01/11/2025
"Ayo, Mbak. Ani bantuin lagi nyari cincinnya."
"Nggak perlu! Aku tadi hanya pura-pura. Mana mungkin aku membiarkan cincin pernikahanku hilang begitu saja." Sakinah bersedekap dada. Wajahnya tampak puas sekali.
"Loh! Berarti tadi Mbak cuma akting doang di depan Ani, nyari cincin?" Ani menatap tak percaya istri pertama Jendra itu.
"Aku cuma mau kasih dia pelajaran ringan aja. Siapa suruh cari muka." Ujung bibir Sakinah berkedut. Setelahnya, ia melewati mereka dan memasuki kamarnya sendiri.
Jihan menggelengkan kepalanya. Sakinah benar-benar sudah di luar nalar. Rasa cemburunya pada Ara membuat wanita itu kehilangan akal. Bukan hanya sekali, kejadian seperti itu sudah terjadi berulang kali sejak Jihan pertama kali memasuki rumah itu. Lebih tepatnya, sejak hari pertama ia resmi menjadi bagian dari keluarga Hermansyah. Sakinah selalu mencari-cari alasan.
"Nggak habis pikir aku, Mbak. Nih, lihat, aku sampai keringat dingin nyariin itu cincin." Ani menunjuk ujung pelip*snya yang sedikit basah. "Aku pikir cincinnya benar-benar hilang. Tahu gitu, nggak usah dibantuin segala." Ani menghentakkan kakinya sambil menekuk bibir, lalu meninggalkan Jihan dan masuk ke kamarnya.
Sementara di luar teras, Ara terus berjalan dengan langkah cepat. Meski bingung akan pergi ke mana, tapi Ara sudah sangat emosi dan ingin sekali rasanya meninggalkan kediaman itu. Sampai akhirnya, Ara diteriaki seseorang dari belakang. Barulah ia berhenti.
"Ra, tunggu!"
Ara menoleh dan melihat Vero menunduk dengan napas tersengal-sengal.
"Mas Vero? Ada apa, Mas?"
"Kamu mau ke mana? Jangan kabur!"
"Siapa yang mau kabur?" Ara berhenti tepat di taman belakang rumah.
Vero menyadari bahwa saat ini Ara berlari ke belakang rumah yang jelas tak ada pintu keluar, selain tembok tinggi yang menjulang di ujung sana.
"Iya juga. Tunggu, saya tarik napas dulu." Setelah beberapa detik, Vero menegakkan kepala sambil terus mengambil udara sebanyak-banyaknya. "Lari kamu kencang juga, Ra. Saya sampai sesak napas. Sini, duduk dulu. Masalah kamu bisa dibicarakan baik-baik."
"Jangan bilang, Mas juga mau menuduh saya mencuri?"
"Nggak. Siapa yang nuduh kamu? Mungkin Sakinah sudah pikun, sampai sensi menyalahkan orang lain." Vero duduk di kursi taman. Lampu-lampu gantung berwarna kuning menyinari taman itu.
"Duduk, Ra. Tenang aja, saya nggak akan macam-macam."
Vero sepertinya sudah gila. Bukan hanya menatap dengan penuh kagum, pria itu juga menyunggingkan senyum saat Ara patuh.
Ara menghela napas, lalu duduk di sebelah Vero—di ujung.
"Aku paham situasi kamu sekarang. Sedikit banyaknya pengetahuan aku soal rumah tangga, intrik itu pasti ada. Apalagi kalian hidup di atap yang sama dengan madu kalian."
"Aku nggak menginginkan pernikahan ini, Mas. Siapa yang mau hidup berdampingan dengan madu? Aku yakin, di dalam hati sanubari mereka juga nggak rela." Ara menegakkan kepala, menatap pria di sampingnya.
"Kalau itu alasannya, lalu kenapa kamu masih mau menikah dengannya?"
"Tidak ada pilihan. Orang tidak berada seperti kami sudah biasa harga diri kami diinjak-injak. Tuan Herman mendesak saya menikah dengan putranya. Bagaimana saya bisa tenang saat Ayah saya dipukuli orang-orangnya karena alasan utang?" Ara menatap lurus ke depan.
Vero memejamkan mata. Tangannya terkepal di ujung bangku.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan? Sekarang kamu sudah terlanjur menikah dengan sahabat saya."
"Tidak ada cara lain. Saya harus lunasi utang itu segera. Maka saya akan terbebas dari pernikahan ini dan mengajukan cerai."
••
"Apa katamu?"
"Nyonya mau mengajukan cerai, Pak," lapor asisten Jendra. Sedari tadi, pria berpakaian hitam itu berhasil menguping pembicaraan Ara dan Vero di balik tihang.
Wajah Jendra merah padam. Urat di wajahnya mencuat kaku.
"Ingin sekali Nyonya Ara berp*sah dengan saya? Kita lihat, apa Nyonya bisa." Ujung bibir Jendra terangkat membentuk seringai kecil.
"Lalu sekarang saya harus gimana?" tanya asistennya.
Jendra mengambil kartu dari dalam dompetnya lalu menyerahkannya. "Beli barang yang seperti biasanya. Suruh Siti buatkan empat susu hangat,"
"Baik, kalau gitu saya berangkat."
"Tunggu, Di."
"Ya, Pak?" Ardi berbalik.
"Suruh Vero ke ruangan ku."
Ardi mengangguk. Setelah itu keluar dari ruangan baca Jendra.
Ara memasuki kamarnya setelah mendapat nasihat dari sahabatnya, Jendra. Dan setelah di pikir-pikir nasihat Vero berguna.
"Kamu bisa kerja kalau mau."
"Apa aku bisa keluar dari rumah ini, Mas?"
"Siapa yang melarang? Sakinah, Jihan, Ani saja bisa. Mereka mengurusi pabrik kain. Kamu nggak tahu?"
Ara menggeleng. "Saya pikir setelah menikah, kami dilarang ke luar rumah."
Vero terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Kamu pikir hidup di serial drama China? Para istri tidak diperbolehkan keluar dari istana. Om Herman punya banyak bisnis. Selain properti, Om Herman juga memegang industri. Pabrik garmen-nya ada banyak. Salah satunya tekstil yang dia percayakan kepada Sakinah untuk dikelola."
"Aku baru tahu ini, Mas. Aku pikir Tuan Herman hanya juragan kontrakan. Ternyata Tuan Herman benar-benar kaya. Pantas saja dia menyuruh putranya menikahi banyak perempuan. Toh, hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan."
"Bukan seperti itu alasannya, Ra," sela Vero.
"Lalu apa?"
"Om Herman menginginkan seorang cucu. Dan ketiga istri Jendra belum ada yang bisa memberikannya. Makanya Om Herman lagi-lagi mencarikan istri untuknya. Dan sama seperti harapan pertamanya, istri selanjutnya bisa memberikan keturunan untuk keluarga Hermansyah."
Deg-deg.
Jantung Ara berdebar kencang, bagai ribuan bunga mawar melayang di atas kepalanya. Seorang cucu? Pernikahan mereka bahkan di dasari dengan paksaan. Selain membencinya, Jendra juga sudah mengatakan kalau dia tidak akan pernah menyentuhnya.
"Sekarang lebih baik kamu bersabar dulu. Kalau memang itu alasannya, aku akan bantu kamu."
"Apa yang dia katakan?" tanya Jendra ketika Vero masuk dan merebahkan dirinya di sofa empuk di ruangan itu. Pria itu menyangga kepalanya dengan tangan.
"Nggak ada," jawabnya pendek. Senyum kecil muncul di bibirnya.
Kening Jendra mengerut melihat ekspresi sahabatnya. "Nggak ada? Tiga puluh menit lebih kamu berduaan dengannya," sindir Jendra.
Vero terkekeh dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Sejak kapan kamu perhatian denganku? Aku bahkan nggak kepikiran menghitungnya."
"Cih, aku masih normal ya! Aku hanya penasaran aja, dia bakal ngadu apa," kilah Jendra.
Vero menghela napas. "Nggak ada. Dia hanya bertanya sedikit soal kerjaan saja."
Meskipun nada bicaranya datar, jelas sekali raut penasaran di wajah Jendra. "Kerjaan?"
"Hm."
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Ardi masuk dengan empat gelas susu hangat di atas nampan. Ia meletakkannya di atas meja.
"Ini..." Ardi tampak ragu saat hendak menyerahkan, namun sedikit pun tak ada keraguan ketika Jendra mengangkat tangannya. Seolah kehadiran Vero tidak akan menjadi masalah.
"Dra, apa itu?" tanya Vero saat Jendra menuang pil kecil ke dalam empat gelas susu.
"Obat tidur," jawab Jendra enteng.
"Gila kamu, Dra!" Vero bangkit dan menatap Jendra tak percaya.
Penulis: Nonapink
Judul: Siapa Suruh Menikahi Secara Siri.
Aplikasi: KBM app.