
08/10/2025
DI BAWAH POHON KARET (Laras)
---
Bab 1
Angin malam berhembus pelan di antara batang-batang karet yang tinggi menjulang. Daun-daun berdesir lembut, seolah berbisik tentang rahasia hidup yang tak bisa dimengerti manusia.
Di bawah salah satu pohon tua itu, Laras berdiri sendirian — tangannya masih memegang pisau sadap yang tumpul, dan matanya memandangi aliran getah putih yang menetes perlahan ke wadah kecil di tanah.
“Seandainya uang bisa menetes semudah getah ini,” gumamnya lirih.
Suaranya hampir hilang, tenggelam dalam kabut pagi yang baru turun.
Di rumah kecilnya, dua anak sedang tidur pulas. Yang satu masih sering terbangun minta pelukan, yang satu mulai belajar menahan tangis agar tak merepotkan ibunya. Laras menatap ke arah rumahnya dari kejauhan — hatinya sesak, tapi juga hangat.
Segala lelahnya selalu luluh kalau mengingat wajah mereka.
Namun malam ini, pikirannya berat.
Hutang yang menumpuk seperti tali yang melilit dadanya semakin kencang. Ia sudah mencoba segalanya — menjual hasil kebun, bekerja siang malam, bahkan meminjam pada orang-orang yang kini tak lagi percaya padanya.
Setiap langkah terasa seperti berjalan di lumpur yang makin dalam.
“Kenapa hidupku begini, Gusti?” bisiknya pelan, menatap langit gelap tanpa bintang.
“Apakah aku masih pantas berharap?”
Tak ada jawaban, hanya suara jangkrik dan hembusan angin. Tapi di tengah sunyi itu, Laras merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini — seolah ada tangan lembut yang menepuk bahunya, tanpa wujud, tanpa kata.
Ia menarik napas panjang.
Dalam hatinya, suara kecil berbisik:
"Kamu belum kalah, Laras. Selama kamu masih menatap langit, masih ada arah pulang."
Laras menutup matanya, membiarkan air mata mengalir — bukan lagi karena putus asa, tapi karena sadar: bahkan dalam gelap sekalipun, Tuhan masih menatapnya.
Lanjut bab 2