Ootd style

Ootd style Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Ootd style, Digital creator, .

Aaamiin 🤲🤲🤲
13/08/2025

Aaamiin 🤲🤲🤲

Aaamiin....
13/08/2025

Aaamiin....

📍Genggaman Terakhir di Pasar Tengah📍Pasar Tengah, tempat yang hiruk-pikuk sejak pagi buta. Suara pedagang bersahut-sahut...
12/08/2025

📍Genggaman Terakhir di Pasar Tengah📍

Pasar Tengah, tempat yang hiruk-pikuk sejak pagi buta. Suara pedagang bersahut-sahutan, aroma bumbu dapur bercampur dengan keringat, dan langkah kaki saling berdesakan.

Di antara keramaian itu, seorang ibu bernama Bu Inah menggandeng tangan anak laki-laki semata wayangnya yang baru berusia lima tahun, Raka. Bocah kecil itu memakai kaos bergambar dinosaurus, celana pendek biru tua, dan sandal jepit yang sedikit kebesaran. Wajahnya berseri, matanya menatap penuh rasa ingin tahu pada setiap sudut pasar.

"Jangan lepas dari tangan Ibu, ya, Nak," pesan Bu Inah sambil mengeratkan genggamannya.

"Iya, Bu..." sahut Raka dengan suara pelan, lebih sibuk melihat burung dara yang dikurung dalam kandang bambu di dekat pedagang ayam.

Tapi takdir kadang tidak perlu alasan untuk berbelok. Dalam sekejap yang tak lebih dari beberapa detik, ketika Bu Inah sedang menawar harga ikan tongkol dan menoleh ke penjual, genggaman itu terlepas. Hanya sekejap. Secepat kedipan mata.

Saat ia sadar tangan mungil itu tak lagi di genggamannya, detak jantungnya melonjak.

"Raka?" panggilnya sambil menoleh ke belakang. Tidak ada. Hanya wajah-wajah asing yang berlalu-lalang.

“Raka!” teriaknya lebih keras, mulai panik.

Ia berlari ke sana-sini, menyusuri setiap lorong pasar, bertanya ke setiap pedagang, menunjukkan foto dari ponselnya, foto satu-satunya yang dipotret saat ulang tahun Raka dua bulan lalu. Tapi semua hanya menggeleng. Tidak ada yang melihat, tidak ada yang tahu.

Jam demi jam berlalu. Hari berganti minggu. Laporan ke pihak berwajib tak membuahkan hasil. Tidak ada jejak, tidak ada saksi, tidak ada petunjuk.

Setiap hari Bu Inah tetap ke pasar, bukan untuk belanja, tapi mencari atau lebih tepatnya berharap. Duduk di bangku kayu dekat warung kopi, ia memandangi kerumunan sambil menggenggam erat kaos kecil bergambar dinosaurus milik Raka. Hatinya menolak berhenti percaya.

Tetangganya mulai menjauh. Orang-orang mulai membisikkan kesalahan yang tak pernah ia lakukan,

“Kenapa bisa lepas dari genggaman?”

“Apa dia lengah?”

“Anaknya diculik, pasti karena kelalaiannya sendiri.”

Tapi ia hanya diam, dan tetap datang setiap hari.

Tiga tahun berlalu.

Pasar masih berdiri. Pedagang berubah, bangunan direnovasi. Tapi di bangku yang sama, Bu Inah tetap duduk, tubuhnya kini lebih kurus, kulitnya keriput lebih cepat dari usianya. Hatinya telah menua sebelum waktunya.

Hingga suatu hari, seorang pria tua penjual koran yang biasa mangkal di dekat pintu masuk, menghampirinya dengan wajah bingung.

“Inah, ini anak kecil... dia tidur dekat gerobak saya semalam. Katanya nggak punya rumah. Tapi... wajahnya mirip almarhum suamimu.”

Dada Bu Inah sesak. Ia bangkit perlahan dan mendekat.

Seorang anak laki-laki kira-kira delapan tahun duduk terkantuk-kantuk, memeluk tubuh sendiri yang kedinginan. Rambutnya kotor, wajahnya pucat, dan ia tampak linglung. Tapi mata itu... mata itu tidak mungkin salah.

“Raka…” bisik Bu Inah nyaris tak terdengar.

Anak itu menatap, seolah tak mengenal.

“Raka, Nak… ini Ibu... kamu ingat?”

Anak itu mengerutkan dahi.

“Saya… saya bukan Raka… nama saya Danu.”

Seperti disambar petir, Bu Inah menunduk, menangis tanpa suara.

“Dia bilang tinggal di rumah kosong dekat rel. Katanya disuruh ngamen sama seorang Om yang sering mukul kalau dia nggak dapet uang,” kata pria penjual koran itu pelan.

Bu Inah membawa anak itu ke rumahnya. Memandikannya, memberinya makan, memakaikannya kaos kecil yang masih ia simpan. Ia mulai memanggilnya Raka, dan anak itu perlahan diam, tak menolak.

Orang-orang mulai mengira ia sudah gila. Tapi bagi Bu Inah, anak itu adalah harapan yang datang kembali. Ia tahu anak itu bukan Raka, tapi... ia butuh sesuatu untuk tetap hidup.

Enam bulan berlalu.

Suatu malam, anak itu jatuh sakit. Parah. Bu Inah menggendongnya ke puskesmas meski hujan mulai turun. Tak ada BPJS, tak ada uang. Anak itu menggigil di pangkuannya.

“Bu... saya sayang sama Ibu,” bisiknya lirih.

Tangis Bu Inah pecah.

“Ibu juga, Nak… Ibu sayang…”

Itulah kalimat terakhir.

Anak itu meninggal di pangkuannya.

Dan Bu Inah?

Ia duduk diam di trotoar depan puskesmas sampai pagi, memeluk tubuh kecil yang dingin. Wajahnya kosong, matanya menatap jauh... seperti menunggu seseorang.

Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia tidak pergi ke pasar.

Ia tidak pergi ke mana-mana lagi.

Karena hari itu, dunia telah mengambil anaknya… untuk kedua kalinya.

Jenazah bocah kecil itu dikuburkan dengan sederhana. Tak banyak orang yang datang, hanya petugas puskesmas, dua tetangga yang simpati, dan seorang tukang gali kubur tua yang tak banyak bicara.

Bu Inah berdiri sendiri. Tubuhnya gemetar, matanya sembab. Ia berdiri terlalu lama di depan gundukan tanah yang masih merah. Di tangannya masih tergenggam sandal kecil milik anak itu. Bukan sandal Raka. Tapi kini, ia tak tahu lagi bagaimana membedakan cinta, harapan, dan ilusi.

Hari-hari berikutnya jadi lebih sunyi dari biasanya.

Dapur tak lagi berasap. Lantai rumah penuh debu. Piring-piring menumpuk di wastafel, dan baju yang biasa ia cuci dengan penuh hati kini hanya tertumpuk di sudut, menguning dan berbau apek. Warga sekitar mulai benar-benar menjauh, tak lagi menyapa. Mereka sudah lelah bicara dengan orang yang katanya “sudah tak waras”.

Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kata-kata atau tatapan aneh tetangga. Yang paling menyakitkan adalah... rumah itu tak lagi memiliki suara anak kecil.

Tak ada lagi tawa.
Tak ada lagi tangisan kecil yang dulu selalu membuatnya repot.
Tak ada lagi permintaan sederhana seperti “Bu, Raka mau makan tempe goreng.”

Kini, yang tersisa hanya kaos dinosaurus dan sandal kecil itu. Dua benda yang ia peluk setiap malam, seperti pelukan kepada bayangan yang tak pernah kembali.

Setiap malam, Bu Inah bermimpi duduk di bangku pasar. Tapi dalam mimpi, pasar itu kosong. Tak ada pedagang, tak ada pembeli. Hanya suara langkah kecil seorang anak yang tak pernah menoleh ke arahnya.

“Raka...” gumamnya lirih, mencoba mengejar.Tapi langkahnya berat. Kakinya seolah terikat. Dan setiap kali ia berlari, sosok anak itu makin menjauh... hingga menghilang di ujung lorong.

Ia selalu terbangun dengan napas terengah-engah dan dada yang sesak.

Suatu pagi, Bu Inah keluar rumah. Rambutnya sudah putih sepenuhnya, tubuhnya lebih ringkih, tapi langkahnya mantap. Ia berjalan menuju Pasar Tengah, seperti kebiasaan lamanya.

Namun hari itu berbeda.

Ia tidak membawa tas belanja. Tidak membawa dompet. Ia hanya menggenggam kaos dinosaurus kecil di tangan kanannya.

Ia berhenti di bangku tua tempatnya biasa duduk. Bangku itu sudah reyot, bagian sandarannya mulai lepas. Tapi ia tetap duduk, menatap kosong ke arah kerumunan pasar yang kini penuh wajah-wajah baru.

Ia tak mencari siapa-siapa lagi.

Ia hanya diam. Lama.

Hingga matahari hampir mencapai puncaknya, seorang tukang parkir muda melihat tubuh renta itu masih diam, kepala tertunduk.

“Bu… Bu Inah?”

Tak ada sahutan.

Ia mendekat, menyentuh pundak Bu Inah pelan.

Tubuh itu dingin.

Kaos kecil bergambar dinosaurus masih tergenggam di tangannya, erat, seperti tak pernah ingin dilepas lagi.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, wajah Bu Inah terlihat tenang. Tidak sedih. Tidak cemas. Seolah ia baru saja bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama ia cari.

Orang-orang mengelilinginya. Beberapa menangis. Beberapa diam, merasa bersalah telah terlalu lama menilai.

Bu Inah akhirnya berhenti mencari.

Karena mungkin, akhirnya... tangan kecil itu kembali menggenggam tangannya di tempat yang tak lagi bisa dilihat mata manusia.

Lama tak terlihat di layar kaca...Furry Setya Raharja atau yang kita lebih kenal mas pur purnomo di serial top tukang oj...
12/08/2025

Lama tak terlihat di layar kaca...
Furry Setya Raharja atau yang kita lebih kenal mas pur purnomo di serial top tukang ojek pengkolan,kini harus mendekam di duga tarkait kasus...Selengkapnya ‎ ‎

Semoga terwujud 🤲🤲🤲
12/08/2025

Semoga terwujud 🤲🤲🤲

Aaamiin 🤲🤲🤲🤲
12/08/2025

Aaamiin 🤲🤲🤲🤲

💔Pulang ke Rumah Orang Tua💔Indra dan Maudy sudah menikah selama lima tahun. Hubungan mereka, seperti kebanyakan pasangan...
12/08/2025

💔Pulang ke Rumah Orang Tua💔

Indra dan Maudy sudah menikah selama lima tahun. Hubungan mereka, seperti kebanyakan pasangan, tidak selalu berjalan mulus. Namun, ada satu kebiasaan Indra yang selalu menjadi duri dalam pernikahan mereka: setiap kali mereka bertengkar, Indra memilih pergi—bukan hanya keluar rumah untuk menenangkan diri, tapi ia benar-benar pulang ke rumah orang tuanya, kadang bisa berhari-hari, meninggalkan Maudy dalam kebingungan dan rasa sakit.

Awalnya, Maudy mencoba memahami. Mungkin Indra butuh waktu. Mungkin itu caranya meredakan emosi. Tapi lama-kelamaan, Maudy merasa cara itu seperti membelah rumah mereka. Rumah yang seharusnya jadi tempat kembali justru seringkali kosong tanpa sosok Indra.

Suatu sore, pertengkaran kecil soal pengaturan keuangan kembali pecah. Maudy merasa Indra terlalu boros membantu keluarga besarnya tanpa membicarakannya dulu.

"Indra, aku bukan melarang kamu membantu orang tua atau adik-adikmu, tapi tolong, kita diskusikan dulu. Ada pengeluaran rumah yang harus kita prioritaskan," ujar Maudy, menahan nada suaranya agar tetap lembut.

Indra menghela napas berat, meletakkan kunci motor di atas meja. "Kenapa sih kamu selalu perhitungan? Itu orang tuaku, keluargaku. Mereka sudah membesarkanku."

"Aku tahu. Aku nggak pernah melarang kamu membantu mereka. Aku hanya minta kita bicarakan dulu. Aku juga nggak mau kamu jadi lupa sama tanggung jawab di rumah ini."

Indra berdiri. Maudy langsung tahu, ini tanda dia akan pergi lagi.

"Udah ah. Aku males debat. Aku mau ke rumah Bapak dulu."

Maudy menatapnya dengan kecewa. "Indra, bisakah sekali saja kita selesaikan tanpa kamu pergi?"

Indra tetap melangkah ke pintu. "Aku butuh waktu."

"Tapi dengan kamu pergi, masalah kita nggak selesai, Indra. Kamu malah menumpuk jarak. Aku di sini nunggu kamu, nunggu kamu pulang, nunggu kamu ngomong, tapi kamu terus kabur. Sampai kapan?"

Indra tidak menjawab. Suara pintu yang dibanting jadi jawaban yang paling Maudy benci.

Tiga hari berlalu. Maudy tidak menghubungi Indra. Biasanya, ia akan mengalah lebih dulu, menelepon, meminta maaf meski ia tidak merasa salah. Tapi kali ini, ia ingin Indra tahu rasanya menunggu.

Di sisi lain, Indra duduk termenung di ruang tamu rumah orang tuanya.

"Kenapa kamu di sini lagi, Ndra?" tanya ibunya dengan nada lembut, tapi penuh makna.

Indra menghela napas. "Berantem lagi, Bu."

Ibunya memandang Indra, matanya berkaca-kaca. "Kamu pikir dengan kabur ke sini masalahmu selesai? Kamu pikir Maudy nggak capek terus-terusan ditinggal kayak gini?"

"Bu, aku cuma butuh waktu buat tenang."

Ibunya menggenggam tangan Indra. "Kamu itu kepala rumah tangga, Ndra. Kalau ada api, kamu harus padamkan, bukan malah lari ninggalin rumah kebakaran."

Indra menunduk. "Aku takut kalau aku marah, aku ngomong yang nggak-nggak."

"Kalau gitu, ya belajar menahan marah di dekat istrimu. Jangan pergi. Kasih dia rasa aman kalau kamu nggak akan pergi kemana-mana meski lagi marah."

Perkataan ibunya terus terngiang di kepala Indra sepanjang malam.

Malam keempat, Indra memberanikan diri pulang. Rumah terasa sepi. Lampu ruang tamu sudah mati. Ia masuk perlahan, menemukan Maudy sudah tertidur di sofa dengan mata bengkak. Di meja, ada piring berisi makanan yang tampaknya sudah dingin.

Indra duduk di lantai, memandang wajah istrinya yang damai dalam lelahnya.

"Maaf, Maudy… Aku selalu egois," bisiknya pelan.

Maudy membuka matanya perlahan. Entah sejak kapan ia terjaga.

"Aku capek, Ndra. Aku capek terus nunggu kamu pulang setiap kita ribut," suaranya pelan, tapi terasa seperti pukulan bagi Indra.

Indra menunduk, menggenggam tangan Maudy. "Aku nggak akan pergi lagi. Aku janji. Aku salah. Aku kira dengan pergi aku bisa menenangkan diri, tapi justru aku bikin kamu semakin sakit. Aku mau belajar menghadapi semuanya sama kamu, bukan kabur."

Maudy menatap mata suaminya, mencari kejujuran di sana. "Kamu yakin?"

Indra mengangguk, menggenggam tangan Maudy lebih erat. "Iya. Kalau aku marah, aku tetap di rumah. Kalau aku lelah, aku tetap di samping kamu. Rumah ini tempat kita bertumbuh, kan?"

Maudy menghela napas lega, menahan tangis yang nyaris pecah.

"Jangan cuma janji, Ndra. Buktikan."

"Ya. Aku akan buktikan."

Indra memeluk Maudy erat. Pelukan yang selama ini selalu Maudy rindukan setiap kali suaminya memilih pergi.

Malam itu, rumah kecil mereka terasa lebih hangat. Mungkin luka mereka tidak sembuh seketika, tapi setidaknya mereka sudah memilih untuk tetap tinggal, tetap menghadapi badai bersama. Karena rumah bukan tempat untuk kabur. Rumah adalah tempat untuk pulang—bersama.

Beberapa bulan setelah Indra berjanji tidak akan meninggalkan rumah lagi setiap mereka bertengkar, hubungan mereka berjalan lebih baik. Indra belajar menahan emosi, Maudy belajar mengatur kata-kata. Tapi, hidup tak pernah seindah janji.

Suatu hari, masalah kembali datang. Kali ini soal keputusan Maudy yang tanpa sepengetahuan Indra mengambil tabungan mereka untuk membantu adiknya yang sedang sakit.

Indra pulang dengan wajah kesal setelah mengetahui isi rekeningnya berkurang drastis.

"Maudy! Kenapa kamu ambil uang itu tanpa bilang ke aku dulu?" suara Indra meninggi, napasnya memburu menahan amarah.

"Aku nggak niat nyembunyiin. Aku cuma panik, Ndra. Adikku butuh segera. Aku kira kamu akan ngerti..."

"Ngerti? Ngerti gimana? Itu tabungan buat renovasi rumah! Kenapa kamu nggak bisa belajar ngomong dulu sebelum bertindak?"

Maudy terdiam. Suaranya mulai bergetar. "Aku minta maaf... aku salah. Tapi kamu juga dulu s**a ambil keputusan tanpa bilang aku."

"Tapi aku selalu tahu batasnya!"

"Jangan-jangan kamu cuma janji waktu itu buat nenangin aku aja, ya? Sekarang kamu mau pergi lagi? Pergilah kalau kamu mau!"

Indra mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak membanting apa pun. Ia mengingat janjinya. Tapi dalam hatinya, rasa kecewa dan marah bercampur aduk. Ia memilih keluar rumah, berjalan cepat menuju motornya. Maudy mengejarnya sampai teras.

"Ndra! Jangan ulangi lagi kebiasaan lama! Jangan pergi!" teriak Maudy dengan suara parau.

Indra berhenti sejenak. Ia ingin menoleh, tapi gengsinya menahannya.

"Aku butuh waktu sendiri," katanya singkat sebelum melaju pergi.

Tangis Maudy pecah saat itu juga.

Indra kembali ke rumah orang tuanya. Kali ini, kebetulan ada kakak iparnya, suami dari kakaknya, yang memang dari dulu tidak begitu menyukai Maudy.

"Udah, Ndra. Kamu tuh terlalu baik sama istrimu. Dia udah jelas nggak menghargai kamu. Bayangin aja, ngambil duit tabungan tanpa izin. Itu nggak masuk akal, Ndra," ujar kakak iparnya, Bima, sambil menghisap rokok.

"Bima, aku juga salah dulu. Aku sering ambil keputusan tanpa Maudy tahu. Aku takut aku egois lagi."

"Ah, kamu kebanyakan mikir. Kamu tuh suami, Ndra. Kamu kepala rumah tangga. Kalau istri udah berani kayak gitu, besok-besok kamu bakal diinjek. Percaya deh, istri kayak gitu tuh harus dikasih pelajaran. Biar dia tahu rasa."

Indra terdiam. Kata-kata Bima seperti api kecil yang disulut bensin. Dalam hati, ia ingin pulang, tapi egonya semakin membesar.

"Jadi aku biarin aja gini?" tanya Indra ragu.

"Biarkan. Biar dia ngerasain ditinggal. Kalau dia beneran sayang, pasti dia yang bakal nyusul kamu. Biar dia yang minta maaf duluan."

Indra mengangguk pelan. Ia termakan hasutan.

Tiga hari berlalu. Maudy tak menghubunginya. Maudy terlalu marah dan terlalu sakit hati karena Indra mengingkari janjinya.

Ibu Indra sampai menegur. "Kamu kok di sini lagi, Ndra? Kamu nggak inget janjimu ke Maudy?"

Indra menunduk. "Aku marah, Bu. Dia ambil uang kita tanpa bilang."

"Jadi kamu ulangi kesalahan yang sama? Kamu mau sampai kapan kayak gini? Ibu sedih, Ndra. Rumah tangga itu dibangun, bukan ditinggalin pas lagi retak."

"Bima bilang—"

Ibu Indra memotong tegas, "Bima bukan contoh yang baik. Jangan tiru dia. Rumah tangganya aja hampir berantakan."

Indra terdiam, matanya memanas.

"Kalau kamu terus kayak gini, Maudy bisa capek, Ndra. Dia bisa berhenti nunggu kamu."

Perkataan ibunya membuat dadanya sesak. Ada rasa takut kehilangan yang tiba-tiba mencuat. Ia buru-buru pulang malam itu juga.

Sampai di rumah, Maudy sudah tidak ada.

Di meja, ada secarik kertas.

"Ndra, mungkin kamu lebih nyaman pergi daripada tinggal di rumah kita saat masalah datang. Aku lelah jadi orang yang selalu nunggu kamu pulang. Aku pergi ke rumah orang tuaku. Aku juga butuh waktu. Kali ini, bukan aku yang harus mencari kamu, tapi kamu yang harus memutuskan: mau pulang, atau mau terus kabur?"

Indra terduduk lemas, menggenggam kertas itu erat. Dadanya terasa hampa.

"Maudy... aku salah lagi..." bisiknya lirih.

Ia menyandarkan tubuhnya di dinding ruang tamu yang terasa begitu kosong malam itu.

Ia baru sadar, mungkin selama ini bukan Maudy yang harus berubah. Tapi dirinya.

Hukuman M*ti di Depan Mata, Aktor Ganteng ini Cuma Minta Dibawakan Makanan Sisa di Penjara, Ternyata Punya Alasan Mulia ...
12/08/2025

Hukuman M*ti di Depan Mata, Aktor Ganteng ini Cuma Minta Dibawakan Makanan Sisa di Penjara, Ternyata Punya Alasan Mulia Dibaliknya...Lihat selengkapnya ‎ ‎

Aaamiin......
12/08/2025

Aaamiin......

Inalillahi😭😭Kabar duka Datang Dari dunia Artis Kini Dilarikan kerumah sakit dengan status gawat darurat...Fahmi BO salah...
12/08/2025

Inalillahi😭😭
Kabar duka Datang Dari dunia Artis Kini Dilarikan kerumah sakit dengan status gawat darurat...
Fahmi BO salah satu Aktor tanah air namanya cukup Besar Di panggung hiburan cuma disaat dia sakit tidak ada yang bisa jenguk beliau...
Mohon doanya kawan🤲🏻 ‎

Aaamiin
12/08/2025

Aaamiin

Address


Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ootd style posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share