10/12/2025
Malam itu, angin bertiup kencang, membanting daun pohon di halaman rumah. Farah dan Pandu duduk di lantai ruang tamu, sekitarnya tersebar kertas-kertas laporan dan gadget yang menyala terang. Mereka sudah berusaha semalaman untuk memulihkan data perusahaan yang diretas, tapi hasilnya nol.
"Semua hilang," bisik Pandu, suaranya penuh keputusasaan. "Data keuangan, kontrak klien, semua dokumen penting. Ini seperti kita mulai dari nol lagi."
Farah menggenggam tangannya dengan erat. "Kita tidak sendirian, Mas. Kita masih punya satu sama lain. Dan itu yang paling penting."
Tiba-tiba, lampu rumah tiba-tiba padam. Gelap total menyelimuti mereka. Hanya cahaya dari layar ponsel yang menyinari wajah mereka, terlihat cemas dan waspada.
"Apakah ini kebetulan?" tanya Farah.
Sebelum Pandu sempat menjawab, bunyi pintu depan yang terbuka dengan kencang terdengar. Suara sepatu yang menjejak lantai marmer membuat jantung mereka berdebar kencang.
"Pandu, Farah. Sudahkah kalian bersiap?"
Suara itu—suara Ibu Sari yang dingin dan penuh kepuasan. Cahaya senter menyala, menyoroti wajahnya yang tersenyum jahat. Di belakangnya berdiri dua pria yang rambutnya pendek dan wajahnya serius.
"Kalian tidak akan menyentuh dia," kata Pandu, berdiri dan melindungi Farah di belakangnya. Darahnya mendidih, semua ketakutan yang dulu dia rasakan sekarang diganti dengan kemarahan.
Ibu Sari tertawa, suaranya menggema di ruang yang gelap. "Kau terlalu lambat, Pandu. Kau seharusnya menuruti perintahku dari awal. Sekarang, kau akan kehilangan segalanya—perusahaan, uang, bahkan Farah."
Dia memberi isyarat ke dua pria di belakangnya. "Bawa Farah. Kita akan gunakannya sebagai jaminan agar kau menandatangani surat penyerahan perusahaan."
Salah satu pria mendekat, tapi Farah segera mengambil benda keras dari mejanya—sebuah topi pensil besi—and menodongkannya ke arah pria itu. "Jangan mendekat!" suaranya tegas, tanpa takut.
"Kau berpikir benda itu bisa melindungimu?" Ibu Sari mengerutkan kening. "Kau terlalu naif, Farah."
Tiba-tiba, bunyi sirine polisi terdengar dari kejauhan, semakin mendekat. Ibu Sari wajahnya berubah pucat. "Siapa yang memanggil polisi?"
Farah tersenyum sedikit. "Aku. Sebelum lampu padam, aku sudah mengirim pesan ke Pak Herman untuk memanggil polisi. Kau lupa, Mas Herman juga tidak s**a dengan apa yang kau lakukan."
Pandu terkejut, lalu tersenyum penuh harapan. Dia mendekat dan menggenggam tangan Farah. "Kau pintar, Sayang."
Ibu Sari mencoba kabur melalui pintu belakang, tapi dua pria polisi sudah masuk ke dalam rumah, menutup semua jalan keluar. "Ibu Sari, silakan ikut kami ke kantor polisi. Kamu dituduh pengeroyokan, pemerasan, dan pencurian data."
"Kalian tidak bisa melakukan ini!" teriak Ibu Sari, tapi polisi sudah menangkap tangannya dan memasang rantai.
Saat Ibu Sari dan dua pria itu dibawa keluar, lampu rumah kembali menyala. Pak Herman masuk, napasnya terengah-engah. "Maaf terlambat, Mas Pandu, Bu Farah. Tapi akhirnya polisi datang."
"Terima kasih, Pak Herman," kata Pandu. "Tanpa kamu, kita tidak akan selamat."
Mereka berdiri bersama, melihat polisi membawa Ibu Sari pergi. Udara di rumah menjadi lebih ringan, tapi mereka tahu ini bukan akhir.
"Data perusahaan masih hilang, Mas," ucap Farah.
"Sudah tidak masalah," jawab Pandu. "Kita bisa membangunnya lagi, bersama-sama. Dengan jujur, seperti yang kita janjikan."
Dia menatap Farah dengan mata penuh cinta. "Aku minta maaf sekali lagi, Farah. Untuk semua kebohongan, untuk semua luka yang aku berikan. Aku akan melakukan segalanya untuk membenarkannya."
Farah menangis, tapi ini air mata kebahagiaan. "Aku tahu, Mas. Kita akan melalui semua ini bersama. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang sendirian."
Di luar, langit mulai mencerahkan. Matahari muncul sedikit di ufuk timur, menyinari rumah mereka yang tadi gelap. Seperti menandakan bahwa setelah badai, selalu ada hari yang cerah—dan mereka akan menghadapinya bersama.