25/11/2025
SEBUAH PENYESALAN DAN AIR MATA
Hujan pada malam itu turun deras seperti hukuman yang dijatuhkan.
Gemuruh petir menyinari rumah megah milik keluarga Presiden, yang merupakan keluarga paling ditakuti di negara tersebut.
Di dalam kamar terdalam, Nenek Samirah, ibu Presiden, terbangun dari tidurnya.
Detak jantungnya terasa aneh. Tubuhnya yang belum lama ini nyaris mengalami kematian akibat penyakit langka kini kembali bugar.
Terlalu bugar.
Ia mengetahui penyebabnya.
Ia sadar organ siapa yang sekarang berdenyut dalam tubuhnya.
Dan saat kesadarannya kembali sepenuhnya. . .
ia melihat sosok berdiri di samping tempat tidurnya.
Seorang pria muda.
Wajahnya pucat.
Matanya tampak bengkak.
Tubuhnya berlumur darah kering.
Ada bekas sayatan panjang di dadanya, seakan tubuhnya pernah dibedah secara paksa.
“Alan Yu…” bisik Nenek Samirah dengan suara bergetar.
Pemuda itu terisak tanpa suara pada awalnya… kemudian isakannya berubah menjadi tangisan yang menyedihkan, seperti suara dari dunia yang tidak ingin ada manusia yang menjamah.
“Mengapa kalian mengambil tubuhku…? ”
Suara Alan terdengar serak, pecah, dan bergetar.
Nenek Samirah tidak bisa memberikan jawaban.
Ia hanya menangis.
Tangan yang menutupi mulutnya bergetar.
“Aku tinggal berdua dengan ibuku…”
Air mata hitam mengalir dari mata Alan.
“Dia menungguku untuk kembali. Namun yang kembali… hanya berita duka. ”
Tirai kamar bergetar hebat meski tanpa angin.
Lampu berkedip-kedip.
Kaca jendela retak sedikit demi sedikit saat Alan mendekat.
“Ibuku tahu kalian membunuhku… dia tahu organ tubuhku dicuri… tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. ”
Alan menatap nenek itu dengan tajam.
“Kalian memiliki negara. Kami hanya memiliki harapan. ”
Nenek Samirah terjatuh berlutut.
“Maafkan aku… aku tidak tahu cara menghentikan mereka… aku hanya…”
“Kau tahu, tetapi tidak melawan. ”
Suara Alan terpecah menjadi dua, satu terdengar dari manusia, satu lagi dari kegelapan.
“Organ tubuhku ada di dalam dirimu, Nek…”
Nenek Samirah memegang dadanya.
Organ yang enggan diam.
Ia mulai menangis histeris.
“Aku tidak meminta mereka mengambilmu! Aku tidak meminta organmu! ”
Alan menggeleng perlahan.
“Tapi kau masih hidup, sementara aku telah mati…”
“Kembalikan organ itu…”
Nenek Samirah terdiam. Ketakutan menyelimuti wajahnya.
“A-aku… jika aku mengembalikannya… aku akan mati…”
Alan menatapnya dengan kosong, tatapannya bukan wajah marah—tetapi penuh kehancuran.
“Ibuku kehilangan diriku. Dia kehilangan segalanya. ”
“Jika kau ingin aku pergi dari dunia ini… kau harus mengembalikan apa yang menjadi milik kami. ”
Kata-kata itu menghantam hati Nenek Samirah bak pisau yang dingin.
Di antara isakan, ia berbisik:
“B-baik… aku akan kembalikan organmu… aku akan pergi dengan tenang…”
Dan untuk pertama kalinya, wajah Alan terlihat lega.
Tangisnya berhenti.
Sosoknya semakin transparan.
“Terima kasih, Nek…”
“Ibuku telah menunggu terlalu lama untuk aku pulang…”
Kemudian ia perlahan memudar, seperti kabut yang dimakan kegelapan.
---
PAGI HARINYA
Para pengawal menemukan Nenek Samirah meninggal dengan tenang, sambil memegang sebuah surat di tangannya:
Pengakuan bahwa organ Alan Yu ada di dalam tubuhnya.
Instruksi agar organ itu diambil dan dikembalikan kepada ibu Alan.
Pengakuan bahwa keluarga Presiden memerintahkan pencurian organ itu.
Berita tersebut mengguncang negeri.
Dan di rumah kecil di pinggir kota, ibu Alan memeluk organ yang telah kembali kepadanya, menangis meminta keadilan yang sudah telat.
Malam itu, saat diadakan upacara kecil, angin lembut berhembus di tengah ruangan.
Ibu Alan merasakan seseorang menyentuh pipinya.
Hanya sekejap.
Lalu menghilang.
Alan Yu akhirnya pulang.