Masss Al

Masss Al Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Masss Al, Digital creator, Kuala Lumpur.

03/11/2025

“Ikut gue ke kamar.”

Aku menatap Ziza.

“Mau ngapain? Gak mau.”

“Keran air mati. Benerin sana.” Entahlah apa yang aku katakan ini, hanya asal bicara, supaya bisa narik Ziza dari tongkrongan ini.

“Elah keran air mati aja lo nyuruh Ziza. Lo kan cowok, masa nyuruh cewek.” Hazel bela Ziza.

“Terserah gue lah. Bukan urusan lo.” Aku berdiri, sorot mataku tajam hanya melihat Ziza.

Ziza menghela napas panjang, menutup gitar Aden dengan satu telapak tangan. “Maaf, Kak Aden. Sebentar, ya,” katanya pelan. Lembut sekali ngomongnya kalau sama Aden, mana sambil cengengesan begitu lagi. Tanpa menunggu persetujuan siapa pun, dia bangkit.

Hazel langsung bersiul—nada mengejek.”Za lo jangan mau di bully dia. Gue tahu dia s**a seenaknya saja. Mentang-mentang ketua BEM.”

Aku mengabaikan Hazel, memegang pergelangan tangan Ziza. Yang lain langsung bengong melihat apa yang aku lakukan. Sudah pasti mereka akan benci dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku tidak peduli.

Ziza menep*s ringan, tapi akhirnya melangkah bersamaku menuju kamar kosan. Aku tahu dia pasti butuh HP nya juga. Tidak akan bisa nolak permintan aku. Lampu neon temaram memantulkan bayang‑bayang kami di dinding saat kami sampai depan kamarku.

“Apa sih?” bisiknya tajam. “Keran air mati? Alasan paling nggak kreatif!”

Aku membalas tatapannya. “Kamu kesini mau apa? Ketemu saya kan? Kenapa malah nongkrong sama mereka.” jawabku sinis.

“Terserah gue mau sama siapa saja. Kenapa Kak Jean yang pusing.” Aku membuka pintu kamar. Ziza diam saja tidak mau masuk.

“Masuk! Kenapa diam saja?”

“Balikin HP gue sekarang. Gua gak mau masuk kamar lo Ka.”

“Gue gak akan kasih kalau lo gak masuk.”

“Jangan gila.”

“Terserah saya. Masuk.”

“Aku teriak. Kalau lo macem-macem.”

“Tinggal teriak.” jawabku santai. Ziza melangkah juga masuk kedalam kamar. Dengan cepat aku mengunci pintu dari dalam. Dia langsung kaget. Memegang tanganku yang lagi ngunci pintu.

“Kak ngapain pintunya lo kunci.”

“Malam ini kamu tidur disini. Gak usah p**ang. Nanti saya yang telpon Bapak buat izin.”

*

*

*

Ini part terakhir yah...baca lebih panjang di KBM
Judulnya Suami Rahasia Di Kosan Bapak
Penulis Qasya

Seeuu
02/11/2025

Seeuu

Surat wasiat Bapak membuat semua orang terkejut. Adikku yang selama ini hanya tahu foya-foya mendapatkan rumah mewah seharga milya ran rupi ah. Sementara aku, anak sulung yang selalu setia merawat Bapak hanya mendapatkan tanah kosong dengan gubuk yang hampir roboh!

•••

"Seseorang yang sangat dekat, justru bisa menjadi musuh yang paling berbahaya, Rania. Saat itu Bapakmu mulai menyadarinya, tapi orang itu selalu datang dan berlagak ingin membantu. Bapakmu sengaja menyembunyikan brangkas palsu, dia adalah orang paling terencana yang pernah aku temui semasa hidup."

"Dan orang itu memang tahu. Aku merasakan ada yang membuntuti aku saat menggali brangkas itu, Pak."

"Benarkah?" Arif tampak terkejut. "Kamu melihatnya?"

Aku menggeleng. "Aku mendengarnya. Langkah kaki yang tanpa sengaja menginjak ranting kayu hingga patah, dan juga langkah yang menginjak dedauan kering. Dia mengawasi aku saat itu."

"Astaga, Rania. Dia tidak menyakiti kamu kan?"

"Aku langsung masuk ke dalam mobil setelah kembali mengubur brangkas itu, Pak."

Arif tampak memejamkan matanya sejenak, menyandarkan kepada ke bantalan sofa seolah sedang berpikir.

"Mulai sekarang, Rian yang akan menjagamu, Rania. Dia adalah orang yang dapat kamu percaya. Jika memang benar, orang itu pasti sudah diam-diam kembali menggali brangkas. Dan yang pasti, mulai sekarang dia akan terus memgikuti kamu, sama seperti dulu saat dia mengikuti kami. Untuk sementara kita harus mengalihkan perhatiannya dan fokus pada pembangunan lahan."

Aku mengangguk setuju. "Aku ingin membangun mimpi Bapak menjadi nyata, tapi tak tahu harus dimulai dari mana."

"Dari pembangunan gubuk terlebih dahulu, Rania. Yang jelas kita harus tampak bekerja, namun tidak mencurigakan."

"Jika dia bisa mengawasi aku selama aku berada di Cigelung, apa mungkin orang itu juga tinggal di sana, Pak? Apakah aku pernah menemuinya?"

Arif tersenyum penuh arti. "Bahkan kamu sudah pernah mendatangi rumahnya, berbincang bersama. Dia berhasil membuatmu terkecoh, seolah dia sangat sedih dan berempati kepadamu.

Aku terdiam sejenak, berusaha berpikir dan mengingat-ingat. Seseorang yang aku ajak bicara, bahkan kudatangi rumahnya?

Seketika aku terlonjak kaget.

"Pak, jangan bilang kalau orang itu adalah ...."

Dan Arif pun tersenyum.

••
Judul : Rumah War isan Bapak
Penulis : Dianadee
Baca selengkapnya hanya di K B M app

02/11/2025

Spoiler 15 Siapa Suruh Meninggalkanku Dihari Pernikahan

POV Alex

Aku hanya bisa menatap punggung Arum yang menjauh, rasa sakit menusuk tidak hanya di bibir dan hidungku yang berd-arah, tetapi juga di seluruh dad aku.

Sial-an!

Aku meng erang, punggungku bersandar lemas pada pilar di parkiran kantor ini. Da-rah merembes di jariku yang menutupi hidung, dan aku bisa merasakan bibir-ku mulai membengkak.

Padahal, aku datang ke sini dengan niat baik—benar-benar baik. Aku hanya ingin bicara baik-baik dengannya, untuk memperjelas semua kesalahpahaman yang terjadi di antara kami. Aku ingin memintanya bersabar, memintanya mengerti posisiku. Kenapa dia harus bereaksi sebr-utal ini?

"Dia bilang dia menikahi Papaku?"

Pikiran itu terus berputar, terdengar begitu absurd, begitu mustahil di telingaku. Arum cuma mencintaiku! Kami sudah bersama selama tiga tahun, dia selalu menjadi yang paling sabar, paling pengertian. Bagaimana mungkin dia, Arum-ku, bisa menikah dengan Papa? Pria yang jauh diatasnya yang notabene adalah ayahku sendiri!

Aku memaks-akan diri untuk berdiri tegak, meringis kesakitan.

"Rasakan! Itu memang pantas kamu dapatkan."

Suara itu terdengar menu-suk, penuh kemarahan dan kepuasan. Aku menoleh, menemukan Astri, sahabat Arum, berdiri tidak jauh dariku, menatapku dengan tatapan ji-jik.

"Kamu pria brengsek yang udah nyakitin Arum, sudah sepantasnya Arum ninggalin pria brengsek seperti kamu," lanjutnya, suaranya taja-m seperti p*s au.

Aku mendekati wanita itu. Sumpalan tisu darurat yang kuraih dari saku jaketku sudah kuletakkan di hidung yang berd-arah, sementara bi-birku yang mulai bengkak terasa panas menyengat. Perutku mual, tetapi kepalaku lebih dipenuhi pertanyaan.

"Arum itu mencintaiku, Astri. Kamu tahu itu," ujarku, mencoba meyakinkannya dan, lebih penting lagi, meyakinkan diriku sendiri. "Dia itu cuma marah saja kan padaku? Dia bilang dia menikah sama Papa, itu jelas nggak mungkin kan? Katakan padaku kalau dia cuma mengarang cerita, Astri."

Astri mendengus. Sebuah tawa sinis keluar dari bibirnya. "Sepertinya kamu tipe pria yang nggak bisa menerima kebenaran."

"Nggak mungkin lah dia nikah sama Papa," ulangku, suara sudah mulai bergetar. Aku butuh penegasan. Aku butuh Astri mengatakan, ‘Ya, Alex, itu semua drama Arum. Tenang saja’.

"Kenapa nggak mungkin?" Astri balik bertanya, menyilangkan tangannya di dad-a. "Papamu itu jelas lebih tampan dan mengagumkan. Pria yang mapan dan bertanggung jawab. Kalau aku jadi Arum, aku juga akan pilih Papamu."

"Aku nggak lagi bercanda Astri," desakku, menggertakkan gigi. Pandanganku pasti terlihat memohon dan putus asa.

"Aku juga nggak sudi bercanda sama pria bren gsek kayak kamu." Dia berbalik, hendak melaluiku dan pergi meninggalkanku dalam kebingungan.

"Astri—" Aku memanggilnya, mencoba meraih lengannya. Dia menep*snya dengan kasar.

"Apa lagi sih!" Ucapnya ketus, tatapannya menyala marah.

Astri menatapku lekat-lekat, seolah ingin memastikan kata-katanya masuk ke otakku yang keras ini.

"Kalau kamu masih nggak percaya, sana datang ke rumah orang tua Arum. Papanya sendiri yang menikahkan Arum dan Pak Rey."

*
*
Baca selengkapnya di KBM
Judul: Siapa Suruh Meninggalkanku Dihari Pernikahan
Penulis: Nafisa Ica

01/11/2025

"Ayo, Mbak. Ani bantuin lagi nyari cincinnya."

"Nggak perlu! Aku tadi hanya pura-pura. Mana mungkin aku membiarkan cincin pernikahanku hilang begitu saja." Sakinah bersedekap dada. Wajahnya tampak puas sekali.

"Loh! Berarti tadi Mbak cuma akting doang di depan Ani, nyari cincin?" Ani menatap tak percaya istri pertama Jendra itu.

"Aku cuma mau kasih dia pelajaran ringan aja. Siapa suruh cari muka." Ujung bibir Sakinah berkedut. Setelahnya, ia melewati mereka dan memasuki kamarnya sendiri.

Jihan menggelengkan kepalanya. Sakinah benar-benar sudah di luar nalar. Rasa cemburunya pada Ara membuat wanita itu kehilangan akal. Bukan hanya sekali, kejadian seperti itu sudah terjadi berulang kali sejak Jihan pertama kali memasuki rumah itu. Lebih tepatnya, sejak hari pertama ia resmi menjadi bagian dari keluarga Hermansyah. Sakinah selalu mencari-cari alasan.

"Nggak habis pikir aku, Mbak. Nih, lihat, aku sampai keringat dingin nyariin itu cincin." Ani menunjuk ujung pelip*snya yang sedikit basah. "Aku pikir cincinnya benar-benar hilang. Tahu gitu, nggak usah dibantuin segala." Ani menghentakkan kakinya sambil menekuk bibir, lalu meninggalkan Jihan dan masuk ke kamarnya.

Sementara di luar teras, Ara terus berjalan dengan langkah cepat. Meski bingung akan pergi ke mana, tapi Ara sudah sangat emosi dan ingin sekali rasanya meninggalkan kediaman itu. Sampai akhirnya, Ara diteriaki seseorang dari belakang. Barulah ia berhenti.

"Ra, tunggu!"

Ara menoleh dan melihat Vero menunduk dengan napas tersengal-sengal.

"Mas Vero? Ada apa, Mas?"

"Kamu mau ke mana? Jangan kabur!"

"Siapa yang mau kabur?" Ara berhenti tepat di taman belakang rumah.

Vero menyadari bahwa saat ini Ara berlari ke belakang rumah yang jelas tak ada pintu keluar, selain tembok tinggi yang menjulang di ujung sana.

"Iya juga. Tunggu, saya tarik napas dulu." Setelah beberapa detik, Vero menegakkan kepala sambil terus mengambil udara sebanyak-banyaknya. "Lari kamu kencang juga, Ra. Saya sampai sesak napas. Sini, duduk dulu. Masalah kamu bisa dibicarakan baik-baik."

"Jangan bilang, Mas juga mau menuduh saya mencuri?"

"Nggak. Siapa yang nuduh kamu? Mungkin Sakinah sudah pikun, sampai sensi menyalahkan orang lain." Vero duduk di kursi taman. Lampu-lampu gantung berwarna kuning menyinari taman itu.

"Duduk, Ra. Tenang aja, saya nggak akan macam-macam."

Vero sepertinya sudah gila. Bukan hanya menatap dengan penuh kagum, pria itu juga menyunggingkan senyum saat Ara patuh.

Ara menghela napas, lalu duduk di sebelah Vero—di ujung.

"Aku paham situasi kamu sekarang. Sedikit banyaknya pengetahuan aku soal rumah tangga, intrik itu pasti ada. Apalagi kalian hidup di atap yang sama dengan madu kalian."

"Aku nggak menginginkan pernikahan ini, Mas. Siapa yang mau hidup berdampingan dengan madu? Aku yakin, di dalam hati sanubari mereka juga nggak rela." Ara menegakkan kepala, menatap pria di sampingnya.

"Kalau itu alasannya, lalu kenapa kamu masih mau menikah dengannya?"

"Tidak ada pilihan. Orang tidak berada seperti kami sudah biasa harga diri kami diinjak-injak. Tuan Herman mendesak saya menikah dengan putranya. Bagaimana saya bisa tenang saat Ayah saya dipukuli orang-orangnya karena alasan utang?" Ara menatap lurus ke depan.

Vero memejamkan mata. Tangannya terkepal di ujung bangku.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan? Sekarang kamu sudah terlanjur menikah dengan sahabat saya."

"Tidak ada cara lain. Saya harus lunasi utang itu segera. Maka saya akan terbebas dari pernikahan ini dan mengajukan cerai."

••

"Apa katamu?"

"Nyonya mau mengajukan cerai, Pak," lapor asisten Jendra. Sedari tadi, pria berpakaian hitam itu berhasil menguping pembicaraan Ara dan Vero di balik tihang.

Wajah Jendra merah padam. Urat di wajahnya mencuat kaku.

"Ingin sekali Nyonya Ara berp*sah dengan saya? Kita lihat, apa Nyonya bisa." Ujung bibir Jendra terangkat membentuk seringai kecil.

"Lalu sekarang saya harus gimana?" tanya asistennya.

Jendra mengambil kartu dari dalam dompetnya lalu menyerahkannya. "Beli barang yang seperti biasanya. Suruh Siti buatkan empat susu hangat,"

"Baik, kalau gitu saya berangkat."

"Tunggu, Di."

"Ya, Pak?" Ardi berbalik.

"Suruh Vero ke ruangan ku."

Ardi mengangguk. Setelah itu keluar dari ruangan baca Jendra.

Ara memasuki kamarnya setelah mendapat nasihat dari sahabatnya, Jendra. Dan setelah di pikir-pikir nasihat Vero berguna.

"Kamu bisa kerja kalau mau."

"Apa aku bisa keluar dari rumah ini, Mas?"

"Siapa yang melarang? Sakinah, Jihan, Ani saja bisa. Mereka mengurusi pabrik kain. Kamu nggak tahu?"

Ara menggeleng. "Saya pikir setelah menikah, kami dilarang ke luar rumah."

Vero terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Kamu pikir hidup di serial drama China? Para istri tidak diperbolehkan keluar dari istana. Om Herman punya banyak bisnis. Selain properti, Om Herman juga memegang industri. Pabrik garmen-nya ada banyak. Salah satunya tekstil yang dia percayakan kepada Sakinah untuk dikelola."

"Aku baru tahu ini, Mas. Aku pikir Tuan Herman hanya juragan kontrakan. Ternyata Tuan Herman benar-benar kaya. Pantas saja dia menyuruh putranya menikahi banyak perempuan. Toh, hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan."

"Bukan seperti itu alasannya, Ra," sela Vero.

"Lalu apa?"

"Om Herman menginginkan seorang cucu. Dan ketiga istri Jendra belum ada yang bisa memberikannya. Makanya Om Herman lagi-lagi mencarikan istri untuknya. Dan sama seperti harapan pertamanya, istri selanjutnya bisa memberikan keturunan untuk keluarga Hermansyah."

Deg-deg.

Jantung Ara berdebar kencang, bagai ribuan bunga mawar melayang di atas kepalanya. Seorang cucu? Pernikahan mereka bahkan di dasari dengan paksaan. Selain membencinya, Jendra juga sudah mengatakan kalau dia tidak akan pernah menyentuhnya.

"Sekarang lebih baik kamu bersabar dulu. Kalau memang itu alasannya, aku akan bantu kamu."

"Apa yang dia katakan?" tanya Jendra ketika Vero masuk dan merebahkan dirinya di sofa empuk di ruangan itu. Pria itu menyangga kepalanya dengan tangan.

"Nggak ada," jawabnya pendek. Senyum kecil muncul di bibirnya.

Kening Jendra mengerut melihat ekspresi sahabatnya. "Nggak ada? Tiga puluh menit lebih kamu berduaan dengannya," sindir Jendra.

Vero terkekeh dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Sejak kapan kamu perhatian denganku? Aku bahkan nggak kepikiran menghitungnya."

"Cih, aku masih normal ya! Aku hanya penasaran aja, dia bakal ngadu apa," kilah Jendra.

Vero menghela napas. "Nggak ada. Dia hanya bertanya sedikit soal kerjaan saja."

Meskipun nada bicaranya datar, jelas sekali raut penasaran di wajah Jendra. "Kerjaan?"

"Hm."

Tiba-tiba pintu terbuka, dan Ardi masuk dengan empat gelas susu hangat di atas nampan. Ia meletakkannya di atas meja.

"Ini..." Ardi tampak ragu saat hendak menyerahkan, namun sedikit pun tak ada keraguan ketika Jendra mengangkat tangannya. Seolah kehadiran Vero tidak akan menjadi masalah.

"Dra, apa itu?" tanya Vero saat Jendra menuang pil kecil ke dalam empat gelas susu.

"Obat tidur," jawab Jendra enteng.

"Gila kamu, Dra!" Vero bangkit dan menatap Jendra tak percaya.

Penulis: Nonapink
Judul: Siapa Suruh Menikahi Secara Siri.
Aplikasi: KBM app.

30/10/2025

"Bercadar tapi tak Pera wan! Menji jikan!"
Lima lelaki menolak menikah denganku karena aku tak perawan. Mereka bilang aku menji jikan. Namun suatu malam, ada yang tiba-tiba datang melamarku. Dia berpakaian seperti berandalan. Dengan lantang dia mengatakan ingin menikahiku dengan alasan ...

Part 3
"Ngawur kamu!" bentak Abi dengan suara yang kencang.
Aku kaget mendengar suara bentakkan Abi. Apa-apaan aku mau menerima lamaran untuk menikah dengan lelaki seperti Bhanu. Tentu saja keluarga tidak akan mengizinkan. Mereka inginnya aku menikah dengan lelaki yang setara menurut versi mereka. Bukan seorang preman sepertinya.
Tapi itu jika putrinya ini adalah wanita baik-baik, pantas jika Abi ingin yang baik p**a. Tapi aku? Bagiku lebih baik menikah dengan Bhanu yang Abi anggap hanya seorang preman tapi mau menerima aku apa adanya, meski dia tahu aku tak perawan. Dari pada terus menjodohkan aku dengan lelaki sholeh tapi tidak mau menerimaku. Ujung-ujungnya kami hanya dihina.
“Adikmu saja punya suami dokter. Masa kamu mau menikah dengan lelaki seperti itu Kara. Lelaki baik di dunia ini banyak. Kenapa harus menerima berandalan sepertinya. Seperti tidak ada lelaki saja di dunia ini.” Abi semakin marah padaku.
“Banyak! Tapi dari sekian banyak lelaki baik itu. Tidak ada yang mau menerima perempuan seperti putrimu, Bi.”
“Kamu hanya harus sabar.”
Aku terdiam sesaat, menarik nafas panjang dengan rasa sesak di dadaku. Kurang sabar apa aku selama ini? Harus menanggung noda ini seumur hidupku. Padahal dengan Abi tidak mencarikan jodoh untukku lagi. Mungkin hidupku ini lebih nyaman. Tak menikah seumur hidup pun aku tidak apa-apa. Aku cukup bahagia dengan hidup sendiri dengan aib yang aku bawa ini.
“Kara tidak sempurna Bi. Biarkan aku sendiri seumur hidup, atau lebih baik mungkin menikah dengan lelaki yang tidak sempurna juga. Kalau memang dia mau menerimaku apa adanya. Dari pada Abi menjodohkan aku. Tapi dengan lelaki yang katanya sholeh. Yang katanya baik. Namun tak mau menerima kekuranganku.”
“Kalau saja kamu tidak banyak bicara tentang aib itu, semua akan baik-baik saja Kara. Tidak bisakah kamu diam, dan tak usah kamu katakan pada yang lain atas noda itu. Semua salah kamu sendiri. Padahal sekuat tenaga Abi sudah menutup semunya rapat-rapat agar tidak ada yang tahu."
"Semua memang salahku, bahkan saat aku jujur Abi masih menyalahkan aku atas apa yang terjadi."
Aku kaget dengan perkataan Abi yang sedang menyalahkan aku. Jelas sekali Abi tidak s**a aku jujur. Padahal sejak dulu aku hanya ingin hidup apa adanya, tanpa perlu menutupi masa lalu yang sudah terlanjur menjadi bagian dari diriku. Aku sudah berdamai. Meski ini sakit. Dan butuh proses yang panjang untuk pulih dari trauma itu. Bibirku bergetar, kedua mataku mengeluarkan air mata. Dadaku makin sesak, ada perasaan perih yang susah kujelaskan.
Abi menatapku dengan wajah penuh tekanan, seakan-akan segala yang kulakukan selalu salah di matanya. Aku tahu, baginya nama baik keluarga jauh lebih penting daripada luka yang kupikul. Menikah dengan preman hanya akan membuat nama baik Abi sebagai ustadz buruk.
“Lebih baik kamu tidak usah menikah. Daripada menjalani rumah tangga dengan lelaki seperti Bhanu. Dia bukan manusia, tapi setan Kara. Setiap hari kerjaannya hanya mabuk-mabukan saja. Kamu mau seumur hidup kamu bersabar dengan lelaki yang seperti itu. Penolakan Abi karena Abi sayang sama kamu Kara.”
“Jangan begitu Bi. Kara yang kata Abi anak baik dan sholehah punya noda sebesar ini di belakang label kata baik itu. Apa Abi bisa menyimpulkan lelaki itu jahat hanya karena melihat dia dari luar. Nyatanya mereka yang Abi anggap baik, mereka sama sekali tidak mau pada Kara.” Aku langsung masuk kedalam kamar. Abi sama saja dengan sebelumnya. Masih ingin menjodohkan aku dengan lelaki baik menurutnya. Padahal cacian dan hinaan sudah kita dapatkan. Jadi sampai kapan akan seperti ini?
*
Pagi harinya, aku keluar dari dalam rumah sekitar pukul tujuh pagi. Sehari-hari aku adalah seorang guru di sebuah sekolah SD. Usiaku sekitar dua puluh empat tahun. Aku punya adik perempuan. Dia sudah lebih dulu menikah. Dilamar seorang dokter. Dan kini menjadi kebanggan Abi sama Ummi. Sedangkan aku, aku aib untuk keluarga ini. Meski kejadiannya sudah cukup lama dan bukan keinginanku. Tapi tetap saja, hidupku tidak pernah tenang setelah itu.
Krek!
Aku mendorong pagar depan rumah. Kemudian berjalan ke arah sekolah tempat aku mengajar. Tidak jauh dari rumahku. Sepuluh menit jalan kaki sudah sampai. Namun di persimpangan jalan menuju ke arah sekolah aku bertemu dengan seseorang. Dia lelaki yang tadi malam diusir oleh Abi karena ingin melamarku.
Dia sedang duduk dengan dua orang temannya di pos ronda lingkungan rumah kami. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Dia hanya memakai kaos pendek tanpa lengan, dan kolor pendek di atas lutut.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku berpapasan dengannya. Selama ini aku sering bertemu. Tapi karena aku merasa dia hanya orang asing, sedikitpun aku tidak pernah memperhatikannya. Bahkan lewat hanya sekedar lewat. Tapi setelah kejadian tadi malam. Tiba-tiba saja aku melirik padanya. Dan di saat yang sama dia melihat padaku juga. Dengan asap rokok yang masih mengepul di wajahnya dia tersenyum.
Mungkin benar kata Abi, aku mungkin sudah gila mau menerima lamaran dari berandalan sepertinya.
“Astagfirullah!” Aku langsung memalingkan wajah ke arah yang lain.
“Lo ngapain lihat dia Bhan. S**a lo sama modelan begitu. Gak cocok cowok bangs3t kayak lo sama dia,” Salah satu diantara mereka berkata pada Bhanu.
“Kenapa gak cocok? Gue bukan setan.”
“Ya mustahil orang kayak dia mau sama lo. Sama Hagia beda jauh.”
“Gue yakin dia mau. Jangan samakan dengan Hagia. Dia bukan seorang pembohong seperti Hagia.”
Tawa kedua temannya terdengar samar di belakang, tapi tiba-tiba Bhanu justru menjauh dari mereka dan mulai berjalan cepat mendekatiku. Tatapannya menusuk, membuat dadaku berdebar tidak karuan. Aku mempercepat langkah, dia mengikutiku berjalan tiga meter di belakangku, aku setengah berlari, dia masih mengikutiku.
“Kenapa kamu mengikuti saya?” hardikku sambil melihat ke belakang. Kedua kakiku masih berjalan mundur,
Dia hanya menyeringai, wajah sangarnya membuatku semakin tertekan. Rambutnya berantakan, dan tangannya masih menggenggam rokok yang mengepulkan asap tip*s. Sesekali rokok itu diangkat ke mulutnya, sementara matanya menatapku begitu intens, seolah tak mau melepaskan aku. Aku berusaha menjaga jarak sejauh mungkin, namun langkahnya terus mengikuti, menambah rasa takutku.
“Saya akan berteriak jika kamu berbuat macam-macam padaku.” Tanganku terangkat menahan dia agar tidak bergerak lagi.
“Hey! Berhenti. Kamu tidak dengar apa yang aku bilang.” Aku semakin berteriak. Tubuhku mulai bergetar, teringat sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu.
Dia malah tersenyum dengan santainya. Perlahan dia semakin mendekat. Satu langkah, dua langkah semakin dekat. Dan saat jarak kami hanya tinggal satu jengkal, aku sadar aku tidak bisa lari lagi. Dan dia …

Bersambung.
Baca di KBM
Judul JAGAT
Penulis Qasya

👇👇👇

Ziza 😍😍
30/10/2025

Ziza 😍😍

Sial.

Ngapain sih Ziza malah ngobrol sama Canva di luar? Dari jendela kamar, aku melihatnya sedang duduk di kursi panjang yang ada di depan kamar Canva. Mereka duduk berdua. Entah sedang membahas apa. Tangan mereka sesekali menunjuk layar laptop, lalu tertawa kecil seperti sedang mengerjakan sesuatu bersama. Padahal aku di sini menunggu dia.

“Kenapa dia itu terlalu akrab dengan laki-laki. Sudah tahu itu bukan mahram buat dia. Perlu di ruqiyah emang kamu Za.”

Beberapa detik kemudian, Hazel keluar dari kamarnya dengan gaya yang sok keren. Petantang-petenteng, seolah-olah dia pria paling tampan di dunia ini. Menyebalkan. Aku tidak s**a gaya dia. Terutama karena dia s**a menggoda Ziza. Meski mungkin hanya candaan, tetap saja aku tidak nyaman melihatnya. Apalagi yang digoda malah cengar-cengir kayak Ziza. Haduh! Nyebelin dia tuh.

Tapi jujur saja, aku lebih cemburu saat melihat Ziza bersama Canva. Ada rasa curiga yang muncul tiap kali mereka terlihat akrab. Aku mulai menaruh kecurigaan, jangan-jangan Canva menyukai Ziza. Sorot matanya saat menatap istriku itu... aku bisa membacanya. Pandangan yang tidak biasa. Terlalu lembut untuk sekadar teman. Dan Ziza, dia seolah tidak sadar.

“Eh, kalian kok makin deket aja sih? Curiga gue, jangan-jangan udah pacaran,” celetuk Hazel sambil berdiri di depan mereka.

Aku yang mengintip dari balik pintu, langsung memasang telinga baik-baik. Pintu sengaja kubuka sedikit, cukup agar suara mereka bisa terdengar sampai ke dalam kamar.

“Gak kok,” jawab Ziza cepat, dengan nada agak kikuk. Lagi-lagi dia cengengesan sama Hazel.

“Gak-gak, tapi tiap hari bareng-bareng terus, lama-lama juga nanti tumbuh rasa s**a kalau keseringan sama-sama.” Hazel tetap menggoda, seolah sengaja mancing agar Ziza bicara.

“Kita cuma temenan. Kebetulan aja kita dari SMA yang sama, jadi udah kenal lama,” timpal Canva dengan senyum yang... entah kenapa terasa menyebalkan bagiku.

Aku semakin fokus mendengarkan. Beneran aku terlihat aneh sekali menenjak kenal Ziza. Hal-hal aneh begini sering aku lakukan.

Hazel tiba-tiba nyeletuk lagi, kali ini lebih terdengar blak-blakan,“Duh, di dunia ini tuh nggak ada yang namanya pertemanan murni antara laki-laki dan perempuan. Pasti salah satu dari kalian ada yang jatuh cinta. Gue sih curiga, lo s**a ya sama Canva?”

Aku tercekat. Jantungku berdetak lebih cepat. Ngapain tanya begini sama Ziza. Mana pernah Ziza jatuh cinta sama yang lain selain aku.

Ziza diam sejenak. Lalu dia tersenyum tip*s dan menjawab, “Enggaklah. Gue udah punya orang yang gue s**a.”

Aku langsung nyengir lebar di balik pintu. Sedikit lega. Itu pasti aku. Siapa lagi? Sejak dulu, Ziza selalu bilang kalau dia hanya mencintaiku. Dari awal, hanya aku satu-satunya.

“Siapa? Jangan-jangan gue lagi. Soalnya di sini gue yang paling ganteng,” celetuk Hazel sambil menyeringai.

*
*
*
Judul : Suami Rahasia Di Kosan Bapak
Penulis Qasya
Ada dikbm yg lebih panjang 🙏🥰

Seruu bangett
29/10/2025

Seruu bangett

"Bercadar tapi tak Pera wan! Menji jikan!"

Lima lelaki menolak menikah denganku karena aku tak perawan. Mereka bilang aku menji jikan. Namun suatu malam, ada yang tiba-tiba datang melamarku. Dia berpakaian seperti berandalan. Dengan lantang dia mengatakan ingin menikahiku dengan alasan ...

Part 2

“KELUAR!”
Sebuah teriakan terdengar dari ruang tamu. Itu jelas sekali suara Abi. Kedua mataku melihat pada Ummi. Meminta penjelasan apa sebenarnya yang terjadi di depan. Namun sepertinya Ummi juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi di ruang depan. Sudah bisa ditebak. Abi tidak akan menerima lelaki seperti itu menjadi menantunya. Selama ini Abi sangat selektif mencari calon suami untukku. Bahkan disaat anak perempuannya sudah tidak suci lagi, ia tetap ingin aku menikah dengan lelaki yang sholeh.
Sedangkan Bhanu? Haruskah aku simpulkan sendiri bagaimana dia? Sedang aku hanya sebatas tahu namanya, hanya sebatas tahu dia siapa. Tanpa pernah mengenal lebih jauh.
“Saya hanya berniat melamar putri anda. Kenapa anda mengusir saya?”
Mataku melirik ke ruang depan. Pembicaraan mereka begitu jelas aku dengar. Meski berbeda ruangan. Atas dasar apa dia tiba-tiba datang kerumah ini kemudian menawarkan untuk menjadi suamiku? Dan dari mana dia tahu aku sudah tidak perawan lagi? Aku ingin mengabaikannya, masuk ke dalam kamar. Tapi … entah kenapa aku masih diam di sini.
“Beraninya orang seperti kamu, yang setiap hari hanya mabuk-mabukan datang melamar putri saya. Putri saya seorang perempuan Sholehah, dia perempuan baik-baik. Tidak mungkin saya nikahkan dengan lelaki sepertimu.” Kembali terdengar suara Abi yang marah pada lelaki itu.
Rasanya pahit sekali kata-kata Abi. Padahal itu pujian yang indah, membanggakan putrinya sendiri sebagai wanita yang baik dan sholehah. Tapi rasanya aku merasa tak pantas atas ucapan itu. Abi berlebihan, aku sendiri merasa kotor atas diriku sendiri.
“Sudahlah! Kamu tidak usah menemuinya Nduk! Abimu sudah memberikan jawaban atas tawarannya untuk menikahi kamu. Ambil makan dulu, baru masuk ke kamar lagi.”
Aku diam, tiba-tiba rasa penasaranku mulai menyelinap di dalam hati. Meski Ummi sudah menyuruhku masuk ke dalam kamar. Aku malah diam. Selama ini aku hanya mengenalnya sebatas nama. Sering berpapasan dengannya tapi tak saling kenal. Menyapa pun tak pernah. Dia sibuk dengan dunianya sendiri. Dan akupun sama. Sepertinya dunia kita berbeda.
Terkadang dia mengajak banyak orang masuk ke rumah kontrakannya. Anak jalanan yang sama dengan dia cara berpakaiannya. Di depan rumahnya mengepul asap roko yang lagi-lagi membuat Abi kesal dan marah karena tidak s**a.
“Apakah hanya lelaki sholeh yang harus jadi suami putri anda?”
Aku mendengar lelaki bernama Bhanu itu menjawab. Sepertinya dia cukup berani berkata pada Abi.
“Tentu saja. Wanita baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik. Sedangkan kamu… hanya pengangguran yang tidak jelas pekerjaannya. Silahkan keluar!” Tanpa banyak basa basi Abi langsung mengusirnya.
Abi tidak sadar jika putrinya bukan perempuan baik-baik juga. Bahkan yang datang saja sudah tahu kalau aku sudah tak perawan. Bagaimana jika dihadapan gusti Allah lelaki yang Abi hina itu justru lebih tinggi derajatnya di banding aku.
“Kara mau kedepan Mi!”
“Untuk apa? Abimu sedang marah-marah.”
Aku tak menjawab larangan umi. Langsung berjalan ke ruang tamu. Dimana Abi sedang berteriak mengusir lelaki yang terdengar ingin melamarku itu.
“Lihat saja, kamu bahkan datang untuk melamar dan menikahi seorang perempuan dengan pakaian preman kamu itu. Tidak sopan.”
“Salahkah? Ini bersih, ini pakaian terbaik saya.” Katanya santai.
Aku melangkah ke ruang tamu. Dari kejauhan kedua mataku langsung tertuju pada lelaki yang memakai kaos hitam, jaket hitam kusam. Dengan celana bolong-bolong di lutut. Pantas Abi langsung mengusirnya karena tidak s**a. Ya seperti yang sering aku lihat dia seperti itu. Bisa dikatakan memang tidak sopan jika tujuan dia adalah untuk melamar.
“Salah! Silahkan keluar!” Sambil menunjuk ke arah pintu Abi mengusirnya. Aku diam-diam mendekat ke ruang tamu sambil menundukkan kepala. Abi kaget karena tanpa dipanggil aku malah mendekat dan ikut duduk di sana.
“Ngapain kamu kesini?” Abi tak s**a dengan kehadiranku disana.”Masuk!”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat.
“Lengkara!” Abi mulai kesal karena aku diam saja dengan suruhan Abi.
“Siapa nama kamu Mas?”
“Bhanu!” Katanya menjawab singkat. Sambil tersenyum kecil padaku.
“Tujuan datang kesini untuk apa?”
“Melamar kamu. Jadi istri saya.”
Aku kaget mendengarnya. Dia to the points sekali mengatakan itu. Langsung bilang ingin melamar aku.
“Tidak usah kamu layani lelaki sepertinya. Dia tak pantas untuk kamu Kara.” Abi memotong. Sikap Abi berebeda sekali kepada Bhanu, padahal dia datang dengan niat yang sama seperti Mas Adam.
“Saya sudah tidak perawan. Saya punya aib besar yang tidak akan mungkin bisa diterima oleh lelaki.”
Sengaja aku katakan lagi. Meski katanya tadi dia bilang sudah tahu hal itu. Mungkin dia kira itu hanya candaan atau hanya gosip. Tapi nyatanya itu benar. Dan aku yakin, dia akan p**ang setelah aku mengatakan kejujuran itu padanya.
“ Mi bawa kara kedalam kamar!” Abi kembali kesal dengan ucapanku.
“Saya tahu. Dan saya menerimanya!”
"Dari mana kamu tahu?"
"Bukan rahasia umum. Meski kalian menyembunyikannya dari tetangga." Tetangga di sini memang tidak tahu. Karena kami baru pindah rumah empat tahun yang lalu. Meski pada akhirnya desas desus mulai terdengar juga. Apalagi melihat aku yang sering batal menikah. Itu menjadi tanda tanya besar bagi tetangga.
"Gimana? Perawan atau tidak bagiku tak masalah."
Degh!
Tiba-tiba dadaku berdebar mendengar apa yang ia katakan.
“Tapi saya tidak mau punya menantu preman seperti kamu. Pulang saja sana.”
“Apa salahnya?” tanya Bhanu dengan santainya.
“Putri anda punya kekurangan. Saya juga punya kekurangan. Bukankah itu bagus, kita bisa saling melengkapi.”
“Kekurangan putriku bukan karena dia yang salah. Berbeda dengan kamu?”
Bhanu menyeringai, tersenyum getir.
“Apa kamu menerima lamaran saya? Kita menikah.” Bukannya menanggapi ucapan Abi. Lelaki itu melihat padaku.
“Saya walinya. Saya tidak setuju.” Abi langsung menjawab.
“Jadi anda lebih memilih putri anda jadi perawan tua seumur hidupnya. Siapa yang mau menerima perempuan yang sudah tidak perawan?”
Kata-katanya terdengar mengesalkan. Terdengar menghinaku. Tapi itu nyata, mungkin aku tak akan menikah sampai aku tua. Abi juga langsung terlihat marah mendengarnya. Saat itu juga Abi berdiri lalu mengusir Bhanu dari rumahku.
“Keluar! Beraninya kamu mengatai putriku seperti itu.” Abi mendekat pada Bhanu. Menyuruh dia bangkit dari duduknya dan segera keluar. Aku hanya menunduk pasrah. Dan kini lelaki itu sudah benar-benar diusir oleh Abi.
Beberapa menit kemudian Abi masuk lagi kedalam rumah dengan wajah kesalnya. Aku masih duduk di kursi sambil menatap lantai.
“Bi! Kara mau terima lamaran dari lelaki itu. Tolong berikan izin untuk Kara menikah denganya.”

~tbc~

Baca selanjutnya di KBM app .
Judul : JAGAT
Penulis Qasya

👇

Address

Kuala Lumpur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Masss Al posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share