04/10/2025
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-29 Kabupaten Paniai pada 4 Oktober 2025 perayaan seremoni kolonialisme untuk mengalihkan isu atas situasi militerisasi non organik di seluruh wilayah paniai. Ketika pemerintah memilih Lapangan Karel Gobai, tanah yang menjadi makam empat siswa korban penembakan TNI tahun 2014, sebagai lokasi upacara, maka peristiwa itu bukan sekadar seremoni administratif, tetapi penghinaan terhadap memori korban dan luka kolektif rakyat Papua.
Di atas tanah yang masih menyimpan darah dan jeritan anak muda Paniai, negara menari dengan irama pembangunan palsu. Ia menutupi luka dengan musik hiburan, menukar rasa duka menjadi pesta simbolik. Dalam bahasa politik, inilah bentuk pelupaan yang disengaja, politik amnesia yang dijalankan oleh kekuasaan untuk menghapus jejak kejahatan negara.
Keluarga korban yang masih menuntut keadilan dipaksa menyaksikan negara menggelar panggung perayaan di atas kubur anak-anak mereka. Peristiwa ini mengandung makna politik yang mendalam: negara tidak hanya gagal mengadili pelaku pembunuhan, tetapi kini secara simbolik menaklukkan memori rakyat melalui ritual selebrasi kekuasaan.
seremonial kolonialisme, tindakan seperti ini disebut "hegemonic reconstruction of memory", upaya penguasa merekonstruksi sejarah sesuai kepentingan politiknya. Dengan merayakan ulang tahun di lokasi tragedi, pemerintah berusaha memonopoli makna ruang publik dan menghapus memori penderitaan dari kesadaran kolektif masyarakat.
Namun, rakyat Papua tidak lupa. Kuburan empat siswa itu bukan sekadar tanah, melainkan saksi bisu tentang kekerasan negara yang belum diselesaikan. Peringatan HUT Paniai menjadi cermin bahwa negara tidak berniat meminta maaf, apalagi memulihkan martabat korban. Yang dilakukan justru adalah menginjak-injak kemanusiaan dengan dalih “pembangunan dan persatuan”.
Perayaan tersebut terjadi di tengah operasi militer non-organik yang kembali dikerahkan di wilayah Paniai. Situasi ini memperlihatkan bahwa di balik tenda dan panggung hiburan, ada operasi militer yang tengah menebar ketakutan di desa-desa. Rakyat diarahkan untuk menari di bawah bayang-bayang senjata , sebuah ironi kolonialisme modern yang bekerja lewat kontrol budaya dan simbol.
Negara menggunakan logika "seremonial sebagai kontrol sosial". Dengan memusatkan perhatian masyarakat pada pesta seremonial, negara menutupi proyek dominasi dan militerisasi yang terus menguat. Politik hiburan ini bukan bentuk kesejahteraan, melainkan strategi penjinakan terhadap kesadaran politik rakyat.
Tindakan pemerintah daerah yang mengabaikan kesakralan tempat tragedi memperlihatkan bagaimana struktur kolonial telah berasimilasi ke dalam birokrasi lokal. Elit daerah menjadi perpanjangan tangan negara kolonial yang menegakkan kekuasaan di atas penderitaan rakyatnya sendiri.
Tidak ada pembangunan sejati di atas ketidakadilan. Setiap upacara yang menafikan keadilan bagi korban hanyalah bentuk "rekayasa legitimasi politik". Paniai tidak memerlukan panggung perayaan; yang dibutuhkan adalah ruang kebenaran, pengakuan, dan pemulihan bagi mereka yang kehilangan anak-anaknya akibat kekerasan negara.
Keluarga korban dan rakyat Papua memiliki hak moral dan politik untuk menolak perayaan semacam itu. Mereka menuntut keadilan yang substansial, bukan seremonial. HUT yang digelar di atas kuburan bukan tanda kemajuan, tetapi simbol kedunguan moral kekuasaan yang buta terhadap sejarah penderitaan rakyat.
Tindakan negara melalui pemerintah paniai ini juga mencerminkan "krisis etika pemerintahan". Ketika kekuasaan tidak lagi menghormati kematian warganya sendiri, maka legitimasi politik kehilangan makna. Negara tidak bisa mengklaim diri sebagai pelindung rakyat, jika pada saat yang sama ia menari di atas luka yang belum sembuh.
Rakyat Papua harus menegaskan kembali haknya atas memori, ruang, dan sejarah. Lapangan Karel Gobai bukan milik kekuasaan, tetapi milik sejarah perjuangan dan duka rakyat. Setiap langkah di atas tanah itu seharusnya diiringi doa dan tangisan, bukan panggung dan musik. Sebab di sanalah anak-anak Papua gugur menuntut kemanusiaan.
Perlawanan rakyat terhadap tindakan ini bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi bagian dari perjuangan politik yang lebih luas: melawan kolonialisme yang beroperasi dalam bentuk baru, melalui kebijakan, simbol, dan perayaan yang menindas. Paniai bukan sekadar daerah administratif; ia adalah ruang perlawanan yang menolak dilupakan. Maka dari itu, setiap tarian di atas kubur harus diingat sebagai tanda peringatan: bahwa keadilan yang ditutup dengan pesta hanyalah wajah lain dari kekerasan negara.
Ndunii Mbole