluh. Dia pasti percaya meski kamu tak punya relasi maupun koneksi, tapi kamu bisa menjadi pendukung nomor satuku untuk sukses."

Rio kembali memberikan aku rangkaian janji yang kini tak lagi kupercaya akan ia tepati.

"Baiklah. Karena kamu capek, malam ini aku akan merawat dan memanjakanmu sepenuh hati..."

Drrt... Drrrt... Drrrt...

Rio baru saja merangkai janji kesekian saat dering ponselnya mengalihkan perhatian lelaki itu. Ia langsung melepaskan genggaman tangannya. Dering ponsel dengan nada khusus, yang kutahu berbeda dengan dering umum yang biasa ia pakai itu membuatnya beringsut menjauhiku.

"Sayang, aku angkat telepon dulu," ia berbis*k. Tangannya memberi isyarat seraya menutupi nama yang tertulis di layar ponselnya.

"Ini salah satu profesor yang hadir di seminar tadi. Aku harus mengangkatnya," sambungnya lagi.

Aku mengangguk. Sweetie pie, mataku menangkap sekilas nama itu yang tertulis di layar ponsel yang ia letakkan di atas meja tadi.

Senyum pedih kembali terukir di bibirku. Mustahil ia memberi nama kontak profesor dengan nama semanis itu!

_

Judul: Balas Dendam Termanis
Penulis: LiaRoeslan
Aplikasi: K B M

Address

Kuala Lumpur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Masss Al posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share