Penyejuk Hati

04/09/2025

Semoga apa yang kita inginkan tersemogakan,
Berkah bulan maulid ini...
Amin ya rabbal alamin, 🤲

Pengikut
@sorotan

01/09/2025

Demonstrasi menyampaikan aspirasinya terhadap BANK BRI😁

@sorotan Pengikut Semua Orang

Cerpen "Senja Terakhir Bang Ojol"Affan Kurniawan baru saja selesai menunaikan salat Ashar ketika ibunya memanggil dari d...
29/08/2025

Cerpen "Senja Terakhir Bang Ojol"

Affan Kurniawan baru saja selesai menunaikan salat Ashar ketika ibunya memanggil dari dapur.
“Fan, makan dulu nak. Jangan buru-buru keluar.”
Suara itu lembut, tapi penuh kasih sayang yang selalu membuat dada Affan terasa hangat. Ia menoleh, tersenyum.
“Nanti ya, Bu. Affan cuma sebentar keluar. Ada orderan dekat-dekat sini.”

Ibunya mengangguk, meski hatinya sedikit gamang. Ia tahu, anak bungsunya itu kerap memaksakan diri. Baru 21 tahun, tapi pundaknya sudah menanggung beban hidup seakan dunia menuntutnya jadi lelaki dewasa lebih cepat. Sejak ayahnya pergi untuk selamanya, Affanlah yang sering menjadi tulang punggung keluarga.

Dengan jaket ojolnya yang sudah pudar warna hijau, ia turun dari rumah kontrakan sederhana di Jatipulo. Senja itu, langit Jakarta berwarna jingga bercampur debu. Jalanan ramai, riuh, seperti menyimpan rahasia besar. Affan tak tahu, sore itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan cahaya mentari.

Motor tuanya meraung pelan, menembus jalanan yang mulai padat. Dari kejauhan, ia mendengar suara massa. Teriakan-teriakan keras di sekitar Gedung DPR/MPR. Affan bukan demonstran, ia hanya pengantar rezeki. Tapi Jakarta sedang gelisah. Jalan yang biasanya jadi jalur kerja, kini beralih jadi panggung amarah.

“Lewat mana, ya Allah,” gumamnya pelan, sembari memelankan laju motor.

Ia hendak menyeberang jalan, mencari jalur alternatif. Namun aspal licin, penuh sisa air dan kerikil. Ban motornya oleng. Dalam sekejap, tubuh Affan terpelanting, jatuh di tengah riuh. Ia berusaha bangkit, lututnya luka, napasnya terengah.

Lalu, deru mesin raksasa itu datang, rantis Brimob, seukuran raksasa besi, melaju tanpa kompromi. Orang-orang berteriak.
“Ada ojol di bawah! Ada orang jatuh! Berhenti!”
Suara-suara itu melolong menembus udara, tapi tak ada rem yang ditarik.

Affan melihat bayangan hitam besar itu mendekat. Waktu serasa berhenti. Ia teringat wajah ibunya di dapur, teringat pesan belum sempat dijawab di ponselnya, teringat mimpi sederhana, ingin membelikan kursi roda untuk nenek yang tak bisa berjalan jauh. Air matanya menetes, bercampur debu jalanan.

“Ya Allah, jaga Ibu…” bisiknya pelan.

Detik berikutnya, deru roda baja menutup pandangan. Tubuh muda itu tak sempat beranjak. Hanya jeritan massa yang menggema, membelah langit Jakarta malam itu.

Rekan-rekan ojol berlari, mengangkat tubuhnya yang tak lagi kuat melawan takdir. Mereka bergegas ke rumah sakit terdekat, berharap ada mukjizat. Tapi di lorong dingin rumah sakit, napas Affan berhenti. Senyumnya membeku, meninggalkan kesunyian panjang.

Di rumah duka, ibunya menunggu. Tatapannya kosong ketika kain putih menutupi wajah anak yang semalam masih berpamitan. Tangis pecah, deras, seperti hujan deras yang tak kunjung reda. “Fan, kau belum sempat makan… Kau belum sempat pulang,” isaknya, memeluk tubuh kaku itu.

Para sahabat ojol berdiri dengan mata sembab. Mereka bukan hanya kehilangan kawan, tapi juga cermin perjuangan, seorang anak muda sederhana yang hanya ingin bekerja, namun justru pulang sebagai pahlawan tak bernama.

Jakarta malam itu terasa lebih dingin. Asap demo masih mengepul, lampu jalan masih menyala, tapi satu cahaya padam untuk selamanya. Nama Affan Kurniawan tinggal kenangan, tapi luka yang ia tinggalkan akan terus hidup di dada mereka yang mencintainya.

Mungkin, di langit, ia kini sedang mengantar pesanan terakhirnya, sebuah doa, agar ibunya tetap kuat, dan negeri ini tak lagi memakan anak-anaknya sendiri.


berat Pengikut

Affan Kurniawan, usianya baru 21 tahun. Di saat kebanyakan anak seusianya sedang semangat-semangat kuliah, mengerjakan s...
29/08/2025

Affan Kurniawan, usianya baru 21 tahun. Di saat kebanyakan anak seusianya sedang semangat-semangat kuliah, mengerjakan skripsi, tapi dia berbeda. Sejak lulus SMA, dia sudah bekerja menjadi driver ojol.

Ya, dia adalah tulang punggung keluarga yang hidup di sebuah kontrakan sempit berukuran 3x11 meter. Sang ibu, menurut cerita dari berbagai pihak, sangat bangga terhadap Affan.

Karena anak ini begitu baik, pekerja keras, dan sangat sayang dengan keluarga. Mulai bekerja dari pagi, istirahat sebentar di waktu siang, kemudian lanjut bekerja hingga larut malam.

Pada hari terakhirnya, dia sedang tidak ikut berjuang menyuarakan aspirasi bersama para pejuang. Dia sedang berjuang di jalan lain. Mengantarkan pesanan, melakukan hal mulia yang diajarkan agama: bekerja untuk memberi nafkah keluarga.

Tapi, dia harus meregang nyawa setelah dilindas oleh mobil tantis, yang uangnya dibeli dari hasil kerja keras dan keringat rakyat, termasuk dirinya. Dilindas, bukan terlindas.

Hari ini, ribuan driver ojol mengantar kepergian Affan ke tempat peristirahatan terakhir. Jutaan manusia tidak hanya di Indonesia, turut mendoakannya. Bukti bahwa dunia memang tahu bagaimana cara “menilai” orang baik.

Tangis ibunda Affan ini memang sepatutnya terjadi. Hati seorang ibu mana yang tidak hancur berkeping-keping, melihat putra yang dikandung sembilan bulan dan dibesarkan dengan penuh cinta, harus pulang terlebih dahulu dengan cara seperti ini?

Selamat jalan, Affan. Sampai bertemu lagi di kehidupan yang kelak, tidak ada lagi tempat dan ruang untuk ketidakadilan yang harus kau alami.

07/11/2024

Ba'it kalam...
11/09/2024

Ba'it kalam...

Address

Bandung Rejosari
43531

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Penyejuk Hati posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Penyejuk Hati:

Share

Category