Cerita Malam

Cerita Malam creative video content for everyday life

Bab 1: Rahasia di Balik TiraiFauzan menghela napas panjang saat ia menekan bel rumah mertuanya. Malam ini, ia diminta is...
03/11/2025

Bab 1: Rahasia di Balik Tirai
Fauzan menghela napas panjang saat ia menekan bel rumah mertuanya. Malam ini, ia diminta istrinya untuk mengantarkan beberapa barang ke rumah Bu Heni, ibu mertuanya. Sebenarnya, ia merasa sedikit malas, apalagi setelah seharian bekerja. Tapi, apa boleh buat.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Heni yang masih tampak anggun meski usianya sudah lewat 40 tahun. Rambutnya tergerai, dan ia hanya mengenakan daster tipis berwarna ungu yang memperlihatkan lek uk tu b uhnya.

“Oh, Fauzan. Masuk, nak,” katanya dengan senyum ramah.

Fauzan menelan ludah. Entah kenapa, setiap kali berhadapan dengan ibu mertuanya, ia selalu merasa sedikit gugup. Ada sesuatu dalam tatapan Bu Heni yang membuatnya tak bisa sepenuhnya nyaman.

Ia meletakkan barang-barang di meja, sementara Bu Heni menutup pintu di belakangnya. “Istrimu nggak ikut?” tanyanya, berjalan mendekat.

“Nggak, dia capek, jadi nitip aku buat antar ini,” jawab Fauzan, berusaha bersikap biasa.

Bu Heni mengangguk, lalu menuangkan segelas teh untuknya. “Duduk dulu, jangan buru-buru pulang.”

Fauzan ragu, tapi akhirnya ia duduk. Ruangan itu terasa sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Bu Heni duduk di seberangnya, tapi matanya terus menatap Fauzan dengan cara yang sulit dijelaskan.

“Kamu kelihatan capek, Fauzan,” katanya dengan suara lembut. “Kerja terus ya?”

Fauzan mengangguk, mencoba fokus pada tehnya. Tapi kemudian, Bu Heni mengulurkan tangan, menye ntuh punggung tangannya dengan lembut.

“Jangan terlalu keras bekerja. Sesekali, kamu harus menikmati hidup.”

Jantung Fauzan berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membuatnya tidak tenang. Namun, ia tidak beranjak. Ia hanya diam, membiarkan sesuatu yang tak seharusnya mulai tumbuh dalam keheningan malam itu.

Malam yang PanjangBanjir terus naik, dan kami harus bertahan di lantai dua. Angin bertiup kencang, membuat jendela berge...
03/10/2025

Malam yang Panjang

Banjir terus naik, dan kami harus bertahan di lantai dua. Angin bertiup kencang, membuat jendela bergetar. Aku mencoba menghubungi Intan, tapi sinyal sangat lemah.

"Doni, kamu lapar? Aku masih punya sedikit makanan di dapur atas," kata Bu Rini, berusaha mencairkan suasana.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Sepertinya kita harus makan dulu biar nggak lemas."

Kami berjalan menuju dapur kecil di lantai atas. Bu Rini membuka lemari dan mengambil beberapa roti serta air mineral.

"Maaf, cuma ini yang ada. Aku nggak nyangka banjir bakal separah ini," katanya sambil menyerahkan roti padaku.

"Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup."

Kami makan dalam diam, hanya ditemani suara hujan yang terus mengguyur. Aku bisa merasakan kelelahan di wajah Bu Rini, tapi ia berusaha tetap tenang.

"Doni, kamu tidur saja dulu di kamar tamu. Aku juga mau istirahat," ucapnya setelah selesai makan.

Aku menurut. Kamar tamu sederhana, tapi cukup nyaman. Aku berbaring di kasur, mencoba memejamkan mata. Tapi pikiran terus berkecamuk. Bagaimana kalau banjir semakin parah? Bagaimana dengan Intan? Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Sekitar jam sembilan malam, hujan makin lebat. Air terus naik, kini mungkin setinggi dada orang dewasa. Tiba-tiba, listrik padam. Rumah menjadi gelap gulita, hanya tersisa cahaya samar dari ponsel yang baterainya hampir habis. Aku merasakan udara semakin dingin, dan situasi semakin mencekam.

Aku bangkit dan berjalan ke ruang tamu lantai atas. Dari jendela, aku bisa melihat air semakin meluap, menelan hampir seluruh halaman rumah. Suara derasnya hujan bercampur dengan suara benda-benda yang hanyut terbawa arus.

Tak lama kemudian, pintu kamar Bu Rini terbuka. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas.

"Doni… Aku nggak bisa tidur. Banjir makin tinggi, dan listrik mati… Aku takut," katanya dengan suara pelan.

Aku mengangguk, memahami ketakutannya. "Tenang, Bu. Kita masih aman di sini. Kalau ada apa-apa, saya ada di sebelah."

Bu Rini menarik napas dalam-dalam lalu berjalan mendekat. Kami duduk berhadapan di lantai, hanya diterangi cahaya kecil dari ponselku.

"Aku nggak pernah mengalami banjir separah ini sebelumnya," ucapnya sambil merapatkan selimut ke tubuhnya. "Biasanya, air nggak sampai setinggi ini. Aku khawatir kalau nanti kita harus dievakuasi…"

Aku mencoba menenangkan. "Kita tunggu saja sampai pagi, Bu. Mudah-mudahan air cepat surut."

Suasana kembali sunyi. Kami hanya bisa mendengar suara hujan dan air yang mengalir di bawah sana. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Situasi ini memang aneh—aku, calon menantu, terjebak bersama calon ibu mertua di rumah yang hampir terendam banjir.

Aku menatap Bu Rini sekilas. Ia tampak lelah, tapi masih berusaha terlihat tegar. Aku tidak tahu bagaimana malam ini akan berakhir, tapi satu hal yang pasti—ini akan menjadi malam yang panjang dan tak terlupakan…

"Pagi yang cerah di Sidoarjo! ☀️ Aku Rani, 45 tahun, j4nda tanpa anak. Mencari pasangan yang serius dan bisa diajak berb...
03/09/2025

"Pagi yang cerah di Sidoarjo! ☀️ Aku Rani, 45 tahun, j4nda tanpa anak. Mencari pasangan yang serius dan bisa diajak berbagi s**a dan duka. Soal rezeki sudah cukup, yang penting hatinya baik. Siapa yang mau kenalan? 😊👇"

Address

New York, NY

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Malam posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share