12/07/2025
Beberapa kisah nyata saat saya melakukan wawancara dengan seorang supir truk yang sudah paruh baya, jujur beberapa kisahnya bikin saya nangis banget, bagi yang penasaran bisa cek selengkapnya dibawah ini
Malam itu, warung pecel Pak Slamet di pinggir jalan Bandung masih ramai. Lampu neon yang agak redup menerangi beberapa meja plastik yang berjejer. Sherly duduk di salah satu meja sambil menyeruput teh hangat, matanya tertuju pada seorang bapak paruh baya yang duduk sendirian di meja sebelah. Wajahnya tampak lelah tapi mata masih berbinar.
"Pak, boleh gabung?" tanya Sherly sambil tersenyum.
Bapak itu mengangguk ramah. "Silakan, Mbak. Saya Joko, biasa dipanggil Pak Joko."
"Saya Sherly. Bapak driver truk ya? Saya lihat kunci truk di meja."
Pak Joko tertawa kecil. "Iya, Mbak. Udah 20 tahun lebih saya ngangkut barang dari Bandung ke Jakarta, terus balik lagi. Gitu terus."
"Wah, lama juga ya, Pak. Pasti banyak pengalaman?"
"Banyak, Mbak. Tapi yang paling berat itu bukan jalannya, tapi... keluarga." Pak Joko menatap gelasnya sejenak. "Dulu sempat mau bercerai sama istri."
Sherly terdiam, memberikan ruang bagi Pak Joko untuk bercerita.
"Tahun 2018 kemarin, istri saya bilang capek ditinggal terus. Anak-anak juga mulai protes. 'Bapak nggak pernah ada buat kita,' gitu katanya. Waktu itu saya pikir, yang penting kan saya cari nafkah."
"Terus gimana, Pak?"
"Ya ampun, Mbak. Sampai istri saya bawa berkas cerai ke pengadilan. Saya kaget beneran. Kirain cuma ancaman doang." Pak Joko menggaruk kepalanya. "Anak saya yang sulung, umur 15 tahun, dia malah bilang 'Udah, Pak. Mending bercerai aja sama Mama. Bapak kan jarang di rumah.'"
"Astaga, gimana perasaan Bapak?"
"Rasanya kayak ditampar, Mbak. Tapi saya mikir, ini kerja saya kan buat mereka juga. Saya driver truk, kalau nggak jalan, nggak ada duit. Gimana mau hidup?"
Sherly mengangguk paham. "Memang dilema ya, Pak."
"Nah, pas itu saya lagi nunggu loading barang di Cileunyi. Terus saya ketemu sama driver senior, namanya Pak Agus. Dia udah 30 tahun jadi driver. Tapi keluarganya harmonis banget. Saya tanya, 'Pak, gimana caranya?'"
"Terus Pak Agus bilang apa?"
"Dia bilang, 'Jok, lo pikir istri lo minta bercerai karena uang? Enggak. Dia minta perhatian. Anak-anak lo juga gitu. Mereka nggak butuh ayah yang kaya, tapi butuh ayah yang ada.'"
Pak Joko menarik napas panjang. "Kata Pak Agus, dia tiap hari selalu telepon keluarga. Meski cuma 5 menit. Terus kalau lagi istirahat, dia kirim foto makanan atau pemandangan. Biar keluarga tahu dia lagi apa."
"Oh, jadi komunikasi yang kurang ya, Pak?"
"Betul, Mbak. Saya pikir, udah cukup kirim uang tiap bulan. Ternyata nggak segitu aja. Keluarga itu butuh dikasih tahu, dikasih perhatian, meski dari jauh."
"Terus Bapak gimana?"
"Mulai hari itu, saya berubah. Tiap pagi sebelum berangkat, saya sarapan bareng keluarga. Meski berangkat jam 4 pagi, saya bangunin mereka dulu, ngobrol sebentar. Terus di jalan, saya telepon istri tiap istirahat. Tanya kabar, tanya anak-anak sekolah gimana."
"Responnya gimana?"
"Awalnya istri saya kaget. 'Kok sekarang rajin telepon?' gitu. Tapi lama-lama dia senang. Anak-anak juga mulai antusias kalau saya telepon. Mereka cerita sekolah, cerita temen-temen."
Pak Joko tersenyum. "Yang paling berkesan itu, anak saya yang bungsu, umur 8 tahun. Dia bilang, 'Bapak sekarang kayak superman. Meski jauh tapi selalu tahu kita lagi ngapain.'"
"Wah, manis banget."
"Nah, terus saya juga mulai bawa oleh-oleh kecil-kecilan. Bukan yang mahal, tapi yang unik. Misalnya keripik khas dari daerah yang saya singgahi, atau buah-buahan lokal. Istri saya bilang, 'Ini bukan soal barangnya, tapi soal kamu inget sama kita.'"
"Terus cerai batalkan?"
"Alhamdulillah, Mbak. Istri saya cabut gugatan cerai. Dia bilang, 'Pak, saya nggak minta kamu berenti jadi driver. Cuma minta kamu jangan berenti jadi suami dan ayah.'"
Sherly terenyuh. "Pesan yang dalam banget, Pak."
"Iya, Mbak. Sejak itu saya sadar, kerja keras itu penting. Tapi keluarga juga harus dirawat. Nggak bisa cuma dikasih uang doang. Harus dikasih waktu dan perhatian juga."
"Sekarang gimana, Pak?"
"Sekarang keluarga saya solid, Mbak. Anak-anak bangga bilang bapaknya driver truk. Mereka s**a cerita ke temen-temen tentang perjalanan saya. Istri saya juga udah ngerti, ini kerjaan saya. Tapi dia juga tahu kalau saya selalu inget sama mereka."
"Ada tips nggak, Pak, buat orang-orang yang mungkin mengalami hal serupa?"
Pak Joko berpikir sejenak. "Mbak, menurut saya, kunci keluarga harmonis itu bukan soal selalu bareng secara fisik. Tapi soal gimana kita bisa hadir di hati keluarga kita. Teknologi sekarang memudahkan kita. Manfaatkan aja."
"Terus yang kedua, jangan pernah anggap remeh keluhan keluarga. Kalau mereka bilang kangen, ya berarti mereka emang kangen. Kalau mereka bilang pengen perhatian, ya berarti mereka butuh perhatian."
"Yang ketiga, sekecil apapun usaha kita buat keluarga, lakuin dengan tulus. Telepon 5 menit, tapi rutin, lebih berarti daripada telepon 1 jam tapi cuma sekali seminggu."
Sherly mengangguk. "Makasih ya, Pak. Ceritanya sangat inspiratif."
"Sama-sama, Mbak. Keluarga itu investasi jangka panjang. Kalau kita rawat dengan baik, mereka akan jadi kekuatan kita. Kalau kita abaikan, mereka bisa jadi beban atau bahkan musuh."
"Bener banget, Pak."
"Nah, sekarang anak saya yang sulung udah kuliah. Dia bilang, 'Pak, saya bangga sama Bapak. Bapak ngajarin saya kalau kerja keras itu penting, tapi keluarga juga nggak boleh diabaikan.'"
"Wah, berarti Bapak berhasil jadi role model yang baik."
"Saya cuma berusaha jadi yang terbaik buat keluarga saya, Mbak. Karena mereka adalah alasan saya bekerja keras."
Malam semakin larut, tapi percakapan di warung pecel kecil itu memberikan pelajaran berharga. Bahwa keluarga bukan hanya soal memberi nafkah, tapi juga soal memberi cinta, perhatian, dan kehadiran. Meski terpisah jarak, hati tetap bisa terhubung.
---
beberapa pesan moral yang saya ambil:
Kerja keras untuk keluarga memang penting, tapi jangan sampai kita lupa bahwa keluarga juga butuh kehadiran kita. Bukan hanya kehadiran fisik, tapi kehadiran emosional. Teknologi memudahkan kita untuk tetap terhubung dengan keluarga meski terpisah jarak. Yang terpenting adalah niat tulus untuk selalu menjadi bagian dari kehidupan mereka, sekecil apapun caranya.