Cerita Dongeng Indonesia

Cerita Dongeng Indonesia Cerita Dongeng Indonesia adalah Wahana Edukasi dan Hiburan Kump**an Dongeng, Fabel, Hikayat, Pendidikan Karakter PAUD Taman Kanak-Kanak dan Budaya.
(4)

Cerita Dongeng Indonesia adalah wahana Edukasi, Kump**an Dongeng, Fabel, Hikayat Indonesia Lengkap, Pendikan karakter PAUD dan Taman Kanak-kanak. Dan semua yang berkaitan dengan : Pendongeng, Pendongeng Indonesia, Pendongeng Jenaka, Pendongeng Ekspresif, Pendongeng Enerjik, Pendongeng Musikal, Pendongeng Nasional, Pendongeng Kondang, Pendongeng di Jakarta, MC untuk acara anak, konsep mendongeng, teknik mendongeng, teknik bercerita,

17/12/2025

Raja Menjadi Tukang Kebun
Mengisahkan tentang seorang raja yang sangat bijaksana dan jujur. Karena jenuh dan ingin menguji kesabaran dan kejujuran diri, sang raja menyamar menjadi rakyat jelata dan bekerja pada seorang pemilik kebun.

Asal Mula Burung Ntaapo-ApoCerita Rakyat dari Sulawesi TenggaraOrang mengira Burung Cenderwasih hanya ada di Papua. Teta...
17/12/2025

Asal Mula Burung Ntaapo-Apo
Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara

Orang mengira Burung Cenderwasih hanya ada di Papua. Tetapi, burung jenis ini ternyata juga ada di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna. Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama Burung Ntaapo-Apo. Menurut kisah, burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane.

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan.

Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru p**ang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing.

Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak.

“Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu,” begitu selalu kata La Ane.

“Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja?” ujar ibunya.

“Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun,” kata La Ane dengan cuek.

“Kalau begitu, makan saja itu gasingmu!” tukas ibunya dengan nada kesal.

La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan).

“Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!” geram sang ibu.
Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya.

“Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku”

“Padahal, aku lapar sekali,” keluh La Ane.

Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya.

“Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri,” ucap La Ane.

Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu. Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.

“La Ane… La Ane…, kamu di mana anakku?!” teriaknya.

Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya.

“Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak!” bujuk sang Ibu.

Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau.

“Ntaapo-apo… Ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.

Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu.

Sejak peristiwa itu, burung yang s**a berkicau “ntaapo-apo” itu dinamakan burung Ntaapo- apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara

16/12/2025

Nostalgia Animasi jadul era 90-an bersama Putri Salju. Semoga terhibur 😊 terimakasih

Anak Yatim La Moelu Cerita Rakyat dari Sulawesi TenggaraAlkisah, di sebuah dusun kecil yang sunyi di pelosok Sulawesi Te...
16/12/2025

Anak Yatim La Moelu
Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara

Alkisah, di sebuah dusun kecil yang sunyi di pelosok Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Usianya masih belasan tahun, namun beban hidup yang dipikulnya jauh lebih berat daripada anak-anak seusianya. Sejak masih bayi, La Moelu telah kehilangan ibunya, meninggalkan luka sunyi yang tumbuh bersamanya hingga dewasa. Tak ada pelukan hangat seorang ibu, tak ada tempat mengadu selain ayahnya yang kini telah renta dan rapuh dimakan usia.

Ayah La Moelu sudah terlalu tua untuk bekerja. Tubuhnya lemah, punggungnya membungkuk, dan untuk melangkah beberapa langkah saja ia harus bersandar pada sebuah tongkat kayu. Hari-hari mereka diisi dengan kesederhanaan dan keterbatasan. Tak ada ladang luas, tak ada harta benda, hanya sebuah gubuk sederhana dan kasih sayang seorang anak kepada ayahnya yang tersisa.

Dalam keadaan itulah La Moelu tumbuh menjadi anak yang tabah dan bertanggung jawab. Demi bertahan hidup, ia rela mengesampingkan masa bermain dan belajar seperti anak-anak lain. Setiap hari, dengan peralatan seadanya, ia berjalan menuju sungai yang mengalir tak jauh dari dusunnya. Sungai itulah yang menjadi harapan satu-satunya. Dari sanalah La Moelu memancing ikan, bukan sekadar untuk mengisi perut, tetapi juga untuk mempertahankan hidupnya dan sang ayah yang ia cintai sepenuh hati. Di balik tubuh kecilnya, tersimpan tekad besar untuk terus bertahan menghadapi kerasnya kehidupan.

Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak p**a. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah-tengah kawanan ikan itu. Setelah itu, ia duduk menunggu sambil bersiul-siul. Anehnya, sudah cukup lama ia menunggu, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya.

“Hei, ke mana perginya kawanan ikan itu? Padahal tadi aku melihat mereka bermunculan di permukaan air,” gumam La Moelu heran.

Hari semakin siang. La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Mulanya, ia berniat untuk berhenti memancing. Namun karena penasaran terhadap kawanan ikan tersebut, akhirnya ia pun memutuskan untuk meneruskannya.

“Ah, aku tidak boleh putus asa! Barangkali saja ikan-ikan tersebut belum menemukan umpanku,” pikirnya.

Alhasil, beberapa saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Ketika kailnya terangkat, tampaklah seekor ikan kecil yang mungil terkait di ujung kailnya. Meski hanya memperoleh ikan kecil, hati La Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu sangat indah. Akhirnya, ia pun membawa p**ang ikan itu untuk ditunjukkan kepada Ayahnya.

Sesampainya di rumah, ayahnya pun merasa senang melihat ikan itu.

“Ikan apa yang kamu bawa itu, Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya dengan perasaan kagum.

“Entahlah, Ayah!” jawab La Moelu.

“Sebaiknya ikan ini diapakan, Ayah?” tanya La Moelu.

“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Kalaupun pun dimasak pasti tidak cukup untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.

Orang tua renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu ke dalam kembok yang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya.

Keesokan harinya, betapa terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar kembok. Ayahnya pun terperanjat saat melihat kejadian aneh itu.

“Pindahkan segera ikan itu ke dalam lesung!” perintah sang Ayah.

Mendengar perintah itu, La Moelu pun segera mengisi lesung itu dengan air, lalu memasukkan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang Ayah pun segera menyuruh La Moelu agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari berikutnya, ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari wadah untuk menyimpan ikan itu.

“Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini, Ayah?” tanya La Moelu bingung.

Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan ikan itu ke dalam drum yang berada di samping rumah mereka. La Moelu segera memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut. Keesokan harinya, ikan itu sudah sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena mereka tidak memiliki lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu membawa ikan itu ke laut.

La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia memberi nama ikan itu dan berpesan kepadanya.

“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika aku memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan memberimu makan!” ujar La Moelu.

Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang dan gembira karena bisa berenang dengan bebas di samudera luas.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.

“Jinnande Teremombonga…!!!”

Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya. Setelah makan, ikan itu kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap pagi.

Pada suatu pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande Teremombonga, ada tiga orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang rimbun. Mereka adalah keluarga yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat seekor ikan raksasa mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget. Melihat hal itu, maka timbullah niat jahat mereka ingin menangkap ikan itu.

“Kawan-kawan! Ayo kita tangkap ikan itu!” seru salah seorang dari mereka.

“Tunggu dulu! Kita jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu p**ang, setelah itu barulah kita menangkap ikan itu,” cegah seorang pemuda yang lain.

Setelah La Moelu kembali ke rumahnya, ketiga pemuda itu segera turun dari pohon lalu berjalan menuju ke tepi laut. Sesampainya di tepi laut, salah seorang di antara mereka maju beberapa langkah lalu berteriak memanggil ikan itu.

“Jinnande Teremombonga…!!!”

Dalam sekejap, Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang berteriak memanggilnya itu bukan tuannya, ikan itu segera kembali berenang ke tengah laut.

“Hai, kenapa ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang berteriak tadi.

“Ah, barangkali dia takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang mencoba memanggilnya,” kata pemuda yang lainnya seraya maju ke tepi laut.

Tidak berapa lama setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga datang lagi. Ketika melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal melihat perilaku ikan itu. Mereka pun bingung untuk bisa menangkap ikan itu.

Setelah berembuk, ketiga pemuda tersebut menemukan satu cara, yakni salah seorang dari mereka akan berteriak memanggil ikan itu, sementara dua orang lainnya akan menombaknya. Ternyata rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu datang ke tepi laut, kedua pemuda yang sudah bersiap-siap segera menombaknya. Ikan itu pun mati seketika. Mereka memotong-motong daging ikan itu lalu membagi-baginya. Setiap orang mendapat bagian satu pikul.

Setelah itu, mereka membawa p**ang bagian masing-masing. Betapa senangnya hati keluarga mereka saat melihat daging ikan sebanyak itu. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggilnya.

“Jinnande Teremombonga..!!!”

Sudah cukup lama La Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Berkali-kali ia berteriak memanggil dengan suara yang lebih keras, tapi ikan itu tak kunjung datang ke tepi laut. La Moelu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande Teremombonga.

“Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya sekali memanggil dia sudah datang. Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali memanggilnya, dia belum juga muncul. Apakah ada orang yang telah menangkapnya?” gumam La Moelu.

Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak kunjung datang. Akhirnya, La Moelu pun kembali ke rumahnya dengan perasaan kesal dan sedih. Dalam perjalanan p**ang, ia selalu memikirkan nasib ikan kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menasehatinya.

“Sudahlah, Anakku! Barangkali ikan itu pergi mencari teman-temannya ke tengah samudra sana,” ujar ayahnya.

Pada malam harinya, La Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah mencuri ikannya. Kebetulan pada saat itu, pemuda itu sedang makan bersama keluarganya. Saat melihat lauk yang mereka makan dari daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu teringat pada Jinannande Teremombonga.

“Wah, jangan-jangan ikan yang mereka makan itu si Jinnande Teremombonge,” pikirnya.

La Moelu pun menanyakan dari mana mereka memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu enggan untuk memberitahukannya, namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia pun menceritakan semuanya.

“Tadi pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya kenapa, hai anak yatim?
Apakah kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?” tanya pemuda itu dengan nada mengejek.

Betapa sedihnya hati La Moelu setelah mendengar kisah pemuda itu. Ternyata dugaannya benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah sedih ketika pemuda itu menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun yang diberikan kepadanya ternyata hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda itu.

Ketika hendak p**ang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh pemuda itu. Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang ikan itu agar dapat mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya. Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh terjadi pada kuburan itu, di atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya.

‘Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di depan rumah kita!” ajak La Moelu.

Ayah La Moelu pun segera keluar dari rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua renta itu melihat tanaman ajaib itu.

“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh di sini?” tanya ayah La Moelu dengan heran.

La Moelu pun menceritakan semua sehingga tanaman ajaib itu tumbuh di depan rumah mereka. Ayah La Moelu pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang Mahakuasa yang diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu tumbuh menjadi besar.

Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih berganti berdatangan ingin menyaksikannya. Semakin hari, tanaman itu semakin besar. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga, dan buahnya sedikit demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia tabung. Lama kelamaan La Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia senantiasa membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah menangkap ikan kesayangannya. Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat hormat dan sayang kepada La Moelu. La Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara

16/12/2025

Raja Yang Memegang Janjinya
Meskipun digoda oleh setan, ia tetap bisa menahan amarahnya.

16/12/2025

Thumbelina
Opening animasi dongeng klasik era 90-an untuk nostalgia. Cerita ini mengisahkan seorang gadis cantik yang lahir dari dalam kelopak bunga. Versi full menyusul.

Gunung Saba MpoluluCerita Rakyat dari Sulawesi TenggaraKonon, jauh sebelum manusia ramai mendiami daratan Sulawesi Tengg...
16/12/2025

Gunung Saba Mpolulu
Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara

Konon, jauh sebelum manusia ramai mendiami daratan Sulawesi Tenggara, dua gunung berdiri saling berhadapan, seolah dipisahkan jarak namun diikat oleh takdir yang sama. Di timur, tepat di Labunoua, menjulang Gunung Kamonsope—sunyi, anggun, dan menyimpan pesona yang memikat siapa pun yang memandangnya. Sementara di barat, di tanah Kabaena, berdiri Gunung Mata Air yang kokoh dan misterius, seakan menyembunyikan rahasia tua di balik kabutnya. Masyarakat percaya, kedua gunung itu bukan sekadar bentang alam biasa. Masing-masing dijaga oleh penunggu sakti: seorang perempuan cantik di Kamonsope dan seorang laki-laki bertubuh gendut berambut gondrong di Mata Air. Sejak dulu, kisah tentang mereka berbisik dari mulut ke mulut, membawa aroma legenda tentang pertemuan, kerinduan, dan peristiwa gaib yang tak pernah tercatat dalam sejarah manusia.

Pada suatu ketika, musim kemarau melanda daerah itu selama berbulan-bulan, sehingga seluruh daerah itu kekurangan air. Kecuali Gunung Kamonsope, persediaan airnya masih melimpah. Oleh penjaganya, air tersebut digunakan untuk mengairi daerah sekitar Gunung Kamonsope yang ditumbuhi oleh pepohonan dan tanaman.

Sementara itu, Gunung Mata Air sangat kekurangan air. Jangankan untuk mengairi pepohonan dan tanaman, air untuk digunakan mandi pun sulit diperoleh. Memang aneh. Walaupun gunung itu bernama Gunung Mata Air, tetapi masih tetap kekurangan air.

Suatu hari, penjaga Gunung Mata Air meminta air kepada penjaga Gunung Kamonsope untuk mengairi daerah sekitar Gunung Mata Air yang dilanda kekeringan.

“Maaf saudari, bolehkah aku meminta sebagian airmu”“ pinta penjaga Gunung Mata Air dengan sopan.

“Maaf Tuan, aku tidak dapat memberikanmu air, karena aku juga membutuhkan banyak air,” jawab penjaga Gunung Kamonsope.

Beberapa kali penjaga Gunung Mata Air meminta air, namun penjaga Gunung Kamonsope tetap menolak permintaannya. Hal ini membuat penjaga Gunung Mata air menjadi murka.

“Jika kamu tidak mau memberikan airmu, aku akan memaksamu!” seru penjaga Gunung Mata Air dengan kesal.

“Jika aku tidak mau memberimu air, itu adalah hakku. Kenapa kamu memaksa ! Tapi, kalau kamu berani, silahkan!” tantang penjaga Gunung Kamonsope.

“Dasar perempuan pelit! Kalau itu maumu, tunggu saja pembalasanku!” seru penjaga Gunung Mata Air lalu segera kembali ke tempatnya dengan perasaan marah.

Sesampainya di Gunung Mata Air, lelaki gemuk itu langsung merebahkan tubuh di pembaringannya. Pikirannya mulai berkecamuk memikirkan bagaimana cara memperoleh air dari perempuan itu dengan paksa. Kemudian, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya.

“Aku ini adalah laki-laki, sedangkan penjaga Gunung Kamonsope adalah perempuan. Ah, masa aku dilecehkan oleh perempuan itu. Aku akan menembaknya dengan meriamku,” pikirnya.

Rupanya penjaga Gunung Mata Air merasa harga dirinya diinjak-injak, sehingga membuatnya tambah marah dan memutuskan untuk memerangi penjaga Gunung Kamonsope dengan menggunakan kekuatan senjata. Ia pun mengeluarkan senjata meriamnya.

“Dengan meriam ini, aku akan menghancurkan Gunung Kamonsope sampai berkeping-keping,” gumam penjaga Gunung Mata Air.

Setelah itu, penjaga Gunung Mata Air segera menembakkan meriamnya.
“Duorr…!” terdengar suara letusan.

Tembakan pertama itu tidak mengenai sasaran. Tembakan kedua pun diluncurkan, namun masih meleset. Tembakan ketiga, peluru tidak sampai ke sasaran. Berkali-kali penjaga Gunung Mata Air meluncurkan peluru meriamnya, namun tidak ada yang mengenai sasaran. Ia pun semakin murka dan emosinya tidak terkendali. Ia menembakkan satu persatu peluru meriamnya ke arah Gunung Kamonsope, namun tidak satu pun yang mengenai sasaran. Tanpa disadarinya, ternyata ia telah kehabisan peluru.

Sementara itu, penjaga Gunung Kamonsope yang mengetahui tempatnya diserang segera mengambil senjata untuk membalasnya. Ia pun mengeluarkan meriamnya yang ukurannya lebih besar daripada meriam milik penjaga Gunung Mata Air. Hanya sekali tembak, peluru meriamnya langsung mengenai sasaran.

“Duooorrr…!!! Booom….!!! “ terdengar suara letusan yang sangat dahsyat.

Peluru meriam itu tepat mengenai puncak Gunung Mata Air hingga terpongkah. Puncak gunung itu hilang sebagian sehingga membentuk seperti kapak yang terkena benda keras.

Sejak peristiwa itu, Gunung Mata Air berganti nama menjadi Gunung Saba Mpolulu.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara

16/12/2025

Sang Hyang Guruwenda
Mengisahkan tentang pangeran kayangan yang dikutuk menjadi lutung. Kemudian bertemu cinta sejatinya yang membuatnya lepas dari Kutukan.

16/12/2025

Si Bungkuk
Mengisahkan tentang seorang pemuda miskin bertubuh bungkuk yang menikahi anak bangsawan kaya raya.

Niining Kubaea, Ibu Yang BijaksanaCerita Rakyat dari Sulawesi TenggaraPada zaman dahulu, ketika alam masih menjadi sahab...
16/12/2025

Niining Kubaea, Ibu Yang Bijaksana
Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara

Pada zaman dahulu, ketika alam masih menjadi sahabat paling setia manusia, hiduplah seorang janda tua bernama Niining Kubaea. Rambutnya telah memutih, wajahnya dipahat oleh waktu dan kesepian. Sejak suaminya meninggal puluhan tahun silam, ia memilih menjalani hidup seorang diri, tanpa anak, tanpa keluarga, hanya ditemani sunyi dan desau angin. Niining menetap di sebuah gubuk kecil di tepi sungai, tempat ia menggantungkan hidup dari ikan-ikan yang ia tangkap dan umbi-umbian yang ia gali dari hutan. Di balik kesederhanaan hidupnya, tersimpan sebuah kisah yang kelak akan dikenang dan diceritakan turun-temurun.

Suatu hari, sebuah perahu berawak tiga orang berlabuh di tepi sungai. Setelah turun dari perahunya, ketiga awak tersebut menuju ke gubuk tempat tinggal Niining Kubaea. Salah seorang dari mereka sedang menggendong bayi perempuan yang dibungkus dengan kain sutra.

“Permisi!” seru salah seorang dari perahu itu,

“Apakah ada orang di dalam?”

Mengetahui ada tamu yang datang, Niining Kubaea pun segera keluar dari gubuknya. Betapa terkejutnya ia saat melihat tiga orang laki-laki paruh baya berdiri di depan pintunya.

“Maaf, Tuan-Tuan! Ada yang bisa Nenek Bantu?” tanya Niining Kubaea.

“Nek, kedatangan kami kemari untuk menawarkan bayi ini kepada Nenek,” ungkap salah seorang dari awak perahu itu.

“Apa maksud, Tuan?” tanya si Niining.

“Kami ingin menjual bayi ini, Nek. Apakah Nenek berkenan membelinya?” awak perahu itu menawarkan.

“Oh, sangat kebetulan. Nenek memang tidak mempunyai anak. Selama ini Nenek hanya hidup sendirian,” ungkap si Niining dengan perasaan gembira.

Beruntung Niining Kubaea memiliki sedikit tabungan. Akhirnya, ia pun membeli bayi itu dengan uang tabungannya. Setelah menyerahkan bayi itu kepada si Niining, ketiga awak perahu tersebut melanjutkan perjalanan.

Sejak itulah, Niining Kubaea tidak lagi kesepian. Kehadiran bayi itu telah menjadi obat pelipur lara baginya. Ia pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang. Ia menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Ke mana pun pergi, ia selalu membawanya. Pada usia tujuh tahun, anak angkat Niining Kabeae itu pun sudah pandai bertanam bunga di halaman gubuknya. Bahkan, ia sudah bisa menjualnya sendiri ke pasar.

Waktu terus berlalu. Anak itu tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat dan berparas cantik. Setiap pemuda yang melihatnya akan berdecak kagum. Jika ia pergi ke pasar menjual bunga, ia selalu menjadi perhatian. Lama-kelamaan, kencantikan anak gadis Niining Kubaea itu tersohor hingga ke seluruh pelosok negeri.

Melihat keadaan itu, Niining Kubaea bukanya merasa senang melainkan khawatir. Ia tidak ingin anak gadisnya itu menjadi perhatian orang, terutama para pemuda. Oleh karena itu, setiap gadis itu hendak ke pasar, ia membendakinya dengan arang agar kecantikannya tidak tampak. Walau demikian, kecantikan gadis itu tetap saja terpancar.

Suatu hari, terdengar kabar bahwa raja dari negeri tetangga merasa tersinggung karena kecantikan anak gadis Niining Kubaea melebihi kecantikan putrinya. Apa yang dikhawatirkan si Niining pun terjadilah. Beberapa utusan raja datang ke gubuknya untuk membawa anak gadisnya ke istana.

“Ampun, Tuan! Jangan kalian bawa pergi anakku. Dialah satu-satunya milikku di dunia,” rengek Niining Kubaea.

“Maaf, Nek. Kami hanya menjalankan perintah raja. Kami harus membawa kalian berdua ke istana,” kata seorang utusan raja.

Niining Kubaea pun tak bisa berbuat apa-apa. Perintah raja harus dipatuhi. Akhirnya, keduanya pun dibawa ke istana. Dalam perjalanan, si Niining senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar tidak terjadi sesuatu pada diri mereka, terutama pada anak gadisnya.

“Ya, Tuhan! Lindungilah kami,” doa Niining Kubaea.

Setiba di istana, keduanya pun langsung dihadapkan kepada sang Raja. Alangkah marahnya sang Raja karena kecantikan gadis itu memang ternyata melebihi kecantikan putrinya.

“Hulubalang! Cepat buat lubang dan tiang gantungan!” titah sang Raja,

“Gadis ini benar-benar telah membuatku malu.”

Beberapa hulubalang istana segera menggali lubang serta menyiapkan tiang dan tali gantungan. Setelah prajurit itu menyelesaikan tugasnya, sang Raja kembali memerintahkan mereka.

“Hulubalang! Bawa anak gadis itu ke tiang gantungan!” titah sang Raja.

“Baik, Baginda,” kata hulubalang itu.

Saat para hulubalang hendak membawa gadis itu ke tiang gantungan, tiba-tiba Niining Kubaea jatuh pingsan. Meskipun demikian, sang Raja tidak perduli.

“Ah, mau pingsan atau mati sekalian, aku tidak perduli. Cepat ikat gadis itu ke tiang gantungan!” perintah sang Raja.

Melihat kejadian itu, putra Raja langsung mencegah ayahnya. Rupanya, pangeran itu merasa simpati kepada anak gadis Niining Kubaea.

“Tunggu, Ayah! Ananda mohon dengan sangat agar gadis itu jangan dihukum mati. Biarkanlah ia Ananda jadikan istri. Ananda mohon, jangan bunuh ia, Ayah!” pinta sang Pangeran.

Meskipun dicegah, sang Raja tetap akan menghukum gadis yang tidak bersalah itu untuk menutupi rasa malunya. Hulubalang pun segera melaksanakan tugasnya. Begitu ia memotong tali gantungan, maka anak Niining Kubaea itu pun terjatuh ke dalam lubang.

Melihat peristiwa tersebut, sang Pangeran dengan cepat ikut terjun ke dalam lubang. Untung ia dapat meraih tubuh gadis itu sebelum jatuh ke dasar lubang. Maka, selamatlah gadis itu dari ancaman maut. Namun, alangkah terkejutnya sang Pangeran saat memeluk erat tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia melihat sebuah tanda di belakang kepala sang Gadis.

“Hai, bukankah tanda ini sama seperti tanda di kepala adik perempuanku yang dulu hilang sewaktu masih bayi?” gumam sang Pangeran,

“Hmmm… jangan-jangan….?”

Sang Pangeran pun segera berteriak dari dalam lubang memanggil ayahnya.

“Ayah…, Ayah… !” teriaknya,

“Cepat keluarkan kami dari lubang ini!”

Sang Raja pun bergegas menuju ke mulut lubang. Ia pun sangat mengkhawatirkan keadaan putranya yang ikut terjun ke dalam lubang itu.

“Apakah kamu tidak apa-apa, Putraku?” tanya sang Raja.

“Tidak, Ayah. Tolong cepat angkat kami dari lubang ini!” kata sang Pangeran.

Sang Raja pun segera memerintahkan para hulubalang istana untuk mengangkat mereka dari lubang tersebut. Begitu mereka terangkat, sang Pangeran berkata kepada ayahnya.

“Ayah, coba lihat tanda di kepala gadis ini!” seru sang Pangeran.

Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat tanda itu. Ia langsung teringat pada putrinya yang telah hilang beberapa tahun silam. Maka, ia pun segera memanggil Niining Kubaea untuk menanyakan asal usul gadis itu.

“Hai, Niining Kubaea. Apakah gadis ini anak kandungmu sendiri?” tanya sang Raja.

“Ampun, Baginda. Sebenarnya, gadis ini bukan anak kandung hamba,” jawab Niining Kubaea.

Niining Kubaea kemudian menceritakan perihal bagaimana ia mendapatkan gadis itu.

“Belasan tahun yang lalu, ada tiga orang awak kapal mendatangi gubuk hamba. Mereka menawarkan seorang bayi kepada hamba. Karena hamba tidak mempunyai anak, maka hamba pun membeli bayi itu,” ungkap Niining Kubaea.

Mendengar kisah itu, sang Raja menjadi terharu. Ia yakin bahwa sesungguhnya gadis itu adalah putrinya yang hilang diculik ketika masih bayi. Ia pun amat menyesal karena hampir menghilangkan nyawa putrinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung merangkul gadis itu.

“Maafkan Ayahanda, Putriku! Ayahanda benar-benar khilaf,” ucap sang Raja dengan haru.

“Sudahlah, Ayahanda! Ananda memaafkan kekhilafan Ayahanda,” kata gadis itu.
Suasana yang tadinya gaduh berubah menjadi hening. Perasaan haru pun menyelimuti hati seluruh keluarga istana, termasuk Niining Kubaea. Perempuan paruh baya itu pun tak kuasa menahan air matanya. Beberapa saat kemudian, sang Raja pun menghampiri Niining Kubaea untuk meminta maaf.

“Maafkan atas kelakuanku, Niining,”ucap sang Raja.

Tidak lupa p**a sang Raja menyampaikan ucapan terima kasih kepada Niining yang telah merawat putrinya hingga tumbuh menjadi seorang gadis. Ia pun menjanjikan perempuan tua itu dengan hadiah yang besar.

“Karena engkau telah menyelamatkan putriku, apapun yang kau minta akan kukabulkan,” ujar sang Raja.

“Baiklah, Baginda. Hanya satu permintaan hamba,” jawab Niining Kubaea.

“Apa itu, Niining? Katakanlah!” desak sang Raja.

“Hamba ingin selalu bersama si Gadis. Dia sudah seperti anak kandung hamba,” kata Niining Kubaea.

“Baiklah, Niining. Permintaanmu kukabulkan. Engkau boleh tinggal di istana ini bersama keluarga istana,” ujar sang Raja.

Sejak itulah, Niining Kubaea tinggal di istana dan diangkat sebagai penasehat putra-putri raja. Sementara itu, seluruh keluarga istana amat gembira karena putri raja yang hilang telah kembali ke istana. Sebagai ungkapan rasa syukur, sang Raja pun mengadakan pesta yang sangat meriah.

Terimakasih atas segala bentuk apresiasi dan dukungan yang telah sobat berikan kepada kami, semoga konten-konten yang kami buat bisa menghibur dan bermanfaat, Aamiin 😊

Jika tulisan kami memberi manfaat, silakan bagikan di beranda Facebook masing-masing. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih.

Khusus untuk yang s**a cerita hantu dan horror bisa ikuti kami dengan klik Cerita Horror Nusantara

Address

Jalan R. Hamara Efendi No. 24
Banjar
46322

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Dongeng Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Dongeng Indonesia:

Share