
06/07/2025
SIANG PEMBANTU, MALAM MELAYANIKU
Aku adalah pembantu di rumah Tuan. Namaku Maya. Aku hanya seorang gadis biasa yang datang dari desa, mencari nafkah di kota besar ini. Tugasku di rumah ini lebih dari sekadar bersih-bersih; aku menjaga semua kebutuhan Tuan Adrian, seorang pengusaha sukses yang hidup sendiri di rumah megah ini. Dia seperti pangeran yang hidup dalam menara kaca: tampan, berkuasa, tetapi dingin dan jauh.
Namun, setiap malam, menara itu runtuh.
Setiap malam, aku mendengar suara langkah kakinya di koridor menuju kamarku. Pintu yang terbuat dari kayu jati mahal itu akan terbuka perlahan, dan aku akan merasakan kehadirannya sebelum aku sempat melihatnya. Aroma cerutu dan parfum maskulinnya memenuhi kamar kecilku. Itu adalah aroma kekuasaan, dan juga... hasrat.
"Maya," panggilnya, suaranya rendah dan dalam. Dia tidak pernah menggunakan nama panjangku, hanya 'Maya', seolah nama itu adalah rahasia kecil kami berdua.
Aku akan terbangun dari tidurku yang nyenyak, jantungku berdebar kencang. Aku tahu, ini bukan tentang apakah aku sudah menyiapkan sarapannya untuk besok atau apakah jasnya sudah disetrika. Ini adalah panggilan yang lebih dari sekadar tugas.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyaku, suaraku bergetar. Aku tidak berani menatapnya langsung.
Dia melangkah masuk, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Suara 'klik' kunci itu terasa seperti palu yang menghantam gendang telingaku. Itu adalah suara yang mengakhiri hari-hariku sebagai pembantu dan memulai malam-malamku sebagai... entahlah.
Dia berdiri di samping ranjangku, bayangannya menutupi tubuhku yang terbalut selimut tipis. "Kau tahu aku tidak bisa tidur," bisiknya, suaranya terasa begitu dekat. "Dan kau tahu, hanya kau yang bisa membuatku lelap."
Tangannya terulur, menyentuh rambutku yang terurai di bantal. Jantungku serasa ingin meledak. Sentuhannya lembut, tetapi kekuatannya begitu besar hingga aku merasa seperti boneka di tangannya.
"Kau memiliki sesuatu," lanjutnya, jemarinya membelai pipiku. "Sesuatu yang membuatku lupa akan semua tumpukan kertas dan pertemuan. Kau seperti... obat penenang yang manis."
Aku menelan ludah. "Tuan..."
"Jangan panggil aku Tuan malam ini," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Panggil aku... Adrian."
Dia membungkuk, wajahnya semakin dekat. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat menerpa wajahku. Matanya, yang biasanya dingin dan tegas, kini dipenuhi dengan gejolak api yang membara.
"Malam ini..." bisiknya lagi, "aku bukan tuanmu."
Tangannya perlahan turun, menyusuri leherku hingga ke pundakku yang tertutup selimut. Sentuhan itu tidak lagi lembut, melainkan penuh hasrat yang tak tertahankan.
"Malam ini..." Dia berhenti sejenak, tatapan matanya semakin intens. "Kau adalah..."
Maya datang ke Jakarta dengan satu tas kecil dan harapan besar. Ia meninggalkan desanya yang tenang, tempat bau tanah basah dan daun yang terbakar menjadi satu-satunya aroma yang ia kenal. Di kota ini, semuanya berbeda: suara klakson yang tak henti, gedung-gedung tinggi yang menantang langit, dan udara yang terasa sesak. Ia melamar sebagai asisten rumah tangga melalui sebuah agensi, dan takdir membawanya ke rumah Adrian.
Rumah itu adalah sebuah istana modern yang dingin. Dindingnya terbuat dari kaca, perabotannya minimalis, dan setiap sudutnya mencerminkan kekuasaan dan ketidakpedulian pemiliknya.
Adrian, pada pandangan pertama, tampak seperti patung yang diukir dari marmer. Usianya sekitar empat puluhan, dengan rahang tegas, tatapan mata yang tajam, dan aura yang membuat siapa pun merasa kecil. Ia seorang pengusaha real estat yang membangun kota ini dengan tangannya sendiri, satu per satu gedung, satu per satu kesepakatan bisnis. Ia berbicara dengan singkat dan selalu dengan nada perintah. Baginya, setiap orang adalah alat untuk mencapai tujuan.
Pertemuan pertama mereka adalah di ruang tamu yang luas, di mana Maya merasa seperti titik kecil di atas permadani mahal. Adrian tidak menatap Maya secara langsung. Matanya hanya menyapu dari atas ke bawah, seolah menilai apakah Maya cocok dengan estetika rumahnya.
"Kau bisa bekerja?" tanyanya, suaranya datar.
"Bisa, Tuan," jawab Maya, menunduk.
"Jam kerjamu dari pagi sampai malam. Libur hanya hari Minggu. Gaji... kau akan tahu dari agensi," katanya. Ada jeda sesaat sebelum ia menambahkan, "Jangan pernah masuk ke ruang kerjaku di lantai atas tanpa izin."
Setelah itu, ia pergi, meninggalkanku bersama seorang kepala pelayan yang menjelaskan semua tugasku. Tugasku banyak, dan aku bekerja keras dari subuh hingga malam tiba. Aku menyapu lantai yang tak pernah berdebu, membersihkan kaca yang selalu mengilap, dan menyiapkan makanan yang nyaris tak pernah ia sentuh.
Selama berminggu-minggu, interaksi kami hanya sebatas perintah dan anggukan. Ia tidak pernah memanggilku dengan namaku. Aku hanyalah sosok tak bernama yang menjaga istananya. Aku terbiasa dengan ketenangan itu, dengan keberadaannya yang seperti bayangan, dan aku tidak pernah membayangkan bahwa bayangan itu akan mulai berbicara.
Hingga suatu malam, tepatnya di minggu ketiga aku bekerja, segalanya berubah.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Aku sudah terlelap di kamar kecilku yang dingin di belakang dapur. Aku bermimpi tentang desaku, tentang aroma tanah, tentang sesuatu yang hangat. Tiba-tiba, aku tersentak. Aku mendengar suara langkah kaki di koridor. Jantungku berdebar tak karuan. Siapa yang berjalan di jam segini?
Aku mendengar pintu kamarku terbuka, pelan sekali. Aku pura-pura tidur, seluruh tubuhku membeku. Aku merasakan seseorang berdiri di ambang pintu, melihatku. Aroma maskulin yang asing, aroma cerutu, memenuhi udara.
"Maya," panggilnya, suaranya bukan lagi datar, melainkan rendah dan dalam. Nama itu terasa begitu intim saat keluar dari bibirnya.
Aku membuka mata. Cahaya bulan masuk melalui jendela kecil, menyinari siluetnya yang tinggi dan tegap di ambang pintu. Itu Tuan Adrian.
"Tuan?"
Dia tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, seperti predator yang sedang menilai mangsanya.
"Ada... ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyaku lagi, duduk di ranjang.
Ia melangkah masuk, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Suara 'klik' kunci itu terasa seperti genderang perang di telingaku.
"Kau tahu aku tidak bisa tidur," bisiknya, mengulangi kata-kata yang akan menjadi mantra kami di malam-malam selanjutnya. "Dan kau tahu, hanya kau yang bisa membuatku lelap."
Tatapan matanya begitu intens, ia melihatku seolah aku adalah jawaban atas semua kesepiannya. Aku tahu, sejak saat itu, aku bukan lagi hanya seorang pembantu. Aku telah menjadi bagian dari rahasia yang tersembunyi di balik dinding kaca istana ini.
"Maya, seorang gadis desa polos, menemukan dirinya terperangkap dalam jaring hasrat dan kekuasaan saat menjadi pembantu di rumah megah Tuan Adrian. Setiap ma...