Cerita Dongeng Indonesia

Cerita Dongeng Indonesia Cerita Dongeng Indonesia adalah Wahana Edukasi dan Hiburan Kumpulan Dongeng, Fabel, Hikayat, Pendidikan Karakter PAUD Taman Kanak-Kanak dan Budaya.
(1)

Cerita Dongeng Indonesia adalah wahana Edukasi, Kumpulan Dongeng, Fabel, Hikayat Indonesia Lengkap, Pendikan karakter PAUD dan Taman Kanak-kanak. Dan semua yang berkaitan dengan : Pendongeng, Pendongeng Indonesia, Pendongeng Jenaka, Pendongeng Ekspresif, Pendongeng Enerjik, Pendongeng Musikal, Pendongeng Nasional, Pendongeng Kondang, Pendongeng di Jakarta, MC untuk acara anak, konsep mendongeng, teknik mendongeng, teknik bercerita,

Legenda GirilawunganCerita rakyat dari Jawa Barat Di masa lampau, di tanah Majalengka, Jawa Barat, berdirilah sebuah ker...
27/10/2025

Legenda Girilawungan
Cerita rakyat dari Jawa Barat

Di masa lampau, di tanah Majalengka, Jawa Barat, berdirilah sebuah kerajaan makmur bernama Kerajaan Giri. Raja yang memimpinnya dikenal bijaksana dan arif, bernama Raja Giri Layang, dibantu oleh adiknya yang cerdas dan berani, Putri Giri Larang. Mereka adalah keturunan langsung dari Kerajaan Pajajaran yang terkenal kuat dan luhur budinya. Bersama rakyatnya, mereka hidup damai dalam tatanan kehidupan yang penuh gotong royong dan ketaatan kepada pemimpin.

Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian utama sang Raja. Ia mempercayakan tugas mengatur pertanian kepada Patih Endang Capang, seorang tokoh bijak dan jujur. Sang patih berkeliling ke berbagai pelosok negeri memberi penerangan tentang cara bertani yang baik—tentang pemupukan, pengairan, hingga cara membuka hutan untuk ditanami palawija. “Rakyat harus makmur sebelum raja merasa sejahtera,” ujar Raja Giri Layang suatu hari. Patih Endang Capang menunduk hormat dan menjawab, “Daulat, Tuanku. Hamba akan pastikan tanah ini berlimpah panen dan rakyat takkan kelaparan.”

Kerajaan Giri pun dikenal luas sebagai negeri yang subur dan damai. Setiap petani tersenyum di ladangnya, setiap rumah diterangi pelita dari minyak biji kenari dan jarak, sementara anak-anak menari diiringi bunyi seruling pada sore hari. Hidup rakyat tampak sederhana namun penuh s**acita. Dalam urusan dagang, masyarakat saling bertukar barang dengan batok kelapa atau ruas bambu sebagai takaran.

Namun di balik kebahagiaan itu, Putri Giri Larang mulai merasa gelisah. Ia merasa sudah terlalu lama hidup dalam kenyamanan istana tanpa menambah pengetahuan dan ilmu. Suatu sore ia datang menghadap kakaknya. “Kakanda,” ucapnya lembut, “Adinda mohon izin untuk merantau. Adinda ingin menambah ilmu dan kesaktian, agar kelak bisa membantu Kakanda lebih banyak lagi.” Raja Giri Layang terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. “Adinda... Kakanda khawatir engkau pergi terlalu jauh. Tapi jika itu tekadmu, pergilah. Namun bawalah air dari sumur Sudajaya dan jangan pernah melewati perbatasan kerajaan. Di luar sana, kesaktianmu akan sirna.”

Dengan penuh rasa hormat, Putri Giri Larang menunduk. “Terima kasih Kakanda. Adinda akan menuruti segala pesanmu.” Setelah berpamitan, ia memulai perjalanannya seorang diri. Ia menempuh hutan, gunung, dan lembah tanpa rasa gentar. Di setiap langkah, ia merenungkan nasihat kakaknya dan berdoa agar dilindungi oleh leluhur Pajajaran. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Akhirnya ia tiba di sebuah hutan lebat yang belum dijamah manusia, di mana kicau burung dan lolongan kera bersahut-sahutan di antara pepohonan tua yang menjulang.

Tengah berjalan menembus rimba, matanya menangkap pemandangan menakjubkan: sebuah telaga jernih dikelilingi taman indah. “Tempat seindah ini, siapa gerangan yang membuatnya?” gumam sang putri dengan kagum. Ia memutuskan untuk membersihkan diri di telaga itu, tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik semak—Patih Majapahit, penjaga telaga yang dibuat untuk Raja Majapahit beristirahat saat berburu. Melihat kecantikan Putri Giri Larang, sang patih terpana. “Raja kami belum memiliki permaisuri... perempuan ini pantas menjadi ratunya,” bisiknya licik.

Dengan diam-diam, patih itu mengambil selendang sutra milik sang putri yang tergeletak di batu. Ketika Putri Giri Larang sadar selendangnya hilang, ia berteriak marah, “Siapa berani mencuri selendangku?!” Patih itu muncul dari semak dengan wajah menunduk pura-pura sopan. “Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya menjalankan perintah. Raja Majapahit mencari permaisuri. Jika Tuan Putri berkenan ikut ke istana, selendangmu akan kembali.” Mendengar itu, Putri Giri Larang menatap tajam. “Berani sekali engkau bicara begitu! Kembalikan selendangku, atau kutukan Pajajaran menimpamu!”

Alih-alih mengembalikan, sang patih malah berlari ke arah timur. “Jika kau ingin selendangmu, kejar aku!” teriaknya sambil berlari. Putri Giri Larang berlari mengejar dengan amarah membara. Namun, tanpa sadar ia telah melewati batas kerajaan seperti yang dilarang kakaknya. Seketika tubuhnya menjadi lemah. “Aduh... kenapa tubuhku berat sekali... jangan-jangan... pesan Kakanda benar,” bisiknya ketakutan. Tapi sudah terlambat. Sang patih berhasil membawanya ke Kerajaan Majapahit.

Raja Majapahit yang mendengar kabar itu segera keluar menyambut. Ketika melihat Putri Giri Larang, ia terpesona seketika. “Siapakah engkau, wahai wanita secantik rembulan?” tanyanya lembut. Putri menjawab dengan tegas, “Aku Putri Giri Larang, adik Raja Giri Layang dari Kerajaan Giri, keturunan Pajajaran! Sekarang kembalikan selendangku dan izinkan aku pulang!” Raja tersenyum licik. “Jika engkau bersedia menjadi permaisuriku, selendang itu akan kukembalikan. Jika tidak, engkau tak akan pernah melihatnya lagi.”

Putri Giri Larang terdiam. Tubuhnya terlalu lemah untuk melawan, kesaktiannya lenyap di luar batas kerajaan. Dengan napas berat ia berkata, “Baik, aku akan menikah denganmu, tapi dengan satu syarat—engkau tidak boleh mencampuri urusan perempuan. Jika janji itu kau langgar, aku akan pergi dari kerajaanmu.” Raja Majapahit tersenyum lega. “Aku bersumpah tidak akan melanggar. Demi kebahagiaan kita.” Maka mereka menikah dengan meriah. Seluruh rakyat Majapahit bersorak gembira, sementara sang putri hanya menunduk diam, menahan rindu pada tanah kelahirannya.

Beberapa waktu berlalu. Putri Giri Larang hamil, dan Raja Majapahit memanjakannya dengan cinta dan kemewahan. Namun suatu hari, saat ia menanak nasi, Raja Majapahit lewat di dapur dan penasaran. Setelah sang putri pergi mandi, raja mengintip isi periuk dan terkejut karena di dalamnya hanya ada sebutir padi. Ketika istrinya kembali, ia bertanya, “Wahai istriku, apakah hanya sebutir padi yang engkau masak? Bagaimana kita akan makan?”

Mendengar itu, Putri Giri Larang menatap suaminya dengan amarah yang menahan air mata. “Engkau telah melanggar janjimu, Suamiku. Bukankah engkau berjanji tidak akan mencampuri urusan perempuan?” Raja terdiam dan menyesal. “Ampunilah aku, Putriku. Aku khilaf, aku tak akan mengulanginya lagi.” Namun hati sang putri sudah bulat. “Janji telah diingkari. Aku akan kembali ke Kerajaan Giri.” Malam itu juga, tanpa berpamitan, ia meninggalkan istana dengan hati pilu.

Setiba di istana Giri, Putri Giri Larang bersimpuh di hadapan kakaknya sambil menangis. “Ampun, Kakanda... Adinda telah gagal mematuhi pesanmu.” Raja Giri Layang mengangkat wajah adiknya dengan lembut. “Sudahlah, Adinda. Engkau tetap adikku yang kucintai. Kini istirahatlah, sebab engkau mengandung.” Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki sehat yang diberi nama Adipati Jatiserang. Namun kebahagiaan itu diselimuti kecemasan. Putri Giri Larang khawatir Raja Majapahit akan datang menjemput putranya.

Raja Giri Layang menenangkan adiknya, namun dalam hati ia sadar kemungkinan itu besar. Ia lalu memerintahkan Patih Endang Capang untuk membuat empat lubang besar di bawah tanah sebagai tempat persembunyian keluarga kerajaan. “Kita tidak ingin perang,” ucapnya tegas, “biarlah kita berlindung daripada menumpahkan darah rakyat.” Patih menunduk dan menjawab, “Daulat, Tuanku. Segera hamba laksanakan.” Maka raja, adiknya, dan keluarga kerajaan bersembunyi di dalam lubang besar itu.

Tak lama, pas**an Majapahit datang, dipimpin oleh Patih Mangkunagara dan Patih Surapati. Mereka menuntut agar Putri Giri Larang dan anaknya diserahkan. “Maaf, Tuan,” ujar Patih Endang Capang tenang, “Putri Giri Larang dan Raja Giri Layang telah wafat. Putranya sedang berguru ke negeri seberang.” Namun kedua patih tak percaya dan memerintahkan pas**annya menggali tanah. Saat cangkul pertama menembus tanah, tiba-tiba pas**an Majapahit lemas dan jatuh tak sadarkan diri—kekuatan magis Raja Giri Layang dan adiknya menyerap tenaga mereka.

“Berhenti!” seru Patih Mangkunagara. “Mereka pasti bersembunyi di bawah, tapi kesaktian mereka terlalu besar untuk kita. Kita tidak boleh kembali tanpa hasil, Raja pasti murka. Lebih baik kita tinggal di sini, menunggu mereka keluar!” Sejak saat itu, pas**an Majapahit duduk saling berhadapan, atau dalam bahasa Sunda disebut ngalawung. Waktu berlalu, rakyat menyebut tempat itu Girilawung, yang berarti “tempat orang ngalawung”. Nama itu kini dikenal sebagai Girilawungan, peninggalan dari kisah cinta, kesetiaan, dan sumpah yang pernah mengubah sejarah.

Pesan Moral:

Demikianlah asal-usul Girilawungan, tanah saksi kesetiaan Putri Giri Larang dan kebijaksanaan Raja Giri Layang. Dari kisah ini kita belajar bahwa janji adalah kehormatan, dan siapa pun yang melanggarnya akan kehilangan kepercayaan orang terdekat. Kesetiaan, kesabaran, dan kejujuran akan selalu meninggalkan jejak abadi, sebagaimana nama Girilawungan yang tetap dikenang hingga kini.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara



Sinopsis Horror Hari Ini Kisah ekslusif khusus dari pembaca untuk Cerita Horror Nusantara Bali selalu jadi tempat favori...
27/10/2025

Sinopsis Horror Hari Ini
Kisah ekslusif khusus dari pembaca untuk Cerita Horror Nusantara

Bali selalu jadi tempat favorit buat liburan. Pantai, suasana, makanannya—semua lengkap. Jadi waktu gue dan Nindy (istri gue) akhirnya punya waktu kosong setelah berbulan-bulan kerja tanpa henti, kami langsung sepakat buat pergi ke sana. Tujuannya simpel: refreshing dan cari ketenangan. Dua malam di Kuta buat main di pantai, lalu satu malam terakhir di Ubud biar lebih tenang sebelum balik ke Jakarta. Tapi, siapa sangka, malam di Ubud justru jadi malam yang paling gak akan pernah gue lupain seumur hidup.

Villanya kelihatan sempurna di foto — ada kolam pribadi, pemandangan sawah, dan suasana yang katanya “damai banget buat pasangan.” Waktu pertama kali sampai, emang sih, hawanya beda. Sunyi, tenang, tapi... entah kenapa rasanya terlalu tenang. Kayak tempat itu nyimpen sesuatu yang gak kelihatan. Dari awal gue udah ngerasa ada yang aneh, tapi Nindy seneng banget, jadi gue pura-pura santai aja.

Sore itu kami datang pas matahari mulai turun, udara Ubud dingin dan lembab. Suara jangkrik udah mulai terdengar dari kebun bambu di belakang villa. Gue pikir suasana kayak gitu bakal romantis — ternyata justru bikin suasana makin mencekam. Karena malam itu, di tengah keheningan yang sempurna, gue denger suara tawa pelan dari arah belakang kamar. Lirih banget, tapi jelas... suara perempuan.

Ikuti kisah ini selengkapnya hanya di Cerita Horror Nusantara


Saudagar Kaya dan Tetangga MiskinDi sebuah kota kecil di pinggir laut Jawa, hidup seorang saudagar kaya bernama Haji Mah...
27/10/2025

Saudagar Kaya dan Tetangga Miskin

Di sebuah kota kecil di pinggir laut Jawa, hidup seorang saudagar kaya bernama Haji Mahmud. Namanya dikenal di seluruh kota karena hartanya yang melimpah dan kedermawanannya yang tak diragukan. Namun beberapa bulan terakhir, Haji Mahmud jatuh sakit. Ia terbaring lemah di rumah sakit, kesepian meski dikelilingi banyak perawat dan tamu. Hingga suatu siang datang seorang tamu yang membuatnya terisak—Pak Manto, tetangganya yang miskin, datang menjenguk dengan membawa amplop kecil berwarna cokelat. “Haji,” katanya dengan suara bergetar, “saya tahu Haji sedang diuji. Ini hanya sedikit rezeki, mungkin tak seberapa, tapi semoga bisa menjadi obat.”

Haji Mahmud menatapnya tak percaya. Ia tahu betul kehidupan Pak Manto yang pas-pasan sebagai tukang sol sepatu. Saat Pak Manto berpamitan, Haji Mahmud membuka amplop itu—di dalamnya hanya ada Rp20.000. Tangannya gemetar, matanya basah. “Ya Allah… betapa tulusnya orang ini,” gumamnya. “Ia memberi bukan dari kelebihan, tapi dari kekurangannya. Ini pasti hasil jerih payahnya selama sehari.” Sejak hari itu, amplop itu disimpannya di laci samping tempat tidur rumah sakit, bukan karena nilainya, tetapi karena maknanya. “Uang ini akan aku gunakan pada waktu yang tepat,” katanya dalam hati.

Beberapa hari kemudian, Haji Mahmud dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Begitu tiba di rumah, ia langsung bertekad menemui Pak Manto. “Assalamu’alaikum!” serunya di depan rumah kayu kecil itu. Pak Manto yang sedang menambal sandal menoleh terkejut. “Haji! Astaga… Haji Mahmud datang ke gubuk saya?” ucapnya gugup. H. Mahmud tersenyum hangat, “Pak Manto, saya datang ingin berterima kasih atas perhatian dan doa panjenengan. Berkat itu saya sembuh. Saya hanya ingin bersilaturahim dan menitip sedikit rezeki sebagai ungkapan syukur.” Ia menyerahkan amplop, lalu berpamitan sebelum Pak Manto sempat menolak.

Setelah Haji Mahmud pergi, Pak Manto membuka amplop itu dan tertegun, isinya uang dua juta. Air matanya mengalir deras. “Tuhanku… Engkau cepat sekali membalas sedekah kecilku. Tapi aku tak meminta ini, aku hanya ingin ridha-Mu,” katanya lirih sambil menunduk dalam syukur. Keesokan harinya, uang itu disimpannya di saku baju. Ia berniat menggunakan uang itu untuk kebaikan, tapi belum tahu kepada siapa akan disalurkan. Dalam perjalanan menuju pasar tempat ia biasa menyambung hidup, ia melihat seorang pemuda duduk murung di warung depan rumah sakit.

Pak Manto menghampiri dan bertanya, “Nak, kenapa wajahmu sendu begitu?” Pemuda itu menjawab, “Saya baru saja punya anak, Pak. Istri saya melahirkan lewat operasi, tapi saya belum bisa menebus biayanya. Uang saya tidak cukup.” Tanpa banyak bicara, Pak Manto mengeluarkan amplop dari sakunya dan menyerahkannya. “Ini, Nak. Uang ini bukan dari saya. Ini titipan dari seorang saudagar kaya yang ingin membantu orang yang membutuhkan. Terimalah.” Pemuda itu tertegun, menatap amplop itu lama. Saat dibuka, ia tak kuasa menahan air mata. “Dua juta rupiah?! Pak… saya tidak tahu bagaimana membalas ini.” Pak Manto tersenyum lembut. “Balaslah dengan doa. Tuhanlah yang menggerakkan tangan-tangan kita untuk saling menolong.”

Beberapa hari kemudian, pemuda itu datang ke toko sembako untuk membeli kebutuhan bayinya—sebungkus pampers dan sebotol bedak bayi. “Wah, selamat ya, Nak! Sepertinya baru jadi ayah nih,” sapa pemilik toko ramah. Pemuda itu tersenyum malu, “Iya, Pak. Istri saya baru melahirkan minggu lalu. Alhamdulillah, ada orang baik yang bantu saya di rumah sakit.” Pemilik toko menatapnya penasaran, “Orang baik? Siapa dia?” Pemuda itu menjawab polos, “Saya tidak tahu, Pak. Katanya uang itu dari seorang saudagar kaya di kota ini, tapi yang memberi justru seorang kakek tua yang sangat sederhana. Saya kira dia cuma orang biasa dan sederhana, tapi amplopnya berisi dua juta rupiah!”

Pemilik toko tertegun mendengarnya. Dadanya bergetar, lalu tersenyum pelan. “Masya Allah… betapa indahnya jalan kebaikan. Orang kaya bersedekah, lalu uang itu sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan. Itu artinya, Tuhan tahu ke mana harus mengalirkan rezeki,” katanya pelan. Pemuda itu mengangguk, “Iya, Pak. Saya tidak akan pernah lupa pada kakek itu. Saya ingin suatu hari bisa menolong orang lain seperti dia.”

Sore harinya, setelah toko tutup, pemilik toko itu pulang dan duduk di beranda rumahnya, menatap langit jingga.

Tahukah sobat pembaca semua, siapa pemilik toko itu? Ya, dia adalah Haji Mahmud, tetangga Pak Manto.

Sambil terus menatap langit, ia mengingat kembali wajah Pak Manto yang tulus, lalu teringat cerita pemuda tadi. Perlahan ia tersenyum dan menatap amplop pemberian Pak Manto waktu dirinya sakit, amplop berisi dua puluh ribu rupiah,. “Mungkin memang begitulah cara Tuhan bekerja,” gumamnya. “Sedekah tidak berhenti di tangan siapa pun. Ia berpindah, berputar, membawa doa dari satu hati ke hati lain.”

Sementara itu di rumah kecilnya, Pak Manto menatap langit yang sama. Ia tersenyum, hatinya tenang. Ia tak tahu bahwa uang yang ia berikan tadi siang ternyata kembali mengalir pada sumbernya—ke toko milik orang yang dulu memberinya uang itu. Namun ia tak peduli. Yang ia tahu, memberi selalu membawa damai. Ia berbisik lirih, “Tuhan, jadikan aku perantara kebaikan, meski hanya lewat uang receh.”

Pesan moral:

Sedekah yang tulus tidak pernah berhenti di satu tangan. Ia mengalir seperti air, mencari jalan menuju hati-hati yang membutuhkan. Tuhan selalu tahu ke mana kebaikan harus pergi. Karena dalam setiap pemberian yang ikhlas, bukan hanya harta yang berpindah, tapi juga doa, keberkahan, dan cinta yang kembali kepada sang pemberi dengan cara yang tak terduga.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara



Legenda Pulo MasCerita Rakyat Jawa BaratDi masa lalu, ketika daerah Indramayu masih berupa hutan lebat yang belum dijama...
27/10/2025

Legenda Pulo Mas
Cerita Rakyat Jawa Barat

Di masa lalu, ketika daerah Indramayu masih berupa hutan lebat yang belum dijamah manusia, hidup seekor kijang emas yang sering terlihat berlari di antara pepohonan. Konon, kijang itu bukanlah hewan biasa, melainkan penuntun bagi orang yang akan membawa perubahan di tanah itu. Pada masa itulah, datang seorang kesatria gagah dari Desa Banyu Urip bernama Raden Wiralodra, ditemani abdinya yang setia dan sakti bernama Ki Tinggil. Mereka datang dengan tekad membuka lahan baru untuk dijadikan pemukiman manusia.

“Ki Tinggil,” ujar Raden Wiralodra sambil menatap hutan rimba yang tampak tak berujung, “inilah tanah yang akan kita jadikan tempat hidup bagi banyak orang. Tapi aku tak tahu ke arah mana harus melangkah.”
Ki Tinggil menunduk hormat. “Hamba akan selalu mengikuti ke mana pun Paduka pergi. Semoga leluhur memberi petunjuk.”
Hari demi hari mereka berjalan tanpa arah, menembus semak dan melawan rasa lapar. Hingga akhirnya mereka tersesat di hutan di lembah Sungai Citarum, tempat sunyi yang terasa asing bagi keduanya.

Malam itu mereka bertemu dengan seorang tua berjubah putih yang tengah bertapa di bawah pohon besar. “Selamat datang, orang dari jauh,” kata orang tua itu dengan suara tenang. “Namaku Ki Sidum. Aku tahu tujuanmu, Raden Wiralodra. Namun jalan ke Cimanuk bukan jalan biasa.”

Raden Wiralodra menunduk hormat. “Wahai Ki Sidum, kami telah tersesat berhari-hari. Mohon bimbingan agar kami dapat mencapai lembah Sungai Cimanuk.”
Ki Sidum tersenyum lembut dan berkata, “Aku akan membantumu. Esok pagi, ikutilah seekor Kijang Kencana yang akan muncul di depan pondokku. Ia akan menuntun kalian menuju tempat yang ditakdirkan.”
“Seekor kijang, Guru?” tanya Ki Tinggil tak percaya. “Apakah kijang bisa menunjukkan jalan?”
Ki Sidum menjawab, “Jangan pandang rendah tanda dari alam, Nak. Kadang petunjuk datang dari makhluk kecil sekalipun.”

Keesokan harinya, benar saja, seekor kijang berwarna keemasan muncul di hadapan mereka. Kijang itu menatap Raden Wiralodra dengan mata bercahaya lalu berlari ke arah timur.
“Cepat, Ki Tinggil! Ikuti dia!” seru Raden Wiralodra.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah melewati hutan, lembah, dan sungai, akhirnya mereka tiba di sebuah dataran luas yang sejuk di tepi Sungai Cimanuk.
“Ki Tinggil,” ujar Raden Wiralodra sambil tersenyum lega, “inilah tempat yang kita cari. Mari kita mulai membabat hutan dan membuka kehidupan baru.”

Hari-hari berlalu, dan suara kapak serta api pembakar semak mulai memenuhi lembah itu. Namun tanpa disadari, di tempat itu tinggal para makhluk halus yang telah menetap sejak ratusan tahun. Mereka merasa terusik oleh kehadiran manusia.
Suatu malam, angin berhembus kencang dan suara-suara aneh terdengar dari arah hutan. Ki Tinggil yang sedang berjaga terkejut melihat bayangan putih melayang di antara pepohonan.
“Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!” serunya dengan suara lantang.

Dari kegelapan, muncul sosok tinggi dengan sorot mata menyala. “Kalian manusia berani sekali mengganggu tempat kami,” ujar makhluk itu.
Raden Wiralodra berdiri tegap, tangannya menggenggam keris. “Kami tak bermaksud jahat. Kami hanya ingin membuka lahan untuk manusia.”
“Tapi tempat ini sudah menjadi wilayah Raja Budipaksa, penguasa gaib Cimanuk,” jawab makhluk itu sebelum menghilang dalam kabut.
Sejak malam itu, gangguan tak henti-hentinya terjadi. Pohon-pohon tumbang sendiri, suara jeritan terdengar setiap malam, bahkan makanan mereka sering lenyap tanpa jejak.

Suatu sore, muncul rombongan makhluk gaib dipimpin langsung oleh Maharaja Budipaksa dan Mahapatih Bujarawis. Mereka berdiri di udara, berhadapan dengan Raden Wiralodra dan Ki Tinggil yang tak gentar.
“Manusia,” ujar Budipaksa dengan suara menggema, “hentikan pekerjaanmu. Tanah ini bukan untuk kalian.”
Raden Wiralodra menjawab tegas, “Aku datang dengan niat suci. Bila kau ingin menghalangi, aku tak takut berhadapan.”
Pertarungan pun tak terhindarkan. Petir menyambar, tanah bergetar, dan langit seolah terbelah dua. Ki Tinggil memutar tongkat saktinya, mengeluarkan cahaya biru yang membuat pas**an makhluk halus terpental.

Setelah pertempuran panjang, Budipaksa akhirnya terdesak. Dengan jurus terakhir, Raden Wiralodra mengurungnya di dasar muara Sungai Cimanuk. Mahapatih Bujarawis melarikan diri untuk mencari bala bantuan.
“Paduka,” ujar Ki Tinggil sambil mengusap peluh, “pertempuran ini belum berakhir.”
Raden Wiralodra mengangguk, menatap langit yang mulai merah. “Aku tahu, Ki Tinggil. Tapi kita tak akan mundur selangkah pun.”

Beberapa hari kemudian, datanglah bala bantuan dari berbagai kerajaan gaib. Raja Kalacungkring dari Tanjungbong, Raja Werdinata dari Pulomas, dan para penguasa lain datang membawa kekuatan besar. Pertarungan pun kembali terjadi, kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya.
Raden Wiralodra bertarung langsung dengan Raden Werdinata, sosok tinggi bermahkota emas dengan wajah bercahaya.
“Wahai manusia,” seru Werdinata, “mengapa kau memaksa menguasai dunia yang bukan milikmu?”
Raden Wiralodra menjawab, “Aku hanya ingin membangun tempat hidup bagi umat manusia. Aku tidak menginginkan peperangan ini.”

Namun Werdinata tetap menyerang. Pertarungan mereka berlangsung selama dua belas bulan. Sungai Cimanuk bergemuruh, tanah retak, dan cahaya api terlihat dari jauh.
“Paduka, kita seimbang,” kata Raden Werdinata di sela-sela pertarungan. “Jika terus begini, tak ada yang menang.”
Raden Wiralodra menghela napas. “Mungkin saatnya kita mencari jalan damai.”
Namun sebelum mereka bicara lebih jauh, datanglah Raja Kalacungkring membawa usulan perdamaian.

“Cukup sudah pertumpahan tenaga ini,” ujar Kalacungkring. “Bukankah kita semua ingin hidup damai? Manusia dan makhluk gaib tak perlu saling menghancurkan.”
Raden Wiralodra menatap Werdinata. “Apa yang kau usulkan, wahai Raja Pulomas?”
Werdinata terdiam sejenak, lalu berkata, “Sebagai tanda persahabatan, aku akan menyerahkan putriku, Putri Inten, untuk menjadi istrimu. Dengan begitu, hubungan antara dua dunia akan bersatu.”
Ki Tinggil menatap tuannya dengan cemas. “Paduka, apakah ini bijak?” bisiknya.

Raden Wiralodra menjawab lembut, “Perdamaian lebih berharga dari kemenangan.”
Akhirnya, pernikahan antara Raden Wiralodra dan Putri Inten berlangsung dengan khidmat di tepi Sungai Cimanuk, disaksikan manusia dan makhluk gaib.
Sejak saat itu, para makhluk halus tak lagi mengganggu, bahkan membantu proses pembabatan hutan. Dalam waktu singkat, wilayah itu berubah menjadi pemukiman yang makmur dan damai.
“Ki Tinggil,” ujar Raden Wiralodra sambil menatap ke kejauhan, “inilah awal Indramayu yang akan menjadi tanah harapan.”

Waktu berlalu, kehidupan di lembah Cimanuk semakin ramai. Namun Raja Werdinata dan para pengikutnya merasa tidak nyaman tinggal bersama manusia. Suatu hari ia menemui Raden Wiralodra untuk memohon izin.
“Wahai menantuku,” ucapnya lembut, “izinkan aku dan para pengikutku pindah ke sebuah pulau di utara. Kami akan hidup di sana tanpa mengganggu manusia.”
Raden Wiralodra menjawab, “Bapak mertuaku, bila itu keinginanmu, pergilah. Aku hanya berharap kita tetap bersahabat.”
Werdinata tersenyum dan berkata, “Selama keturunanmu ada, Pulomas akan selalu bersinar di malam hari sebagai tanda persaudaraan kita.”

Maka berangkatlah Raden Werdinata bersama pas**annya menuju ke pulau kecil di utara. Saat mereka menginjakkan kaki di sana, cahaya keemasan muncul dari langit, menyinari laut dan menjadikan seluruh pulau berkilau bagaikan emas.
Sejak saat itulah pulau itu dikenal sebagai Pulau Mas atau Pulomas.
Orang-orang yang berlayar melewati tempat itu sering melihat cahaya kekuningan di malam hari, tanda bahwa Raden Werdinata masih menjaga pulau itu hingga kini.

Kini, Pulomas dikenal sebagai tempat wisata di Kabupaten Indramayu, tempat yang masih dipercaya menyimpan aura magis dan cerita lama tentang persahabatan antara manusia dan makhluk gaib. Di malam hari, cahaya keemasan masih sering tampak di kejauhan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa kagum sekaligus hormat pada kisah masa lalu.
Sebagian nelayan masih menunduk ketika melewati perairan itu, berbisik pelan memohon izin agar laut tetap tenang. Mereka percaya, Raden Werdinata masih menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia tak kasatmata.

“Ki Tinggil,” mungkin suara Raden Wiralodra masih bergema di angin malam, “kita hanya tamu di bumi ini. Selama kita menjaga, alam pun akan melindungi kita.”
Begitulah kisah asal mula Pulau Mas, tempat yang menjadi lambang perdamaian antara dua dunia.

Pesan moral:

Perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan. Jika manusia mau menghargai alam dan makhluk lain ciptaan Tuhan, maka kedamaian akan tercipta. Keberanian sejati bukan hanya soal bertarung, tetapi juga tentang kemampuan untuk berdamai.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara



Anak Jalanan yang Kini Jadi SantriTidak ada yang menyangka, bocah kecil yang dulu sering terlihat mengemis di perempatan...
27/10/2025

Anak Jalanan yang Kini Jadi Santri

Tidak ada yang menyangka, bocah kecil yang dulu sering terlihat mengemis di perempatan Jalan Ahmad Yani, Pontianak, kini mengenakan sarung dan peci setiap pagi, melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suara lembut. Namanya Putra, seorang anak yang masa kecilnya penuh luka dan ketidakpastian. Ia dulu hidup tanpa arah, tanpa kasih sayang, dan tanpa tempat pulang yang benar-benar aman.

Namun semua itu berubah ketika tangan-tangan peduli datang menghampiri. Lembaga Amil Zakat Baitulmaal Munzalan Indonesia (LAZ BMI), bersama Dinas Sosial dan Pondok Pesantren Serumpun Cahaya, memberi Putra kesempatan baru: kesempatan untuk belajar, beribadah, dan bermimpi. Dari seorang anak jalanan yang tak mengenal wudhu, kini ia menjadi santri yang hafal doa-doa dan mengajarkan teman-temannya arti sabar.

Putra lahir dalam keluarga yang sederhana, tapi nasib membuatnya harus menanggung beban terlalu berat sejak kecil. Ayahnya pergi entah ke mana, sementara ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Setiap pagi, Putra disuruh turun ke jalan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, membawa kaleng bekas dan meminta uang kepada pengendara. Ia bahkan tak tahu untuk apa uang itu digunakan—belakangan baru ia paham, hasil jerih payah kecilnya digunakan untuk membeli obat-obatan terlarang.

Suatu sore, ketika hujan turun deras, seorang pria bernama Zakwan melihat Putra duduk gemetar di bawah jembatan kecil. “Nak, kamu nggak pulang?” tanya Zakwan lembut sambil menyodorkan jaket. Putra menggeleng pelan. “Nggak ada rumah, Om,” jawabnya lirih. Dari percakapan sederhana itu, dimulailah babak baru dalam hidupnya. Zakwan lalu melaporkan Putra ke Dinas Sosial, dan tidak lama kemudian ia dibawa ke panti sementara untuk anak-anak jalanan.

Awalnya Putra memberontak. Ia tidak s**a tinggal di tempat baru. “Saya bisa cari makan sendiri, nggak usah di sini,” katanya ketus kepada petugas. Tapi malam-malam panjang dengan doa bersama dan cerita dari ustaz di panti membuat hatinya perlahan luluh. Ia mulai s**a mendengarkan kisah Nabi, mulai mencoba berwudhu, meski sering salah langkah. Ustaz Rusdiansyah Syarqowi, pimpinan pesantren yang sering datang membimbing, melihat sinar kecil di mata anak itu.

“Putra ini keras kepala, tapi hatinya lembut,” ujar Ustaz Rusdi kepada Zakwan suatu sore. “Kalau dibina dengan sabar, insyaallah bisa jadi anak baik.” Mereka berdua lalu bersepakat memindahkan Putra ke Pondok Pesantren Serumpun Cahaya. Di sinilah perjalanan baru Putra dimulai—perjalanan dari kelam menuju terang.

Hari pertama di pesantren bukanlah hal mudah. Putra masih sering diam dan menatap kosong. Ia belum bisa membaca huruf Arab, bahkan bacaan shalat pun belum hafal. “Saya malu, Ustaz,” katanya suatu malam ketika teman-temannya sedang mengaji. “Malu karena nggak bisa?” tanya Ustaz Rusdi sambil tersenyum. Putra mengangguk. “Kalau kamu malu, berarti kamu mau berubah. Mulai besok, belajar sama saya setelah Subuh, ya,” jawab sang ustaz menepuk bahunya.

Pelan-pelan, setiap hari selepas Subuh, Putra duduk di depan ustaznya, mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Bulan demi bulan berlalu, dan ia pun mulai mampu membaca surah-surah pendek. Wajahnya kini lebih sering tersenyum, dan ia mulai terbiasa memanggil santri lain dengan sebutan “akh” dan “ukhti”. Dari anak jalanan yang hidup tanpa arah, Putra kini memiliki tujuan: ingin menjadi ustaz agar bisa menolong anak-anak seperti dirinya dulu.

Kisah perubahan Putra menyentuh hati banyak orang. Suatu hari, rombongan dari Masjid Kapal Munzalan Indonesia datang berkunjung ke rumah kakek Putra di pinggiran Pontianak. Rumah sederhana itu menjadi saksi masa lalu penuh air mata. “Dulu, cucu saya sering dipukul. Disuruh ngemis sejak kecil,” ucap sang kakek dengan mata berkaca-kaca kepada para tamu. “Tapi sekarang, alhamdulillah... dia sudah bisa ngaji.”

Nazif Fikri, Wakil Pengasuh Masjid Kapal Munzalan yang ikut dalam rombongan itu, menatap Putra dengan kagum. “Kamu hebat, Nak. Tidak semua orang bisa bangkit dari masa lalu sekelam itu,” katanya. Putra hanya menunduk, malu-malu. “Saya cuma ingin ibu saya bisa lihat saya shalat,” ucapnya lirih. Kalimat itu membuat semua yang hadir terdiam sejenak, menahan haru.

Selama tiga tahun di pesantren, Putra tumbuh menjadi remaja yang sopan dan rajin. Ia selalu menjadi yang pertama datang ke mushola dan yang terakhir meninggalkannya. Saat ada teman yang sedih, ia menghibur. Saat ada yang malas belajar, ia memotivasi. “Kalau kita mau berubah, Allah bantu,” begitu kata Putra setiap kali teman-temannya mengeluh.

Suatu hari, Ustaz Rusdi memanggilnya ke kantor pesantren. “Putra, kamu tahu kenapa Ustaz panggil?” tanya beliau sambil tersenyum. “Nggak tahu, Ustaz,” jawab Putra gugup. “Kamu terpilih jadi ketua santri baru. Semua ustaz percaya kamu bisa jadi contoh.” Mata Putra membesar, seakan tak percaya. Ia yang dulu ditolak dunia, kini dipercaya untuk memimpin teman-temannya menuju kebaikan.

Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Lembaga zakat, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat kini melihat bahwa perubahan itu nyata ketika semua mau bekerja sama. “Dulu kami hanya ingin menolong satu anak, tapi ternyata satu anak ini menolong banyak orang lewat semangatnya,” kata Zakwan dalam acara kunjungan berikutnya.

Putra kini sering diminta berbicara di hadapan adik-adik panti. “Saya bukan siapa-siapa,” ucapnya dengan suara bergetar. “Tapi kalau Allah masih kasih kita hidup, berarti masih ada kesempatan buat berubah.” Kata-kata sederhana itu menggetarkan hati banyak orang yang mendengarnya.

Kini Putra duduk di kelas akhir pesantren. Ia sudah pandai membaca kitab kuning dan sedang berusaha menghafal Al-Qur’an. Setiap kali ia merasa lelah, ia selalu teringat ibunya. “Kalau nanti sudah jadi ustaz, saya mau cari ibu saya dan ajarin dia ngaji,” katanya suatu sore kepada Ustaz Rusdi. Sang ustaz menatapnya haru, lalu berkata, “Insyaallah, Nak. Setiap doa anak saleh pasti sampai.”

Ketika ditanya apa rahasianya bisa berubah, Putra menjawab dengan mantap, “Dulu saya pikir hidup cuma tentang makan dan bertahan. Tapi setelah saya kenal Allah, saya tahu hidup itu tentang memberi manfaat.” Ucapannya sederhana, tapi menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Kisah Putra adalah bukti nyata bahwa setiap manusia punya peluang untuk berubah, sekecil apa pun kesempatan itu. Dari jalanan yang penuh debu, ia menemukan jalan menuju cahaya. Dari kehidupan yang gelap, ia kini menjadi sumber terang bagi orang lain. Semua itu terjadi bukan karena keajaiban, tetapi karena kepedulian, kesabaran, dan cinta yang tulus dari banyak hati baik yang percaya bahwa setiap anak berhak punya masa depan.

Pesan moral:

Tidak ada masa lalu yang terlalu kelam untuk diperbaiki, dan tidak ada anak yang terlalu terlambat untuk diselamatkan. Selama masih ada kasih, bimbingan, dan iman, bahkan seorang anak jalanan pun bisa tumbuh menjadi cahaya yang menerangi dunia.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara



Address

Jalan R. Hamara Efendi No. 24
Banjar
46322

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Dongeng Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Dongeng Indonesia:

Share