24/04/2025
"Surat Basah dan Hati yang Tegar"
Di pagi yang dingin, Sari berdiri di depan gedung megah PT. Sentosa Jaya, menggenggam erat map cokelat berisi surat lamaran. Tangannya gemetar, bukan karena udara yang menusuk tulang, tapi karena ini kesempatan kesekian kalinya melamar kerja setelah puluhan penolakan.
"Ayah pasti bangga jika aku diterima di sini," bisiknya, mengingat raut lelah sang ayah yang setiap hari menarik becak demi biaya adiknya sekolah. Map itu ia print semalam dengan uang terakhirnya, mengorbankan jatah makan malam.
Lima menit sebelum gerbang dibuka, kerumunan pelamar sudah seperti lautan. Seratus lebih orang berdesak-desakan, berebut posisi terdepan. Sari yang bertubuh mungil terseret arus, terhimpit antara bahu-bahu tinggi. Napasnya memburu saat seseorang mendorongnya dari belakang.
"Awas! Parit!" teriak seseorang, tapi terlambat. Kaki Sari terpeleset, dan ia terjungkal ke parit pembuangan di pinggir jalan yang penuh air kotor.
"Tolong...!" suaranya teredam oleh riuh kerumunan. Air berlumpur merendam hingga pinggangnya. Map lamarannya hanyut, tercerai-berai di genangan hitam. Dengan panik, ia meraih kertas-kertas yang sudah basah lepek, tintanya lumer seperti air mata.
"Tidak... ini tidak bisa..." desisnya, suara pecah. Beberapa pelamar melirik kasihan, tapi tak ada yang berhenti—semua terburu waktu.
"Biar aku bantu." Sebuah tangan kuat menggapai Sari. Lelaki berseragam satpam—mungkin berusia 50-an—mengulurkan tangan. Dengan susah payah, ia menarik Sari keluar.
"Terima kasih, Pak..." ucap Sari sambil menahan malu. Baju putihnya bernoda lumpur, rambutnya kusut, dan map lamarannya kini hanya segumpal kertas lembap. "Masih mau masuk?" tanya satpam itu lembut. Sari mengangguk, berusaha tak menangis.
Di ruang tunggu, pelamar lain menjauh, cibir mereka menyungging sinis. Sari duduk di pojok, berusaha merapikan dokumen yang rusak. Fotokopi ijazahnya pudar, CV-nya tak terbaca. "Ini sia-sia," bisik hatinya. Tapi ia teringat adiknya yang tiap pagi berjalan 3 kilometer ke sekolah tanpa sepatu. *Aku harus mencoba.*
Saat namanya dipanggil, ruang interview hening. Dua pewawancara mengernyit melihat penampilannya. "Maaf, dokumen saya..." Sari membuka map basah, suaranya parau. Tapi sebelum sempat menjelaskan, air matanya meledak. Ia ceritakan perjuangan ayahnya, pengorbanan keluarganya, dan betapa ia tak bisa menyerah. "Saya mungkin tak sempurna, tapi saya akan bekerja lebih keras dari siapa pun."
Lima hari kemudian, telepon berdering. "Selamat, Anda diterima." Sari terpaku. Manager HRD berkata, "Kami butuh orang yang tabah, bukan kertas yang kinclong." Ternyata, satpam yang menolongnya adalah salah satu direktur yang sedang inspeksi incognito. "Ketangguhanmu lebih berharga dari dokumen sempurna," katanya.
Di hari pertama kerja, Sari melewati parit itu lagi. Ia tersenyum. Lumpur di bajunya dulu telah menjadi pupuk bagi tunas harapan yang kini mekar.