25/10/2025                                                                            
                                    
                                                                            
                                            Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Papua hanya akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berjuang menentukan nasibnya sendiri". Bukan politisasi, tapi karena memang Kijne mengatakan itu di tengah kolonialisme Belanda (Eropa) yang merasa pemilik peradaban, dan kini kolonialisme Indonesia. 
Inti pesan nubuat tidak berubah: bangsa Papua tidak bisa dibangun oleh bangsa lain. Setiap bentuk “pembangunan” yang dikendalikan oleh kekuasaan luar hanyalah alat untuk memperpanjang ketergantungan dan menundukkan rakyat. Peradaban Papua hanya akan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri, ketika mereka berani berpikir, bertindak, dan berdiri atas kaki sendiri.
Hari ini, bangsa Papua hidup dalam sistem kolonialisme yang menyamar sebagai pembangunan. Negara menguasai tanah, hutan, dan laut dengan dalih kesejahteraan, tetapi sesungguhnya memperkuat eksploitasi. Kekerasan militer, proyek infrastruktur, dan ekspansi investasi bekerja bersama untuk melemahkan kontrol rakyat atas ruang hidup mereka. Pendidikan dibentuk untuk mencetak buruh, bukan pemimpin; media dibungkam agar rakyat kehilangan arah; dan elit lokal dipelihara untuk menjadi juru bicara kolonial di hadapan bangsanya sendiri.
Dalam situasi seperti ini, rakyat Papua harus membangun sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sepenuhnya berakar pada nilai dan kekuatan lokal. Kemandirian politik berarti rakyat menentukan arah perjuangan sendiri tanpa menunggu izin kekuasaan. Kemandirian ekonomi berarti rakyat mengelola tanah, hasil hutan, laut, dan tambang untuk kepentingan bersama, bukan bagi modal asing. Dan kemandirian budaya berarti rakyat menulis, bernyanyi, dan berkarya dengan kebanggaan atas jati diri sendiri, bukan meniru gaya kolonial.
Kebangkitan Papua juga menuntut gerakan literasi nasional Papua sebagai senjata utama melawan penjajahan intelektual. Penindasan tidak hanya terjadi di tanah, tetapi juga dalam pikiran. Kurikulum kolonial menanamkan rasa rendah diri dan meniadakan sejarah perjuangan. Karena itu, gerakan literasi Papua harus dibangun untuk menulis sejarah dari perspektif rakyat sendiri, menggali filosofi dan nilai adat, serta menumbuhkan pemikiran kritis di setiap kampung, sekolah, dan gereja.
Gerakan ini harus melahirkan dekolonisasi intelektual, yakni pembebasan pikiran dari pengetahuan dan nilai-nilai yang menindas. Intelektual Papua harus berhenti mengulang teori dari luar yang tidak memahami realitas bangsanya. Kita harus menulis, meneliti, dan berbicara dengan kesadaran perjuangan, bukan demi karier akademik dalam sistem kolonial. Setiap karya ilmiah, puisi, lagu, film, atau tulisan harus menjadi alat perjuangan, bukan alat penyesuaian terhadap kekuasaan.
Bangsa Papua perlu mengangkat kembali karya-karya intelektualnya sendiri: tulisan, musik, dan seni yang lahir dari pengalaman penindasan dan harapan. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman Papua harus dihormati sebagai penjaga kesadaran bangsa. Karya kita bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi fondasi bagi kesadaran nasional. Melalui literasi dan seni, rakyat Papua dapat membangun narasi tandingan, narasi yang menolak stigmatisasi kolonial dan menegaskan martabat bangsa.
Di saat yang sama, perjuangan ini menuntut persatuan nasional Papua. Politik pemekaran, otsus, dan infiltrasi pendatang hanyalah strategi pecah-belah kolonial. Rakyat Papua harus menyadari bahwa kekuatan sejati terletak pada kesatuan. Dari pesisir hingga pegunungan, setiap perbedaan bahasa, suku, dan adat harus menjadi kekuatan, bukan pemisah. Persatuan adalah perisai dari serangan ideologis dan militer kolonial.
Gerakan perlawanan juga harus menumbuhkan budaya perlawanan melalui seni, lagu, musik, dan penampilan bergaya Papua sendiri. Kolonialisme berusaha mematikan ekspresi budaya agar rakyat kehilangan rasa bangga terhadap identitasnya. Tetapi musik, tarian, dan seni Papua justru menjadi cara paling kuat untuk menegaskan keberadaan bangsa ini di tengah penindasan. Seni adalah senjata moral; lagu adalah nyanyian pembebasan; dan gaya hidup Papua adalah pernyataan bahwa bangsa ini belum mati.
Semua ini hanya akan bermakna jika diarahkan pada satu tujuan: pembebasan nasional Papua. Rakyat harus sadar bahwa perjuangan tidak akan dimenangkan oleh diplomasi yang bergantung pada belas kasihan luar negeri atau nasihat asing yang menumpulkan daya pikir sendiri. Kemerdekaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari kekuatan internal bangsa. Setiap langkah kemandirian dalam berpikir, mengatur ekonomi, mempertahankan wilayah, dan menulis sejarah sendiri adalah bentuk konkret dari perjuangan melawan kolonialisme.
Nubuat Kijne bisa jadi peta ideologis bagi perjuangan pembebasan nasional Papua. Ia memanggil untuk berpikir bebas, bersatu, menghormati karya bangsanya, menolak manipulasi kolonial, dan membangun peradaban dari dalam dirinya sendiri. Kolonialisme tidak akan membangun Papua, karena ia hidup dari penindasan. Tetapi Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berpikir, menulis, bernyanyi, dan berjuang dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah, satu tujuan: kemerdekaan dan martabat di atas batu karang sejarahnya sendiri.
     Post By.  Victor Yeimo 
Jubir Internasional KNPB