Rakyat Yang Di Tindas

Rakyat Yang Di Tindas "Diam Di Tindas atau, Bangkit Dan Lawan."

KEEP THAT IN MIND!!!!The statement "Papuan mothers, I gave birth to children not to be killed" is a powerful and touchin...
28/10/2025

KEEP THAT IN MIND!!!!

The statement "Papuan mothers, I gave birth to children not to be killed" is a powerful and touching cry, depicting the profound grief and resistance of Papuan women against the violence inflicted on their children. This is no ordinary phrase, but rather a political and humanitarian statement with profound meaning.
The meaning behind the statement
A mother's struggle: This phrase expresses the pain and sorrow of mothers who have lost their children due to the ongoing conflict in Papua. A mother gives birth to her child with the hope of seeing it grow, not to tragically lose her own life.

Intan Jaya, October 28, 2025






❤️💞❤️

International Criminal Court - ICC United Nations Amnesty International Human Rights Watch

Apa yang Legal? Ketika ke Nabire beberapa waktu lalu, saya tidak mendapat kamar hotel. Ada romobongan dua menteri datang...
28/10/2025

Apa yang Legal? Ketika ke Nabire beberapa waktu lalu, saya tidak mendapat kamar hotel. Ada romobongan dua menteri datang dari Jakarta memborong semua kamar hotel yang terbatas di kota yang baru saja naik status jadi ibukota provinsi ini.

Akhirnya saya dan seorang kawan terdampar ke sebuah rumah kos harian. Ia beroperasi seperti layaknya hotel karena bayar harian dan ada sarapan.

Sehari setelah kami masuk, saya mendengar bahasa yang tidak saya mengerti diucapkan disana. Walaupun tidak bisa berbahasa tersebut namun saya tahu itu bahasa apa. Ketika keluar sarapan, saya bertanya pada pelayan disana tentang orang-orang ini. Jawabnya, oh mereka para penambang emas. Mereka baru datang dari pedalaman.

Dari pedalaman? Bukannya disana tidak aman dan sering terjadi kontak senjata? Orang-orang di kamar makan, yang rupanya pengunjung reguler "rumah kos" ini tertawa. "Disini semua sudah biasa, Pak!," kata seorang dari mereka.

Lalu bagaimana soal keamanan? "Ah, apa guna dorang terjunkan pasukan banyak-banyak kesini," begitu jawab sesorang non Papua dengan bahasa logat Papua.

Hampir setiap hari Presiden kita berteriak soal pencurian kekayaan alam kita. Kalau tidak dicuri, dia akan bilang kita ditipu. Namun Presiden kita tidak pernah menjelaskan siapa pencuri itu.

Orang-orang asing itu tidak mungkin datang dan bekerja di negeri ini tanpa ada yang mengundang, atau paling tidak melindunginya. Siapa pelindungnya? Ya, elemen-elemen legal yang secara pribadi mencari kekayaan secara illegal.

Untuk saya, tidak usah menyalahkan orang lain. Persoalannya ada pada kita sendiri: pada militer, polisi, jaksa, birokrasi dari pusat ke daerah. Mereka semua terlibat. Mereka semua saling lipat. Mereka semua berusaha mencuri. Orang asing itu memang salah. Tapi mereka bisa beroperasi karena aparat-aparat kita juga kan?

Seperti berita di Mandalika ini. Mandalika, Sodara-sodara! Tempat sirkuit motor yang dibikin oleh Jokowi. Bahkan di tempat seterang benderang itu pun ada penambangan ilegal. Dan, kabarnya, orang-orang KPK yang menemukan itu heran karena para penambang itu tidak satu pun bisa berbahasa Indonesia. Saya justru heran karena bapak-bapak penyidik KPK -- yang sebagian besar berasal dari kepolisian ini heran. Anda heran jugakah?

Masalah kita paling besar bukanlah kekayaan alam kita dicuri oleh asing -- tapi dicuri oleh para bangsat anak bangsa yang pemalas. Merekalah yang mensponsori atau memberi perlindungan para pencuri asing ini. Mereka pemalas karena dengan tidak bekerja apapun, tidak pakai otak pun, bisa kaya raya dan dengan kekayaan itu menjadi makin sakti untuk bisa berkuasa.

Terlalu banyak orang seperti itu di negeri ini. Kuman-kuman inilah yang menjadi bangunan utama dari kekuasaan negeri ini. Jadi, jika ada politisi berteriak maling, percayalah bahwa ia sebenarnya adalah bagian dari permalingan itu.

_Made Supriatman

KNPB News: Peaceful Demonstration by the Papuan People's Forum for Action and Voice with the Papuan People in Intan Jaya...
28/10/2025

KNPB News: Peaceful Demonstration by the Papuan People's Forum for Action and Voice with the Papuan People in Intan Jaya today (Tuesday, October 28, 2025)

Forum Aksi dan Suara Rakyat Papua bersama Masyarakat Papua mengadakan demonstrasi damai di Sugapa, menuntut dan mendesak pemerintah untuk menarik personil militer dan segera meminta pertanggungjawaban mereka atas pembantaian 15 warga sipil di Desa Soanggama, Kecamatan Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.

Tindakan ini juga menuntut agar pemerintah bertanggung jawab atas para korban yang terlantar akibat konflik bersenjata di Intan Jaya antara TPNPB dan TNI Natio (TNI) dan Polri (POLRI). Para pengunjuk rasa akan membaca pernyataan mereka di kantor Bupati Intan Jaya sore ini.

Masyarakat Papua di Intan Jaya juga menuntut agar pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas penembakan 15 warga sipil di Intan Jaya pada 15 Oktober 2025 dan mendesak investigasi yang mandiri dan transparan.

Di Intan Jaya, khususnya, konflik bersenjata meningkat sejak 2019, sehingga sejumlah warga sipil ditembak mati, TNI (TNI), Polri (POLRI), dan Front Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menjadi korban. Namun, pemerintah pusat belum mampu menyelesaikan masalah ini. Orang-orang yang sakit mental, pendeta, dan katalis telah dibunuh, dan negara tetap diam sementara korban terus meningkat.

Sorotan Publik

United Nations United Nations Human Rights Human Rights Watch Free West Papua Campaign Poland Amnesty International

28/10/2025

Hati2 pada penjajah yg selalu menciptakan panggung utk menguras energi kita, panggung penuh amarah, penuh reaksi, tapi kosong dari kesadaran. Penjajah tahu, bangsa yg sibuk marah di dalam kandang penindasan tdk akan pernah sempat keluar utk menghancurkan jerujinya.

Maka mrk ciptakan ribuan panggung kecil agar kita sibuk berteriak satu sama lain: kita diadu lewat konflik pemilu, dipecah lewat perebutan jabatan, diadu lewat isu agama, disibukkan dg penghinaan ras dan simbol budaya, dibenturkan lewat perebutan gaji, dana otsus, dan kursi kekuasaan,
diadu antar suku, antar gereja, antar tokoh, antar kelompok perjuangan.

Setiap kali kita ribut, mereka tertawa, karena itu berarti rakyat masih terjebak di arena yg mereka buat. Inilah politik pengalihan dan pementasan kolonial: membuat bangsa terjajah sibuk di arena kecil, agar tidak sempat melihat tangan besar yg mengatur semuanya dari atas.

Dalam bahasa Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini kekerasan simbolik: kekerasan yang tdk memukul, tetapi menundukkan lewat makna. Penjajah mengatur wacana dan nilai: apa yg tampak penting, apa yg layak diperdebatkan, siapa yg layak dimusuhi. Dengan cara itu, mereka memaksa kita berkelahi di ruang yg mereka desain. Membuat kita merasa sedang berjuang padahal sebenarnya hanya sedang diputar2 dlm kandang yg sama.

Klu dlm bhs Frantz Fanon disebut penjajahan kesadaran: bangsa terjajah disibukkan dg pertengkaran kecil di bawah, sementara struktur penindasan di atasnya tetap kokoh. Atau Jean Baudrillard blg penjajahan menciptakan “realitas palsu” (simulacra): dunia penuh drama dan simbol, agar rakyat melupakan realitas sebenarnya: operasi militer, pembunuhan, perampasan tanah, dan penghancuran ekologi.

Begitulah cara penjajah menjaga kekuasaannya: fg menjadikan rakyatnya sibuk marah dalam kandang. Mereka tahu, bangsa yg sibuk bertengkar tak sempat berstrategi; bangsa yg sibuk bereaksi tak sempat berpikir.

Sementara kita sibuk debat di media sosial, mereka menandatangani kontrak Freeport.
Sementara kita ribut soal kursi jabatan, mereka memperluas PSN dan tambang. Sementara kita bertengkar karena agama, mereka buka hutan dan gusur kampung. Sementara kita marah pada penghinaan simbolik, mereka terus menembak dan membunuh, seperti 12 warga sipil yg dibatai di Soanggama.

Inilah siasat halus kolonialisme modern, mengalihkan energi rakyat dari struktur ke permukaan. Mereka biarkan kita berteriak keras, asal tidak menyentuh akar. Mereka biarkan kita marah, asal tidak sadar.

Kita mesti tolak peran yg mereka tuliskan utk kita: peran rakyat yg reaktif, emosional, dan mudah diprovokasi. Kita harus menulis naskah sendiri, memainkan drama kita sendiri: drama pembebasan sejati, bukan drama simbolik.

Setiap isu yg muncul jangan ditelan mentah. Bertanyalah: siapa yg diuntungkan dari semua ini? Siapa yang diam2 mengambil tanah, tambang, dan sumber hidup kita saat kita sibuk berdebat?

Kita harus belajar membaca lapisan di balik setiap peristiwa. Karena di balik semua keributan insidental itu, selalu ada satu pola: pengalihan perhatian agar bangsa Papua tidak sempat melihat bahwa akar penindasan tetap sama: militerisme, kapitalisme kolonial, dan penguasaan atas tanah serta sumber daya.

Bangsa Papua harus keluar dari jebakan ini. Kita harus mengubah amarah reaksioner menjadi kesadaran revolusioner. Setiap isu sektoral harus kita gunakan sebagai cermin utk melihat struktur yg menindas. Setiap penghinaan kecil harus menjadi pintu menuju analisis besar. Setiap konflik harus diarahkan menjadi pemahaman politik, bukan permusuhan sosial.

Jangan lagi marah di panggung yang mereka buat. Marahlah di medan yang mereka takuti: medan kesadaran, organisasi, solidaritas, dan pembongkaran sistem. Bangsa Papua akan kalah jika terus bertengkar di dalam kandang penjajahan. Tapi bangsa Papua akan menang jika mulai berpikir bersama, bergerak bersama, dan menembus dinding kandang itu menuju pembebasan bangsa.

_ Victor Yeimo
Jubir Internasional KNPB

🔥✊🏼

Tujuannya bukan mau membebaskan warga yang disandera, tetapi mau mengusir, menemb4k mati dan menduduki kampung. Setelah ...
27/10/2025

Tujuannya bukan mau membebaskan warga yang disandera, tetapi mau mengusir, menemb4k mati dan menduduki kampung. Setelah berhasil usir lalu duduki, mereka mau buka pos yang baru dari 30-pos yang sudah ada di seluruh Intan Jaya.

Tujuannya menciptakan rasa takut agar mereka dengan bebas dan leluasa bisa membangun pos.

Narasi bahwa ada baku kontak, ada dapat senj4ta atau lainnya, adalah narasi untuk memperkuat alasan pendudukan dan pembukaan pos baru sebagai tujuan utama.

Intan Jaya.... waeeee..... 😢

"Lebih baik kita hancur, Musuh dalam melakukan perlawanan mempertahankan harga diri,daripada ditindas dan diperbudak sam...
26/10/2025

"Lebih baik kita hancur, Musuh dalam melakukan perlawanan mempertahankan harga diri,daripada ditindas dan diperbudak sampai habis"

_Macko Tabuni.

✊🏼💪🏻🔥✅️

25/10/2025

Selamat Beraktivitas

Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Pa...
25/10/2025

Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Papua hanya akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berjuang menentukan nasibnya sendiri". Bukan politisasi, tapi karena memang Kijne mengatakan itu di tengah kolonialisme Belanda (Eropa) yang merasa pemilik peradaban, dan kini kolonialisme Indonesia.

Inti pesan nubuat tidak berubah: bangsa Papua tidak bisa dibangun oleh bangsa lain. Setiap bentuk “pembangunan” yang dikendalikan oleh kekuasaan luar hanyalah alat untuk memperpanjang ketergantungan dan menundukkan rakyat. Peradaban Papua hanya akan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri, ketika mereka berani berpikir, bertindak, dan berdiri atas kaki sendiri.

Hari ini, bangsa Papua hidup dalam sistem kolonialisme yang menyamar sebagai pembangunan. Negara menguasai tanah, hutan, dan laut dengan dalih kesejahteraan, tetapi sesungguhnya memperkuat eksploitasi. Kekerasan militer, proyek infrastruktur, dan ekspansi investasi bekerja bersama untuk melemahkan kontrol rakyat atas ruang hidup mereka. Pendidikan dibentuk untuk mencetak buruh, bukan pemimpin; media dibungkam agar rakyat kehilangan arah; dan elit lokal dipelihara untuk menjadi juru bicara kolonial di hadapan bangsanya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, rakyat Papua harus membangun sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sepenuhnya berakar pada nilai dan kekuatan lokal. Kemandirian politik berarti rakyat menentukan arah perjuangan sendiri tanpa menunggu izin kekuasaan. Kemandirian ekonomi berarti rakyat mengelola tanah, hasil hutan, laut, dan tambang untuk kepentingan bersama, bukan bagi modal asing. Dan kemandirian budaya berarti rakyat menulis, bernyanyi, dan berkarya dengan kebanggaan atas jati diri sendiri, bukan meniru gaya kolonial.

Kebangkitan Papua juga menuntut gerakan literasi nasional Papua sebagai senjata utama melawan penjajahan intelektual. Penindasan tidak hanya terjadi di tanah, tetapi juga dalam pikiran. Kurikulum kolonial menanamkan rasa rendah diri dan meniadakan sejarah perjuangan. Karena itu, gerakan literasi Papua harus dibangun untuk menulis sejarah dari perspektif rakyat sendiri, menggali filosofi dan nilai adat, serta menumbuhkan pemikiran kritis di setiap kampung, sekolah, dan gereja.

Gerakan ini harus melahirkan dekolonisasi intelektual, yakni pembebasan pikiran dari pengetahuan dan nilai-nilai yang menindas. Intelektual Papua harus berhenti mengulang teori dari luar yang tidak memahami realitas bangsanya. Kita harus menulis, meneliti, dan berbicara dengan kesadaran perjuangan, bukan demi karier akademik dalam sistem kolonial. Setiap karya ilmiah, puisi, lagu, film, atau tulisan harus menjadi alat perjuangan, bukan alat penyesuaian terhadap kekuasaan.

Bangsa Papua perlu mengangkat kembali karya-karya intelektualnya sendiri: tulisan, musik, dan seni yang lahir dari pengalaman penindasan dan harapan. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman Papua harus dihormati sebagai penjaga kesadaran bangsa. Karya kita bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi fondasi bagi kesadaran nasional. Melalui literasi dan seni, rakyat Papua dapat membangun narasi tandingan, narasi yang menolak stigmatisasi kolonial dan menegaskan martabat bangsa.

Di saat yang sama, perjuangan ini menuntut persatuan nasional Papua. Politik pemekaran, otsus, dan infiltrasi pendatang hanyalah strategi pecah-belah kolonial. Rakyat Papua harus menyadari bahwa kekuatan sejati terletak pada kesatuan. Dari pesisir hingga pegunungan, setiap perbedaan bahasa, suku, dan adat harus menjadi kekuatan, bukan pemisah. Persatuan adalah perisai dari serangan ideologis dan militer kolonial.

Gerakan perlawanan juga harus menumbuhkan budaya perlawanan melalui seni, lagu, musik, dan penampilan bergaya Papua sendiri. Kolonialisme berusaha mematikan ekspresi budaya agar rakyat kehilangan rasa bangga terhadap identitasnya. Tetapi musik, tarian, dan seni Papua justru menjadi cara paling kuat untuk menegaskan keberadaan bangsa ini di tengah penindasan. Seni adalah senjata moral; lagu adalah nyanyian pembebasan; dan gaya hidup Papua adalah pernyataan bahwa bangsa ini belum mati.

Semua ini hanya akan bermakna jika diarahkan pada satu tujuan: pembebasan nasional Papua. Rakyat harus sadar bahwa perjuangan tidak akan dimenangkan oleh diplomasi yang bergantung pada belas kasihan luar negeri atau nasihat asing yang menumpulkan daya pikir sendiri. Kemerdekaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari kekuatan internal bangsa. Setiap langkah kemandirian dalam berpikir, mengatur ekonomi, mempertahankan wilayah, dan menulis sejarah sendiri adalah bentuk konkret dari perjuangan melawan kolonialisme.

Nubuat Kijne bisa jadi peta ideologis bagi perjuangan pembebasan nasional Papua. Ia memanggil untuk berpikir bebas, bersatu, menghormati karya bangsanya, menolak manipulasi kolonial, dan membangun peradaban dari dalam dirinya sendiri. Kolonialisme tidak akan membangun Papua, karena ia hidup dari penindasan. Tetapi Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berpikir, menulis, bernyanyi, dan berjuang dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah, satu tujuan: kemerdekaan dan martabat di atas batu karang sejarahnya sendiri.

Post By. Victor Yeimo
Jubir Internasional KNPB

Illegal Indonesians in West Papua. ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄TNI Commits Crimes in Illegal Military Operations in PapuaThe TNI Comm...
24/10/2025

Illegal Indonesians in West Papua.
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

TNI Commits Crimes in Illegal Military Operations in Papua

The TNI Commander Rejects an Offer from the Indonesian National Human Rights Commission (Komnas HAM). Three questions must be clarified regarding the government's policies in Papua.

First, was there a political decision for the military operations in Papua? Second, are these military operations in Papua being used as a project for high-ranking military officials? Third, is the status of Papua under Military Emergency Law or a Military Operations Area (DOM)?
These three questions need to be answered by both the government and the TNI Commander, as the political status of Papua remains unclear.

Politically, the House of Representatives (DPR) and the president have not yet satisfactorily determined whether the status of Papua is a civil emergency or a military emergency.
As long as there is no political decision for military operations in Papua, legally speaking, the current military actions constitute the massacre of civilians in Intan Jaya and refugees resulting from illegal operations in Papua and constitute a crime.

If these military operations have resulted in civilian casualties in Papua, including indigenous Papuans, non-Papuans, even victims of the TNI (Indonesian National Armed Forces), the National Police (Polri), and the West Papua National Liberation Front (TPNPB), especially the 15 lives lost at the hands of the TNI in Intan Jaya, then who is responsible for these military operations and the civilian casualties in Papua?

The Prabowo Subianto regime's security approach, with its massive military deployment and military operations solely for the benefit of the downstream program and the National Strategic Project (PSN), is certainly a political procedural violation, but it also constitutes a human rights violation under government policy in Papua.
From a humanitarian perspective, the state is consciously perpetuating violence in Papua, perpetuating impunity and, in effect, accelerating the genocide in Papua.

It is crucial that the 15 lives lost at the hands of the Indonesian National Armed Forces (TNI) be clearly explained to the public through an independent investigation, if necessary, involving the international community concerned with humanity.

The Indonesian military's military operation in Soanggama village resulted in the deaths of 12 civilians. Who is responsible? Because the shooting of 12 civilians by the Indonesian military (TNI) constitutes a crime and contains elements of systematic genocide.
The TNI's actions in Intan Jaya violate basic human rights principles and violate the provisions of international humanitarian law, including the additional protocol on the obligation to protect civilians.

Although Indonesia has not ratified humanitarian law or UN resolutions on genocide, the primary principle of international law is human rights, and the Indonesian military prioritizes the protection of civilians in its military operations in Papua. Because Indonesia, a UN member state, often speaks out against humanity and Israel's genocide against Palestine, yet within its own country, it is carrying out military operations and war crimes in Papua.


Sorotan Publik Human Rights Watch United Nations Human Rights United States Conference of Catholic Bishops Humane Society of Greater Dayton Human Rights Campaign ICC - International Cricket Council Amnesty International Nigeria International Criminal Court - ICC Amnesty International Norway United Nations Mission in South Sudan (UNMISS) Front Rakyat Indonesia untuk West Papua ICC Cricket World Cup Ibrahim Traore United Nations Burkina 24 Free West Papua Campaign Poland Tempo Media West Papua National Committee [KNPB] LBH Papua Komnas Tpnpb Opm Papua Rakyat Yang Di Tindas Papua New Guinea Civil & Identity Registry Papua Insight

24/10/2025

Kata Abdul Zomad & Ahmad Pi'i, MUHAMMAD Pernah Belah Bumi Yang Di Huni Manusia Ini...

😁

Jayapura - Papua,15 Oktober 2025Investasi Di Tanah Papualah Yang Menjadi Sumber Kekayaan TNI Dan POLRI,Serta Sumber Keua...
24/10/2025

Jayapura - Papua,15 Oktober 2025

Investasi Di Tanah Papualah Yang Menjadi Sumber Kekayaan TNI Dan POLRI,Serta Sumber Keuangan Negara Indonesia

Sehingga TNI dan POLRI Membubarkan Paksa Aksi Dami Mahasiswa dan Rakyat Papua " MENOLAK INVESTASI dan MILITERISME DI ATAS TANAH ADAT PAPUA "

Jagat media sosial dihebohkan dengan video seorang warga di Mamuju, Sulawesi Barat, yang mengisi bahan bakar minyak (BBM...
24/10/2025

Jagat media sosial dihebohkan dengan video seorang warga di Mamuju, Sulawesi Barat, yang mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax menggunakan tandon air (toren) di sebuah SPBU.

Kejadian itu terjadi di SPBU Kali Mamuju dan langsung menuai sorotan warganet karena dianggap tak lazim dan berpotensi melanggar aturan distribusi BBM.

Menanggapi viralnya peristiwa tersebut, pihak Pertamina langsung melayangkan surat teguran kepada pengelola SPBU.

“Yang terjadi adalah pengisian BBM ke dalam tandon itu, tapi jenisnya Pertamax, bukan Pertalite,” ujar Sunardi, Manajer SPBU Kali Mamuju, saat ditemui wartawan, Senin (20/10/2025).

Sunardi menjelaskan bahwa pihaknya hanya melayani sesuai permintaan konsumen tanpa mengetahui maksud penggunaan bahan bakar dalam jumlah besar itu. Namun demikian, pihaknya berkomitmen untuk mematuhi seluruh prosedur dan arahan dari Pertamina.

Address

Vanimo Government Station
551

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rakyat Yang Di Tindas posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share