18/10/2025
Karung goni di punggungku terasa berat, dan telapak tanganku yang mulai kapalan terasa perih saat memilah botol plastik dari tumpukan sampah.
Orang-orang menyebut ini kegilaan. Asisten pribadiku menyebutnya “periode observasi lapangan”. Ayahku, dengan kearifannya, menyebutnya “cara untuk tetap membumi”. Tapi bagiku, ini adalah terapi. Ini adalah caraku untuk menghukum dan menyembuhkan diri sendiri.
Setiap kali aku merasakan tajamnya sengatan matahari di tengkuk atau perihnya lapar yang menggigit perut, aku teringat padanya. Anissa. Tunanganku.
Perempuan yang kuberikan dunia di telapak tangannya, yang cincin pertunangannya saja bisa menghidupi satu kelurahan selama setahun. Perempuan yang tersenyum manis di hadapanku pada hari Jumat, lalu menikah dengan Dion, sahabatku sendiri pada hari Minggu.
***
Flashback ....
Aku berdiri di balkon griya tawangku, menatap hamparan lampu kota yang tak ada habisnya. Genggaman ponsel di tanganku terasa dingin. Baru saja Dion menelepon, suaranya gemetar, memberitahuku bahwa pernikahannya dengan Anissa baru saja selesai. Pernikahan yang ia sebut ‘mendadak’ dan ‘terpaksa’.
“Maafkan aku, Raka,” bisiknya di seberang sana. “Kami saling mencintai. Kami tidak bisa melawan takdir.”
Takdir. Kata yang begitu mudah diucapkan oleh para pengkhianat untuk membenarkan tindakan mereka. Aku tidak marah. Aku tidak berteriak. Yang kurasakan saat itu adalah kehampaan yang begitu luas, seolah seluruh isi diriku telah disedot keluar.
Aku menyadari satu hal yang mengerikan: di duniaku, di mana uang bisa membeli segalanya, aku tidak akan pernah tahu apakah cinta yang kudapat itu tulus. Apakah mereka mencintai Rakatama Wiryawan, atau hanya mencintai nama besar dan kekayaan yang melekat padanya?
Malam itu, aku meninggalkan semuanya. Kutinggalkan ponselku, dompetku, dan mobil sportku. Aku berjalan kaki tanpa tujuan, hingga akhirnya aku terlelap di emperan toko bersama mereka yang benar-benar tidak punya apa-apa.
Di sanalah aku menemukan sebuah kejernihan yang menyakitkan. Untuk menjadi kaya raya sesungguhnya, aku harus terlebih dahulu merasakan menjadi miskin.
Maka lahirlah kebiasaan ini. Sebulan sekali, selama 24 jam, aku akan menanggalkan nama Wiryawan dan menjadi Raka, seorang pemulung. Aku ingin merasakan lapar yang nyata, lelah yang nyata, dan mungkin, suatu hari nanti, menemukan sesuatu yang nyata p**a.
Lalu, hari itu datang. Di depan sebuah gedung pernikahan yang mewah, aku melihat seorang perempuan berjalan menentang arus. Ia mengenakan gaun yang anggun, namun langkahnya seperti seorang prajurit yang akan maju ke medan perang.
Aku melihatnya dari kejauhan, menyaksikan drama itu terungkap. Aku melihat kekuatannya, ketenangannya yang mematikan, dan luka di matanya, luka yang sama persis dengan yang kulihat di cermin setiap pagi.
Saat ia menghampiriku, seorang Ratu yang baru saja merebut kembali mahkotanya, dan mengajukan pertanyaan paling gila yang pernah kudengar, aku tahu ini bukan kebetulan. Ini adalah jawaban. Jawaban atas pencarianku.
Ia tidak melihat tumpukan sampah di gerobakku, ia melihat seorang laki-laki yang bekerja. Ia tidak peduli siapa aku, ia hanya peduli pada apa yang ia cari, kejujuran dan kewarasan.
Di antara tumpukan kardus bekas, di tengah hiruk pikuk jalanan, aku menemukan permata yang selama ini kucari.
***
Sudah TAMAT di KBM App. Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Kutukar Luka dengan Mahkota (Kuusir Suamiku setelah Memecatnya)
Penulis : rahmalaa
SEMUA ORANG