27/10/2025
Legenda Girilawungan
Cerita rakyat dari Jawa Barat
Di masa lampau, di tanah Majalengka, Jawa Barat, berdirilah sebuah kerajaan makmur bernama Kerajaan Giri. Raja yang memimpinnya dikenal bijaksana dan arif, bernama Raja Giri Layang, dibantu oleh adiknya yang cerdas dan berani, Putri Giri Larang. Mereka adalah keturunan langsung dari Kerajaan Pajajaran yang terkenal kuat dan luhur budinya. Bersama rakyatnya, mereka hidup damai dalam tatanan kehidupan yang penuh gotong royong dan ketaatan kepada pemimpin.
Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian utama sang Raja. Ia mempercayakan tugas mengatur pertanian kepada Patih Endang Capang, seorang tokoh bijak dan jujur. Sang patih berkeliling ke berbagai pelosok negeri memberi penerangan tentang cara bertani yang baik—tentang pemupukan, pengairan, hingga cara membuka hutan untuk ditanami palawija. “Rakyat harus makmur sebelum raja merasa sejahtera,” ujar Raja Giri Layang suatu hari. Patih Endang Capang menunduk hormat dan menjawab, “Daulat, Tuanku. Hamba akan pastikan tanah ini berlimpah panen dan rakyat takkan kelaparan.”
Kerajaan Giri pun dikenal luas sebagai negeri yang subur dan damai. Setiap petani tersenyum di ladangnya, setiap rumah diterangi pelita dari minyak biji kenari dan jarak, sementara anak-anak menari diiringi bunyi seruling pada sore hari. Hidup rakyat tampak sederhana namun penuh s**acita. Dalam urusan dagang, masyarakat saling bertukar barang dengan batok kelapa atau ruas bambu sebagai takaran.
Namun di balik kebahagiaan itu, Putri Giri Larang mulai merasa gelisah. Ia merasa sudah terlalu lama hidup dalam kenyamanan istana tanpa menambah pengetahuan dan ilmu. Suatu sore ia datang menghadap kakaknya. “Kakanda,” ucapnya lembut, “Adinda mohon izin untuk merantau. Adinda ingin menambah ilmu dan kesaktian, agar kelak bisa membantu Kakanda lebih banyak lagi.” Raja Giri Layang terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. “Adinda... Kakanda khawatir engkau pergi terlalu jauh. Tapi jika itu tekadmu, pergilah. Namun bawalah air dari sumur Sudajaya dan jangan pernah melewati perbatasan kerajaan. Di luar sana, kesaktianmu akan sirna.”
Dengan penuh rasa hormat, Putri Giri Larang menunduk. “Terima kasih Kakanda. Adinda akan menuruti segala pesanmu.” Setelah berpamitan, ia memulai perjalanannya seorang diri. Ia menempuh hutan, gunung, dan lembah tanpa rasa gentar. Di setiap langkah, ia merenungkan nasihat kakaknya dan berdoa agar dilindungi oleh leluhur Pajajaran. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Akhirnya ia tiba di sebuah hutan lebat yang belum dijamah manusia, di mana kicau burung dan lolongan kera bersahut-sahutan di antara pepohonan tua yang menjulang.
Tengah berjalan menembus rimba, matanya menangkap pemandangan menakjubkan: sebuah telaga jernih dikelilingi taman indah. “Tempat seindah ini, siapa gerangan yang membuatnya?” gumam sang putri dengan kagum. Ia memutuskan untuk membersihkan diri di telaga itu, tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik semak—Patih Majapahit, penjaga telaga yang dibuat untuk Raja Majapahit beristirahat saat berburu. Melihat kecantikan Putri Giri Larang, sang patih terpana. “Raja kami belum memiliki permaisuri... perempuan ini pantas menjadi ratunya,” bisiknya licik.
Dengan diam-diam, patih itu mengambil selendang sutra milik sang putri yang tergeletak di batu. Ketika Putri Giri Larang sadar selendangnya hilang, ia berteriak marah, “Siapa berani mencuri selendangku?!” Patih itu muncul dari semak dengan wajah menunduk pura-pura sopan. “Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya menjalankan perintah. Raja Majapahit mencari permaisuri. Jika Tuan Putri berkenan ikut ke istana, selendangmu akan kembali.” Mendengar itu, Putri Giri Larang menatap tajam. “Berani sekali engkau bicara begitu! Kembalikan selendangku, atau kutukan Pajajaran menimpamu!”
Alih-alih mengembalikan, sang patih malah berlari ke arah timur. “Jika kau ingin selendangmu, kejar aku!” teriaknya sambil berlari. Putri Giri Larang berlari mengejar dengan amarah membara. Namun, tanpa sadar ia telah melewati batas kerajaan seperti yang dilarang kakaknya. Seketika tubuhnya menjadi lemah. “Aduh... kenapa tubuhku berat sekali... jangan-jangan... pesan Kakanda benar,” bisiknya ketakutan. Tapi sudah terlambat. Sang patih berhasil membawanya ke Kerajaan Majapahit.
Raja Majapahit yang mendengar kabar itu segera keluar menyambut. Ketika melihat Putri Giri Larang, ia terpesona seketika. “Siapakah engkau, wahai wanita secantik rembulan?” tanyanya lembut. Putri menjawab dengan tegas, “Aku Putri Giri Larang, adik Raja Giri Layang dari Kerajaan Giri, keturunan Pajajaran! Sekarang kembalikan selendangku dan izinkan aku pulang!” Raja tersenyum licik. “Jika engkau bersedia menjadi permaisuriku, selendang itu akan kukembalikan. Jika tidak, engkau tak akan pernah melihatnya lagi.”
Putri Giri Larang terdiam. Tubuhnya terlalu lemah untuk melawan, kesaktiannya lenyap di luar batas kerajaan. Dengan napas berat ia berkata, “Baik, aku akan menikah denganmu, tapi dengan satu syarat—engkau tidak boleh mencampuri urusan perempuan. Jika janji itu kau langgar, aku akan pergi dari kerajaanmu.” Raja Majapahit tersenyum lega. “Aku bersumpah tidak akan melanggar. Demi kebahagiaan kita.” Maka mereka menikah dengan meriah. Seluruh rakyat Majapahit bersorak gembira, sementara sang putri hanya menunduk diam, menahan rindu pada tanah kelahirannya.
Beberapa waktu berlalu. Putri Giri Larang hamil, dan Raja Majapahit memanjakannya dengan cinta dan kemewahan. Namun suatu hari, saat ia menanak nasi, Raja Majapahit lewat di dapur dan penasaran. Setelah sang putri pergi mandi, raja mengintip isi periuk dan terkejut karena di dalamnya hanya ada sebutir padi. Ketika istrinya kembali, ia bertanya, “Wahai istriku, apakah hanya sebutir padi yang engkau masak? Bagaimana kita akan makan?”
Mendengar itu, Putri Giri Larang menatap suaminya dengan amarah yang menahan air mata. “Engkau telah melanggar janjimu, Suamiku. Bukankah engkau berjanji tidak akan mencampuri urusan perempuan?” Raja terdiam dan menyesal. “Ampunilah aku, Putriku. Aku khilaf, aku tak akan mengulanginya lagi.” Namun hati sang putri sudah bulat. “Janji telah diingkari. Aku akan kembali ke Kerajaan Giri.” Malam itu juga, tanpa berpamitan, ia meninggalkan istana dengan hati pilu.
Setiba di istana Giri, Putri Giri Larang bersimpuh di hadapan kakaknya sambil menangis. “Ampun, Kakanda... Adinda telah gagal mematuhi pesanmu.” Raja Giri Layang mengangkat wajah adiknya dengan lembut. “Sudahlah, Adinda. Engkau tetap adikku yang kucintai. Kini istirahatlah, sebab engkau mengandung.” Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki sehat yang diberi nama Adipati Jatiserang. Namun kebahagiaan itu diselimuti kecemasan. Putri Giri Larang khawatir Raja Majapahit akan datang menjemput putranya.
Raja Giri Layang menenangkan adiknya, namun dalam hati ia sadar kemungkinan itu besar. Ia lalu memerintahkan Patih Endang Capang untuk membuat empat lubang besar di bawah tanah sebagai tempat persembunyian keluarga kerajaan. “Kita tidak ingin perang,” ucapnya tegas, “biarlah kita berlindung daripada menumpahkan darah rakyat.” Patih menunduk dan menjawab, “Daulat, Tuanku. Segera hamba laksanakan.” Maka raja, adiknya, dan keluarga kerajaan bersembunyi di dalam lubang besar itu.
Tak lama, pas**an Majapahit datang, dipimpin oleh Patih Mangkunagara dan Patih Surapati. Mereka menuntut agar Putri Giri Larang dan anaknya diserahkan. “Maaf, Tuan,” ujar Patih Endang Capang tenang, “Putri Giri Larang dan Raja Giri Layang telah wafat. Putranya sedang berguru ke negeri seberang.” Namun kedua patih tak percaya dan memerintahkan pas**annya menggali tanah. Saat cangkul pertama menembus tanah, tiba-tiba pas**an Majapahit lemas dan jatuh tak sadarkan diri—kekuatan magis Raja Giri Layang dan adiknya menyerap tenaga mereka.
“Berhenti!” seru Patih Mangkunagara. “Mereka pasti bersembunyi di bawah, tapi kesaktian mereka terlalu besar untuk kita. Kita tidak boleh kembali tanpa hasil, Raja pasti murka. Lebih baik kita tinggal di sini, menunggu mereka keluar!” Sejak saat itu, pas**an Majapahit duduk saling berhadapan, atau dalam bahasa Sunda disebut ngalawung. Waktu berlalu, rakyat menyebut tempat itu Girilawung, yang berarti “tempat orang ngalawung”. Nama itu kini dikenal sebagai Girilawungan, peninggalan dari kisah cinta, kesetiaan, dan sumpah yang pernah mengubah sejarah.
Pesan Moral:
Demikianlah asal-usul Girilawungan, tanah saksi kesetiaan Putri Giri Larang dan kebijaksanaan Raja Giri Layang. Dari kisah ini kita belajar bahwa janji adalah kehormatan, dan siapa pun yang melanggarnya akan kehilangan kepercayaan orang terdekat. Kesetiaan, kesabaran, dan kejujuran akan selalu meninggalkan jejak abadi, sebagaimana nama Girilawungan yang tetap dikenang hingga kini.
Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊
Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.
Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara