01/12/2023
Part 3
Dokter Keempat. Naik Meja Operasi.
Saya masuk dan duduk di kursi pasien. Posisi menghadap ke dokter. Ini dokter keempat yang saya temui. Ada apa Pak? Pertanyaan pembuka yang diucapkan dokter. Saya mulai bercerita. Saya ceritakan secara detail riwayat keluhan saya dari awal hingga saya bertemu dokter hari ini. Tanpa banyak tanya lagi. Saya diminta berbaring di bed pasien. Sama halnya seperti pemeriksaan pada dokter pertama, kedua, dan ketiga.
Lalu saya disilakan duduk kembali. Sekarang giliran dokter yang banyak bicara. Akhir dari pembicaraan, saya diputuskan harus operasi. Bapak dioperasi ringan. Cuma cairan biasa. Mau Bapak dioperasi? Saya langsung bertanya bisa dioperasi di Bangko Pak? Ya bisa kata dokter. Mau Bapak dioperasi? Jika itu solusinya saya siap Pak. Kapan bisanya Pak? Hari ini Bapak sudah dirawat inap. Operasinya besok! Mendengar penjelasan dokter, saya malah jadi ragu. Saya sudah diminta rawat inap. Sementara saya belum siap. Saya belum memberitahu keluarga. Wah…jangan hari ini Pak. Saya datang ke rumah sakit sendirian. Saya harus menghubungi keluarga dulu. Kalau besok rawat inapnya gimana Pak? Ya nggak apa-apa.
Setelah konsultasi, saya p**ang ke rumah. Saya sampaikan kepada istri saya bahwa besok sudah rawat inap. Lusanya kemungkinan dioperasi. Waktu itu anak kedua saya masih kecil. Baru berumur satu tahun. Tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. Jadi, istri saya tidak bisa menemani saya di rumah sakit. Akhirnya saya telepon keluarga di kampung. Saya jelaskan perihal operasinya serta jadwal yang ditentukan. Keesokan harinya Bapak, Abang, langsung meluncur ke Bangko. Pagi itu juga kami langsung ke rumah sakit. Saya selesaikan administrasi rawat inapnya, termasuk penandatanganan pernyataan persetujuan keluarga. Waktu itu ditandatangani oleh Bapak. Administrasi selesai.
Tak lama menunggu. Datang perawat membawa Emergency Bed/Brangkar. Brangkar adalah tempat tidur di atas roda yang digunakan untuk memindahkan pasien yang mengalami ketidakmampuan, keterbatasan, tidak boleh melakukan sendiri, atau tidak sadar. Saya diminta berbaring di atas brangkar itu. Layaknya pasien yang sakit parah. Padahal saya bisa berjalan dan berlari menuju kamar inap. Saya tidak menolak. Saya ikuti arahan perawat. Brangkar mulai didorong melewati koridor rumah sakit menuju kamar inap. Saya senyum-senyum di atas brangkar. Tapi saya coba tahan, nggak enak sama perawat yang mendorong. Saya senyum karena nggak mestinya saya berada di atas brangkar. Saya bisa berjalan sendiri.
Sesampainya di kamar inap, saya langsung dipasang inpus. Malamya diminta puasa. Saya lupa jam berapa mulai berpuasa. Tak ayal lagi malam itu saya tidur di rumah sakit dengan kondisi tangan terikat inpus. Sungguh itu hari pertama dalam hidup saya menginap di rumah sakit dengan status sebagai pasien. Saya berharap itu yang pertama dan terakhir. Namun Allah berkehendak lain. Lima tahun setelah itu saya kembali terbaring di rumah sakit. Operasi lagi. Kasusnya lebih serius. Lebih berat dan mengerikan. Kelak akan saya ceritakan. (sabar ya hehehe).
Keseokan harinya, datang perawat. Bapak masih puasa kan? Ya. Kapan jadwal saya dioperasi? Pagi ini Pak. Bapak siap-siap dulu. Ganti semua pakaian, cukup pakai celana pendek dan kain panjang. Saya ikuti instruksinya. Setelah selesai, saya langsung didorong menuju kamar operasi. Selama di atas brangkar tak henti-hentinya saya beristigfar. Memohon ampun dan perlindungan kepada Allah. Tanpa terasa brangkar terhenti di depan kamar operasi. Di depan pintu, brangkar disambut lagi oleh perawat khusus ruang operasi. Maklum itu ruang streril. Selain petugas dilarang masuk.
Bagaimana suasana di ruang operasi? Apakah menyeramkan?
Bismillah…hari bersejarah dalam hidup saya dimulai. Tidak terpikirkan harus berakhir di meja operasi. Sesampainya di ruang operasi… (bersambung Part 4).