10/12/2025
Perjalanan Malam Ke Pangandaran
Sore hari, April tanggal 15 tahun 1995
Aku yang bekerja di sebuah tempat usaha kuliner di daerah Bandung, mendapat kabar dari seorang sahabat yang baru datang dari Pangandaran. Sahabatku ini bekerja di samping tempat kerjaku. Rupanya dia dititipi pesan oleh bibiku yang ada di Pangandaran bahwa bibiku mau ada acara menikahkan anaknya.
Intinya, aku diminta datang lah ke sana. Aku di Bandung sudah berkeluarga dan memiliki rumah kecil di daerah Cijerah.
Hari itu hujan gerimis mengguyur lembut jalanan Bandung. Aku, sudah bersiap-siap untuk memulai perjalanan ke Pangandaran, memenuhi undangan bibiku. Istriku yang sedang punya anak kecil tadinya mau ikut, sudah bersiap-siap malah. Tapi akhirnya batal karena si kecil mendadak rewel dan badannya panas. Akhirnya, aku antarkan ke dokter anak langganan lalu setelah urusan beres aku berniat ke Pangandaran sore itu juga, walau sebenarnya berat karena tahu anakku sedang sakit. Tapi setelah berdiskusi sebentar dengan istri, akhirnya aku jadi untuk pergi.
Karena istri tidak jadi ikut, akhirnya aku mengajak teman agar diperjalanan nanti aku tidak kesepian. Aku mengajak Kuswoyo yang sering aku panggil Yoyo. Juga seorang teman lagi bernama Asep. Jadi kami bertiga sudah siap untuk berangkat.
Hujan makin deras ketika aku sudah memegang kemudi mobil sedan antik tua yang telah menemaniku bertahun-tahun. Di sampingku duduk Yoyo, teman yang terkenal cerewet, sementara di kursi belakang ada Asep, yang lebih pendiam namun selalu setia dan selalu mau jika aku ajak kemana-mana.
Yoyo dan Asep ini pernah beberapa kali saya ajak ke rumah bibiku yang akan kami datangi. Mereka bahkan hafal jalan alternatif yang biasa aku lewati jika ke Pangandaran.
Mobil yang kami kendarai terus melaju di atas aspal. Perjalanan ditengah guyuran hujan tidak terasa dingin karena candaan Yoyo yang selalu ada saja bahan untuk kami tertawa. Namanya mobil tua, beberapa kali mengalami mogok dijalan, membuat perjalanan semakin lama saja.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setibanya di Tasikmalaya, jalanan macet karena ada longsor yang menutup sebagian badan jalan.
"Ini macet banget, Ton! Kayak parade motor malam Minggu!" keluh Yoyo sambil menyandarkan kepalanya.
Aku menghela napas panjang. "Iya, Yo. Kayaknya kita harus ambil jalur alternatif. Lewat jalan yang pernah kita lewati dulu , lewat Cekos Salopa, meskipun agak kurang mulus, tapi setidaknya nggak stuck begini ya."
Padahal, aku rencananya mau lewat kota Banjar walau jauh tapi jalanan relatif mulus dengan penerangan jalan yang sangat baik.
"Ya udahlah, gas aja. Kalau nggak lewat sana, kapan sampai?" sahut Asep dari belakang, tiba-tiba komentar, kirain sudah tidur karena dari tadi dia diam saja.
Tanpa berpikir panjang, aku putar arah karena jalur alternatif itu sudah kelewatan di belakang lumayan jauh. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya harus berbelok ke jalur alternatif, jalan perkampungan dengan penerangan seadanya. Saya sudah beberapa kali lewat jalur ini karena memang bisa memotong jalan, lumayan untuk mempersingkat waktu daripada lewat kota Banjar, akan jauh sekali.
Semakin jauh kami melaju, suasana makin sunyi. Awalnya kami masih berpapasan dengan beberapa kendaraan, namun semakin lama jalanan menjadi kosong. Aku menenangkan diri dengan berpikir bahwa ini wajar, mengingat mereka melalui jalan kampung, hujan masih deras p**a. Rupanya, hujan malam itu merata, karena dari awal berangkat dari Bandung hujan tidak berhenti.
"Aneh juga ya, biasanya jalan kampung nggak sepi-sepi amat," gumam Yoyo sambil melirik keluar jendela. Suasana di luar gelap tapi terlihat masih banyak lampu dari pemukiman warga yang jaraknya agak berjauhan satu sama lain. Pemandangan di luar sudah didominasi oleh Rumpun Bambu, pohon-pohon kelapa dan ladang warga. Ditambah jalan yang berbukit dan berkelok-kelok, membuat aku harus selalu waspada
"Ah, paling orang-orang lebih milih jalan utama," jawabku, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai timbul.
Tiba-tiba, mobil terasa tidak stabil. Suara berderak pelan mulai terdengar. "Ton, ini mobil kenapa? Kayak nggak enak jalannya," kata Asep.
"Aku juga ngerasain. Kayaknya kita berhenti dulu deh, periksa mobilnya," jawabku sambil menepikan mobil, kebetulan aku lihat di depan tidak jauh dari situ ada sebuah bangunan, rupanya sebuah pos ronda yang malam itu sedang tidak digunakan dan kondisinya gelap. Tidak jauh dari pos ronda ada sebuah bangunan rumah yang terasnya terang oleh lampu neon panjang.
Setelah kami berhenti,
Kami bertiga keluar, hujan masih turun deras. Dengan payung yang memang selalu saya siapkan di dalam mobil, aku membuka kap mesin, sementara Yoyo dan Asep duduk di bangku pos ronda. Suasana dingin dan sunyi semakin menambah kesan menyeramkan.
"Yo, kamu liat nggak tadi? Jalan ini kok ada pertigaan ya?" tanya Asep sambil menggosok tangannya yang dingin.
"Iya. Padahal setahuku, jalan ini dulu lurus terus. Tapi mungkin ada perubahan jalan," jawab Yoyo, meski ragu.
Aku yang mendengar obrolan mereka tidak ngeh, karena aku pikir mereka mungkin salah lihat atau lupa, aku juga tidak memperhatikan itu tadi saat mengemudi.
Setelah memastikan mobil baik-baik saja, kami memutuskan untuk istirahat sebentar di pos ronda sambil merokok. Tidak banyak obrolan yang kami lakukan. Kedua temanku malah lebih banyak mengeluh kedinginan.
Setelah dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Sekitar dua jam kemudian, kami melihat kerumunan orang di depan sebuah rumah. Lampu-lampu terang benderang, suara musik jaipong menggema di udara, padahal hujan masih cukup deras tapi kami bisa mendengar dengan baik.
"Wah, ada acara, tuh! Seru banget kayaknya," ujar Yoyo sambil menurunkan kaca jendela.
Aku memperlambat laju mobil. "Kita pelan-pelan aja biar nggak ganggu mereka. Lumayan hiburan."
Di depan kami, di jalanan yang kami lalui, terlihat banyak kerumunan orang sedang menonton acara tersebut. Entah acara apa, tapi kami pikir itu acara hiburan dirumah orang sedang hajatan. Ciri khas di kampung jika ada acara hiburan pasti rame orang bergerombol untuk nonton.
Lampu redup mobilku belum begitu jelas melihat mereka karena jarak yang masih puluhan meter ditambah hujan yang membuat kabut di kaca depan.
Kami terus melaju pelan, hingga akhirnya kami sudah cukup dekat dengan tempat acara keramaian itu. Tapi tetap belum melihat secara jelas, acara apa sih itu..?
Yoyo masih membuka kaca samping sambil terus ngoceh tentang keramaian yang ia lihat. Asep juga memperhatikan dari balik kaca. Hingga akhirnya kami sudah bisa melihat dengan sangat jelas..
Aku spontan menginjak rem secara mendadak. Ketakutan yang teramat sangat..
"Astaga... itu orang-orangnya..." Aku tidak bisa melanjutkan kata-kata.
Asep, yang menatap dengan mata terbelalak, berteriak, "Mereka nggak punya wajah, Ton! Mukanya rata semua!"
Yoyo, yang tadinya ngoceh, hanya bisa menganga sambil buru-buru menutup kaca mobil.
Kami melihat sesuatu yang sangat menyeramkan di tengah guyuran hujan, suara sinden dan kerumunan orang itu seperti patung-patung hidup, menari dengan gerakan kaku sambil menghadap ke arah kami. Tanpa pikir panjang, aku memacu mobilnya secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Setelah melaju tanpa henti, kami tiba di jalan yang mulus. Aku menghela napas lega. Aku kira memang sudah sampai di jalur utama karena jalan itu lebar dengan aspal bergaris-garis Marka jalan.
"Kita sudah di jalan utama. Kita istirahat di warung itu dulu," kataku sambil menunjuk sebuah warung kecil di pinggir jalan.
Kami akhirnya duduk di emperan warung yang sederhana. Penjaga warung, seorang perempuan tua, menghampiri kami, dan kami pesan tiga gelas kopi hitam. Nenek itu sepertinya agak tuli karena kami ngomong harus beberapa kali baru ia mengangguk dan mengerti. Setelah beberapa saat, pemilik warung pun datang dan meletakkan tiga cangkir kopi panas di atas meja.
"Bu, tadi di jalan kami lihat... orang-orang aneh," kata Yoyo, tiba-tiba mulai bercerita pada pemilik warung.
Tapi perempuan tua itu tidak merespons. Mungkin benar dia tuli, Pikirku. Wajahnya tertutup bayangan dari kerudung yang ia kenakan.
"Aneh banget. Kayak dia nggak dengar," bisik Asep. Aku pun mengangguk, walau memang aku tidak memikirkan hal itu juga.
Setelah menghabiskan kopi, aku memanggil penjaga warung untuk membayar. Beberapa kali kami memanggil perempuan tua itu tidak juga muncul. Akhirnya aku mencari ke bagian dapur, warung itu ada dua ruangan, satu ruangan untuk pembeli duduk dan mungkin makan karena ada meja dan bangku panjang, saat itu kami hanya duduk-duduk di depan warung di bangku panjang juga.
Ketika saya masuk, langsung ke bagian dapur, aku spontan keluar dengan wajah ketakutan..
Di dapur itu, aku melihat perempuan tua itu ada di sana...
Tapi wujudnya sangat menakutkan,
Saat aku masuk, perempuan tua itu membuka kerudung yang menutupi kepalanya..
"Ya Tuhan! Dia juga tanpa wajah, sama seperti orang-orang tadi!"
Saat aku sudah berada di luar, aku semakin ketakutan, di luar warung aku melihat Yoyo dan Asep sudah tergeletak di emperan warung, mereka pingsan. Dan di dekatnya ada satu sosok pocong yang melayang-layang..
Aku berteriak histeris, ketakutan...namun tiba-tiba pandanganku gelap. Aku pingsan seketika.
Keesokan paginya, kami ditemukan oleh seorang petani di area pemakaman desa. Mobilku terparkir agak jauh, ada di jalan desa.
"Saya nggak ngerti, Pak. Kami kok bisa di sini?" tanyaku dengan gemetar.
Petani itu hanya menggeleng. "Kalian harus bersyukur masih selamat. Tempat ini terkenal angker. Banyak yang mengalami hal seperti ini ketika masuk ke daerah sini tanpa berdoa. Warga asli sini saja pernah tiga hari tidak ketemu, tahu-tahu ada di makam ini, berada di dalam keranda itu" kata petani itu sambil menunjuk keranda jenazah yang tersimpan di sebuah bangunan tanpa dinding di tengah area makam tersebut.
Hari itu juga aku melanjutkan perjalanan ke tempat bibiku, disana kami bercerita tentang pengalaman kami, hingga banyak yang menyarankan agar kami nantinya p**ang ke Bandung berangkat pagi-pagi saja dari Pangandaran.
Ya, malam itu benar-benar pengalaman yang hingga kini selalu kami ingat. Dan sejak kejadian itu, aku tidak pernah berani melewati jalur alternatif Cekos Salopa lagi jika malam hari.
Oh iya, Asep teman saya waktu itu, kini sudah meninggal, tapi kenangan bersama almarhum akan tetap aku ingat, Asep meninggal pas rame pandemi covid. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik disisi-Nya, serta diterima amal baik dan pengampunan atas dosa yang mungkin pernah diperbuat, Aamiin..
***
Sampai jumpa di cerita berikutnya. Dan tentunya semakin mencekam. Semoga terhibur. Terimakasih.
Buat sobat yang tidak s**a cerita horror, bisa baca cerita yang lebih ramah anak dan inspiratif harian, dengan mengikuti kami di Cerita Dongeng Indonesia