12/08/2025
💔Pulang ke Rumah Orang Tua💔
Indra dan Maudy sudah menikah selama lima tahun. Hubungan mereka, seperti kebanyakan pasangan, tidak selalu berjalan mulus. Namun, ada satu kebiasaan Indra yang selalu menjadi duri dalam pernikahan mereka: setiap kali mereka bertengkar, Indra memilih pergi—bukan hanya keluar rumah untuk menenangkan diri, tapi ia benar-benar pulang ke rumah orang tuanya, kadang bisa berhari-hari, meninggalkan Maudy dalam kebingungan dan rasa sakit.
Awalnya, Maudy mencoba memahami. Mungkin Indra butuh waktu. Mungkin itu caranya meredakan emosi. Tapi lama-kelamaan, Maudy merasa cara itu seperti membelah rumah mereka. Rumah yang seharusnya jadi tempat kembali justru seringkali kosong tanpa sosok Indra.
Suatu sore, pertengkaran kecil soal pengaturan keuangan kembali pecah. Maudy merasa Indra terlalu boros membantu keluarga besarnya tanpa membicarakannya dulu.
"Indra, aku bukan melarang kamu membantu orang tua atau adik-adikmu, tapi tolong, kita diskusikan dulu. Ada pengeluaran rumah yang harus kita prioritaskan," ujar Maudy, menahan nada suaranya agar tetap lembut.
Indra menghela napas berat, meletakkan kunci motor di atas meja. "Kenapa sih kamu selalu perhitungan? Itu orang tuaku, keluargaku. Mereka sudah membesarkanku."
"Aku tahu. Aku nggak pernah melarang kamu membantu mereka. Aku hanya minta kita bicarakan dulu. Aku juga nggak mau kamu jadi lupa sama tanggung jawab di rumah ini."
Indra berdiri. Maudy langsung tahu, ini tanda dia akan pergi lagi.
"Udah ah. Aku males debat. Aku mau ke rumah Bapak dulu."
Maudy menatapnya dengan kecewa. "Indra, bisakah sekali saja kita selesaikan tanpa kamu pergi?"
Indra tetap melangkah ke pintu. "Aku butuh waktu."
"Tapi dengan kamu pergi, masalah kita nggak selesai, Indra. Kamu malah menumpuk jarak. Aku di sini nunggu kamu, nunggu kamu pulang, nunggu kamu ngomong, tapi kamu terus kabur. Sampai kapan?"
Indra tidak menjawab. Suara pintu yang dibanting jadi jawaban yang paling Maudy benci.
Tiga hari berlalu. Maudy tidak menghubungi Indra. Biasanya, ia akan mengalah lebih dulu, menelepon, meminta maaf meski ia tidak merasa salah. Tapi kali ini, ia ingin Indra tahu rasanya menunggu.
Di sisi lain, Indra duduk termenung di ruang tamu rumah orang tuanya.
"Kenapa kamu di sini lagi, Ndra?" tanya ibunya dengan nada lembut, tapi penuh makna.
Indra menghela napas. "Berantem lagi, Bu."
Ibunya memandang Indra, matanya berkaca-kaca. "Kamu pikir dengan kabur ke sini masalahmu selesai? Kamu pikir Maudy nggak capek terus-terusan ditinggal kayak gini?"
"Bu, aku cuma butuh waktu buat tenang."
Ibunya menggenggam tangan Indra. "Kamu itu kepala rumah tangga, Ndra. Kalau ada api, kamu harus padamkan, bukan malah lari ninggalin rumah kebakaran."
Indra menunduk. "Aku takut kalau aku marah, aku ngomong yang nggak-nggak."
"Kalau gitu, ya belajar menahan marah di dekat istrimu. Jangan pergi. Kasih dia rasa aman kalau kamu nggak akan pergi kemana-mana meski lagi marah."
Perkataan ibunya terus terngiang di kepala Indra sepanjang malam.
Malam keempat, Indra memberanikan diri pulang. Rumah terasa sepi. Lampu ruang tamu sudah mati. Ia masuk perlahan, menemukan Maudy sudah tertidur di sofa dengan mata bengkak. Di meja, ada piring berisi makanan yang tampaknya sudah dingin.
Indra duduk di lantai, memandang wajah istrinya yang damai dalam lelahnya.
"Maaf, Maudy… Aku selalu egois," bisiknya pelan.
Maudy membuka matanya perlahan. Entah sejak kapan ia terjaga.
"Aku capek, Ndra. Aku capek terus nunggu kamu pulang setiap kita ribut," suaranya pelan, tapi terasa seperti pukulan bagi Indra.
Indra menunduk, menggenggam tangan Maudy. "Aku nggak akan pergi lagi. Aku janji. Aku salah. Aku kira dengan pergi aku bisa menenangkan diri, tapi justru aku bikin kamu semakin sakit. Aku mau belajar menghadapi semuanya sama kamu, bukan kabur."
Maudy menatap mata suaminya, mencari kejujuran di sana. "Kamu yakin?"
Indra mengangguk, menggenggam tangan Maudy lebih erat. "Iya. Kalau aku marah, aku tetap di rumah. Kalau aku lelah, aku tetap di samping kamu. Rumah ini tempat kita bertumbuh, kan?"
Maudy menghela napas lega, menahan tangis yang nyaris pecah.
"Jangan cuma janji, Ndra. Buktikan."
"Ya. Aku akan buktikan."
Indra memeluk Maudy erat. Pelukan yang selama ini selalu Maudy rindukan setiap kali suaminya memilih pergi.
Malam itu, rumah kecil mereka terasa lebih hangat. Mungkin luka mereka tidak sembuh seketika, tapi setidaknya mereka sudah memilih untuk tetap tinggal, tetap menghadapi badai bersama. Karena rumah bukan tempat untuk kabur. Rumah adalah tempat untuk pulang—bersama.
Beberapa bulan setelah Indra berjanji tidak akan meninggalkan rumah lagi setiap mereka bertengkar, hubungan mereka berjalan lebih baik. Indra belajar menahan emosi, Maudy belajar mengatur kata-kata. Tapi, hidup tak pernah seindah janji.
Suatu hari, masalah kembali datang. Kali ini soal keputusan Maudy yang tanpa sepengetahuan Indra mengambil tabungan mereka untuk membantu adiknya yang sedang sakit.
Indra pulang dengan wajah kesal setelah mengetahui isi rekeningnya berkurang drastis.
"Maudy! Kenapa kamu ambil uang itu tanpa bilang ke aku dulu?" suara Indra meninggi, napasnya memburu menahan amarah.
"Aku nggak niat nyembunyiin. Aku cuma panik, Ndra. Adikku butuh segera. Aku kira kamu akan ngerti..."
"Ngerti? Ngerti gimana? Itu tabungan buat renovasi rumah! Kenapa kamu nggak bisa belajar ngomong dulu sebelum bertindak?"
Maudy terdiam. Suaranya mulai bergetar. "Aku minta maaf... aku salah. Tapi kamu juga dulu s**a ambil keputusan tanpa bilang aku."
"Tapi aku selalu tahu batasnya!"
"Jangan-jangan kamu cuma janji waktu itu buat nenangin aku aja, ya? Sekarang kamu mau pergi lagi? Pergilah kalau kamu mau!"
Indra mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak membanting apa pun. Ia mengingat janjinya. Tapi dalam hatinya, rasa kecewa dan marah bercampur aduk. Ia memilih keluar rumah, berjalan cepat menuju motornya. Maudy mengejarnya sampai teras.
"Ndra! Jangan ulangi lagi kebiasaan lama! Jangan pergi!" teriak Maudy dengan suara parau.
Indra berhenti sejenak. Ia ingin menoleh, tapi gengsinya menahannya.
"Aku butuh waktu sendiri," katanya singkat sebelum melaju pergi.
Tangis Maudy pecah saat itu juga.
Indra kembali ke rumah orang tuanya. Kali ini, kebetulan ada kakak iparnya, suami dari kakaknya, yang memang dari dulu tidak begitu menyukai Maudy.
"Udah, Ndra. Kamu tuh terlalu baik sama istrimu. Dia udah jelas nggak menghargai kamu. Bayangin aja, ngambil duit tabungan tanpa izin. Itu nggak masuk akal, Ndra," ujar kakak iparnya, Bima, sambil menghisap rokok.
"Bima, aku juga salah dulu. Aku sering ambil keputusan tanpa Maudy tahu. Aku takut aku egois lagi."
"Ah, kamu kebanyakan mikir. Kamu tuh suami, Ndra. Kamu kepala rumah tangga. Kalau istri udah berani kayak gitu, besok-besok kamu bakal diinjek. Percaya deh, istri kayak gitu tuh harus dikasih pelajaran. Biar dia tahu rasa."
Indra terdiam. Kata-kata Bima seperti api kecil yang disulut bensin. Dalam hati, ia ingin pulang, tapi egonya semakin membesar.
"Jadi aku biarin aja gini?" tanya Indra ragu.
"Biarkan. Biar dia ngerasain ditinggal. Kalau dia beneran sayang, pasti dia yang bakal nyusul kamu. Biar dia yang minta maaf duluan."
Indra mengangguk pelan. Ia termakan hasutan.
Tiga hari berlalu. Maudy tak menghubunginya. Maudy terlalu marah dan terlalu sakit hati karena Indra mengingkari janjinya.
Ibu Indra sampai menegur. "Kamu kok di sini lagi, Ndra? Kamu nggak inget janjimu ke Maudy?"
Indra menunduk. "Aku marah, Bu. Dia ambil uang kita tanpa bilang."
"Jadi kamu ulangi kesalahan yang sama? Kamu mau sampai kapan kayak gini? Ibu sedih, Ndra. Rumah tangga itu dibangun, bukan ditinggalin pas lagi retak."
"Bima bilang—"
Ibu Indra memotong tegas, "Bima bukan contoh yang baik. Jangan tiru dia. Rumah tangganya aja hampir berantakan."
Indra terdiam, matanya memanas.
"Kalau kamu terus kayak gini, Maudy bisa capek, Ndra. Dia bisa berhenti nunggu kamu."
Perkataan ibunya membuat dadanya sesak. Ada rasa takut kehilangan yang tiba-tiba mencuat. Ia buru-buru pulang malam itu juga.
Sampai di rumah, Maudy sudah tidak ada.
Di meja, ada secarik kertas.
"Ndra, mungkin kamu lebih nyaman pergi daripada tinggal di rumah kita saat masalah datang. Aku lelah jadi orang yang selalu nunggu kamu pulang. Aku pergi ke rumah orang tuaku. Aku juga butuh waktu. Kali ini, bukan aku yang harus mencari kamu, tapi kamu yang harus memutuskan: mau pulang, atau mau terus kabur?"
Indra terduduk lemas, menggenggam kertas itu erat. Dadanya terasa hampa.
"Maudy... aku salah lagi..." bisiknya lirih.
Ia menyandarkan tubuhnya di dinding ruang tamu yang terasa begitu kosong malam itu.
Ia baru sadar, mungkin selama ini bukan Maudy yang harus berubah. Tapi dirinya.