Cerita Horror Nusantara

Cerita Horror Nusantara Cerita Horror Nusantara adalah wahana hiburan tentang kisah hantu dan misteri Indonesia dan dunia. Wahana Hiburan dan Cerita Horror Indonesia.
(1)

Kami menyajikan berbagai cerita seram dan cerita mistis yang ada di Indonesia dan berbagai negara.

Surat UndanganDi kaki Gunung Slamet, ada sebuah desa kecil bernama Karangjati, wilayah kecamatan Kemranjen, Kabupaten Ba...
22/08/2025

Surat Undangan

Di kaki Gunung Slamet, ada sebuah desa kecil bernama Karangjati, wilayah kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas. Sunyi, sejuk, dan dikelilingi kebun bambu yang jika ditiup angin, akan mengeluarkan bunyi mirip bisikan.

Desa itu punya satu bangunan tua bekas rumah penjaga pabrik gula zaman Belanda. Sekarang dijadikan Balai RW 03, lengkap dengan ruang arsip yang sudah bertahun-tahun terkunci. Warga menyebut ruangan itu “kamar mati” karena pernah terdengar suara ketukan dari dalam saat malam Satu Suro.

Ketua RW baru, Pak Tirta, seorang pensiunan tentara yang tegas dan skeptis, ingin membereskan ruang itu untuk digitalisasi data penduduk. Saat ia membuka pintu berkaratnya, hawa dingin menyergap sampai ke ubun-ubun. Padahal waktu itu, matahari sedang terik-teriknya di bulan Juli.

Di sudut ruangan, tersembunyi kotak kayu jati tua dengan segel kertas merah dan tulisan aksara Jawa: “Aja nganti ilang jenenge” (jangan sampai namanya hilang).

Pak Tirta penasaran. Ia buka perlahan... dan isi di dalamnya membuat bulu kuduknya berdiri.

Ada lima surat undangan tahlil, bertinta tangan, berkop RW 03 Karangjati, lengkap dengan tanggal dan nama orang yang masih hidup.

Yang menulis?
Mbah Darmo, ketua RW sebelum Pak Tirta—yang sudah meninggal 17 tahun lalu, tepat pada malam Jumat Kliwon setelah kesurupan selama tiga hari.

Surat pertama ditujukan ke Mbok Warsini, janda tua penjual jamu gend**g yang tinggal di pinggir pemakaman desa. Tanggal tahlil: Rabu Wage, 12 Juli 2023, pukul 19.00 WIB. Tempat: rumahnya sendiri.

Awalnya warga menganggap itu hanya ulah iseng. Tapi malam itu, Mbok Warsini ditemukan tergelincir dan kepalanya terbentur sumur belakang rumah. Waktu kematiannya?

19.02 WIB.

Dan yang mengerikan, ia meninggal sambil duduk bersila di depan kendi air, seolah tengah menyambut tamu. Di tangannya masih tergenggam daun sirih dan undangan yang mulai basah.

Mas Badrun, tukang servis elektronik di dusun sebelah, menerima surat kedua. Ia justru mengunggah foto surat itu ke grup WhatsApp warga dengan caption bercanda:
"Mungkin Mbah Darmo buka jasa undangan dari alam."

Selama seminggu, lampu di tokonya mati hidup tanpa sebab, dan tiap malam, ia mendengar suara solder menyala sendiri. Pada 19 Juli 2023, ia ditemukan meninggal di kursinya. Lehernya tertekuk, wajahnya menghadap ke atas... dengan mata terbuka lebar.

Di meja bengkel, surat itu kembali muncul, utuh.

Pak Tirta panik. Ia pasang CCTV di ruang arsip. Tapi tiap malam jam 00.17–00.24, rekaman selalu gelap total, seperti sengaja disensor oleh sesuatu. Waktu itu bertepatan dengan munculnya surat ketiga untuk Pak Gino, mantan jagabaya yang dikenal keras kepala.

Pak Gino bakar surat itu. Ia mengaku tidak takut “hal-hal kayak begituan.” Tapi setelahnya, tiap malam ia meracau dan membaca daftar nama warga desa sambil berdiri di depan pos ronda.

Tanggal yang tertulis di surat?
24 Juli 2023.

Hari itu, Pak Gino ditemukan tewas menghitam, seolah terbakar dari dalam, tepat di depan ruang arsip. Warga mencium bau kemenyan dan rambut gosong, tapi tidak ada api.

Di laci bawah meja arsip, Pak Tirta menemukan buku harian tua milik Mbah Darmo. Halaman terakhir bertuliskan tinta hitam tebal:

“Mereka bukan datang untuk menjemput. Tapi minta dip**angkan. Mereka tak dimakamkan dengan doa. Maka harus ada yang ditukar, agar pintu itu bisa dibuka.”

Di halaman sebelumnya ada daftar 17 nama yang tidak dikenal warga sekarang. Setelah ditelusuri, nama-nama itu milik korban kebakaran pondok transmigran tahun 1986 yang hangus bersama catatan sipil dan arsip desa.

Mereka tidak pernah didoakan. Tidak ada tahlil. Bahkan tidak dicatat kematiannya secara resmi.

Surat keempat muncul di rumah Bu Sarmi, mantan kader posyandu. Tapi kali ini tidak ada yang melihat wujud suratnya. Yang terjadi, Bu Sarmi tiba-tiba kesurupan saat pengajian. Ia berbicara dengan suara berat:

“Kami belum menyeberang. Kami hanya ingin satu malam. Satu tahlil. Tapi doa yang datang palsu. Maka kami ambil gantinya.”

Ia lalu menyebut nama anak Bu Sarmi yang masih berusia 12 tahun. Semua orang di ruangan langsung menangis histeris.

Malam itu, anak Bu Sarmi hilang dari kamarnya, hanya meninggalkan cap tangan berdebu di dinding dan bau sangit kemenyan basah.

Tanggal 30 Juli 2023, jam 05.00 pagi, Pak Tirta menemukan map pribadi miliknya tergantung di pagar rumah. Di dalamnya ada satu surat terakhir, berbeda dengan yang lain. Tanpa tanggal, tanpa nama acara. Hanya satu kalimat:

“Terima kasih, Pak Tirta. Giliranmu menyambung doa. Jangan lupa kunci kotaknya.”

Ditandatangani:
Darmo (Ketua RW 03 Karangjati, 1980–2006)

Seorang paranormal dari Purwokerto, Ki Mangun Reksa, dipanggil. Ia mengatakan, ruang arsip Balai RW adalah simpul pengingatan jiwa, tempat sejarah terputus. Menurutnya, jika warga tak mengadakan tahlilan untuk 17 nama tanpa nisan itu, akan ada lagi “surat kehidupan” yang dikorbankan agar yang mati bisa kembali ke tempatnya.

Setelah dilakukan tahlil besar-besaran di kuburan lama desa, surat-surat berhenti muncul. Tapi kotak kayu itu kini disimpan dalam lemari kaca Balai Desa Karangjati, dan dikunci rapat dengan kain kafan putih.

Di atasnya tertulis:

“Jangan dibuka sebelum ada yang dilupakan lagi.”

Namun warga bilang, tiap malam Jumat Kliwon, dari dalam lemari, terdengar suara seperti seseorang sedang membaca nama dengan pelan... satu demi satu.

Bagikan d**geng ini di beranda Facebook sobat semua jika menyukai isinya, agar semakin banyak sahabat kita yang membaca dan termotivasi untuk selalu berbuat kebajikan di muka bumi ini.



Dia Masih AdaHujan malam itu jatuh seperti tirai air, memukul atap rumah-rumah, menyapu jalanan yang berkilau licin. Di ...
13/08/2025

Dia Masih Ada

Hujan malam itu jatuh seperti tirai air, memukul atap rumah-rumah, menyapu jalanan yang berkilau licin. Di sebuah gang sempit di pinggiran kota, suara motor meraung, menembus gelap. Bayu memacu kendaraannya dengan mata panas oleh amarah. Pertengkaran dengan Siska, istrinya, baru saja pecah. “Kalau aku mati, kamu nggak boleh sama siapa-siapa lagi, Sis! Kalau kamu melanggar, aku akan datang,” ucapnya sebelum beranjak. Siska hanya menatap dingin, mengira itu ancaman bodoh yang akan terlupakan. Ia tidak tahu, kata-kata itu akan menjadi janji yang menjerat hidupnya di masa depan.

Kilatan lampu truk dari arah berlawanan memecah gelap, memantul di genangan air. Ban motor Bayu tergelincir di aspal licin, rem berdecit panjang, lalu suara benturan logam menghantam keras. Tubuh Bayu terpelanting, helmnya terlepas, darah hangat bercampur air hujan. Sebelum matanya terpejam selamanya, bibirnya bergetar pelan, “Aku nggak akan pergi, Sis…” Di kejauhan, suara truk menghilang, meninggalkan jalan sunyi yang hanya dipenuhi aroma bensin dan rasa dingin menusuk tulang.

Satu tahun berlalu. Foto pernikahan Bayu dan Siska masih berdiri di meja rias, membeku dalam senyum yang tak akan pernah kembali. Kesepian mulai menggerogoti hati Siska. Di bengkel dekat rumahnya, ia bertemu Arman, pria yang ramah dan ringan tangan. Suatu malam, sambil menyeruput kopi di warung, Arman berkata, “Aku tahu kamu udah lama sendiri, Sis. Kalau kamu mau… aku jagain kamu.” Siska tersenyum ragu, dan malam itu, tanpa ia sadari, ada tatapan tak kasat mata dari sudut gelap yang memperhatikan mereka.

Hari-hari berikutnya, Arman mulai diganggu hal-hal aneh. Saat tidur, ia merasa ada seseorang yang berdiri di samping ranjang, napasnya berat, berembus di telinga. Pernah, pintu kamarnya terbuka sendiri dan ia melihat siluet basah kuyup berdiri di ambang pintu. “Siapa itu?!” teriaknya. Sosok itu tak menjawab, hanya meninggalkan aroma bensin dan suara rantai motor yang berderak di udara.

Suatu malam, motor Arman mogok di jalan yang sunyi. Saat ia memeriksa mesin, helmnya terasa berat, seperti ada tangan dingin yang meraih dari belakang. Dalam pantulan spion, ia melihat bayangan seseorang duduk membonceng, wajahnya buram tapi matanya merah membara. Napasnya tercekat, jantung berdegup keras. Begitu ia menoleh, kursi boncengan kosong, tapi suara motor lain meraung dari kejauhan.

Seminggu kemudian, Arman ditemukan tewas di jalan yang sama. Polisi menyebutnya korban tabrak lari. Namun, posisi tubuhnya persis seperti foto kecelakaan Bayu yang dulu viral di berita. Saat Siska menerima kabar itu, ia p**ang dan menemukan foto pernikahannya terjatuh di lantai, bingkainya retak. Wajah Bayu di foto tampak sedikit berbeda—matanya menatap tajam, bibirnya melengkung dalam senyum tipis.

Dua tahun kemudian, Siska mencoba memulai lagi hidupnya. Ia bekerja di toko buku dan bertemu Gilang, pelanggan setia yang pendiam dan penuh perhatian. Gilang berhasil membuatnya tertawa, sesuatu yang sudah lama hilang. Namun, Siska tidak berani menceritakan tragedi masa lalunya. Ia hanya berdoa semoga hidupnya kali ini tenang.

Bau bensin mulai memenuhi kamar Gilang, meski ia tak punya kendaraan. Kaca spion motor pinjamannya selalu terputar ke arah wajahnya sendiri. Malamnya, saat mengenakan helm, ia mendengar bisikan lirih, “Giliran kamu…” Napasnya tercekat. Ia menoleh cepat, tapi hanya angin malam yang menyapu wajahnya.

Suatu sore, Gilang berkata pelan, “Sis, siapa Bayu?” Siska menatapnya pucat. “Kamu… dengar namanya dari mana?” Gilang menceritakan mimpinya: dibonceng seorang lelaki berjaket hitam di jalan basah, lalu menabrak truk. Lelaki itu menoleh dan berkata, “Kau nggak pantas untuk dia.” Siska gemetar, menyadari bahwa teror itu kembali.

Larut malam, Gilang p**ang melewati jalan sepi. Lampu motornya tiba-tiba padam. Dari belakang, deru motor lain semakin keras. Dalam spion, ia melihat pengendara tanpa wajah semakin mendekat, lalu menghantamnya dari belakang. Gilang terpelanting, helmnya terlepas, tapi ia selamat dengan luka ringan. Saat menoleh, jalan kosong, hanya helmnya yang basah kuyup seperti baru diangkat dari sungai.

Gilang menginap di rumah Siska. Saat mencari obat di laci meja rias, ia menemukan foto pernikahan Siska dan Bayu. Foto itu terasa dingin, dan wajah Bayu lebih pucat dengan senyum lebar. “Sis… foto ini…?” Siska menjerit, merebutnya, lalu membakar foto itu. Namun, esok paginya, foto itu kembali muncul di meja, tanpa bekas terbakar.

Gilang mulai takut mati seperti Arman. “Aku nggak sanggup, Sis… aku nggak mau jadi korban berikutnya.” Siska menangis, “Aku juga nggak mau kehilangan lagi… tapi aku nggak bisa melawannya.” Gilang memutuskan pergi malam itu, meninggalkan Siska sendirian di rumah.

Hari-hari berlalu, tapi rasa diawasi tidak pernah hilang. Pintu rumah Siska sering terbuka sendiri, lantai basah oleh jejak sepatu, dan setiap tengah malam, suara motor berhenti di depan rumahnya. Tak ada yang mengetuk. Hanya keheningan yang memeluknya erat.

CCTV rumah merekam pintu depan yang terbuka pelan. Kursi di samping ranjang Siska bergeser sendiri. Dalam rekaman, ada bayangan samar seorang pria berjaket hitam, duduk menatap Siska yang tidur. Senyumnya tipis, sama persis seperti di foto pernikahan.

Sejak malam itu, Siska tak pernah mencoba membuka hati lagi. Arwah Bayu tidak pernah benar-benar pergi, menjaga dengan cinta yang telah berubah menjadi jerat mematikan.

Pesan moralnya: cinta sejati adalah kebebasan, bukan penjara. Ketika cinta berubah menjadi obsesi, ia akan membunuh, bahkan setelah kematian.



RonggengDi Desa Karangjati, jauh di kaki perbukitan, pernah hidup seorang penari ronggeng terkenal bernama Sulastri. Kec...
12/08/2025

Ronggeng

Di Desa Karangjati, jauh di kaki perbukitan, pernah hidup seorang penari ronggeng terkenal bernama Sulastri. Kecantikannya memesona, gerak tubuhnya memikat, dan setiap langkah kakinya di atas panggung mampu membuat semua mata terpaku. Namun, di balik pesonanya, tersimpan rasa iri dan dengki dari para wanita desa, serta nafsu tersembunyi dari para lelaki yang tergoda.
Suatu malam, menjelang perayaan besar desa, Sulastri ditemukan tewas di belakang pendapa. Lehernya terlilit selendang merah yang selalu ia kenakan saat menari.

Orang-orang bilang ia bunuh diri, tapi ada yang bersumpah melihat bayangan hitam mendorongnya sebelum ia terjatuh. Tidak ada yang benar-benar tahu kebenarannya.
Malam itu juga, jasadnya dimakamkan tanpa upacara lengkap, namun setelah itu warga mulai takut, mereka percaya bahwa arwah penari yang mati dengan cara tak wajar akan kembali mengganggu.

Hujan deras mengguyur, membuat tanah kuburnya longsor sebagian. Sebuah selendang merah terselip keluar, berkibar ditiup angin.

Tiga malam setelah pemakamannya, warga mulai mendengar bunyi gamelan samar-samar di tengah malam. Awalnya mereka mengira itu hanya angin atau mimpi, tapi kemudian terdengar suara kaki menghentak tanah di balai desa yang sudah kosong.

Pak Lurah, penasaran, mengintip dari celah jendela pendapa. Ia melihat seorang perempuan mengenakan kebaya hitam lusuh, wajah pucat, mata kosong, menari perlahan mengikuti irama gamelan yang entah dari mana asalnya. Saat kepalanya berputar, Pak Lurah terkejut melihat lidahnya panjang menjulur, basah, dan meneteskan darah. Di tangannya, ia memegang selendang merah yang melilit lehernya sendiri.

Pak Lurah menjerit, tapi tubuhnya kaku. Sulastri—atau apa pun yang tersisa dari dirinya—menatap langsung, lalu berjalan perlahan ke arahnya. “Mau… menari… denganku?” bisiknya dengan suara yang pecah dan menggema. Keesokan paginya, Pak Lurah ditemukan tak bernyawa di kursinya, matanya terbuka lebar, bibirnya kaku seperti sedang tersenyum.

Sejak malam itu, satu per satu warga yang pernah meremehkan atau menghina Sulastri mulai meninggal. Ada yang ditemukan tergantung di lumbung, ada yang terjerat selendang merah di lehernya, dan ada p**a yang hilang begitu saja.

Warga menyadari polanya—korban selalu ditemukan dengan bau bunga kenanga di sekitar tubuhnya, seperti harum yang dulu selalu dipakai Sulastri sebelum menari. Gamelan akan terdengar lebih nyaring menjelang tengah malam, pertanda sang penari sedang mencari korban baru.

Seorang dukun tua, Mbah Ranto, akhirnya mengungkap kebenaran. Ia mengatakan bahwa Sulastri bukan bunuh diri—ia dibunuh oleh tiga orang yang iri pada ketenarannya. Arwahnya kini kembali, menuntut semua yang bersalah untuk ikut menari di alamnya.
“Kalau kau mendengar gamelan di malam hari,” pesan Mbah Ranto, “jangan pernah melihat keluar. Jangan sekali pun menoleh jika ada yang memanggil namamu.”
Tapi pesan itu datang terlambat. Malam berikutnya, gamelan terdengar lebih dekat dari biasanya. Dari balik pintu rumah, seorang wanita mendengar suara lembut, “Mari… menari… denganku…” Lalu pintu rumahnya terbuka sendiri.

Hingga kini, pendapa desa Karangjati dibiarkan kosong. Rumput liar tumbuh tinggi di sekitarnya, namun sesekali, orang yang lewat mengaku melihat bayangan perempuan berputar pelan di tengah pendapa, selendang merahnya berkibar di udara tanpa angin. Dan dari kejauhan, selalu ada bunyi gamelan yang mengiringinya.



Gedhong Dhuwur: Ratapan Gundik yang DilupakanDi atas sebuah bukit sepi di Semarang, berdirilah bangunan megah berarsitek...
03/08/2025

Gedhong Dhuwur: Ratapan Gundik yang Dilupakan

Di atas sebuah bukit sepi di Semarang, berdirilah bangunan megah berarsitektur Eropa yang kini kusam dimakan usia. Orang-orang menyebutnya Gedhong Dhuwur, rumah tua milik seorang pria yang dulu dijuluki Raja Gula dan Candu, Tuan Oei Sing Tiong, saudagar terkaya yang kekayaannya setara ratusan triliun rupiah di masa kini. Rumah itu pernah menjadi pusat kemewahan, pesta dansa, dan kehadiran perempuan-perempuan cantik yang disebut sebagai gundik. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan dan bisik-bisik seram di balik tembok usang.

Tersebutlah seorang lelaki sederhana bernama Bejo yang sejak kecil tinggal di lantai bawah Gedhong Dhuwur. “Dulu waktu kecil, saya sering lihat wajan besar buat sembahyang, dan ada patung macan di gerbang depan. Tapi sekarang sudah hilang semua,” kenangnya. Lantai dua dibiarkan kosong. Tak ada yang berani tinggal di sana. Tak ada lampu yang menyala, hanya ada bayangan dan bau wangi samar yang datang tiba-tiba.

Suatu malam, Bejo p**ang dari warung. Ketika melewati lorong panjang, ia melihat sosok perempuan bergaun putih dengan rambut panjang. Wajahnya samar, tapi indah. Wewangian melati memenuhi udara. Bejo tertegun. Sosok itu menatapnya—mata teduh, namun penuh luka yang dalam. Lalu, ia lenyap begitu saja. Bejo jatuh terduduk, menggigil ketakutan.

Keesokan harinya, Bejo menceritakan kejadian itu kepada Pak Mantri, tetua kampung yang juga tinggal di sana. Pak Mantri mengangguk perlahan. “Kau sudah melihat dia... salah satu dari mereka,” katanya pelan. “Perempuan-perempuan yang tak pernah disebut dalam buku sejarah. Mereka yang hanya dikenal sebagai ‘gundik’, yang hidup dan mati tanpa nama.”

Ternyata, perempuan itu bukan satu-satunya. Warga yang tinggal di sekitar gedung itu juga kerap mencium bau kemenyan, mendengar suara tangisan di malam hari, atau melihat kawanan burung gagak beterbangan mengelilingi atap. Sosok perempuan Tionghoa dalam gaun putih menjadi penampakan yang paling sering muncul—ia menampakkan diri ketika bulan purnama menggantung di langit.

Dahulu, Tuan Oei memiliki banyak perempuan simpanan. Mereka bukan istri sah, hanya sekadar pelayan hasrat. Mereka tak boleh keluar rumah, tak punya hak, dan jika sakit atau melahirkan, semua ditangani diam-diam. Banyak dari mereka yang akhirnya mati dalam sunyi—karena sakit, patah hati, atau karena diperlakukan tak manusiawi.

Salah satu gundik, yang diyakini menghantui rumah itu, bernama Mei Lin. Ia masih muda ketika dijemput paksa untuk dijadikan gundik. Ia hamil, tapi bayinya meninggal karena tak mendapatkan perawatan. Mei Lin pun tak lama kemudian menyusul, gantung diri di kamar loteng, yang kini selalu terkunci. Sejak saat itu, kisah tentang arwahnya menyebar ke seluruh penjuru kota.

Orang-orang tua percaya, arwah para gundik di Gedhong Dhuwur tak tenang karena mereka mati tanpa penghormatan, tanpa keadilan. Dalam budaya yang menomorduakan perempuan, kisah mereka dilupakan. Namun arwah mereka terus hidup—bukan untuk menakuti, tapi untuk menunjukkan luka yang belum sembuh. Wujud mereka yang menyeramkan hanyalah pantulan dari penderitaan yang tak terucapkan.

Kisah ini menumbuhkan kesadaran baru di antara warga. Bejo dan beberapa pemuda desa akhirnya membersihkan bagian atas rumah, memasang pelita, dan meletakkan bunga di pojok lorong. “Kami tak tahu siapa nama mereka, tapi kami tahu mereka pernah hidup, pernah tersakiti,” ujar Bejo. Malam itu, bau melati masih ada, tapi tak ada lagi sosok hantu. Hanya udara damai yang mengelilingi rumah tua itu.

Gedhong Dhuwur kini bukan lagi rumah angker, melainkan tempat bersejarah. Warga menjaganya bukan karena takut, tapi karena hormat pada kisah perempuan-perempuan yang pernah ada di dalamnya. Perempuan bukan bayangan, bukan pelengkap, dan bukan hantu. Mereka adalah manusia seutuhnya yang layak dihormati, bahkan setelah mati.

Pesan Moral:
Dongeng ini mengingatkan kita bahwa kisah perempuan yang disembunyikan oleh sejarah tetap bergaung dalam lorong-lorong masa lalu. Ketika perempuan tak diberi suara semasa hidup, mereka akan mencari cara untuk didengar bahkan setelah mati. Hormati setiap manusia tanpa melihat jenis kelamin atau statusnya, karena luka yang diabaikan bisa menjadi jeritan abadi.

Inspirasi Terakhir di Rumah Tua CilacapNamaku Rinto. Tahun 2010 adalah masa ketika aku gila-gilanya menulis cerita horor...
01/08/2025

Inspirasi Terakhir di Rumah Tua Cilacap

Namaku Rinto. Tahun 2010 adalah masa ketika aku gila-gilanya menulis cerita horor untuk lomba majalah remaja. Sayangnya, di tengah padatnya kos di Yogyakarta dan gangguan suara motor berisik tiap malam, aku butuh tempat yang tenang. Kebetulan sahabat lamaku, Anton, tinggal di Cilacap dan rumah keluarganya sedang kosong. Ia menawarkan rumah itu padaku untuk menulis selama seminggu penuh. "Tenang, sepi, cocok buat cari inspirasi," katanya.

Aku tak banyak berpikir waktu itu. Lagip**a, rumah peninggalan orang tua Anton yang terletak di pinggiran hutan kecil itu memang terlihat nyaman. Rumah tua bergaya kolonial, berdinding kayu dengan jendela besar yang menghadap kebun singkong. Sunyi dan sedikit suram, tapi atmosfer seperti itu justru pas untuk cerita hororku.

Hari pertama dan kedua berjalan lancar. Aku menulis hampir sepanjang malam dengan kopi dan lagu instrumental sebagai teman. Anehnya, tiap lewat tengah malam, seperti ada suara berdesir di balik jendela. Seperti kain yang dikibaskan pelan-pelan. Tapi aku pikir itu cuma suara angin malam yang menggesek daun pisang.

Barulah malam ketiga, suasana berubah. Sekitar pukul dua dini hari, ketika aku sedang mengetik adegan keras**an, listrik tiba-tiba mati. Padahal sebelumnya langit cerah dan tidak ada hujan. Aku mencoba tenang. Kuambil senter dari tas dan menyalakannya, lalu duduk kembali. Tapi... di layar laptop yang mati, aku melihat pantulan bayangan putih berdiri di belakangku.

Aku reflek menoleh. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Tapi udara mendadak sangat dingin. Jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Bulu kudukku berdiri semua. Aku sadar, mungkin ini bukan hanya tentang inspirasi. Tapi tentang sesuatu... yang sudah memperhatikanku sejak malam pertama.

Aku bangkit, mencoba menyalakan kembali lampu, tapi tidak berhasil. Rumah itu benar-benar gelap. Hanya cahaya senter kecil yang kupunya. Aku melangkah ke jendela besar dan mengintip ke luar. Tak ada apa-apa kecuali bayangan pohon dan suara jangkrik. Tapi saat aku hendak kembali duduk, tiba-tiba kudengar suara perempuan menangis—samar, tapi nyata.

Suaranya seperti berasal dari belakang rumah. Suara yang lirih, menggema, seolah penuh kesedihan. Awalnya aku kira itu hanya halusinasiku. Tapi saat kudekatkan telinga ke celah papan, suara itu makin jelas. Tangisan... lalu disusul dengan suara tawa cekikikan yang khas. Tawa yang menyerupai retakan gelas—tinggi dan menyakitkan telinga.

Tanganku mulai gemetar. Aku mencoba menelepon Anton, tapi sinyal hilang. Entah kenapa, sinyal selalu hilang di rumah itu saat malam hari. Padahal siangnya baik-baik saja. Kutinggalkan ruang kerja dan menuju kamar, berharap bisa tidur dan melupakan semuanya.

Tapi saat aku membuka pintu kamar, tempat tidur yang rapi sebelumnya kini seperti telah diduduki seseorang. Spreinya kusut. Dan... ada bekas telapak tangan berwarna hitam di bantal. Bau amis menyengat memenuhi kamar. Seperti darah atau daging busuk yang dibiarkan terlalu lama.

Aku tak jadi masuk. Aku hanya berdiri di ambang pintu, mencoba berpikir jernih. Tapi saat itu... aku mendengar bisikan, pelan... sangat dekat di telingaku: “Kau datang untuk menulis aku, kan?”

Jantungku nyaris melompat keluar. Aku menoleh cepat ke kanan, ke kiri—tak ada siapa-siapa. Tapi bisikan itu... terlalu jelas, terlalu dekat. Suaranya seperti berasal dari rongga mulut yang busuk, berbisik di sisi leherku. Aku mundur, menutup pintu kamar keras-keras, lalu lari ke ruang tengah. Kupeluk tasku, berharap malam cepat berlalu.

Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin ini efek dari stres menulis cerita horor, pikirku. Tapi semuanya terlalu nyata untuk disebut ilusi. Saat aku masih berdiri termangu, suara tangisan itu kembali terdengar. Kali ini dari langit-langit rumah. Aku mend**gak—dan kulihat sesuatu menggantung.

Ia tidak memiliki wajah. Wajahnya hanya hitam, seperti hangus. Rambutnya panjang, menutupi hampir seluruh tubuh. Dan dari tubuhnya menetes cairan hitam pekat ke lantai, membentuk genangan kecil di bawahnya. Kuntilanak... pikirku spontan. Tapi kenapa aku bisa melihatnya dengan jelas? Bukankah mereka hanya muncul kepada orang tertentu?

Aku ingin kabur, tapi lututku lemas. Saat itu tubuhku terasa sangat berat. Seolah udara di sekitarku menekan, mencekik. Suara-suara aneh mulai berdatangan. Ada yang tertawa, ada yang memanggil namaku berkali-kali, ada p**a yang hanya mendesis pelan.

“Rinto... Rin... to... Riiiin... toooo... tuliiiiiissss.... aku…”

Entah bagaimana, aku berhasil bergerak. Aku lari keluar rumah, menabrak pintu yang tidak dikunci. Begitu aku menginjakkan kaki di luar, suara-suara itu hilang. Tapi tidak dengan rasa dingin dan aroma busuk yang masih melekat di tubuhku. Aku duduk di tanah, di bawah pohon singkong, berusaha mengatur napas.

Kuraih ponsel lagi. Kali ini sinyal kembali muncul. Tanpa berpikir panjang aku menelepon Anton. Saat dia menjawab, aku langsung teriak, “Ton, tolong! Rumahmu ada sesuatu! Aku lihat dia! Dia minta aku nulis tentang dia!”

Anton terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Dia memang sering begitu, Rin. Makanya rumah itu udah lama nggak ditinggali. Dulu ibu saya pernah kesurupan di sana. Katanya, ada penunggu perempuan yang mati gantung diri di loteng. Dan dia s**a orang yang s**a nulis...”

Kurasakan darahku mengalir lebih cepat. "Kenapa nggak bilang dari awal, Ton?"

"Aku pikir kau bisa tahan. Dia cuma muncul kalau kau terlalu dalam mikir atau nulis soal mereka."

Aku ingin marah, tapi tubuhku terlalu lelah. Aku akhirnya bermalam di mushola kecil dekat rumah warga, ditemani dua warga yang kuketuk rumahnya malam itu. Mereka bilang, aku beruntung bisa keluar dari rumah itu dalam keadaan sadar.

Keesokan paginya, aku kembali ke rumah itu sebentar—ditemani Anton. Ia baru tiba dari Purwokerto pagi itu. Bersama warga sekitar, kami membersihkan rumah dan mengambil barang-barangku. Ketika kami naik ke loteng... kami menemukan seutas tali tambang tua yang sudah berjamur, masih tergantung di balok kayu tua.

Anton hanya menatapku tanpa bicara. Salah satu warga berkata, "Dulu ada pembantu yang mati bunuh diri di situ. Namanya Sri. Sejak itu, rumah ini nggak pernah tenang."

Aku hanya mengangguk. Ada sesuatu di dalam diriku yang campur aduk—antara takut, penasaran, dan rasa bersalah. Mungkin aku memang tidak seharusnya mencari inspirasi dari hal-hal yang tidak sepantasnya diusik.

Sejak hari itu, aku tak pernah menulis cerita horor lagi. Setiap kali mencoba, aku merasa dia mengawasiku. Kadang dalam tidur, kadang dalam pantulan kaca laptopku. Dan yang paling sering... dalam suara bisikan di malam hari.

"Rinto... tuliiiss... aku..."

Sudah lima belas tahun berlalu sejak kejadian itu, tapi aku masih sering terbangun di tengah malam karena suara tawa kecil di telingaku. Istriku pernah bertanya kenapa aku tidak pernah menyelesaikan cerita hororku. Aku hanya tersenyum samar. Dia tidak tahu. Dan aku tak ingin dia tahu.

Kini aku tinggal di Bandung. Rumahku jauh dari hutan, jauh dari rumah panggung tua itu. Tapi kadang, kalau malam sedang terlalu sunyi, aku merasa seperti ada bayangan berdiri di pojok ruangan. Rambutnya panjang. Senyumnya... menyeringai. Dan matanya kosong.

Aku tahu itu dia. Aku tahu dia belum puas. Tapi aku tak akan menulisnya lagi. Tidak akan pernah. Bukan karena aku tak bisa. Tapi karena... aku tahu, jika aku menulis tentangnya sekali lagi, dia akan datang kembali. Bukan dalam bayangan. Tapi dalam wujud yang utuh.

Dan saat itu terjadi, mungkin tak ada lagi jalan keluar bagiku. Sama seperti Sri. Sama seperti... banyak nama lain yang tak sempat ditulis.

Jadi, jika kau pernah menulis cerita horor dan merasa terinspirasi secara tiba-tiba... tanyakan dulu: inspirasi itu datang dari mana.

Kost Senopati yang Tak Pernah SepiTempat baru. Suasana baru. Seharusnya itu pertanda awal yang menyenangkan, bukan? Tapi...
23/07/2025

Kost Senopati yang Tak Pernah Sepi

Tempat baru. Suasana baru. Seharusnya itu pertanda awal yang menyenangkan, bukan? Tapi tidak semua permulaan membawa rasa nyaman. Ada kalanya, sebuah tempat menyimpan jejak yang tak kasatmata—jejak yang menolak dilupakan, terus menetap, dan kadang… mengganggu siapa pun yang datang.

Begitu p**a dengan tempat kost di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Dari luar tampak biasa saja—deretan kamar sederhana, lorong yang bersih, dan suara kota yang sayup terdengar. Tapi, di balik dindingnya, ada cerita yang membuat bulu kuduk berdiri.

Seorang teman pernah tinggal di sana. Dan malam-malamnya tak pernah lagi sama sejak hari itu. Ini kisah nyata yang ia alami sendiri. Dengarkan baik-baik, karena bisa jadi… tempat kost yang kamu tempati sekarang juga menyimpan cerita serupa.

***
Jakarta, kota metropolitan yang sama sekali belum pernah aku kunjungi, kota besar dengan tingkat keruwetan di level tinggi. Tapi apa mau dikata, garis hidup menuntun aku untuk tinggal dan mencari nafkah di Ibu Kota negara ini.

Aku Ovie, perempuan 28 tahun asal Jambi. Sudah empat tahun lebih jadi penduduk Ibu kota, sejak lulus kuliah dulu. Mau gak mau, aku jadi terbiasa dengan ritme hidup dan suasana Jakarta.

Mungkin sama dengan banyak orang lain yang juga berstatus sebagai pendatang, waktu awal tinggal di Jakarta, aku harus melewati masa adaptasi yang sangat berat.

Suasana lingkungan, orang-orangnya, ritme hidup, semua sangat berbeda dengan yang aku rasakan dan alami sejak kecil di kampung halaman. Semuanya berbeda jauh, termasuk masalah tempat tinggal.

Kalau di Jambi, sejak lahir sampai kuliah aku tinggal di rumah orang tua bersama anggota keluarga lainnya. Di Jakarta aku harus kost, sendirian tinggal di tempat baru, lingkungan baru.

Ngomong-ngomong tentang kost, selama ini aku sudah merasakan tiga tempat berbeda, berpindah dengan segala pertimbangan dan penyebabnya.

Kenapa aku bisa sampai tiga kali pindah kost?
Pindah dari kost pertama, karena awalnya aku memang buru-buru untuk segera dapat tempat tinggal, jadi ya aku agak semberang memilih tempat kost, dengan pikiran “Ya sudahlah, yang penting ada tempat tinggal dulu.

Dan hasilnya, aku gak betah dengan lingkungannya, terlalu bebas menurutku.
Gak lama, hanya tiga bulan akhirnya aku memutuskan untuk cari kost baru.

Tempat kost kedua, tempatnya enak, homie banget, letaknya di tengah kota, tapi hanya sekitar enam bulan saja aku tinggal di tempat ini.

Kok cuma enam bulan? Karena gak tahan dengan ketakutan konstan yang aku alami.
Sampai akhirnya aku menemukan tempat kost ketiga, di daerah Gandaria, sampai sekarang aku masih tinggal di tempat ini.

Nah, malam ini aku akan cerita tentang pengalaman yang aku alami ketika tinggal di tempat kost yang kedua, tempat kost yang sangat nyaman.

Seperti yang ku bilang tadi, hanya sekitar enam bulan aku tinggal di sini. Sebentar? Gak, itu cukup lama bila melihat perjalanannya, sampai aku memutuskan untuk pindah, karena gak tahan dengan kejadian-kejadian seram yang makin lama makin sering terjadi.
Begini ceritanya..

***
Seperti yang sudah sedikit aku bahas tadi, kost pertama memang aku pilih karena terpaksa, saat itu harus sudah punya tempat tinggal, jadi ya sedapatnya saja.

Dan benar, di situ itu aku sama sekali gak betah, sudah lokasinya jauh dari tempat kerja, agak kumuh, pokoknya banyaklah hal yang akhirnya memaksaku untuk mencari kost baru dan pindah secepatnya.

Ya sudah, dengan bantuan dari OB kantor, aku akhirnya menemukan kost yang menurutku cukup nyaman, sangat nyaman malah.
Dari beberapa tempat kost sebelumnya yang sudah aku survey, rumah kost inilah yang paling nyaman, ditambah letaknya relatif dekat dengan kantor.

Perusahaan tempatku bekerja berkantor di salah satu gedung di kawasan SCBD, sementara tempat kost yang aku taksir ini letaknya di Senopati, benar-benar dekat, kalau mau rela untuk sedikit berkeringat maka aku bisa saja berjalan kaki p**ang pergi kantor.

Cukup sekali berkunjung dengan tujuan survey untuk melihat keadaannya, aku langsung memutuskan untuk segera pindah ke tempat baru ini.

Hingga pada satu hari sabtu di bulan Mei 2016, aku pindah ke tempat yang baru, tempat kost keduaku di Jakarta.
Kost ini berbentuk rumah besar, rumah yang letaknya di tengah-tengah perumahan yang besar juga, bisa dibilang perumahan orang kaya.

Akan tetapi, untuk wilayah kota besar, perumahan ini cukup sepi, jalan kompleknya cukup lebar dengan pohon rindang di kanan kiri. Jarang sekali terlihat penghuninya berinteraksi di luar rumah, paling hanya mobil mewah keluar masuk garasi dari setiap rumahnya, selebihnya sepi.

Rumah kost yang akan aku tempati juga begitu, rumah besar dengan halaman cukup luas, garasinya cukup untuk empat mobil. Nah, di belakangnya ternyata memiliki delapan kamar yang sengaja dibangun untuk disewakan sebagai tempat kost.

Semua kamar kost letaknya di lantai atas bagian belakang. Jadi kalau dilihat dari depan, rumah ini gak terlihat kalau di dalamnya ada tempat kost.

Pemiliknya adalah seorang Ibu yang sudah berumur sekitar 60 tahun, ke depannya aku akan memanggil beliau dengan panggilan Ibu Dewi.

Ibu Dewi tinggal di rumah itu dengan anak laki-lakinya. Bersama mereka ada dua asisten yang membantu mengerjakan kegiatan rutin harian, satu asisten juga membantu mencuci dan setrika dari para penghuni kost.
“Dari delapan kamar hanya terisi lima, tiga masih kosong. Dan kayaknya dua kamar penghuninya jarang p**ang, katanya sering tugas luar kota. Biasanya juga, kalau akhir pekan seperti ini, semua penghuni kost pada mudik ke kota asal. Jadi nanti kamu mungkin akan sendirian”

Begitu kata Bu Dewi ketika kami bercakap-sakap di teras rumah ketika aku baru saja sampai. Kebetulan, saat itu masih sedikit barang bawaan dari tempat kost sebelumnya, hanya pakaian dan beberapa perlengkapan.

“Semoga kamu betah ya, silakan kalau mau istirahat.” Begitu kata Bu Dewi menutup percakapan.

Cukup panjang lebar percakapan kami sore itu, banyak informasi baru yang aku dapat setelahnya.

Kesimp**annya, rumah kost ini memberikan beberapa fasilitas bagi penyewanya, seperti air minum dan dapat menggunakan dapur dan segala perlengkapannya, dapur berada di lantai bawah.

Selasai berbincang, aku lalu menuju kamarku.
Pertama-tama, aku harus masuk melalui garasi, di ujung belakang garasi ada tangga besi yang bentuknya melingkar, jadi aku harus berputar dua atau tiga kali menaikinya untuk sampai ke atas. Ketika sudah sampai di atas, barulah terlihat kalau rumah ini punya banyak kamar kost.

Kamar ada delapan, paling depan dekat tangga ada tiga kamar mandi untuk penghuni. Lalu setelah itu akan melewati dua kamar yang berhadapan, setelahnya ada ruang besar berisi sofa, meja, kursi kayu, TV, galon air minum, sepertinya ini adalah ruang tamu atau ruang tempat bersantai yang bisa digunakan bersama-sama.

Di samping ruang santai ini ada lorong panjang yang kanan kirinya ada enam kamar, kamarku letaknya di paling ujung sebelah kiri.
Nyaman, rumah ini sangat nyaman, hari itu sempat berpikir kalau aku mungkin akan lama tinggal di tempat ini, tapi ternyata..

***
Gak memakan waktu lama bagiku untuk membereskan barang-barang, ya memang masih sedikit yang aku punya.

Kamarku berukuran cukup besar, di dalamnya sudah tersedia lemari, tempat tidur, dan juga ber-AC. Gak perlu punya TV, karena di ruang tengah tadi sudah disediakan TV.

Kekurangannya cuma satu, jarak ke kamar mandi cukup jauh, akan jadi PR buatku apa bila harus buang air di tengah malam. Tapi ya sudahlah gak apa.

Selesai beberes, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur sambil melamun. Sampai akhirnya lelah memaksaku terlelap, padahal hari masih sore.

Cukup lama aku tertidur, sampai akhirnya terbangun kaget karena sadar kalau ternyata sudah hampir jam sembilan malam.
Mengucek-ngucek mata sebentar, kemudian aku memutuskan untuk mandi, badan terasa lengket karena aktifitas seharian.

Membawa handuk dan perlengkapan mandi, aku lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Tapi ketika sudah berada di ruang tamu, aku memutuskan untuk terlebih dahulu duduk di sofanya, berniat sebentar santai sambil menonton TV.

Sendirian aku di depan tv, dan aku yakin juga kalau sedang sendirian di lantai atas ini, karena sama sekali gak kelihatan penghuni kost lain, atau pun suara-suara kegiatan dari dalam kamar, sepi aja.

Tapi ternyata cukup lama aku berdiam sendirian di depan tv, sampai kira-kira jam setengah sepuluh aku masih asik menonton.
Nah ketika sedang asik sendiri inilah, aku mendengar sesuatu..

“Tak, tak, tak, tak..”
Aku mendengar suara langkah kaki bersepatu, menaiki tangga besi yang ada di ujung, sebelah kamar mandi.
“Ah, akhirnya ada penghuni kost yang datang.” Begitu pikirku dalam hati.
Tapi setelah aku tunggu, ternyata gak ada orang yang datang, lalu suara itu menghilang.

Penasaran, aku menoleh ke belakang, ke arah tangga. Benar, gak ada siapa-siapa, padahal aku sangat yakin kalau tadi mendengar suara langkah kaki naik tangga.

Ya sudahlah, mungkin ada yang mau naik tangga tapi gak jadi, positif aku berusaha berpikir.

Seketika itu juga aku memutuskan untuk mandi, lalu bangkit dari duduk menuju toilet.
Ada tiga kamar mandi, aku memilih yang paling pinggir dekat tangga.
Setelah selesai, ketika sedang berhanduk mengeringkan badan, tiba-tiba aku mendengar suara yang sama dengan yang aku dengar sebelumnya tadi.
“Tak, tak, tak, tak..”

Suara langkah kaki bersepatu itu terdengar lagi, sedang menaiki tangga.
Kali ini suaranya lebih jelas, karena aku sedang di pisisi sangat dekat dengan tangga. Aku yakin kalau itu suara orang sedang naik tangga.

Penasaran, lalu aku sedikit membuka pintu kamar mandi, mengintip ke luar.
Benar, sepersekian detik aku sempat melihat kalau ada seseorang yang melintas berjalan, lalu pandanganku terhalang dinding karena dia masuk lorong menuju ruang tamu. Sepertinya yang aku lihat barusan adalah perempuan, nampak jelas rambut panjangnya terurai dari belakang.

“Ah sukurlah, ada penghuni lain yang akhirnya datang.” Lagi-lagi aku merasa senang.
Setelah selesai, aku kembali ke kamar untuk berpakaian. Sementara itu, aku gak melihat lagi perempuan yang tadi naik, aku gak tahu dia masuk ke kamar yang mana. Sudah malam juga, lebih baik besok saja kalau aku berniat hendak berkenalan.

Sudah nyaris jam sebelas, gak terasa. Sebelum tidur, aku berniat untuk mengambil air minum di ruang tamu, persiapan kalau-kalau kehausan tengah malam nanti.

Kemudian, sekali lagi aku keluar kamar menuju ruang TV. Ruang tv gak terlalu terang, lampunya redup, tapi cukup untuk melihat sekeliling dengan jelas. Aku lalu mengisi botol minuman dengan air putih dari galon.

Setelah selesai, aku melangkah lagi ke kamar.
Ketika sedang tepat berada di depan kamar yang letaknya persis di depan kamarku, selintas aku mendengar sesuatu.
Ada suara tawa perempuan dari kamar itu, suara tawa diselingi dengan gumaman gak jelas.
“Oh ternyata perempuan tadi kamarnya di sini.” Begitu pikirku.

Gak terlalu penasaran, lalu aku masuk ke kamar dan menutup pintu. Di kamar, gak langsung tidur, karena sore tadi tidurku cukup lama jadinya rasa kantuk gak juga muncul, sampai tengah malam. Selama itu aku hanya bermain HP, scrolling menatap timeline medsos.

Sampai akhirnya, sekitar jam satu, ada kejadian aneh.
Ada yang menarik perhatian.
Awalnya, aku mendengar suara kalau sepertinya kamar yang persis di depanku pintunya terbuka. Sepertinya penghuninya hendak keluar.

Tapi, setelah pintu terbuka itu tak kedengaran apa-apa lagi, hening dan sepi.
Sampai akhirnya, aku mendengar ada suara perempuan sedang menangis..
Iya, ada perempuan menangis..
Aku lalu berdiri melangkah mendekati pintu, mendekatkan telinga, menajamkan pendengaran, coba menangkap suara dari luar.

Benar, ada perempuan menangis tersedu-sedu, bukan menangis dengan suara keras, tapi pelan tertahan. Aku yakin juga kalau suara itu asalnya bukan dari dalam kamar, tapi dari lorong depan.
Ada perempuan sedang menangis di depan kamarku.

Seketika itu juga, batinku berperang, antara hendak membuka pintu lalu melihat ke luar atau membiarkannya saja lalu kembali tidur.
Tapi, pada akhirnya aku memutuskan untuk membuka pintu.
Perlahan kuraih gagang pintu, lalu memutarnya.

Ada ragu dalam hati, makanya aku sangat pelan membuka pintu.
Sampai akhirnya, pintu terbuka lebar.
Lorong kamar kelihatan gelap, penerangan hanya bersumber dari lampu yang ada di kamarku saja.
Pandangan langsung ku arahkan ke kamar depan..
Ternyata kosong, gak ada siapa-siapa, gak ada orang, gak ada perempuan menangis. Pintu kamar depan juga dalam keadaan tertutup rapat.

Lalu siapa yang menangis tadi?
Tiba-tiba aku merinding, seketika itu juga langsung menutup pintu.
Di atas tempat tidur aku mulai ketakutan.
Siapa perampuan yang menangis tadi?
Entahlah,
Intinya, malam minggu itu aku habiskan dengan tidur gak nyenyak, memikirkan peristiwa yang baru terjadi sebelumnya.

***
Hari minggunya, aku bangun siang, sekitar jam 11 baru benar-benar terjaga. Setelah itu aku memutuskan untuk mandi.
Tapi, ketika lewat ruang tv dalam perjalanan menuju toilet, aku melihat ada seseorang sedang duduk menonton tv.
“Eh, penghuni baru ya? Perkenalkan gw Aldi, hehe.”

Aldi, saat itu juga kami berkenalan lalu berbincang panjang lebar. Aldi sepertinya laki-laki yang baik dan menyenangkan, kantornya di SCBD juga, sama seperti aku.
“Gw biasanya kalo wiken p**ang ke Karawang, tapi semalam nginep di kost-an temen sih, baru sampe ini juga.” Begitu Aldi bilang.
“Sendirian d**g Lo di sini tadi malam ya? Kan pada minggat kalo wiken.”
“Nggak Bang, kayaknya sekitar jam 10-an gitu ada yang dateng deh.” Jawabku.
“Lah tumben, siapa yang dateng? Yang di kamar mana?”
“Itu Bang, kamar itu.” Jawabku lagi sambil menunjuk kamar yang letaknya di belakang tv, persis di depan kamarku.
“Emang ada orang baru juga?” Tanya Aldi lagi.
“Gak tahu Bang, setahuku yang pindahan kemarin cuma aku deh.”
“Oh gitu,” Aldi mengangguk pelan, tapi dari raut wajahnya kelihatan kalau dia sepertinya agak bingung mendengar jawabanku.

Setelah itu Aldi seperti sengaja mengalihkan pembicaraan.
Dari percakapan siang itu, aku jadi dapat banyak info tambahan tentang tempat kost ini.

Manurut Aldi, yang paling sering tinggal di sini hanya dia dan Asty, dua penghuni lainnya jarang sekali kelihatan. Waktu itu Asty sedang mudik ke rumahnya di Bandung.

Siang hingga menjelang sore, aku habiskan berbincang dengan Aldi. Senang rasanya punya teman baru yang menyenangkan.

***
Hari-hari berikutnya aku jalani di rumah ini, sampai akhirnya bisa kenal dengan semua penghuni kost.

Tapi, seiring berjalannya waktu, semakin banyak kejanggalan dan keanehan yang aku rasakan. Awalnya hanya kejanggalan dan keanehan kecil yang bisa dianggap remeh, contohnya seperti:
Aku mendengar suara orang naik tangga padahal gak ada siapa-siapa, TV yang tiba-tiba menyala sendiri dengan volume tinggi, galon air minum mengeluarkan suara seperti ada yang menuangkan air, padahal gak ada orang sama sekali.

Keanehan itu banyak terjadi ketika aku sedang benar-benar sendirian di kost itu, di akhir pekan, ketika semua penghuninya mudik atau bermalam di tempat lain, kecuali aku.

Awalnya, semua kejanggalan itu aku anggap angin lalu, gak memperdulikannya, tapi lama kelamaan semakin menjadi-jadi, sementara penghuni kost lain seperti menghindar ketika aku membuka percakapan untuk membahasnya, semua seperti hendak menutupi sesuatu.

Yang mulai mengganggu, aku semakin sering mendengar suara perempuan menangis kadang tertawa, atau kadang seperti sedang bicara sendirian, semua itu aku mendengarnya dari kamar depan atau lorong depan kamar.

Siapa perempuan itu? Aku gak tahu, karena ya itu tadi, penghuni lain gak pernah mau menjelaskan.
Ya sudah, aku anggap penghuni kamar depan mungkin salah satu penghuni yang sering ke luar kota.
Mungkin saja.
Sampai akhirnya, ada kejadian sangat seram yang membuat aku memutuskan untuk pindah mencari kost lain.

***
Aku masih ingat, waktu itu jumat malam, semua penghuni sudah meninggalkan tempat kost untuk p**ang ke rumah masing-masing atau ke tempat lain, tinggal aku sendirian seperti biasanya..

Sep**ang kerja, selesai beberes dan mandi aku menghabiskan waktu di depan tv.
Sendirian aku asik tertawa cekikikan karena kelucuan acara yang sedang tayang, terkadang tawaku kencang karena saking lucunya.

Waktu itu belum terlalu malam, masih jam sembilan.
Tapi semakin malam, acara tv semakin lucu dan menarik, aku semakin sering tertawa cekikikan lepas.
Sampai ketika, aku harus mengecilkan volume tv karena mendengar ada yang aneh.

Sepertinya beberapa menit terakhir aku gak tertawa sendirian..
Seperti ada suara tawa lain mengiringi tawaku, seperti aku sedang tertawa berdua, entah dengan siapa.

Setelah suara tv senyap, suasana menjadi hening, gak ada suara apa-apa.
“Ah mungkin penghuni di bawah yang lagi cekikikan.” Begitu pikirku kemudian.

Ya sudah, aku lalu kembali menaikkan volume TV, lalu asik menonton acaranya.
Tapi sekitar jam sepuluh lewat tiba-tiba kantuk datang, lelah tubuh membuatku gak tahan lagi untuk terlelap.
Akhirnya aku tertidur di sofa depan tv.

***
“Hihihihi..”
Ada suara cekikikan,
Cekikikan perempuan,
Suara itu membangunkanku dari tidur.
TV masih menyala, di atasnya ada jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka satu.

Sudah lewat tengah malam ternyata.
“Hihihihi..”
Sekali lagi suara itu terdengar.
Siapa yang cekikan tengah malam begini?
Suara tawa yang sangat jelas terdengar, dari arahnya aku yakin kalau asalnya dari sekitar kamar mandi.

Yang tadinya lemas karena baru saja terjaga, aku jadi segar karena suara ini, suara yang tentu saja membuat suasana jadi mencekam dan semakin mencekam.
Bulu kuduk berdiri, aku merinding ketika suara cekikikan itu kembali muncul.
“Hihihihi..”

Rasa takut mulai memonopoli isi jiwa, menyeruak ke seluruh rongga kepala.
Pada detik itu aku memutuskan untuk meninggalkan ruang tv lalu masuk kamar, melarikan diri.

Namun ketika sudah bangkit dari duduk ingin melangkah ke kamar, ketika posisi sudah berada di tempat yang bisa melihat kamar mandi, reflek aku menoleh ke kiri karena mendengar tawa cekikikan itu sekali lagi.

“Hihihihi..”
Pada saat itulah akhirnya aku bisa melihat sumber suara.
Di ujung lorong, di sebelah kamar mandi depan tangga besi, aku melihat sosok perempuan sedang duduk di lantai dengan rambut panjang terurai, wajahnya pucat dengan lingkar gelap di sekitar mata, dengan mimik seram lagi-lagi dia tertawa cekikikan sambil menatap tajam.

Sontak aku langsung mempercepat langkah menuju kamar, ketakutan sangat.
Tapi ketika sudah tepat berada di depan pintu, lagi-lagi aku melirik ke tempat sosok perempuan seram itu berada.

Semakin mengerikan, karena ternyata dia sudah gak di posisinya, sudah gak duduk lagi, sosok seram itu kini sedang berjalan pelan menyusuri lorong menuju tempat aku berada.
Tuhan, aku takut. Dari ujung mata aku masih dapat melihat kalau perempuan itu semakin dekat dan semakin dekat.

Tapi akhirnya aku sukses membuka pintu, cepat-cepat masuk kamar lalu menutup pintu rapat-rapat. Tempat tidur adalah tujuan utama, sambil berselimut ketakutan aku terbaring di atasnya.

Suasana semakin mencekam karena selama itu p**a suara tawa cekikikan terus terdengar semakin jelas, semakin dekat.

Sampai akhirnya suara tawa berhenti, sepertinya berhenti tepat di depan pintu kamar. Seketika itu, suasana menjadi hening dan sepi, gak ada suara sama sekali.
Perlahan aku menarik selimut hingga menutup tubuh sampai sebatas mulut, ketika melihat gagang pintu kamar bergerak-gerak dengan sendirinya, ada yang coba membukanya dari luar!

Sial, aku tadi lupa mengunci pintu.
Gemetar tubuhku menyaksikan itu semua, desir darah terasa mengalir lebih cepat dari biasanya.

Nyaris menangis, ketika akhirnya aku melihat sosok perempuan menyeramkan itu tengah berdiri di luar kamar, ketika perlahan pintu akhirnya terbuka.

Dia berdiri menatap tajam, tersenyum dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Kemudian dia mulai bergerak masuk ke dalam kamar.

Aku yang sudah di puncak ketakutan, melihat itu semua langsung menarik selimut hingga menutup wajah, lalu memiringkan tubuh jadi menghadap dinding. Gak tahan lagi, aku menangis pelan..
“Hihihihi..”

Sekali lagi tertawa, kali ini jelas terdengar kalau dia sedang berdiri tepat di belakangku, di samping tempat tidur.

Beberapa belas detik kemudian, kejadiannya semakin parah, aku merasa kalau seperti ada yang mengisi ruang kosong di atas tempat tidur, ada yang merebahkan tubuhnya di sampingku, aku merasakan ada yang menempel di punggungku..

Aku yakin, kalau sosok perempuan menyeramkan itu sedang terbaring di atas tempat tidur, bersamaku.
“Hihihihi..”

Benar, dia lalu tertawa cekikikan pelan, jelas terdengar karena memang asal suara sangat dekat dengan telinga.

Aku menangis dalam diam, sejadi-jadinya.
Sampai ketika, perlahan hawa hangat datang menyentuh kulit, merayap dari punggung hingga ke seluruh tubuh.
Gak tahan, detik berikutnya aku gak ingat apa-apa lagi.

***
Sungguh peristiwa terseram yang pernah aku alami selama hidup.
Gak berpikir panjang, besoknya aku langsung memutuskan untuk cari tempat kost baru, aku takut.

Sambil menunggu dapat tempat baru, aku menginap di rumah salah satu teman kantor, dia berbaik hati mau menampung untuk sementara waktu.
***

Selang seminggu kemudian, aku bertemu Aldi di tempat kost, pada saat itulah kami akhirnya bisa berbincang panjang lebar ketika memutuskan untuk makan malam bersama.
“Jadi kamar depan kamar lo itu kosong dari dulu, gak pernah ada yang tahan lama tinggal di situ, termasuk kamar lo juga, sering kosong.”

“Gw tau ceritanya dari penghuni kost lama yang udah pindah.”
“Kostan itu emang serem, angker, makanya gw juga mau pindah, minggu depanlah gw pindah ke kost baru. Asty juga udah duluan pindah kan kemarin, sama, dia juga ketakutan, hahaha.”
“Katanya, dulu banget di kost itu pernah ada yang meninggal, perempuan, gak jelas kenapa meninggalnya. tapi gw gak tau di kamar yang mana.”

“Makanya gw seneng akhirnya lo pindah juga.”
Aldi menjelaskan panjang lebar, aku hanya ternganga mendengar ceritanya.
“Kenapa gak cerita dari awal sih Bang? Tega amat deh.” Aku bilang begitu.

“Ya gak enaklah, masa iya gw udah cerita begituan sama anak baru. Hehehe.”
Begitulah, cerita dari Aldi semakin membulatkan tekadku untuk pindah.
Sampai akhirnya menemukan tempat kost baru, yang aku tempati sampai sekarang.

***
Sekian cerita kali ini, Tetap waspada buat yang baru aja tinggal di tempat kost baru.
Tetap sehat, supaya bisa terus deg-degan bareng. Wassalam.



Address

Banjar
46323

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Horror Nusantara posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Horror Nusantara:

Share