13/08/2025
Hotel di Mataram Kena Tagihan Royalti Musik Cuma Gara-Gara TV di Kamar, Kok Bisa?
Polemik royalti musik kembali memanas di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), setelah sejumlah hotel mengaku menerima surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) meski merasa tidak memutar musik berlisensi di area publik.
Kasus ini viral usai unggahan akun Threads .dharma77 pada 12 Agustus 2025, yang menyebut LMKN mengirim surat ke banyak hotel hanya karena di kamar tersedia televisi yang dinilai bisa digunakan tamu untuk mendengarkan musik. Postingan tersebut menuai lebih dari 51 ribu tayangan sehari setelahnya.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa membenarkan kabar tersebut.
"Teman-teman hotel sudah disurati, karena menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib (bayar royalti). (Teman-teman di hotel) sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik, tapi jawaban mereka (LMKN), kan di kamar ada TV, TV itu bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu. Itu argumen mereka (LMKN)," jelasnya.
Adiyasa menambahkan, tarif royalti untuk hotel dihitung berdasarkan jumlah kamar.
"Kalau resto atau kafe kan bayarnya berdasarkan jumlah kursi. Nah, kalau hotel dari 0-50 kamar dikenai berapa, dan hotel dengan 50-100 kamar akan dikenai berapa," ujarnya. Ia juga mengeluhkan cara penagihan yang terkesan seperti menagih utang besar.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB Ni Ketut Wolini ikut angkat bicara, menilai mekanisme ini belum memiliki dasar teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas.
“Kami tidak menolak royalti lagu, tapi mekanisme harus jelas. Jangan sampai beban pelaku usaha makin berat karena pajak berlapis ditambah royalti,” tegasnya.
Gelombang protes juga datang dari Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) yang mendesak LMKN membuka transparansi terkait dasar hukum, metode perhitungan, dan daftar lagu berlisensi yang menjadi acuan tagihan.
Pengamat hukum kekayaan intelektual, Dr. Andi Wirawan, menyebut aturan penarikan royalti memang memiliki landasan hukum, namun harus dilakukan secara terbuka dan proporsional.
“Prinsipnya, pihak yang dikenai royalti harus benar-benar memanfaatkan karya tersebut untuk kepentingan komersial, bukan sekadar memiliki perangkat yang berpotensi memutar musik,” jelasnya. Ia juga memperingatkan bahwa penarikan yang tidak tepat sasaran bisa memicu gugatan hukum.
Beberapa warganet mempertanyakan logika penagihan ini. “Makin aneh, logikanya kita menyediakan TV. Sedangkan apa yang dipertontonkan TV kita tidak bisa mengatur. Sebaiknya stop mendengarkan musik video, agar menghilang sekalian,” kritik akun .
Menariknya, di negara lain penarikan royalti lebih terukur. Di Inggris, PRS for Music mewajibkan pembayaran hanya jika musik benar-benar diputar untuk kepentingan komersial, dengan tarif berbeda sesuai jenis usaha. Di Australia, APRA AMCOS meminta pelaku usaha melaporkan daftar lagu yang diputar, lalu tarif dihitung berdasarkan durasi, jumlah lagu, dan luas area usaha.
Pemerintah Kota Mataram juga menolak mekanisme ini. Sekda Kota Mataram Lalu Alwan Basri menilai kebijakan royalti berpotensi memukul industri hiburan.
“(Ini mematikan) sektor ekonomi kita, khususnya teman-teman yang bergerak di bidang hiburan, baik itu makan, minum, restoran. Ini kan terdampak di situ,” ujarnya.
Menurut Alwan, musik adalah daya tarik penting bagi usaha, mulai dari tempat hiburan, destinasi wisata, hingga warung kecil. Ia memastikan Pemkot Mataram akan menyuarakan keluhan pelaku usaha ke pemerintah pusat dan menggelar pertemuan dengan pihak-pihak terkait.
“Mari kita duduk bersama untuk bagaimana kita selesaikan ini. Supaya ada win-win solution,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, LMKN belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik royalti musik di Mataram.