BerLima

BerLima BerLima

‎GUNUNG KERINCI: Penjaga Sumatera yang Megah‎‎Gunung Kerinci adalah sebuah mahakarya alam yang berdiri kokoh di perbatas...
29/06/2025

‎GUNUNG KERINCI: Penjaga Sumatera yang Megah

‎Gunung Kerinci adalah sebuah mahakarya alam yang berdiri kokoh di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Sebagai gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia dan gunung tertinggi di Pulau Sumatera, Kerinci bukan sekadar tumpukan tanah dan bebatuan, melainkan saksi bisu perjalanan waktu, penjaga ekosistem yang luar biasa, dan magnet bagi para petualang.

‎GUNUNG KERINCI DI MASA LALU: Pembentuk Alam dan Legenda

‎Jauh sebelum manusia mengenal namanya, Kerinci sudah ada, terbentuk dari proses geologi yang dahsyat selama jutaan tahun. Sebagai gunung berapi stratovolcano yang sangat aktif, letusan-letusan purba telah membentuk lanskap sekitarnya, menciptakan kaldera besar di puncaknya dan menyuburkan tanah di kaki-kakinya.

‎Bagi masyarakat adat di sekitarnya, seperti suku Kerinci dan Minangkabau, gunung ini tak terpisahkan dari kehidupan dan spiritualitas mereka. Kerinci bukan hanya gunung, melainkan roh pelindung, tempat bersemayamnya nenek moyang, dan sumber kehidupan. Berbagai legenda dan mitos telah terjalin di sekitar puncaknya yang sering diselimuti kabut, menambah aura mistisnya. Kisah-kisah tentang makhluk gaib, penjaga gunung, dan perjanjian sakral dengan alam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya lokal.

‎Pada masa kolonial, Kerinci mulai menarik perhatian para peneliti dan penjelajah Eropa yang kagum akan keindahan dan keanekaragamannya. Catatan-catatan awal mereka memberikan gambaran tentang kekayaan flora dan fauna yang belum terjamah, serta tantangan mendaki puncaknya yang megah.

‎GUNUNG KERINCI DI MASA KINI: Surga Biodiversitas dan Tantangan Konservasi

‎Saat ini, Gunung Kerinci tetap memegang perannya sebagai salah satu ekosistem paling penting di Sumatera. Ia adalah jantung dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), situs warisan dunia UNESCO yang merupakan rumah bagi beragam satwa langka dan dilindungi. Di lereng-lerengnya yang hijau, hiduplah harimau sumatera yang perkasa, badak sumatera yang terancam punah, tapir, beruang madu, dan berbagai jenis primata endemik. Keanekaragaman hayati ini menjadikannya laboratorium alam yang tak ternilai.

‎Sebagai gunung berapi aktif, Kerinci terus menunjukkan aktivitasnya, dengan letusan-letusan kecil yang sering terjadi, mengeluarkan abu dan gas. Aktivitas ini dipantau secara ketat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk memastikan keselamatan warga dan pendaki. Meski aktif, letusan besar yang membahayakan permukiman jarang terjadi, menjadikan Kerinci sebagai gunung berapi yang relatif aman untuk didaki dengan kewaspadaan.

‎Kerinci juga telah menjadi destinasi favorit bagi para pendaki gunung dari seluruh dunia. Jalur pendakiannya yang menantang menawarkan pemandangan spektakuler, mulai dari hutan tropis yang lebat, danau kaldera di puncak, hingga samudra awan di pagi hari. Desa-desa di kaki gunung, seperti Kersik Tuo, menjadi titik awal pendakian, menawarkan akomodasi dan pengalaman budaya yang otentik.

‎Namun, Kerinci juga menghadapi tantangan besar di masa kini. Deforestasi akibat perluasan lahan pertanian (terutama perkebunan teh dan kopi), perburuan liar, dan perambahan hutan menjadi ancaman serius bagi kelestarian ekosistemnya. Perubahan iklim juga berdampak pada pola hujan dan suhu di kawasan ini, mempengaruhi keseimbangan alam.

‎GUNUNG KERINCI DI MASA DEPAN: Harapan dan Konservasi Berkelanjutan

‎Masa depan Gunung Kerinci sangat bergantung pada upaya konservasi dan kesadaran kolektif. Berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi non-pemerintah, masyarakat adat, hingga individu, bahu-membahu menjaga kelestariannya. Program-program rehabilitasi hutan, patroli anti-perburuan, edukasi lingkungan, dan pengembangan ekowisata berkelanjutan menjadi kunci untuk memastikan bahwa Kerinci tetap lestari bagi generasi mendatang.

‎Gunung Kerinci akan terus berdiri sebagai simbol keindahan alam Indonesia, sumber kehidupan, dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Dengan upaya kita bersama, diharapkan kemegahan Kerinci akan terus terpancar, bukan hanya sebagai legenda, tetapi sebagai kenyataan yang lestari.

Source picture: Wikipedia (Gunung Kerinci di lihat dari Kayu Aro)

PUNCAK JAYA(Carstensz Pyramid)1. Penemuan dan Pengakuan Awal (Abad ke-17 hingga Awal Abad ke-20)Kisah Puncak Jaya dimula...
28/06/2025

PUNCAK JAYA(Carstensz Pyramid)

1. Penemuan dan Pengakuan Awal (Abad ke-17 hingga Awal Abad ke-20)

Kisah Puncak Jaya dimulai pada tahun 1623, ketika seorang penjelajah Belanda bernama Jan Carstenszoon menjadi orang Eropa pertama yang melihat puncak bersalju ini. Penemuannya ini sangat mengejutkan, mengingat lokasinya yang berada di wilayah tropis Papua. Banyak orang di Eropa pada masa itu meragukan kesaksiannya dan menganggapnya sebagai bualan selama hampir dua abad.

Barulah pada tahun 1909, kesaksian Carstenszoon terverifikasi ketika penjelajah Belanda lainnya, Hendrik Albert Lorenz, menyaksikan sendiri padang salju abadi di puncak tersebut. Penjelajahan Lorenz ini turut berkontribusi besar dalam pemetaan wilayah Nusantara.

2. Pendakian Pertama dan Perubahan Nama (Pertengahan Abad ke-20)

Meskipun sudah ditemukan, Puncak Jaya baru berhasil didaki untuk pertama kalinya pada tahun 1962. Tim pendaki yang berhasil menaklukkan puncak ini dipimpin oleh seorang pendaki legendaris asal Austria, Heinrich Harrer, bersama dengan tiga rekannya: Philip Temple (Selandia Baru), Russell Kippax (Australia), dan Albert Huizenga (Belanda). Ekspedisi ini menjadi tonggak sejarah penting dalam dunia pendakian.

Pada tahun 1963, bersamaan dengan bergabungnya Papua ke Indonesia, nama puncak ini secara resmi diubah menjadi Puncak Soekarno, sebagai penghormatan kepada Presiden pertama Republik Indonesia. Namun, tak lama kemudian, namanya kembali diubah menjadi Puncak Jaya, yang berarti "puncak kemenangan". Meskipun demikian, di kalangan pendaki internasional, nama Carstensz Pyramid tetap populer dan sering digunakan untuk menghormati penemu awalnya.

3. Puncak Jaya sebagai "Seven Summits" dan Tantangan Pendakian (Akhir Abad ke-20 hingga Sekarang)
Sejak pendakian pertamanya, Puncak Jaya semakin dikenal luas di kalangan pendaki dunia. Puncak ini diakui sebagai salah satu dari "Seven Summits", yaitu tujuh puncak tertinggi di setiap benua. Status ini menjadikan Puncak Jaya sebagai tujuan impian bagi para pendaki profesional dari seluruh dunia yang ingin menyelesaikan tantangan "Seven Summits".

Pendakian Puncak Jaya dikenal sangat menantang karena kombinasi faktor ketinggian, medan yang ekstrem, cuaca yang tidak menentu, serta akses yang sulit. Jalur pendakiannya melibatkan tebing batu yang curam dan terkadang es, membutuhkan keterampilan teknis dan fisik yang tinggi.

4. Ancaman Perubahan Iklim dan Nasib Gletser (Awal Abad ke-21 hingga Kini)

Salah satu aspek paling signifikan dari narasi Puncak Jaya di era modern adalah kondisi gletsernya. Puncak Jaya adalah satu-satunya gunung di Indonesia, dan salah satu dari sedikit di dunia, yang memiliki gletser tropis. Namun, akibat perubahan iklim global, gletser di Puncak Jaya terus menyusut dengan sangat cepat.

Pemantauan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa luas dan ketebalan es di Puncak Jaya berkurang drastis dari tahun ke tahun. Pada tahun 1850, cakupan luas es abadi mencapai sekitar 19 kilometer persegi, namun pada Mei 2022 diperkirakan hanya tersisa sekitar 0,34 kilometer persegi. Laju pengurangan luas es mencapai sekitar 0,07 kilometer persegi per tahun antara 2016 hingga 2022.

Fenomena El Nino yang kuat pada tahun 2015/2016 dan 2023/2024 juga mempercepat pencairan es. Diperkirakan bahwa gletser terakhir di Puncak Jaya ini akan hilang sepenuhnya sebelum tahun 2026. Hilangnya gletser ini bukan hanya kehilangan keajaiban alam, tetapi juga menjadi indikator nyata dampak pemanasan global di wilayah tropis.

Source picture: Arfani Mujib Wikipedia (Barisan Sudirman Puncak Jaya)

‎SURABAYA: Dari Pelabuhan Kuno hingga Metropolis Modern‎‎Surabaya, yang kini kita kenal sebagai kota metropolitan yang s...
28/06/2025

‎SURABAYA: Dari Pelabuhan Kuno hingga Metropolis Modern

‎Surabaya, yang kini kita kenal sebagai kota metropolitan yang sibuk dan dinamis, memiliki sejarah panjang yang membentang ribuan tahun. Namanya sendiri, konon berasal dari kata "Sura" (ikan hiu) dan "Baya" (buaya), melambangkan keberanian dan perjuangan, semangat yang memang selalu melekat pada kota ini.

‎JEJAK AWAL DAN KERAJAAN MAJAPAHIT

‎Jauh sebelum menjadi kota besar, wilayah Surabaya telah dihuni dan menjadi pusat perdagangan maritim yang penting. Lokasinya yang strategis di muara Sungai Brantas menjadikannya pelabuhan alami yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru. Catatan sejarah tertua yang mengacu pada Surabaya ditemukan dalam prasasti Kertanegara tahun 1229 Masehi, yang menyebutnya sebagai sebuah desa bernama "Surabhaya".

‎Puncak kejayaan awal Surabaya tak lepas dari perannya di bawah Kerajaan Majapahit. Sebagai bandar niaga utama Majapahit, pelabuhan di Surabaya menjadi gerbang masuk dan keluar bagi komoditas penting, menghubungkan Majapahit dengan jaringan perdagangan internasional. Bahkan, pada tahun 1293, di wilayah inilah Raden Wijaya, pendiri Majapahit, berhasil mengalahkan pasukan Mongol yang mencoba menyerbu Jawa, sebuah peristiwa heroik yang kerap diidentifikasi sebagai asal-usul hari jadi Kota Surabaya.

‎ERA KOLONIAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN

‎Memasuki abad ke-16, pengaruh Eropa mulai terasa di Surabaya. Portugis, Belanda, dan Inggris silih berganti mencoba menguasai pelabuhan ini karena nilai strategisnya. Namun, belandalah yang akhirnya berhasil menancapkan kekuasaan mereka secara penuh pada abad ke-18. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, Surabaya berkembang pesat menjadi kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda dan pusat industri, perdagangan, serta militer. Banyak bangunan-bangunan megah bergaya Eropa didirikan, yang sebagian besar masih bisa kita saksikan hingga kini, menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu.

‎Namun, kemajuan ini tidak datang tanpa perlawanan. Semangat perlawanan rakyat Surabaya terhadap penjajah sudah berkobar sejak lama. Puncaknya terjadi pada 10 November 1945, ketika para pemuda Surabaya dengan gagah berani melawan pasukan Sekutu dan NICA yang ingin menduduki kembali Indonesia. Pertempuran sengit ini, yang dikenal sebagai Pertempuran Surabaya, menjadi inspirasi bagi seluruh bangsa Indonesia dan menjadikan Surabaya dijuluki sebagai "Kota Pahlawan". Hari ini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

‎SURABAYA MASA KINI: Metropolis Berbudaya dan Berkemajuan

‎Setelah kemerdekaan, Surabaya terus berbenuh diri. Kota ini bertransformasi menjadi pusat ekonomi, bisnis, pendidikan, dan kebudayaan di Indonesia bagian Timur. Infrastruktur modern seperti jalan tol, jembatan Suramadu yang ikonik, serta bandara internasional Juanda, semakin memperkuat konektivitas Surabaya dengan wilayah lain di Indonesia dan dunia.

‎Pemerintah Kota Surabaya dalam beberapa dekade terakhir gencar melakukan pembangunan dan penataan kota. Ruang terbuka hijau semakin banyak, taman-taman kota dipercantik, dan transportasi publik terus ditingkatkan. Surabaya juga dikenal sebagai kota yang bersih dan tertata rapi, dengan penduduk yang ramah dan multikultural.

‎Di samping modernitasnya, Surabaya tidak melupakan akarnya. Budaya lokal, seperti tarian remo, ludruk, dan berbagai kuliner khas seperti rujak cingur serta lontong balap, tetap lestari dan menjadi daya tarik tersendiri. Semangat kepahlawanan dan kegigihan yang diwariskan oleh para pendahulu juga terus hidup dalam jiwa warganya, mendorong Surabaya untuk terus maju dan berinovasi.

‎Dari sebuah pelabuhan kuno yang ramai, pusat perlawanan heroik, hingga menjadi metropolis modern yang berbudaya, Surabaya adalah cerminan dari semangat pantang menyerah dan kemampuan beradaptasi. Kota ini terus bergerak, siap menyongsong masa depan sambil tetap menghargai sejarahnya yang kaya.

‎Source picture: otosia.com (kawasan Tunjungan tahun 1930)

JAKARTA: Dari Bandar Niaga ke Megapolitan ModernJakarta, sebuah nama yang kini identik dengan hiruk-pikuk kehidupan urba...
28/06/2025

JAKARTA: Dari Bandar Niaga ke Megapolitan Modern

Jakarta, sebuah nama yang kini identik dengan hiruk-pikuk kehidupan urban, gedung pencakar langit, dan denyut nadi ekonomi Indonesia, memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan penuh dinamika. Kisahnya adalah cerminan dari evolusi bangsa, dari sebuah pelabuhan kecil hingga menjadi kota megapolitan yang tak pernah tidur.

JEJAK AWAL KELAHIRAN SUNDA KELAPA (Pra-Kolonial hingga Abad ke-16)

Jauh sebelum bernama Jakarta, wilayah ini adalah sebuah pemukiman pesisir yang strategis, dikenal sebagai Sunda Kelapa. Sejak abad ke-5, area ini sudah menjadi pelabuhan penting bagi Kerajaan Tarumanegara, kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda (Pajajaran). Lokasinya yang berada di muara Sungai Ciliwung menjadikannya gerbang utama perdagangan maritim di pesisir utara Jawa. Berbagai komoditas seperti lada, rempah-rempah, dan hasil bumi lainnya diperdagangkan di sini, menarik perhatian pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Arab, Tiongkok, dan India.
Puncak kejayaan Sunda Kelapa sebagai bandar niaga terjadi di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Namun, pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah, seorang pemimpin dari Kesultanan Demak dan Cirebon, berhasil menaklukkan Sunda Kelapa. Nama kota pun diubah menjadi Jayakarta, yang berarti "kemenangan yang gemilang". Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kota Jakarta.

ERA KOLONIAL: Batavia, Jantung Kekuasaan VOC (Abad ke-17 hingga Pertengahan Abad ke-20)

Masuknya bangsa Eropa ke Nusantara membawa perubahan besar bagi Jayakarta. Pada tahun 1619, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan menghancurkannya. Di atas reruntuhan Jayakarta, VOC mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.

Batavia dirancang sebagai pusat administratif dan perdagangan VOC di Asia. Kota ini dibangun dengan gaya arsitektur Belanda, lengkap dengan kanal-kanal, jembatan, dan bangunan-bangunan megah. Batavia menjadi pusat monopoli perdagangan rempah-rempah dan berkembang menjadi kota kosmopolitan dengan beragam etnis yang mendiaminya, meskipun dengan stratifikasi sosial yang ketat. Banyak bangunan bersejarah dari era ini, seperti Kota Tua (Old Town), Gedung Balai Kota (kini Museum Sejarah Jakarta), dan Gereja Sion, masih berdiri hingga kini, menjadi saksi bisu kejayaan VOC.

Pada masa ini, Batavia juga menghadapi berbagai pemberontakan dan gejolak sosial, termasuk peristiwa Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa pada tahun 1740. Seiring berjalannya waktu, kekuasaan VOC melemah dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1799, digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Batavia tetap menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan kolonial hingga masa pendudukan Jepang.

MASA KEMERDEKAAN: Revolusi dan Ibu Kota Republik (Pertengahan Abad ke-20)

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Batavia kembali ke pangkuan bangsa. Nama Batavia secara resmi diganti kembali menjadi Jakarta. Kota ini menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk pertempuran sengit melawan Sekutu dan NICA.

Pada masa awal kemerdekaan, Jakarta mengemban tugas berat sebagai ibu kota negara Republik Indonesia. Pembangunan infrastruktur mulai digalakkan untuk mendukung fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Jalan-jalan baru dibangun, gedung-gedung pemerintahan didirikan, dan fasilitas umum ditingkatkan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang pesat.

JAKARTA MODERN: Megapolitan dan Pusat Global (Akhir Abad ke-20 hingga Sekarang)

Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, Jakarta bertransformasi menjadi megapolitan yang modern dan dinamis. Perkembangan ekonomi yang pesat mendorong pembangunan gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan megah, dan berbagai fasilitas hiburan. Jakarta menjadi pusat bisnis, keuangan, dan industri di Indonesia, menarik jutaan pendatang dari seluruh penjuru negeri yang mencari peluang.

Infrastruktur transportasi terus ditingkatkan dengan hadirnya TransJakarta, MRT, dan LRT, meskipun masalah kemacetan masih menjadi tantangan utama. Jakarta juga menjadi tuan rumah berbagai event internasional, menunjukkan perannya di kancah global. Sebagai melting pot budaya, Jakarta menjadi rumah bagi beragam suku bangsa dan tradisi, menciptakan mozaik budaya yang kaya.

Namun, pertumbuhan yang pesat ini juga membawa berbagai persoalan, seperti kepadatan penduduk, banjir, polusi udara, dan kesenjangan sosial. Pemerintah terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi tantangan ini, termasuk rencana pemindahan ibu kota negara ke Nusantara di Kalimantan Timur.

Dari sebuah pelabuhan kecil di masa lampau hingga menjadi kota megapolitan yang berdenyut kencang saat ini, Jakarta adalah kota yang tak pernah berhenti berevolusi. Kisahnya adalah tentang perjuangan, pertumbuhan, dan adaptasi, yang terus membentuk karakternya sebagai jantung Indonesia.

source picture : Wikipedia (Pelabuhan Tandjoeng Priok)

BANDUNG : Seuntai Kisah dari Sunda Kelapa hingga Kota KreatifBandung, sebuah nama yang kini identik dengan fashion, kuli...
28/06/2025

BANDUNG : Seuntai Kisah dari Sunda Kelapa hingga Kota Kreatif

Bandung, sebuah nama yang kini identik dengan fashion, kuliner, dan kreativitas, memiliki sejarah panjang dan berliku yang membentuk karakternya yang unik. Kisah Bandung sejatinya dimulai jauh sebelum gemerlap perkotaan modern.

JEJAK AWAL DAN LEGENDA (Pra-Kolonial)

Sebelum menjadi kota yang ramai, wilayah Bandung adalah sebuah cekungan purba yang diperkirakan terbentuk akibat letusan gunung api Sunda purba. Tanah yang subur ini menarik perhatian manusia untuk bermukim. Jejak-jejak peradaban awal ditemukan dalam bentuk situs-situs megalitikum seperti Goa Pawon dan Gua Putri di Padalarang, yang menunjukkan bahwa manusia purba sudah menghuni wilayah ini ribuan tahun lalu.

Legenda lokal pun tak kalah kaya. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Parahu. Kisah cinta terlarang antara ibu dan anak yang berujung pada penciptaan danau dan gunung ini, dipercaya sebagai representasi geologis terbentuknya cekungan Bandung dan gunung berapi di sekitarnya. Wilayah Bandung juga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, yang jejaknya masih bisa ditemukan dalam prasasti dan artefak.

ERA KOLONIAL l: Parijs van Java (Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20)

Titik balik penting dalam sejarah Bandung adalah kedatangan Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini, dengan visinya membangun jalan raya pos (Groote Postweg) dari Anyer hingga Panarukan, memerintahkan pemindahan pusat pemerintahan dari Krapyak ke lokasi yang lebih strategis, yang kini menjadi alun-alun Bandung. Pada tanggal 25 September 1810, secara resmi Bandung dinyatakan sebagai gemeente (kota). Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, Bandung mulai berkembang pesat. Iklim yang sejuk, tanah yang subur untuk perkebunan teh, dan pemandangan alam yang indah menarik banyak orang Eropa. Berbagai bangunan megah bergaya Art Deco didirikan, menjadikannya sebuah kota modern dengan tata kota yang rapi. Gedung Sate, Hotel Savoy Homann, dan Villa Isola adalah beberapa contoh arsitektur kolonial yang masih berdiri kokoh hingga kini. Karena keindahan dan kemajuannya, Bandung dijuluki "Parijs van Java" (Parisnya Jawa).

Pada masa ini, Bandung juga menjadi pusat pendidikan dan penelitian. Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB), didirikan pada tahun 1920, menjadikannya salah satu institusi pendidikan tinggi tertua di Indonesia.

MASA KEMERDEKAAN DAN KONFERENSI ASIA-AFRIKA (Pertengahan Abad ke-20)

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Bandung turut merasakan gejolak revolusi. Peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946 menjadi salah satu momen heroik di mana rakyat Bandung membakar kota mereka sendiri agar tidak dimanfaatkan oleh pasukan Sekutu dan NICA.

Namun, sejarah paling monumental bagi Bandung pasca-kemerdekaan adalah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955. Acara bersejarah ini dihadiri oleh para pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika, melahirkan Dasa Sila Bandung yang menjadi fondasi Gerakan Non-Blok. KAA membawa Bandung ke panggung dunia, menegaskan perannya dalam memperjuangkan perdamaian dan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Gedung Merdeka, tempat KAA diselenggarakan, kini menjadi museum dan saksi bisu peristiwa penting tersebut.

BANDUNG MODERN : Kota Kreatif dan Inovasi (Akhir Abad ke-20 hingga Sekarang)

Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, Bandung terus bertransformasi. Dengan populasi mahasiswa yang besar dan keberadaan berbagai perguruan tinggi terkemuka, Bandung menjadi pusat inovasi dan kreativitas. Munculnya distro (distribution outlet) dan factory outlet (FO) pada tahun 90-an menjadikan Bandung sebagai kiblat fashion di Indonesia. Tren ini didukung oleh banyaknya desainer muda dan pengusaha kreatif yang bermunculan.

Sektor kuliner Bandung juga tak kalah berkembang. Berbagai kafe, restoran, dan gerai makanan dengan konsep unik terus bermunculan, menjadikannya destinasi wisata kuliner favorit. Selain itu, Bandung juga dikenal sebagai kota yang ramah terhadap seni dan budaya. Banyak galeri seni, pertunjukan musik, dan festival budaya yang rutin diselenggarakan, mencerminkan semangat kreatif warganya.

Namun, pertumbuhan pesat ini juga membawa tantangan, seperti kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, dan masalah lingkungan. Pemerintah kota terus berupaya mencari solusi untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan.

Dari cekungan purba yang misterius hingga menjadi "Kota Kreatif" yang dinamis, Bandung terus menulis kisahnya sendiri. Dengan warisan sejarah yang kaya, semangat inovasi yang tak pernah padam, dan masyarakatnya yang ramah, Bandung tetap menjadi permata di tanah Pasundan, siap menghadapi tantangan masa depan dengan penuh optimisme.

Source picture: Wikipedia (alun-alun kota Bandung)

Bilal bin Rabah: Simbol Keteguhan ImanBilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang disiksa dengan kejam oleh...
28/06/2025

Bilal bin Rabah: Simbol Keteguhan Iman

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang disiksa dengan kejam oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf, karena memeluk Islam. Umayyah akan menindihnya dengan batu besar di gurun yang panas membakar seraya memaksanya untuk meninggalkan Islam dan memuja berhala. Namun, Bilal tak pernah menyerah. Setiap kali disiksa, ia hanya mengulang satu kata dengan suara yang kuat: "Ahad! Ahad!" (Allah Maha Esa! Allah Maha Esa!).

Keteguhannya akhirnya didengar oleh Abu Bakar As-Siddiq, yang kemudian memerdekakannya. Bilal lalu menjadi muazin (orang yang mengumandangkan azan) pertama dalam Islam, dan suaranya yang merdu selalu menjadi penanda waktu sholat. Kisahnya adalah pengingat tentang kekuatan iman yang tak tergoyahkan bahkan di bawah tekanan terberat.

Source picture: ngajivirtual.wordpres.com

13/08/2024

Address


Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when BerLima posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share