16/02/2020
Ijin berbagi
Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" Karya Yusra Habib Abdul Gani, Mengungkap Tabir Gayo
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA -- Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" yang ditulis DR. Yusra Habib Abdul Gani, SH terbitkan Mahara Publishing, 2018, mencoba mengungkap asal muasal Gayo dan Kerajaan Linge serta hubungannya dengan Kerajaan Aceh Darussalam dan sebarannya di beberapa daratan Pulau Sumatera.
Yusra Habib Abdul Gani, salah seorang intelektual Gayo, kini bermukim di Denmark sejak 1998 Lahir di Kenawat 12 April 1954.
Menamatkan studi bidang hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus ujian negara di Fakuktas Hukum UI pada 1984.
Pernah menjadi dosen, dan menjadi salah seorang inteletual Gerakan Aceh Merdeka dan menyelamatkan diri ke Malaysia. Menulis sejumlah buku dan mengisi berbagai forum ilmiah dalam dan luar negeri.
Buku ini menerangkan, banyak hal temtang Gayo, mengingat tidak banyak literatur mengenai Gayo.
Maka kehadiran buku karya Yusra Habib Abdul Gani ini menjadi sangat penting dan bernilai.
Home » Budaya
Buku Gayo dan Kerajaan Linge
Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" Karya Yusra Habib Abdul Gani, Mengungkap Tabir Gayo
Jumat, 31 Januari 2020 19:55
Buku
For Serambinews.com
Buku mengungkap tabir Gayo ditulis DR. Yusra Habib Abdul.Gani, SH.
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA -- Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" yang ditulis DR. Yusra Habib Abdul Gani, SH terbitkan Mahara Publishing, 2018, mencoba mengungkap asal muasal Gayo dan Kerajaan Linge serta hubungannya dengan Kerajaan Aceh Darussalam dan sebarannya di beberapa daratan Pulau Sumatera.
Yusra Habib Abdul Gani, salah seorang intelektual Gayo, kini bermukim di Denmark sejak 1998 Lahir di Kenawat 12 April 1954.
Menamatkan studi bidang hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus ujian negara di Fakuktas Hukum UI pada 1984.
Pernah menjadi dosen, dan menjadi salah seorang inteletual Gerakan Aceh Merdeka dan menyelamatkan diri ke Malaysia. Menulis sejumlah buku dan mengisi berbagai forum ilmiah dalam dan luar negeri.
Buku ini menerangkan, banyak hal temtang Gayo, mengingat tidak banyak literatur mengenai Gayo.
Maka kehadiran buku karya Yusra Habib Abdul Gani ini menjadi sangat penting dan bernilai.
• Rektor Universitas B**g Karno Lantik Putra Gayo, Aldi Yusra sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi
• Bantah Isi Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Yusra Habib Tulis Buku Gayo dan Kerajaan Linge
• DR Yusra Habib Abdul Gani Tantang DR Zulyani Hidayah, Penulis Buku Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia
• Ini Dia, Tiga Buku Gayo
Ia menguraikan tentang Kerajaan Linge berpusat di Buntul Linge (kini masuk Aceh Tengah) berdiri pada 1205 Masehi dengan raja pertama Adi Genali, berasal dari Imperium Rum, yang terdampar di Buntul Linge akibat tekanan dan pergolakan.
Negeri Rum yang dimaksud dalam buku ini adalah sebuah kerajaan yang memerintah di kawasan Turki sekarang.
Tulis Yusra Habib, pada kurun 1205-1453 terdapat komunitas muslim Rum yang berada dalam kehidupan keagamaan yang agak tertekan di bawah pemerintah Kerajaan Rum, sehingga sebahagian penduduknya memilih menyelamatkan diri ke EropaTimur, seperti Tarkizistan, Turkistan, dan Ajerbaizan.
"Dipredisksi atas alasan stabilitas politik dan keamanan, memicu seorang putra Rum, Adi Genali dan rombongannya memilih hijrah ke Pulau Ruja atau Sumatera beberapa tahun menjelang 1025 masehi. Lokasi yang dipilih adalah Buntul Linge dan kemudian mendirikan Kerajaan Linge pada 1025," tulis Yusra Habib.
Adi Genali punya empat anak, Ali Syah, Johan Syah, Malam Syah dan Datu Beru. Wilayah kekuasaan Linge dilukiskan dalam ungkapan "sebujur Acih selintang batak."
Yusra Habib menyebut ini sebagai klaim politik mengenai tapal batas geografi wilayah kedaulatan Kerajaan Linge, yang disimbolkan oleh Johan Syah sebagai "ranub" representasi kerajaan Aceh, Datu Beru sebagai "belo" representasi kerajaan Linge dan Ali Syah sebagai "sirih" representasi dari Sibayak Lingga untuk wilayah Tanah Karo.
Kerajaan Linge di bawah Adi Genali juga merumuskan konstitusi Kerajaan Linge yang dituangkan dalam "45 Pasal Edet Negeri Linge" dan menjalankan sistem pemerintahan yang dikenal dengan istilah Sarak Opat, dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara eksekutif, yudikatif dan legislatif melalui lembaga "reje, petue, imem dan rayat atau rakyat."
Menurut Yusra Habib, pemisahaan dan pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan Sarak Opat di Linge dirumuskan pada 1115 Masehi.
Adegium pemisahan dan pembagian kekuasaan di Linge ternyata jauh lebih tua usianya dibanding adegium "Adat bak Po Teumereuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun Bak Puntroe Phang, Reusam bak Bintara" yang diperkenalkan semasa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan teori triaspoliticia Mountesquieu yang baru muncul.pada periode 1532-1734. (Hal: 101).
Isi dan kandungan "45 Pasal Edet Negeri Linge" dilampirkan pada bagian akhir buku.
Lalu apa hubungan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam? Yusra Habib melukiskan kaitannya sangat dekat. Sebab turunan Reje Linge, Merah (Meurah) Johan Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam dan menjadi sultan pertamanya.
Merah (Meurah) Johan Syah, dilantik pada 22 April 1205 Masehi/1 Ramadhan 601 H, bergelar Sultan Alaidin Johan Syah.
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan setelah dibebaskan beberapa kerajaan kecil yakni Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Seudu, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Indrapuri dari cengkraman kolonial China Nio Nian.
Johan Syah bersama gurunya Sjech Abdullah Kana'an dan pasukannya berhasil mengalahkan Nio Nian dan kemudian kerajaan-kerajaan kecil itu disatukan dalam satu kerajaan besar, Kerajaan Aceh Darussalam, dengan ibukota kerajaab Bandar Aceh Darussalam.
"Merah Johan Syah adalah peletak dasar penyatuan seluruh Aceh, sebagaimana wujud sekarang, barulah kemudian Ali Riayat Syah (1589-1604) mengeratkan hubungan luar negeri terutama Turki yang sudahpun dibangun sejak tahun 1520," tulis Yusra Habib (hal: 80).
Pada saat pengukuhan sebagai sultan, Merah Johan Syah menyampaikan pidato. Berikut adalah isi pidato saat diangkat sebagai Sultan I Kerajaan Aceh Darussalam, bergelar Sultan Alaidin Johan Syah:
"Bismillahirrahmannirrahim.
Kami bersyukur kepada Allah SWT, karena dengan iradah-Nya, hari ini kami diresmikan menjadi khadim dari Kerajaan-Nya.
Kami berjanji akan melaksanakan semua ajaran-Nya dalam segala cabang kehidupan umat.
Sebagai manusia, kami adalah orang yang lemah, hanya Al Haq Allah SWT, adalah kekuatan mutlak. Kejahatan sebesar apapun tidak akan sanggup bertahan di hadapan Al Haq. Kami adalah tangan Al Haq yang akan membela rakyat tertindas dan mematahkan leher kezaliman.
Dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi rajanya adalah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, keikhlasan, dan cinta kasih. Siapapun tidak boleh melanggar dasar-dasar ini.
Segala unsur bangsa dan segala jenis darah yang berada dalam Kerajaan Aceh Darussalam akan diberlakukan sama, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tinggi rendah seseorang diukur dengan taqwa."
Teks ini dimuat pada halaman: 78-79. Teks pidato itu juga pernah ditampilkan dalam buku kecil "Merah Johan, Sultan I Kerajaan Aceh Darussalam," Panitia PKA IV Aceh Tengah, 2004.
Kaitan Linge dengan Sultan Alaidin Johan Syah pernah diungkapkan oleh Almarhumah Sultanah Aceh Teungku Putroe Safiatuddin Cahaya Nur Alam, turunan terakhir Sultan Aceh Muhammad Daud Sjah.
Ia meninggal dunia di Lombok, Mataram pada 6 Juni 2018 dalam usia 87 tahun dan dimakamkan di komplek makam raja Aceh, Baperis, Banda Aceh.
Dalam percakapan dengan serambinews.com, di Jakarta, Sultanah Teungku Putroe pernah berencana menunjungi Linge, tanah leluhur kakek buyutnya Sultan Alidin Johan Syah. Sampai ia meninggal dunia, keinginan itu tercapai.
"Kita ini satu. Pendiri Kerajaan Aceh Itu Sultan Johan Syah dari Linge," kata Bunda Putroe mengenai benang sejarah itu.
Lalu bagaimana p**a hubungan Gayo dengan Kerajaan Peureulak? Yusra Habib Abdul Gani pada halaman 30, menuliskan, bahwa Malik Ishaq dari Peureulak menyelamatkan diri ke daerah Gayo Isaq sebagai pelarian politik, atas pergolakan perang selama 20 tahun dengan Sriwijaya.
Masa itu, Kerajaan Peureulak diperintah Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Sjah Johan (986-1023).
Dalam rangka menyiapkan perbekalan perang, Sultan Peureulak memilih Gayo, seperti Kute Rayang, Kute Robel, Kute Keramil dan lain-lain yang tanahnya subur.
Kehadiran Malik Ishaq di Gayo diterima sangat baik oleh penduduk, dan pengulu setempat bahkan mengijinkan Malik Ishaq mendirikan kerajaan yang berpusat di Isaq pada 988 Masehi.
Setelah perang reda, sebahagian rombongan Malik Isaq p**ang ke Peureulak dan sebahagian lagi menetap di Isaq dan mereka menjadi "the new gayo men" tulis Yusra Habib (hal:33).
Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" ini mengungkapkan, bahwa jauh sebelum berdirinya Kerajaan Linge dan kehadiran pelarian politik dari Peureulak, Malik Ishaq dan rombongan di Gayo dan mendirikan kerajaandengan pusat di Isaq, di wilayah itu sudah ada komunitas masyarakat Gayo purba yang berhasil diidentifikasi secara ilmiah oleh Balai Arkeologi Medan.
Temuan kerangka manusia purba dan benda-benda budaya berupa anak panah, gerabah, gigi yang diratakan di Ceruk Mendale dan Ujung Karang di tepi Danau Laut Tawar dan hasil uji karbon menunjukkan bahwa usia kerangka manusia dan benda budaya purba itu 8.430 tahun.
Ini artinya nenek moyang Gayo itu sudah lebih awal ada di banding kehadiran Adi Genali dan Malik Ishaq.
"Berdasarkan fakta yang ditemukan di Loyang Mendale dan Ujung Karang membuktikan bahwa karakter nenek moyang Gayo sungguh mahir dan kreatif terutama dalam seni budaya, upacara ritual keagamaan, memiliki falsafah hidup, arsitektur, seni ukir, seni suara dan menganyam. Hal ini dapat dipahami dan diterima oleh karena gaya hidup nomaden pada ketika itu dianggap sudah cukup memadai, mereka rasakan puas, aman, tertib, harmonis dan damai. Mereka belum memiliki pemimpin lokal, yang dikenal hanya pemimpin keluarga yang tinggal dalam rumah besar," tulis Yusra Habib Abdul Gani.
Buku ini juga mencoba mengungkap istilah Gayo. Tulis Yusra Habib, terdapat dua teori yang diakui secara ilmiah oleh orang Gayo berdasarkan kekeberen tradisi lisan.
Pertama, perkataan ’Gayo’ berasal dari bahasa Batak Karo yang berarti ’Gerep’ (Kepiting yang hidup di rawa-rawa atau di Sungai).
Lokasi tempat ’Gerep’ ini hidup disebut ’Pegayon’. Perkataan ’Gayo’, bukan menunjuk kepada eksistensi dan identitas suatu etnis atau bangsa. Ianya hanya menunjuk kepada suatu lokasi dalam peta bumi dunia bernama ’Pegayon’ (suatu lokasi rawa-rawa, dimana banyak hidup kepiting), terletak di Kampung Porang Blang Pegayon (Sekarang: wilayah administrasi Kabupaten Gayo lues).
Pada zaman dahulu, penduduk yang datang dari kampung lain, maupun yang berada di sekitar lokasi, apabila mau mencari Kepiting, mereka kata: ’mau ke Pegayon’.
Perkembangan selanjutnya, perkataan ’Pegayon’, mengalami proses perubahan sebutan dan ta’rif –dari sebutan ’Pegayon’ –yang luasnya kurang dari 500 m., berubah kepada nama suatu sebuah negeri bernama ’Gayo’ (Dataran Tanah Tinggi Gayo).
Dari nama tersebut secara natural, penduduk yang mendiami tanah ini melahirkan ikatan kekerabatan hingga menyusun sebuah konsep kebangsaan Gayo.
Di atas bumi bertuah inilah mereka menyara hidup, beranak keturunan sebagai sebuah bangsa yang memiliki sistem dan struktur kerajaan, tapal batas wilayah, identitas budaya, falsafah dan bahasa Gayo yang dikelompokkan kedalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.
Teori pertama ini dapat diterima kebenarannya, karena, tulis Yusra Habib, dari sudut pandang antropologi dan sosio-politik, perubahan nama dari ’Pegayon’ kepada ’Gayo’ merupakan proses alamiah, yang lazim berlaku di dunia ketatanegaraan dan georaphi.
Misalnya Haiti, yang sebelumnya dinamai La Isla Española, berubah kepada Hispañola dan terakhir berubah menjadi Haiti.
Demikian p**a proses sebutan dari ’Melayunisia’ berubah kepada sebutan ’Indunisia’ hingga kepada ’Indonesia’.
Sebutan terhadap Pidië –salah satu Kabupaten di Aceh– juga mempunyai sejarah panjang, setidak-tidaknya antara tahun 1400-1500-an, Pidië dikenali sebagai Poli dan kerajaannya dinamakan kerajaan Poli.
Pada gilirannya, nama Poli berubah kepada Pedir.
Nama Pedir tetap eksis hingga awal abad ke-19, bahkan tempat penandatanganan Perjanjian Rafless pada 22 April 1819 berlangsung di Pedir, bukan Poli dan bukan p**a Pidië.
Nama Pidië, secara resmi baru muncul dan diakui setelah dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh, dimana pada pasal 1, nama Pidie disebut sebagai salah Kabupaten dalam lingkungan wilayah administratif Provinsi Aceh.
Ini urutannya: Poli berubah kepada Pedir dan akhirnya berubah menjadi Pidië.
Teori kedua menyatakan bahwa, perkataan ’Gayo’ berhubung kait dengan peristiwa tragis yang menimpa Merah Mege, ketika enam bersaudaranya (abang) bersepakat menjebloskan adik bungsunya (Merah Mege) kedalam sebuah Telaga tua di Loyang Datu atas alasan merasa irihati, karena Muyang Mersa (Ayah) dinilai pilih kasih –lebih menyayangi Merah Mege berbanding– enam abang kandung lainnya.
Saat disadari oleh Muyang Mersa bahwa anak bungsunya sudah hilang, maka upaya pencarian pun dilakukan oleh penduduk setempat dan setelah berhari-hari dilakukan pencarian, Merah Mege berjaya ditemukan atas bantuan seekor anjing peliharaan Muyang Mersa bernama Pasé, yang rupa-rupanya setiap hari secara rahasia, Pasé memasok makanan kedalam telaga tua itu, dimana Merah Mege berada.
Pencarian membuahkan hasil, dimana Merah Mege berhasil diselamatkan dalam keadaan selamat hidup. Ketika masyarakat yang menemukan Merah Mege, maka secara spontas mereka berteriak sambil melafazkan ’DirGayo’, ’DirGayo’, ’DirGayo’, yang bermakna ’Selamat/sehat wal’afiat.
Pada gilirannya, perkataan ’DirGayo’ mengalami perubahan kepada ’Gayo’ (berarti selamat sejahtera).
Berangkat dari fakta di atas, lanjut Yusra Habib, maka orang Gayo sesungguhnya sejak tahun 988 Masehi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Malik Ishaq di Isaq (tanah Gayo)– dan pada tahun 1025 Masehi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Islam Linge di Buntul Linge (tanah Gayo)– dimana peradaban Islam sudah hidup dan berkembang di tanah Gayo.
Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai –sekarang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Utara di Pesisir Aceh– yang baru berdiri pada tahun 1267.
Dengan perkataan lain, setelah 242 tahun lamanya kerajaan Islam Linge wujud, barulah berdiri Kerajaan Pasai (1297-1326 M); atau setelah 279 tahun berdirinya Kerajaan Islam Malik Ishaq wujud di tanah Gayo.
"Memandang akuratnya fakta sejarah Gayo, maka dalam konteks ini sungguh mengejutkan, apabila muncul pendapat/teori bernada ’sungsang’ tentang asal-asul perkataan ‘Gayo’. Teori ini menyebut bahwa, ”… nama Gayo berasal dari kata ’kayo’ yang berarti ”takut” atau melarikan diri." Demikian Yusra Habib Abdul Gani. (*)