Arnold Belau

Arnold Belau Postingan teks, foto dan video di halaman ini adalah pandangan pribadi. Tidak mewakili siapa pun. Belajar, menulis dan mengelola portal berita Suara Papua

Blok B Wabu: Emas, Eksplorasi, dan Luka di Tanah Intan Jaya (Bagian I)Oleh:  Arnold Belau/  Cadangan emas di Intan Jaya ...
20/07/2025

Blok B Wabu: Emas, Eksplorasi, dan Luka di Tanah Intan Jaya (Bagian I)
Oleh: Arnold Belau/

Cadangan emas di Intan Jaya ditemukan bukan 5 atau 10 tahun belakangan. Melainkan telalah ditemukan Freeport Indonesia sejak melakukan ekplorasi dua kali di wilayah Intan Jaya sejak 1991 - 2012. Eksplorasi ini dilakukan dua kali pada waktu yang berbeda.

Eksplorasi Pertama
Pertama kali Freeport melakukan eksplorasi pada tahun 1991 - 1999 yang dilakukan oleh kontraktor PT GSBJ (Gelora Sarana Buana Jaya) melakukan eksplorasi di distrik Sugapa. GSBJ melakukan ekplorasi selama 9 tahun dengan memfokuskan eksplorasi pada sumber daya mineral.

Eksplorasi pada tahap pertama ini telah menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat, dimana telah merusak dan menghancurkan gunung Bula dan berbagai tempat berburu masyarakat di distrik Sugapa. Bukti kerusakan yang dilakukan freeport lewat GSBJ bisa dilihat secara langsung di Sugapa. Gunung bula ompong akibat adanya eksplorasi ini. Pada saat itu, masyarakat pemilik hak ulayat melakukan protes untuk mengganti rugi kerusakan yang dilakukan Freeport lewat GSBJ namun tidak pernah direspon.

Eksplorasi Kedua
Eksplorasi tahap kedua dilakukan Freeport melalui kontraktor PT Mini Serve Internasional antara tahun 2006 - 2012 dengan tujuan melakukan eksplorasi lanjutan. Sejak PT MSI (Mini Serve Internasional) mulai beroperasi untuk melakukan eksplorasi tidak hanya terfokus di distrik Sugapa, tetapi juga meliputi distrik Mbiandoga (ular merah).

Eksplorasi ini diperkuat dengan adanya laporan dan terbitan hasil penelitian dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Budaya dan Tanah Adat Orang Moni di Distrik Sugapa, Papua". Melalui buku ini, Unika Atma Jaya mengulas tentang hak dan kepemilikan atas tanah masyarakat moni di distrik sugapa. Penelitian ini, memberikan gambaran ecara akademis tentang hak dan kepemilikan tanah. Buku ini p**a yang memberikan penjelasan tentang batas kepemilikan dan haknya agar mudah dikelompokkan dengan tujuan untuk memperngaruhi masyarakat agar menerima perusahaan.

Bukut yang diterbitkan Unika Atma Jaya Jakarta ini telah membantu Freeport memberikan gambaran detail tentang kepemilikan tanah dan haknya, data dan wilayah untuk pengembangan tambang emas oleh Freepot dalam skala yang lebih besar. Penelitian ini juga saya mencurigai bertujuan untuk memberikan legitimasi operasi tambang melalui pendekatan social budaya.

Pada tahun 2010 dna 2011, mahasiswa Intan Jaya melalui Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya (Komisi Somatua) melakukan diskusi, seminar dan sosialisasi di kalangan masyarakat Intan Jaya dari Wandae, Homeyo dan Sugapa kepada masyarkat tentang bahaya perusahaan pertambangan. Tujuan mahasiswa pada saat itu adalah menolak perusahaan pertambangan masuk di Intan Jaya. Dan eksplorasi tahap kedua berakhir pada tahun 2012.

Upaya Pemerintah dan Freeport untuk Garap Blok B Wabu

Dan pada tahun 2015, Freeport menyerahkan wilayah konsesi blok B Wabu kepada pemerintah Indonesia. Meski telah menyerahkannya, Freeport tidak tinggal diam tetapi ikut menjadi anggota holding di Bawah MIND ID. Dan holding company ini dibentuk pada 27 November 2017 yang diinisiasi oleh Kemnterian BUMN. Hasilnya, lahirlah Holding Company di bidang pertembangan. Anggota holdingnya adalah PT Inalum, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk dan PT Freeport Indonesia. Freeport sendiri bergabung setelah divestasi saham pada 2018.

Foto: Di belakang saya adalah gunung bula, di beberapa bagian dari puncak gunung ini sudah ompong akibat eksplorasi tambang.



semua orang SEMUA ORANG Pengikut

Rest In Peace kaka Dinar, Bupati Kab. Nduga, Papua Pegunungan. Beristirahatlah dengan damai kaka. 🥲🥲Pengikut semua orang...
14/07/2025

Rest In Peace kaka Dinar, Bupati Kab. Nduga, Papua Pegunungan.

Beristirahatlah dengan damai kaka. 🥲🥲

Pengikut semua orang SEMUA ORANG pengikut Sorotan

14/07/2025

📸 - Reece James dan Sanchez memberi tahu Donald Trump bahwa dia harus pindah, tetapi Donald Trump berkata kepada mereka, "Tidak, saya merayakannya bersama kalian."

05/07/2025

BREAKING News: Enos Tipagau, Anggota TPNPB di Intan Jaya telah ditembak mati oleh aparat di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah.



Sorotan SEMUA ORANG semua orang Pengikut

Chelsea FC otw semi final setelah memastikan tiket dengan kalahkan Palmeiras di Piala Dunia antar Klub.         Sorotan ...
05/07/2025

Chelsea FC otw semi final setelah memastikan tiket dengan kalahkan Palmeiras di Piala Dunia antar Klub.



Sorotan SEMUA ORANG semua orang pengikut Pengikut

Miss Indonesia mengumumkan bahwa Karmen Ayorbaba mewakili Papua Pegunungan gantikan Merince Kogoya yang dip**angkan kare...
04/07/2025

Miss Indonesia mengumumkan bahwa Karmen Ayorbaba mewakili Papua Pegunungan gantikan Merince Kogoya yang dip**angkan karena bendera Israel di ajang Miss Indonesia.



Pengikut SEMUA ORANG semua orang pengikut

Merince Kogoya dan Rasisme yang Disamarkan NasionalismeOleh: Kang Budi(Warga Indonesia yang peduli pada keadilan untuk P...
01/07/2025

Merince Kogoya dan Rasisme yang Disamarkan Nasionalisme

Oleh: Kang Budi
(Warga Indonesia yang peduli pada keadilan untuk Papua)

Beberapa hari lalu, saya membaca kabar diskualifikasi Merince Kogoya, perempuan Papua Pegunungan yang sebelumnya lolos sebagai finalis Miss Indonesia 2025. Alasan pencoretannya adalah video lama di mana Merince terlihat mengibarkan bendera Israel saat berdoa.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, itu cukup untuk menyebutnya “tidak layak mewakili bangsa”. Tapi bagi saya, ini lebih dari sekadar kontroversi bendera. Ini adalah wajah nyata bagaimana rasisme terhadap orang Papua terus dilegalkan—kali ini dibungkus dalam nama nasionalisme dan solidaritas terhadap Palestina.

Perempuan Papua, Nasionalisme Siapa?

Merince telah menjelaskan bahwa aksinya dilakukan dua tahun lalu dalam konteks ibadah Kristen. Bagi sebagian komunitas Kristen Injili, bendera Israel adalah simbol iman, bukan sikap politik. Tapi siapa peduli? Penjelasannya tidak mengubah apa-apa. Ia tetap dip**angkan, diganti, dan dihujat.

Yang membuat saya bertanya-tanya: apakah jika yang mengibarkan bendera itu bukan perempuan Papua, reaksinya akan sekeras ini? Kita tahu jawabannya.

Ada narasi yang sejak lama bekerja diam-diam dalam kesadaran bangsa ini: orang Papua harus “lebih berhati-hati”, harus “lebih tunduk”, harus “lebih membuktikan diri”. Dan ketika satu dari mereka menampilkan sesuatu yang dianggap menyimpang, tak butuh waktu lama bagi publik untuk menghakimi, memukul rata, dan mengusirnya dari panggung.

Merince bukan satu-satunya. Tapi dia adalah yang terbaru.

Nasionalisme Selektif, HAM yang Dibelah

Saya tidak sedang membela Israel. Sama sekali tidak. Saya juga percaya rakyat Palestina berhak atas kebebasan dan martabat mereka. Tapi yang saya tolak adalah kemunafikan kolektif bangsa ini. Kita begitu marah terhadap kekerasan di Gaza, tapi buta terhadap kekerasan struktural di Wamena. Kita berdiri membela HAM di Timur Tengah, tapi bisu saat rakyat Papua ditembak, disiksa, dicabut hak hidupnya.

Ketika seseorang dari Papua membawa simbol keagamaan yang dianggap tak selaras dengan “narasi resmi negara”, maka bukan hanya tindakannya yang dipersoalkan, tapi juga keberadaannya. Ia dilucuti dari panggung representasi, dan dipaksa untuk diam.

Ini bukan hanya soal Merince. Ini tentang bagaimana negara dan masyarakat terus memelihara standar ganda terhadap warga Papua.

Merince tak diberi ruang untuk menjelaskan, apalagi dimaafkan. Seolah-olah ia adalah ancaman, bukan seorang anak muda yang sedang belajar mencari tempat dalam masyarakat yang sejak awal tak memberinya ruang.

Solidaritas Sejati Tak Pilih-pilih Wajah

Saya tak habis pikir bagaimana mungkin sebagian orang bisa meneriakkan “Free Palestine” sambil dalam napas yang sama menyebut perempuan Papua “pengkhianat”, “kristen zionis”, atau “bikin malu bangsa”.

Apakah solidaritas hanya berlaku untuk mereka yang cocok dengan wajah mayoritas? Apakah hak asasi hanya berlaku untuk bangsa lain, sementara rakyat di tanah sendiri dianggap tak pantas bahkan untuk bicara?

Kalau kita sungguh peduli pada kemerdekaan dan keadilan, maka seharusnya kita juga peduli pada bagaimana Papua diperlakukan di negara ini. Dan itu berarti mengakui bahwa rasisme masih merajalela—dalam hukum, dalam media, dalam hati kita sendiri.

Merince Adalah Cermin

Diskualifikasi Merince Kogoya adalah potret jujur wajah Indonesia hari ini—yang bangga akan keberagaman, tapi takut pada yang berbeda. Yang katanya cinta damai, tapi tak segan menghapus orang hanya karena simbol. Yang katanya anti-penjajahan, tapi terus menjajah satu kelompok lewat stigma, sensor, dan sistem.

Saya menulis ini bukan untuk membela simbol apa pun, tapi untuk membela manusia—seorang perempuan muda Papua yang berani bermimpi, dan dihancurkan karena kita tak mau melihat siapa dia sebenarnya.

Kalau kita masih mau menyebut diri bangsa yang adil, maka kita harus mulai berani menyebut rasisme dengan namanya sendiri. Bahkan, dan terutama, ketika itu terjadi di panggung yang paling “nasional”.



semua orang pengikut Pengikut

Tadi pagi, Kang Budi (Budi) dan Pace Obet (Obet) ketemu di kantin kampus setelah kuliah. Sambil makan nasi kucing, doran...
01/07/2025

Tadi pagi, Kang Budi (Budi) dan Pace Obet (Obet) ketemu di kantin kampus setelah kuliah. Sambil makan nasi kucing, dorang dua cerita-cerita. Kali ini dorang dua pu cerita agak berat.

Budi: Obet… kenapa kamu masih memperingati 1 Juli? Papua kan sudah jadi bagian dari Indonesia kan?

Obet: Hhhmmm.... Kang, sa kastau jujur e. Kami masih peringati 1 Juli karena kami bukan "bagian yang dipilih"… kami "bagian yang ditelan". Jadi 1 Juli bagi kami orang Papua itu bukan soal politik. Ini tentang luka yang belum dan tidak pernah sembuh. Ini tentang sejarah yang dirampas dan suara yang dibungkam.

Budi: Tapi sejarah mencatat Papua ikut Pepera. Dunia mengakui itu. Indonesia hanya melanjutkan proses yang sah.

Obet: Ah.... Sah menurut siapa, Budi?
Waktu itu... hanya 1026 orang yang dipilih dari lebih dari 800 ribu rakyat. 1026 orang itu dipaksa... diancam... disuruh angkat tangan.
Itu bukan suara kami. Itu ketakutan. Dan ketakutan bukan dasar untuk membangun bangsa.

Budi: Saya tidak pernah hidup dalam situasimu,Obet. Tapi saya percaya bahwa kita bisa hidup bersama, membangun negeri bersama.

Obet: Kami sudah coba, Budi. Tapi setiap kali kami bicara, kami dibungkam. Setiap kali kami angkat bendera, kami diburu. Setiap kali kami menyebut kata “merdeka”, kami dituduh makar.
Kami tidak ingin perang, kami tidak ingin mati oleh peluru... kami hanya ingin dihargai sebagai manusia.

Jadi teriakan dan nayanyian kami setiap 1 Juli, dan setiap hari-hari penting bagi kami orang Papua bukan hanya teriakan dan nyanyian kosong. Itu nyanyian dan teriakan yang didengar oleh langit, tapi dunia pura-pura tuli.

Budi: Kalau begitu... apa arti Indonesia bagi Obet itu apa?

Obet: Indonesia…?
Indonesia adalah nama yang datang dengan seragam dan senjata.
Tapi Papua adalah nama yang datang dari mama yang menangis karena anaknya tidak p**ang.
Dari gunung, dari sungai, dari lembah, dari rawa dan dari darah yang tidak pernah kering.
Kami bukan separatis. Kami hanya ingin bebas.

Laila, pacar Kang Budi pun tiba.... dan percakapan pun usai.

1 Juli Bukan Sekadar Tanggal tapi tentang sejarah, dan juga luka. Biarpun dunia lupa, kami akan tetap ingat.

Foto: Ilustrasi Set Rumkorem Baca Proklamasi 1 Juli 1971. Gambar dibuat oleh AI

semua orang SEMUA ORANG berat

29/06/2025

"Senja boleh pergi dan matahari boleh terbenam. Harus selalu ada harapan dan jangan kubur mimpin bersama terbenamnya matahari"




SEMUA ORANG semua orang pengikut Pengikut

Percakapan dan ceria-cerita di malam minggu antara bapa dengan anak. Bapa: Anakku,… ko kau tahu gunung yang di sana tuh ...
28/06/2025

Percakapan dan ceria-cerita di malam minggu antara bapa dengan anak.

Bapa: Anakku,… ko kau tahu gunung yang di sana tuh ka? Itu Gunung Mbainggela, tempat Freeport tambang emas terbesar di dunia. Tapi cerita di balik itu... berat skali, anak.

Anak: Iya, Bapa. Di sekolah, paguru pernah bilang kalo Freeport bawa banyak uang. Kita ini hidup di atas emas. Tapi kenapa kita pu hidup di kampung masih susah? De pu cerita bagemana Bapa?

Bapa: Freeport itu mulai dari tahun 1967, anak. Waktu itu, Papua belum resmi jadi bagian Indonesia. Belanda masih berkuasa di atas kita pu tanah ini, tapi Indonesia sudah tanda tangan kontrak dengan Freeport, perusahaan Amerika. Dorang bicara untuk tong pu tanah, tapi d**g bicara tra libatkan kita orang Papua.

Anak: Jadi, orang Papua tra dilibatkan sama sekali ka, Bapa?

Bapa: Betul, anak. Kontrak itu dorang buat tanpa orang Papua di meja perundingan. Tanah adat suku Amungme dan Kamoro, yang punya Gunung Grasberg, tra pernah dorang tanya, apalagi libatkan. Dorang bilang, “Ini demi pembangunan nasional.” Tapi pembangunan buat siapa? Kitong pu amas dan tembaga ni dorang bawa ke luar negeri. Tapi kita ini hanya kmpul ampas-ampas,kita hidup di rumah-rumah yang tra layak, kita pu kekayaan ini dorang curi.

Anak: Hhmmm.... Tapi, Bapa, kenapa Papua jadi bagian Indonesia? Sa dengar kita pernah merdeka dan punya negara sendiri. Trus sa juga dengar orang-orang tua bilang pernah ada PEPERA yang tra adil baru tong jadi bagian dari indonesia.

Bapa: Ko su besar, anak. Jadi Bapa ceritakan yang sebenarnya. Tahun 1962, ada Perjanjian New York. Amerika tekan Belanda supaya serahkan Papua ke Indonesia. Katanya, ini soal politik dunia, supaya Indonesia tidak jadi komunis. Tapi banyak orang bilang, Amerika juga mau Freeport masuk ke sini. Setelah itu, tahun 1969, ada Penentuan Pendapat Rakyat, atau Pepera. Orang-orang bilang itu “Act of Free Choice,” tapi orang Papua panggil itu “Act of No Choice.”

Anak: Act of No Choice? Maksudnya apa Bapa?

Bapa: Waktu itu, cuma 1.025 orang Papua yang dipilih untuk “mewakili” kitong semua. Mereka dipaksa pilih bergabung dengan Indonesi. Trus saat pemilihan, tantara Indonesia yang awasi. Jadi banyak yang takut, anak. Suara kita tidak bebas. PBB setuju hasilnya, tapi sampai sekarang, orang Papua masih tanya: mana keadilan itu? Freeport sudah masuk dua tahun sebelum Pepera, tong pu tanah sudah dijual sebelum kita punya hak pilih.
Anak: Jadi, kita dikorbankan ka Bapa? Emas kita diambil, tapi kita dapat apa?

Bapa: Itu yang bikin hati orang Papua sakit, anak. Freeport bawa keuntungan triliunan, tapi lihat kitong pu kampung ni, air bersih susah, sekolah jauh dan tra murah kalo sekolah,. Suku Amungme dan Kamoro kehilangan tanah adat, gunung suci mereka dirusak. Banyak orang Papua jadi pekerja rendahan di tambang, sementara orang dari luar dapat posisi bagus. Belum lagi limbah tambang yang merusak sungai, tempat kita cari ikan, berburu dan tokok sagu.

Anak: Bapa… kenapa kitong tra melawan? Kenapa kitong diam saja?

Bapa: Kita tra diam, anak. Dari dulu, orang Papua su bersuara. Tahun 1970-an, ada pemberontakan kecil-kecil, tapi tentara Indonesia tekan keras. Banyak yang hilang, banyak yang mati dan banyak yang takut. Sekarang, ada yang masih perjuangkan keadilan, lewat bicara, lewat organisasi, bahkan lewat lagu dan tarian. Tapi dunia kadang tutup mata. Freeport itu besar skali, anak. Dorang didukung kekuatan besar—Indonesia, Amerika, perusahaan asing. Tapi kitong punya kekuatan lain: tanah leluhur, budaya dan kitong hati.

Anak: Bapa,... sa mau belajar lebih banyak. Sa mau jadi orang yang bikin Papua lebih baik. Supaya anak-anak Papua nanti tra cuma jadi penonton di tanah sendiri.

Bapa: Itu semangat dari tong pu leluhur, anak. Belajar, jadi kuat, tapi jangan lupa: kita orang Papua punya darah pejuang. Kita jaga tanah ini, kita jaga cerita kita. Suatu hari, dunia akan dengar suara kita, bukan cuma emas kita.





semua orang SEMUA ORANG Sorotan Berita Viral

Address

Abepura

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Arnold Belau posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share