Sherly Cuhya

Sherly Cuhya Mau komen atau Inbox apa aja boleh yang penting sopan ya sayang :*

Kawase Hasui - «Morning at the Hot-spring Resort in Arayu, Shiobara » (Yuyado no asa [Shiobara Arayu), 1946
14/07/2025

Kawase Hasui - «Morning at the Hot-spring Resort in Arayu, Shiobara » (Yuyado no asa [Shiobara Arayu), 1946

1982 Renault FuegoRenault lanzó el Fuego en EE. UU. en 1982 como su “deportivo”, pero era lento, mal hecho y nada divert...
14/07/2025

1982 Renault Fuego

Renault lanzó el Fuego en EE. UU. en 1982 como su “deportivo”, pero era lento, mal hecho y nada divertido de manejar. Ni el turbo salvaba su pobre rendimiento. Con mejores opciones alemanas y japonesas, el Fuego desapareció en 1985.

Beberapa kisah nyata saat saya melakukan wawancara dengan seorang supir truk yang sudah paruh baya, jujur beberapa kisah...
12/07/2025

Beberapa kisah nyata saat saya melakukan wawancara dengan seorang supir truk yang sudah paruh baya, jujur beberapa kisahnya bikin saya nangis banget, bagi yang penasaran bisa cek selengkapnya dibawah ini

Malam itu, warung pecel Pak Slamet di pinggir jalan Bandung masih ramai. Lampu neon yang agak redup menerangi beberapa meja plastik yang berjejer. Sherly duduk di salah satu meja sambil menyeruput teh hangat, matanya tertuju pada seorang bapak paruh baya yang duduk sendirian di meja sebelah. Wajahnya tampak lelah tapi mata masih berbinar.

"Pak, boleh gabung?" tanya Sherly sambil tersenyum.

Bapak itu mengangguk ramah. "Silakan, Mbak. Saya Joko, biasa dipanggil Pak Joko."

"Saya Sherly. Bapak driver truk ya? Saya lihat kunci truk di meja."

Pak Joko tertawa kecil. "Iya, Mbak. Udah 20 tahun lebih saya ngangkut barang dari Bandung ke Jakarta, terus balik lagi. Gitu terus."

"Wah, lama juga ya, Pak. Pasti banyak pengalaman?"

"Banyak, Mbak. Tapi yang paling berat itu bukan jalannya, tapi... keluarga." Pak Joko menatap gelasnya sejenak. "Dulu sempat mau bercerai sama istri."

Sherly terdiam, memberikan ruang bagi Pak Joko untuk bercerita.

"Tahun 2018 kemarin, istri saya bilang capek ditinggal terus. Anak-anak juga mulai protes. 'Bapak nggak pernah ada buat kita,' gitu katanya. Waktu itu saya pikir, yang penting kan saya cari nafkah."

"Terus gimana, Pak?"

"Ya ampun, Mbak. Sampai istri saya bawa berkas cerai ke pengadilan. Saya kaget beneran. Kirain cuma ancaman doang." Pak Joko menggaruk kepalanya. "Anak saya yang sulung, umur 15 tahun, dia malah bilang 'Udah, Pak. Mending bercerai aja sama Mama. Bapak kan jarang di rumah.'"

"Astaga, gimana perasaan Bapak?"

"Rasanya kayak ditampar, Mbak. Tapi saya mikir, ini kerja saya kan buat mereka juga. Saya driver truk, kalau nggak jalan, nggak ada duit. Gimana mau hidup?"

Sherly mengangguk paham. "Memang dilema ya, Pak."

"Nah, pas itu saya lagi nunggu loading barang di Cileunyi. Terus saya ketemu sama driver senior, namanya Pak Agus. Dia udah 30 tahun jadi driver. Tapi keluarganya harmonis banget. Saya tanya, 'Pak, gimana caranya?'"

"Terus Pak Agus bilang apa?"

"Dia bilang, 'Jok, lo pikir istri lo minta bercerai karena uang? Enggak. Dia minta perhatian. Anak-anak lo juga gitu. Mereka nggak butuh ayah yang kaya, tapi butuh ayah yang ada.'"

Pak Joko menarik napas panjang. "Kata Pak Agus, dia tiap hari selalu telepon keluarga. Meski cuma 5 menit. Terus kalau lagi istirahat, dia kirim foto makanan atau pemandangan. Biar keluarga tahu dia lagi apa."

"Oh, jadi komunikasi yang kurang ya, Pak?"

"Betul, Mbak. Saya pikir, udah cukup kirim uang tiap bulan. Ternyata nggak segitu aja. Keluarga itu butuh dikasih tahu, dikasih perhatian, meski dari jauh."

"Terus Bapak gimana?"

"Mulai hari itu, saya berubah. Tiap pagi sebelum berangkat, saya sarapan bareng keluarga. Meski berangkat jam 4 pagi, saya bangunin mereka dulu, ngobrol sebentar. Terus di jalan, saya telepon istri tiap istirahat. Tanya kabar, tanya anak-anak sekolah gimana."

"Responnya gimana?"

"Awalnya istri saya kaget. 'Kok sekarang rajin telepon?' gitu. Tapi lama-lama dia senang. Anak-anak juga mulai antusias kalau saya telepon. Mereka cerita sekolah, cerita temen-temen."

Pak Joko tersenyum. "Yang paling berkesan itu, anak saya yang bungsu, umur 8 tahun. Dia bilang, 'Bapak sekarang kayak superman. Meski jauh tapi selalu tahu kita lagi ngapain.'"

"Wah, manis banget."

"Nah, terus saya juga mulai bawa oleh-oleh kecil-kecilan. Bukan yang mahal, tapi yang unik. Misalnya keripik khas dari daerah yang saya singgahi, atau buah-buahan lokal. Istri saya bilang, 'Ini bukan soal barangnya, tapi soal kamu inget sama kita.'"

"Terus cerai batalkan?"

"Alhamdulillah, Mbak. Istri saya cabut gugatan cerai. Dia bilang, 'Pak, saya nggak minta kamu berenti jadi driver. Cuma minta kamu jangan berenti jadi suami dan ayah.'"

Sherly terenyuh. "Pesan yang dalam banget, Pak."

"Iya, Mbak. Sejak itu saya sadar, kerja keras itu penting. Tapi keluarga juga harus dirawat. Nggak bisa cuma dikasih uang doang. Harus dikasih waktu dan perhatian juga."

"Sekarang gimana, Pak?"

"Sekarang keluarga saya solid, Mbak. Anak-anak bangga bilang bapaknya driver truk. Mereka s**a cerita ke temen-temen tentang perjalanan saya. Istri saya juga udah ngerti, ini kerjaan saya. Tapi dia juga tahu kalau saya selalu inget sama mereka."

"Ada tips nggak, Pak, buat orang-orang yang mungkin mengalami hal serupa?"

Pak Joko berpikir sejenak. "Mbak, menurut saya, kunci keluarga harmonis itu bukan soal selalu bareng secara fisik. Tapi soal gimana kita bisa hadir di hati keluarga kita. Teknologi sekarang memudahkan kita. Manfaatkan aja."

"Terus yang kedua, jangan pernah anggap remeh keluhan keluarga. Kalau mereka bilang kangen, ya berarti mereka emang kangen. Kalau mereka bilang pengen perhatian, ya berarti mereka butuh perhatian."

"Yang ketiga, sekecil apapun usaha kita buat keluarga, lakuin dengan tulus. Telepon 5 menit, tapi rutin, lebih berarti daripada telepon 1 jam tapi cuma sekali seminggu."

Sherly mengangguk. "Makasih ya, Pak. Ceritanya sangat inspiratif."

"Sama-sama, Mbak. Keluarga itu investasi jangka panjang. Kalau kita rawat dengan baik, mereka akan jadi kekuatan kita. Kalau kita abaikan, mereka bisa jadi beban atau bahkan musuh."

"Bener banget, Pak."

"Nah, sekarang anak saya yang sulung udah kuliah. Dia bilang, 'Pak, saya bangga sama Bapak. Bapak ngajarin saya kalau kerja keras itu penting, tapi keluarga juga nggak boleh diabaikan.'"

"Wah, berarti Bapak berhasil jadi role model yang baik."

"Saya cuma berusaha jadi yang terbaik buat keluarga saya, Mbak. Karena mereka adalah alasan saya bekerja keras."

Malam semakin larut, tapi percakapan di warung pecel kecil itu memberikan pelajaran berharga. Bahwa keluarga bukan hanya soal memberi nafkah, tapi juga soal memberi cinta, perhatian, dan kehadiran. Meski terpisah jarak, hati tetap bisa terhubung.

---

beberapa pesan moral yang saya ambil:

Kerja keras untuk keluarga memang penting, tapi jangan sampai kita lupa bahwa keluarga juga butuh kehadiran kita. Bukan hanya kehadiran fisik, tapi kehadiran emosional. Teknologi memudahkan kita untuk tetap terhubung dengan keluarga meski terpisah jarak. Yang terpenting adalah niat tulus untuk selalu menjadi bagian dari kehidupan mereka, sekecil apapun caranya.

tetap semangat karyawan meta, jangan lupa yuk saling support! 😁😁😁
10/07/2025

tetap semangat karyawan meta, jangan lupa yuk saling support! 😁😁😁

BAB 4 – Jejak di Lantai UKSUnit Kesehatan Sekolah itu terletak di ujung lorong belakang, terpisah dari ruang kelas lain....
16/06/2025

BAB 4 – Jejak di Lantai UKS

Unit Kesehatan Sekolah itu terletak di ujung lorong belakang, terpisah dari ruang kelas lain. Ruangan sempit itu kini kosong, tapi jejak tragedi masih menggantung di udara — seolah waktu menolak bergerak sejak Rinjani ditemukan tak bernyawa di sana.

Detektif Dadang berdiri di tengah ruangan, matanya menyapu setiap sudut. Suster Melati, wanita paruh baya yang bertugas di UKS, berdiri di pintu dengan tangan menggenggam erat.

“Saya yang pertama kali menemukan jenazahnya, Pak,” katanya pelan.

“Apa dia memang sering ke sini sebelumnya?” tanya Dadang.

“Kadang. Rinjani anak yang pendiam, tapi sopan. Beberapa minggu terakhir dia sering mengeluh pusing. Saya pikir karena stres belajar.”

Dadang menunduk, memperhatikan lantai. Lembaran vinyl berwarna krem itu tampak bersih — terlalu bersih. Tapi di bawah ranjang periksa, ada bercak kecil keabu-abuan, nyaris tak terlihat. Ia jongkok, menyentuhnya pelan dengan saputangan.

"Sudah dilap, tapi tidak menyeluruh," gumamnya.

“Suster, waktu Anda temukan Rinjani... pintu UKS terkunci?”

Suster Melati mengangguk. “Iya. Tapi itu biasa. Saya selalu kunci kalau keluar. Waktu saya kembali, pintu terkunci dari dalam.”

“Dan Anda buka pakai kunci cadangan?”

“Betul.”

Dadang berdiri, wajahnya mulai menegang. “Jadi, seseorang... mengunci dari dalam, lalu keluar lewat cara lain.”

Ia menatap jendela yang setengah terbuka. Bingkainya berdebu, tapi bagian bawahnya... bersih.

“Ada seseorang yang panik keluar dari sini,” ujarnya pelan. “Dan mereka cukup cerdas untuk menghapus jejak — hampir.”

Detektif Dadang mendekat ke meja kecil di pojok ruangan. Di sana, terselip sebuah notes pasien UKS — sebagian besar halaman kosong. Tapi pada satu lembar tertulis dengan pulpen hitam:

> “Kalau aku pingsan, tolong cek tasku. Jangan percaya buku harian.”

Dadang membaca ulang kalimat itu tiga kali.

“Jangan percaya buku harian.”
Kalimat itu membalikkan segalanya. Buku harian, yang biasanya menjadi sumber kebenaran dalam misteri, kini justru jadi umpan.

“Ini bukan pesan minta tolong,” gumam Dadang sambil mengunyah pelan. “Ini perang kecil... yang dia lawan sendirian.”

BAB 3 – Anak-Anak Pintar dan RahasiaRuang BK sore itu terasa lebih seperti ruang interogasi. Jendela ditutup rapat, hany...
16/06/2025

BAB 3 – Anak-Anak Pintar dan Rahasia

Ruang BK sore itu terasa lebih seperti ruang interogasi. Jendela ditutup rapat, hanya cahaya lampu kuning pucat yang menerangi ruangan. Detektif Dadang duduk di kursi guru, mengunyah permen karet sambil menatap Mira, yang duduk di seberang meja.

“Mira, kamu sahabatnya Rinjani, kan?” tanya Dadang, suaranya datar.

“Iya, Pak. Kami bertiga... saya, Rinjani, sama Andini. Selalu bareng sejak SMP.”

“Rinjani pernah cerita sedang takut sesuatu akhir-akhir ini?”

Mira menunduk. “Dia sempat... berubah. Sering gelisah. Kadang tiba-tiba diam saat kita ngobrol. Tapi waktu ditanya, dia cuma bilang ‘nggak apa-apa’.”

Dadang mencondongkan badan. “Dia takut sama seseorang?”

Mira menggigit bibirnya. “Saya nggak tahu... Tapi waktu itu dia pernah bilang, ‘Aku nyesel pernah ikut-ikutan mereka.’ Saya tanya ‘siapa’, dia cuma geleng kepala. Malam itu, dia nangis.”

“Pernah bilang soal ancaman?”

“Pernah. Katanya ada yang ngirim pesan aneh ke email sekolahnya. Tapi dia hapus sebelum saya sempat baca.”

Dadang mencatat cepat di bukunya. Kemudian giliran Andini.

Andini lebih tenang. Terlalu tenang, menurut Dadang. Wajahnya manis, senyum sopan, tetapi tatapannya sulit dibaca.

“Rinjani bilang ke saya dia mau ‘beresin sesuatu’,” kata Andini. “Itu dua hari sebelum dia... meninggal.”

“Apa kamu tahu apa yang dia maksud?”

Andini menggeleng. “Dia bilang, ‘kalau aku kenapa-kenapa, tolong jaga Mira.’ Saya pikir dia bercanda.”

Dadang diam. Matanya menyipit. Lalu ia melempar satu pertanyaan terakhir.

“Kamu tahu siapa ‘dia’ yang ditulis Rinjani di bawah bangkunya?”

Andini menoleh cepat. Terlalu cepat. “Apa?”

Dadang tersenyum tipis. “Lupakan.”

Ia berdiri, menepuk-nepuk celananya. Permen karet di mulutnya sudah kehilangan rasa, tapi ia tidak membuangnya. Belum saatnya.

Saat ia meninggalkan ruangan, satu hal sudah pasti: baik Mira maupun Andini sedang menyembunyikan sesuatu.

BAB 2 – Bangku Kosong di Kelas 11BLangkah kaki Dadang menggema di lorong sekolah yang mulai sepi. Jam pelajaran sudah se...
14/06/2025

BAB 2 – Bangku Kosong di Kelas 11B

Langkah kaki Dadang menggema di lorong sekolah yang mulai sepi. Jam pelajaran sudah selesai, tapi aroma spidol, kapur basah, dan sisa keringat remaja masih menggantung di udara. Ia berjalan perlahan, mengunyah permen karet, matanya tajam menyisir tiap poster motivasi yang mulai mengelupas dari dinding.

“Ini kelas Rinjani, Pak,” kata Pak Budi, guru piket yang menemani.

Pintu kelas 11B terbuka perlahan. Suasana di dalam hening, hanya beberapa siswa yang membereskan buku dan bersiap pulang. Tapi satu hal mencolok: bangku nomor tiga dari depan, dekat jendela, ditutupi kain putih tipis. Seolah seseorang meninggal di atasnya — dan dalam arti tertentu, memang begitu.

Dadang melangkah ke sana, memandangi bangku itu tanpa menyentuh. Ia menunduk, lalu jongkok. Di bawah bangku, ada sesuatu—coretan kecil, hampir tak terlihat.

> “Kalau aku hilang, jangan percaya siapa pun. Bahkan dia.”

"Siapa yang duduk dekat Rinjani?" tanya Dadang tanpa menoleh.

Seseorang menjawab pelan dari belakang. "Saya, Pak..."

Dadang berdiri dan berbalik. Seorang siswi berkacamata berdiri kaku, wajahnya pucat.

“Nama kamu?”

“Mira, Pak… saya temannya.”

Detektif Dadang mengangguk. “Kamu dan Andini, ya?”

Mira menatapnya dengan bingung. “Kok Bapak tahu?”

Dadang tak menjawab. Ia hanya mengunyah permen karet sedikit lebih pelan. Di benaknya, potongan-potongan mulai tersambung. Bukan dari bukti besar, tapi dari hal kecil: ekspresi Mira, bangku yang ditutup, dan tulisan samar di bawahnya.

"Aku akan bicara dengan kalian bertiga. Satu per satu."

SinopsisDi sebuah kota kecil yang tampak tenang, seorang pelajar teladan bernama Rinjani Putri ditemukan tewas secara mi...
13/06/2025

Sinopsis

Di sebuah kota kecil yang tampak tenang, seorang pelajar teladan bernama Rinjani Putri ditemukan tewas secara misterius di halaman belakang sekolahnya. Polisi menyebutnya kecelakaan. Namun ibunya, Bu Ratna, yakin anaknya dibunuh dan menyewa seorang detektif swasta bernama Dadang — pria berusia 40-an, cerdas luar biasa, lugu, dan selalu mengunyah permen karet saat berpikir.

Dengan trauma masa lalu yang perlahan terkuak, dan kemampuan luar biasa mengingat detail kecil, Detektif Dadang menggali lapisan-lapisan rahasia kota, hingga ia menyadari: kasus ini lebih besar dari sekadar pembunuhan pelajar biasa.

---

Pembuka Cerita (Paragraf Awal)

Part 1 – Permen Karet dan Luka Lama

Hujan baru saja reda saat Detektif Dadang tiba di depan rumah nomor 17, Jalan Kenanga. Sepatu kulitnya sedikit basah, tapi ia tak peduli. Di mulutnya sudah ada sebutir permen karet rasa stroberi — kebiasaan lamanya yang entah sejak kapan menjadi semacam ritual tiap kali ada yang mati.

Bu Ratna menyambutnya dengan mata sembab dan tangan gemetar. “Pak… terima kasih sudah datang.”

Dadang hanya mengangguk. Ia tidak s**a basa-basi. Tatapannya menyapu ruang tamu, dari vas bunga plastik di sudut, hingga lukisan Rinjani kecil tergantung miring di dinding.

“Boleh saya lihat kamar Rinjani?” tanyanya pelan, sambil mengeluarkan catatan kecil dari saku jaketnya.

Saat menapaki tangga menuju kamar, aroma kayu lembap dan lemari tua membangkitkan sesuatu dalam pikirannya. Kenangan lama, yang selama ini ia tekan jauh-jauh.

Anak muda yang mati terlalu cepat… seperti dulu.

Tapi ia tidak datang untuk mengenang. Ia datang untuk mencari jawaban — dan ia tahu, semua jawabannya dimulai dari hal-hal kecil.

Ini orang2 pada kenapa ya 🤣🤣
31/12/2024

Ini orang2 pada kenapa ya 🤣🤣

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎 Sam Bara, Ahmad Rifai, Tutupp Panci, Fachrul S, Kelvin Nubatonis,...
27/11/2024

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎 Sam Bara, Ahmad Rifai, Tutupp Panci, Fachrul S, Kelvin Nubatonis, Jaka Saputra

Jangan lupa ke TPS guys 😁
27/11/2024

Jangan lupa ke TPS guys 😁

10/11/2024

Kayanya aku harus upload foto sexy biar viral terus caption-nya
"Di umur segini kira2 kebunku gimna ya mas?"

Address

Bandung
Bandung Satu
40562

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Sherly Cuhya posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share