Jokowi Center Aceh Bangkit

Jokowi Center Aceh Bangkit selamat bergabung

17/04/2020

Untuk pengaduan:
Website: lapor.go.id

Untuk permohonan informasi:
ppid.kemsos.go.id atau email: [email protected]

Layanan PKH:
Telepon 1500299 atau email: [email protected]

05/04/2020

REDELONG-LintasGAYO.co : Bupati Bener Meriah, Abuya Tgk. H. Sarkawi bersama Forkopimda dan Forkopimda Plus terus melakukan diskusi terkait dampak yang kemungkinan timbul

27/03/2020
07/03/2020

Agar Program Sembako dapat menggerakkan ekonomi lokal, Menteri Sosial Juliari P Batubara berpesan kepada Pemerintah Daerah agar memasok bahan pangan di E-Warong dari daerah setempat.

Bahan pangan dalam ditambah jenisnya, termasuk daging, ayam, dan kacang-kacangan.

“Misal bila di daerah tertentu banyak menghasilkan ikan, bisa dimaksimalkan penyediaan ikan. Dengan demikian bisa menggerakkan perekonomian lokal,” kata Mensos Juliari P Batubara.

Baca selengkapnya:
https://kemsos.go.id/agar-program-sembako-gerakkan-ekonomi-lokal-ini-pesan-mensos

Ijin berbagi Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" Karya Yusra Habib Abdul Gani, Mengungkap Tabir GayoLaporan Fikar W Eda | Jak...
16/02/2020

Ijin berbagi

Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" Karya Yusra Habib Abdul Gani, Mengungkap Tabir Gayo

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA -- Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" yang ditulis DR. Yusra Habib Abdul Gani, SH terbitkan Mahara Publishing, 2018, mencoba mengungkap asal muasal Gayo dan Kerajaan Linge serta hubungannya dengan Kerajaan Aceh Darussalam dan sebarannya di beberapa daratan Pulau Sumatera.

Yusra Habib Abdul Gani, salah seorang intelektual Gayo, kini bermukim di Denmark sejak 1998 Lahir di Kenawat 12 April 1954.

Menamatkan studi bidang hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus ujian negara di Fakuktas Hukum UI pada 1984.

Pernah menjadi dosen, dan menjadi salah seorang inteletual Gerakan Aceh Merdeka dan menyelamatkan diri ke Malaysia. Menulis sejumlah buku dan mengisi berbagai forum ilmiah dalam dan luar negeri.

Buku ini menerangkan, banyak hal temtang Gayo, mengingat tidak banyak literatur mengenai Gayo.

Maka kehadiran buku karya Yusra Habib Abdul Gani ini menjadi sangat penting dan bernilai.

Home » Budaya
Buku Gayo dan Kerajaan Linge
Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" Karya Yusra Habib Abdul Gani, Mengungkap Tabir Gayo
Jumat, 31 Januari 2020 19:55
Buku
For Serambinews.com
Buku mengungkap tabir Gayo ditulis DR. Yusra Habib Abdul.Gani, SH.

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA -- Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" yang ditulis DR. Yusra Habib Abdul Gani, SH terbitkan Mahara Publishing, 2018, mencoba mengungkap asal muasal Gayo dan Kerajaan Linge serta hubungannya dengan Kerajaan Aceh Darussalam dan sebarannya di beberapa daratan Pulau Sumatera.

Yusra Habib Abdul Gani, salah seorang intelektual Gayo, kini bermukim di Denmark sejak 1998 Lahir di Kenawat 12 April 1954.

Menamatkan studi bidang hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus ujian negara di Fakuktas Hukum UI pada 1984.

Pernah menjadi dosen, dan menjadi salah seorang inteletual Gerakan Aceh Merdeka dan menyelamatkan diri ke Malaysia. Menulis sejumlah buku dan mengisi berbagai forum ilmiah dalam dan luar negeri.

Buku ini menerangkan, banyak hal temtang Gayo, mengingat tidak banyak literatur mengenai Gayo.

Maka kehadiran buku karya Yusra Habib Abdul Gani ini menjadi sangat penting dan bernilai.

• Rektor Universitas B**g Karno Lantik Putra Gayo, Aldi Yusra sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi

• Bantah Isi Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Yusra Habib Tulis Buku Gayo dan Kerajaan Linge

• DR Yusra Habib Abdul Gani Tantang DR Zulyani Hidayah, Penulis Buku Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia

• Ini Dia, Tiga Buku Gayo

Ia menguraikan tentang Kerajaan Linge berpusat di Buntul Linge (kini masuk Aceh Tengah) berdiri pada 1205 Masehi dengan raja pertama Adi Genali, berasal dari Imperium Rum, yang terdampar di Buntul Linge akibat tekanan dan pergolakan.

Negeri Rum yang dimaksud dalam buku ini adalah sebuah kerajaan yang memerintah di kawasan Turki sekarang.

Tulis Yusra Habib, pada kurun 1205-1453 terdapat komunitas muslim Rum yang berada dalam kehidupan keagamaan yang agak tertekan di bawah pemerintah Kerajaan Rum, sehingga sebahagian penduduknya memilih menyelamatkan diri ke EropaTimur, seperti Tarkizistan, Turkistan, dan Ajerbaizan.

"Dipredisksi atas alasan stabilitas politik dan keamanan, memicu seorang putra Rum, Adi Genali dan rombongannya memilih hijrah ke Pulau Ruja atau Sumatera beberapa tahun menjelang 1025 masehi. Lokasi yang dipilih adalah Buntul Linge dan kemudian mendirikan Kerajaan Linge pada 1025," tulis Yusra Habib.

Adi Genali punya empat anak, Ali Syah, Johan Syah, Malam Syah dan Datu Beru. Wilayah kekuasaan Linge dilukiskan dalam ungkapan "sebujur Acih selintang batak."

Yusra Habib menyebut ini sebagai klaim politik mengenai tapal batas geografi wilayah kedaulatan Kerajaan Linge, yang disimbolkan oleh Johan Syah sebagai "ranub" representasi kerajaan Aceh, Datu Beru sebagai "belo" representasi kerajaan Linge dan Ali Syah sebagai "sirih" representasi dari Sibayak Lingga untuk wilayah Tanah Karo.

Kerajaan Linge di bawah Adi Genali juga merumuskan konstitusi Kerajaan Linge yang dituangkan dalam "45 Pasal Edet Negeri Linge" dan menjalankan sistem pemerintahan yang dikenal dengan istilah Sarak Opat, dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara eksekutif, yudikatif dan legislatif melalui lembaga "reje, petue, imem dan rayat atau rakyat."

Menurut Yusra Habib, pemisahaan dan pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan Sarak Opat di Linge dirumuskan pada 1115 Masehi.

Adegium pemisahan dan pembagian kekuasaan di Linge ternyata jauh lebih tua usianya dibanding adegium "Adat bak Po Teumereuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun Bak Puntroe Phang, Reusam bak Bintara" yang diperkenalkan semasa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan teori triaspoliticia Mountesquieu yang baru muncul.pada periode 1532-1734. (Hal: 101).

Isi dan kandungan "45 Pasal Edet Negeri Linge" dilampirkan pada bagian akhir buku.

Lalu apa hubungan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam? Yusra Habib melukiskan kaitannya sangat dekat. Sebab turunan Reje Linge, Merah (Meurah) Johan Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam dan menjadi sultan pertamanya.

Merah (Meurah) Johan Syah, dilantik pada 22 April 1205 Masehi/1 Ramadhan 601 H, bergelar Sultan Alaidin Johan Syah.

Kerajaan Aceh Darussalam didirikan setelah dibebaskan beberapa kerajaan kecil yakni Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Seudu, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Indrapuri dari cengkraman kolonial China Nio Nian.

Johan Syah bersama gurunya Sjech Abdullah Kana'an dan pasukannya berhasil mengalahkan Nio Nian dan kemudian kerajaan-kerajaan kecil itu disatukan dalam satu kerajaan besar, Kerajaan Aceh Darussalam, dengan ibukota kerajaab Bandar Aceh Darussalam.

"Merah Johan Syah adalah peletak dasar penyatuan seluruh Aceh, sebagaimana wujud sekarang, barulah kemudian Ali Riayat Syah (1589-1604) mengeratkan hubungan luar negeri terutama Turki yang sudahpun dibangun sejak tahun 1520," tulis Yusra Habib (hal: 80).

Pada saat pengukuhan sebagai sultan, Merah Johan Syah menyampaikan pidato. Berikut adalah isi pidato saat diangkat sebagai Sultan I Kerajaan Aceh Darussalam, bergelar Sultan Alaidin Johan Syah:

"Bismillahirrahmannirrahim.
Kami bersyukur kepada Allah SWT, karena dengan iradah-Nya, hari ini kami diresmikan menjadi khadim dari Kerajaan-Nya.

Kami berjanji akan melaksanakan semua ajaran-Nya dalam segala cabang kehidupan umat.

Sebagai manusia, kami adalah orang yang lemah, hanya Al Haq Allah SWT, adalah kekuatan mutlak. Kejahatan sebesar apapun tidak akan sanggup bertahan di hadapan Al Haq. Kami adalah tangan Al Haq yang akan membela rakyat tertindas dan mematahkan leher kezaliman.

Dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi rajanya adalah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, keikhlasan, dan cinta kasih. Siapapun tidak boleh melanggar dasar-dasar ini.

Segala unsur bangsa dan segala jenis darah yang berada dalam Kerajaan Aceh Darussalam akan diberlakukan sama, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tinggi rendah seseorang diukur dengan taqwa."

Teks ini dimuat pada halaman: 78-79. Teks pidato itu juga pernah ditampilkan dalam buku kecil "Merah Johan, Sultan I Kerajaan Aceh Darussalam," Panitia PKA IV Aceh Tengah, 2004.

Kaitan Linge dengan Sultan Alaidin Johan Syah pernah diungkapkan oleh Almarhumah Sultanah Aceh Teungku Putroe Safiatuddin Cahaya Nur Alam, turunan terakhir Sultan Aceh Muhammad Daud Sjah.

Ia meninggal dunia di Lombok, Mataram pada 6 Juni 2018 dalam usia 87 tahun dan dimakamkan di komplek makam raja Aceh, Baperis, Banda Aceh.

Dalam percakapan dengan serambinews.com, di Jakarta, Sultanah Teungku Putroe pernah berencana menunjungi Linge, tanah leluhur kakek buyutnya Sultan Alidin Johan Syah. Sampai ia meninggal dunia, keinginan itu tercapai.

"Kita ini satu. Pendiri Kerajaan Aceh Itu Sultan Johan Syah dari Linge," kata Bunda Putroe mengenai benang sejarah itu.

Lalu bagaimana p**a hubungan Gayo dengan Kerajaan Peureulak? Yusra Habib Abdul Gani pada halaman 30, menuliskan, bahwa Malik Ishaq dari Peureulak menyelamatkan diri ke daerah Gayo Isaq sebagai pelarian politik, atas pergolakan perang selama 20 tahun dengan Sriwijaya.

Masa itu, Kerajaan Peureulak diperintah Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Sjah Johan (986-1023).

Dalam rangka menyiapkan perbekalan perang, Sultan Peureulak memilih Gayo, seperti Kute Rayang, Kute Robel, Kute Keramil dan lain-lain yang tanahnya subur.

Kehadiran Malik Ishaq di Gayo diterima sangat baik oleh penduduk, dan pengulu setempat bahkan mengijinkan Malik Ishaq mendirikan kerajaan yang berpusat di Isaq pada 988 Masehi.

Setelah perang reda, sebahagian rombongan Malik Isaq p**ang ke Peureulak dan sebahagian lagi menetap di Isaq dan mereka menjadi "the new gayo men" tulis Yusra Habib (hal:33).

Buku "Gayo dan Kerajaan Linge" ini mengungkapkan, bahwa jauh sebelum berdirinya Kerajaan Linge dan kehadiran pelarian politik dari Peureulak, Malik Ishaq dan rombongan di Gayo dan mendirikan kerajaandengan pusat di Isaq, di wilayah itu sudah ada komunitas masyarakat Gayo purba yang berhasil diidentifikasi secara ilmiah oleh Balai Arkeologi Medan.

Temuan kerangka manusia purba dan benda-benda budaya berupa anak panah, gerabah, gigi yang diratakan di Ceruk Mendale dan Ujung Karang di tepi Danau Laut Tawar dan hasil uji karbon menunjukkan bahwa usia kerangka manusia dan benda budaya purba itu 8.430 tahun.

Ini artinya nenek moyang Gayo itu sudah lebih awal ada di banding kehadiran Adi Genali dan Malik Ishaq.

"Berdasarkan fakta yang ditemukan di Loyang Mendale dan Ujung Karang membuktikan bahwa karakter nenek moyang Gayo sungguh mahir dan kreatif terutama dalam seni budaya, upacara ritual keagamaan, memiliki falsafah hidup, arsitektur, seni ukir, seni suara dan menganyam. Hal ini dapat dipahami dan diterima oleh karena gaya hidup nomaden pada ketika itu dianggap sudah cukup memadai, mereka rasakan puas, aman, tertib, harmonis dan damai. Mereka belum memiliki pemimpin lokal, yang dikenal hanya pemimpin keluarga yang tinggal dalam rumah besar," tulis Yusra Habib Abdul Gani.

Buku ini juga mencoba mengungkap istilah Gayo. Tulis Yusra Habib, terdapat dua teori yang diakui secara ilmiah oleh orang Gayo berdasarkan kekeberen tradisi lisan.

Pertama, perkataan ’Gayo’ berasal dari bahasa Batak Karo yang berarti ’Gerep’ (Kepiting yang hidup di rawa-rawa atau di Sungai).

Lokasi tempat ’Gerep’ ini hidup disebut ’Pegayon’. Perkataan ’Gayo’, bukan menunjuk kepada eksistensi dan identitas suatu etnis atau bangsa. Ianya hanya menunjuk kepada suatu lokasi dalam peta bumi dunia bernama ’Pegayon’ (suatu lokasi rawa-rawa, dimana banyak hidup kepiting), terletak di Kampung Porang Blang Pegayon (Sekarang: wilayah administrasi Kabupaten Gayo lues).

Pada zaman dahulu, penduduk yang datang dari kampung lain, maupun yang berada di sekitar lokasi, apabila mau mencari Kepiting, mereka kata: ’mau ke Pegayon’.

Perkembangan selanjutnya, perkataan ’Pegayon’, mengalami proses perubahan sebutan dan ta’rif –dari sebutan ’Pegayon’ –yang luasnya kurang dari 500 m., berubah kepada nama suatu sebuah negeri bernama ’Gayo’ (Dataran Tanah Tinggi Gayo).

Dari nama tersebut secara natural, penduduk yang mendiami tanah ini melahirkan ikatan kekerabatan hingga menyusun sebuah konsep kebangsaan Gayo.

Di atas bumi bertuah inilah mereka menyara hidup, beranak keturunan sebagai sebuah bangsa yang memiliki sistem dan struktur kerajaan, tapal batas wilayah, identitas budaya, falsafah dan bahasa Gayo yang dikelompokkan kedalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.

Teori pertama ini dapat diterima kebenarannya, karena, tulis Yusra Habib, dari sudut pandang antropologi dan sosio-politik, perubahan nama dari ’Pegayon’ kepada ’Gayo’ merupakan proses alamiah, yang lazim berlaku di dunia ketatanegaraan dan georaphi.

Misalnya Haiti, yang sebelumnya dinamai La Isla Española, berubah kepada Hispañola dan terakhir berubah menjadi Haiti.

Demikian p**a proses sebutan dari ’Melayunisia’ berubah kepada sebutan ’Indunisia’ hingga kepada ’Indonesia’.

Sebutan terhadap Pidië –salah satu Kabupaten di Aceh– juga mempunyai sejarah panjang, setidak-tidaknya antara tahun 1400-1500-an, Pidië dikenali sebagai Poli dan kerajaannya dinamakan kerajaan Poli.

Pada gilirannya, nama Poli berubah kepada Pedir.

Nama Pedir tetap eksis hingga awal abad ke-19, bahkan tempat penandatanganan Perjanjian Rafless pada 22 April 1819 berlangsung di Pedir, bukan Poli dan bukan p**a Pidië.

Nama Pidië, secara resmi baru muncul dan diakui setelah dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh, dimana pada pasal 1, nama Pidie disebut sebagai salah Kabupaten dalam lingkungan wilayah administratif Provinsi Aceh.

Ini urutannya: Poli berubah kepada Pedir dan akhirnya berubah menjadi Pidië.

Teori kedua menyatakan bahwa, perkataan ’Gayo’ berhubung kait dengan peristiwa tragis yang menimpa Merah Mege, ketika enam bersaudaranya (abang) bersepakat menjebloskan adik bungsunya (Merah Mege) kedalam sebuah Telaga tua di Loyang Datu atas alasan merasa irihati, karena Muyang Mersa (Ayah) dinilai pilih kasih –lebih menyayangi Merah Mege berbanding– enam abang kandung lainnya.

Saat disadari oleh Muyang Mersa bahwa anak bungsunya sudah hilang, maka upaya pencarian pun dilakukan oleh penduduk setempat dan setelah berhari-hari dilakukan pencarian, Merah Mege berjaya ditemukan atas bantuan seekor anjing peliharaan Muyang Mersa bernama Pasé, yang rupa-rupanya setiap hari secara rahasia, Pasé memasok makanan kedalam telaga tua itu, dimana Merah Mege berada.

Pencarian membuahkan hasil, dimana Merah Mege berhasil diselamatkan dalam keadaan selamat hidup. Ketika masyarakat yang menemukan Merah Mege, maka secara spontas mereka berteriak sambil melafazkan ’DirGayo’, ’DirGayo’, ’DirGayo’, yang bermakna ’Selamat/sehat wal’afiat.

Pada gilirannya, perkataan ’DirGayo’ mengalami perubahan kepada ’Gayo’ (berarti selamat sejahtera).

Berangkat dari fakta di atas, lanjut Yusra Habib, maka orang Gayo sesungguhnya sejak tahun 988 Masehi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Malik Ishaq di Isaq (tanah Gayo)– dan pada tahun 1025 Masehi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Islam Linge di Buntul Linge (tanah Gayo)– dimana peradaban Islam sudah hidup dan berkembang di tanah Gayo.

Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai –sekarang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Utara di Pesisir Aceh– yang baru berdiri pada tahun 1267.

Dengan perkataan lain, setelah 242 tahun lamanya kerajaan Islam Linge wujud, barulah berdiri Kerajaan Pasai (1297-1326 M); atau setelah 279 tahun berdirinya Kerajaan Islam Malik Ishaq wujud di tanah Gayo.

"Memandang akuratnya fakta sejarah Gayo, maka dalam konteks ini sungguh mengejutkan, apabila muncul pendapat/teori bernada ’sungsang’ tentang asal-asul perkataan ‘Gayo’. Teori ini menyebut bahwa, ”… nama Gayo berasal dari kata ’kayo’ yang berarti ”takut” atau melarikan diri." Demikian Yusra Habib Abdul Gani. (*)

Maju bersama Karang Taruna
29/01/2020

Maju bersama Karang Taruna

17/07/2019
21/05/2019

GAYO LUES, BARANEWSACEH.CO – Relawan Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA JP) Kabupaten Gayo Lues menyampaikan selamat kepada Ir.H.Joko Widodo- Profesor Doktor KH

19/05/2019
21/09/2018

AWAS GOAL BUNUH DIRI !

Catatan kritis komunikasi politik relawan Jokowi/ KH Ma’ruf Amin
Oleh : Sahat M Lumbanraja
Ketua Harian Jokowi Centre


jokowicentre.or.id – Sebagai Petahana dengan segudang prestasi, harusnya tidak sulit bagi pasangan Ir. H. Joko Widodo/Kyai Dr. Ma’ruf Amin (JAMIN) untuk menang pada Pilpres 2019. Jokowi memiliki segudang prestasi yang bisa dirasakan oleh rakyat. Kemampuan beliau juga mendapat pengakuan dunia International sebagai pemimpin yang hebat(berprestasi. Seorang kawan relawan Centre mengingatkan; memang peluang menang kepada pasangan JAMIN sangat besar, dari semua pertimbangan dan kalkulasi politik. Dalam semua aspek Petahana unggul. Ibarat sepak bola dengan berbagai perbandingan kekuatan, prestasi dan ranking. Salah satu factor kekalahan pasangan Jamin yang penting untuk diwaspadai aadalah GOL BUNUH DIRI. Maksud loe?? Benar benar penasaran, saya minta penjelasan kepada sang kawan

AWAS GOL BUNUH DIRI.

Gol bunuh diri adalah analogi sepak bola, dimana kekalahan bukan akibat kehebatan strategi lawan yang hebat, tetapi kebobolan akibat ulah dari pemain kita sendiri. Gol bunuh diri yang dimaksud adalah kekalahan yang disebabkan oleh blunder politik yang dilakukan oleh tim sukses, relawan dan orang-orang di sekitar Jokowi. Salah satu factor penting yang harus menjadi perhatian adalah menyoal komunikasi politik oleh juru bicara presiden & para relawan pendukung Jokowi.

Misal, komentar Farhat Abbas, yang mengatakan “Tak pilih Jokowi masuk neraka,’ katananya (Rakyat Merdeka, 13 September 2017), media tersebut menimpali, Farhat Berkah Atau Musibah. Tentu saja ada banyak bentuk bentuk komunikasi seperti ini baik yang sifatnya, satire, kritik yang tajam dan hingga status-status yang mengandung hoaks, fitnah dan ujaran kebencian. Akibatnya,kubu “seberang” mendapatkan peluru untuk melakukan serangan balik, di mana serangan tersebut ditujukan kepada Jokowi secara brutal dan massif.

Beberapa catatan kritis praktek komunikasi politik relawan yang harus di waspadai adalah komunikasi yang sangat reaktif dalam merespon berbagai jenis informasi yang bersifat kritik, hoaks ujaran kebencian dan fitnah-fitnah yang ditujukan kepada Jokowi. Respon umum “relawan” pendukung Jokowi, ada yang merespon secara kritis, akan tetapi tidak jarang ada juga yang membalas kasar dengan kasar, kadang kala melakukan hate speech yang sama dengan kubu seberang. Untung saja, relawan pedukung Jkw umumnya tidak terjebak dengan hoaks, tetapi masih ada segelintir “relawan pendukung” yang menggunakan ujaran kebencian yang sama kasarnya.

Misalnya, merespon secara reaktif terhadap kritik yang ditujukan kepada Jokowi, yang reaksi kita kadang kadang berlebihan, di mana seolah-olah Jokowi adalah manusia tanpa kelemahan. Saat beredar dugaan rekaman suara & chat “pornografi” HRS/FH menurut kami cukuplah kita serahkan kepada kepolisian untuk mengambil tindakan hukum. Tidak perlu menyerbar luaskan meme-meme yang menyerang secara kasar kepada HRS. Selain itu, Menyerang secara sarkastis tokoh2 lawan-lawan politik jokowi, tapi minus argumentasi yang kuat. Menyerang Prabowo dengan membongkar latar belakang agamanya (bisa sholat atau tidak, suku & rasnya, (SARA), dan latar belakang anaknya menurut hemat saya adalah kurang adalah kurang etis. Sama, seperti kubu oposisi yang terus menerus mengangkat isu soal asal usul Jokowi, isu komunis dll, hingga permintaan pemeriksaan DNA, yang tentu saja sangat mengada-ada, dan seakan merendahkan kemampuan intelijen dan aparat kepolisian kita.

Sejauh menyangkut track record, kemampuan dan masa lalu Prabowo yang terkait langusng dengan hubungannya sebagai calon presiden menurut kami masih wajar-wajar saja: isu-isu pelanggaran HAM, itupun haruslah didukung oleh fakta fakta objektif. Kritik terhadap AR, RS & NW sejauh kritik yang tajam, keras da objektif kami kira lumrah dalam politik. Akan tetapi menyerang kehormatan pribadi, keluarga dan anak-anaknya menurut kami kurang tepat. Seperti kita menjaga kehormatan Jokowi sebagai kepala negara, Kh Dr M Amin, Megawati, Kh Said Agil Siroj, dan tokoh tokoh agama, adat dan politik lainnya, janganlah kita merendahkan martabat dan kehormatan tokoh tokoh lain, yang berseberangan pandangan politik.

Kekhawatiran kami adalah pembuat meme-meme yang penuh dengan kebencian, merendahkan martabat Jokowi sebagai kepala negara, tokoh bangsa dan para ulama adalah kelompok yang sama yakni “SARACEN”/ MCA”, dan sejenisnya. Mereka secara sistematis melakukan adudomba, Mereka mendapat order keuntungan dari ketegangan politik di Indonesia (bukan tidak mungkin kekuatan asing, yang menginginkan Indonesia tetap tidak stabil dan kuat secara politik). Mereka dengan sengaja kadan berpura-pura seakan-akan menjadi relawan Jokowi, untuk memancing relawan moga-moga melakukan blunder politik, yang kemudian bisa digoreng-goreng untuk memanaskan suhu politik.

Dalam hal ini tim Cybercrime Polri dan BSSN, kemenkominfo memang harus mengambil tindakan yang tegas, untuk membongkar jaringan penyebar hoaks, ujaran kebencian & fitnah fitnah yang ditujukan kepada kubu yang berbeda, khususnya kepada Jokowi. Kami juga tidak yakin tim sukses Prabowo menginstruksikan hal tersebut. Sebab hal itu, juga merugikan kedua belah pihak. Sebab, pasti akan mengurangi kepercayaan terhadap Prabowo sebab seakan akan pendukung beliau yang menyebar hoak, ujaran kebencian yang ditujukan kepada Jkw.

Kampanye hitam yang ditujukan kepada Jkw, hampir tiap menit ada saja status, meme-meme yang beredar yang secara sengaja memancing kemarahan, sebab status-status tersebut memang berrisi berita berita hoaks fitnah dan ujaran kebencian, yang tidak pantas ditujukan kepada kepala negara. Ironis, seorang ibu guru ditangkap polisi kerena menyebar meme meme yang mengandung hoaks dan ujaran kebencian. Seorang angora DPRD di Bekasi pernah mengalami tindak kekerasan dari sekelompok orang yang tersinggung dengan meme yang merendahkan HRS. Saya menduga, bukan kedua orang tersebut yang membuat atau mendesain Meme/flIyer tersebut, mereka hanya terjebak, mungkin karena “setuju” atau “cocok” dengan pandangan politiknya, dengan latah kemudian menyebarkannya.

Hal lain, yang patut di waspadai adalah peran juru bicara presiden yang direkrut dari orang orang yang sebelumnya berbeda pandangan politik pada pemilu 2014, seperti Ali Mochtar Ngabalin, dan mungkin juga yang lain. Harus diakui, peran Ngabalin sebagai juru bicara presiden cukup membantu menghadapi Fadli Zon & Fahri Hamzah, terutama untuk mengkaunter isu-isu agama. Namun, perbedaan pandangan politik di masa lalu tentu akan terus diungkit dengan jejak digital yang sulit di hapus, akan terus digunakan untuk menunrungkan tingkat kepercayaan kepada JKW. Tentu perlu kehati- hatian dari para jurubicara presiden, & dukungan data serta analisis yang akurat agar penyampaian sikap pemerintah dalam merespon lawan politik,sosialisasi kebijkana dan pertayaan-pertanyaan public tetap pada rel yang benar, tidak menjadi blunder politik yang menjadi bahan pergunjingan politik di medsos ataupun di masyarakat.

IKUT JEJAK JOKOWI

Apa yang harus dilakukan oleh para relawan? Relawan tinggal mengikti keteladanan dan contoh-contoh yang dipraktekkan oleh Jkw setiap saat.

Pertama, Jokowi tidak terlalu merespon atau reaktif terhadap serangan-serangan politik yang ditujukan kepadanya. (komunikasi politik lewat kerja nyata dan hasil kerja (man of action).

Kedua, Pola hidup sederhana, santun baik secara tindakan maupun ucapan serta bahasa tubuhnya yang sangat menghormati orang tua, terutama para ulama. Cara Jokowi berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang otentik, dan alami

Ketiga, komunikasi politik yang sarat pesan simbolik, baik pesan-pesan strategi, budaya, kritik kepada para elite politik yang dengan cara-cara yang sangat kasar menyerang beliau, namun tidak beliau balas dengan perdebatan kata kata di depan publik. Semisal, saat SBY dengan sangat keras & sinis mengkritik JKW berulang-ulang melalui pers dan media social, beliau cukup dengan mengunjungi wisma atlet di Hambalang yang mangkrak. Kunjungan itu memberi pesan yang sangat elegan kepada para elite dan public, menyerang tanpa kata-kata. Saat lain, JKW berfoto di taman istana bogor beserta kambing peliharaannya, yang mengingatkan rakyat Indonesia agar jangan mau diadu domba hanya karena PEMILU sekali dalam 5 tahun.

Keempat, Menunjukkan keberanian & sikap tegas. Demi kepentigan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa beliau menunjukkan keberanian dan ketegasan yang luar biasa yang diperlihatkan dengan mengambil keputusan yang tidak pop**ar dengan membubarkan HTI, hadir di tengah-tengah massa gerakan 212, hingga tetap mengunjungi Afganistan walaupun satu hari sebelumnya bahkan beberapa jam sebelumnya, bom masih meledak di kota Kabul.

Kelima, Dekat dengan rakyatnya. perjumpaan sesering mungkin dengan massa rakyat. Perjumpaan JKW dengan massa rakyat dan sambutan yang luar biasa dari rakyat adalah satu komunikasi politik yang menjadi contoh teladan dan patut ditiru oleh para CALEG. Seandainya langkah ini ditiru oleh caleg incumbent dan orang orang yagn jauh jauh hari sdh merencanakan diri jadi caleg, tentu akan lebih mudah memenangkan PILEG. Akan tetapi, CALEG hanya datang hanya menjelang PEMILU, dan bagi yang sudah menang dan hanya dating di awal saja atau datang menjelang PEMILU berikut, sering kali rakyat dilupakan begitu terpilih jadi anggota DPR


18/09/2018

KH Ma'ruf justru mempertanyakan ulama yang hadir di agenda tersebut.

Address

Banda
Banda
.........

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Jokowi Center Aceh Bangkit posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share