Cerita Horror Nusantara

Cerita Horror Nusantara Cerita Horror Nusantara adalah wahana hiburan tentang kisah hantu dan misteri Indonesia dan dunia. Wahana Hiburan dan Cerita Horror Indonesia.
(1)

Kami menyajikan berbagai cerita seram dan cerita mistis yang ada di Indonesia dan berbagai negara.

Perjalanan Malam Ke PangandaranSore hari, April tanggal 15 tahun 1995Aku yang bekerja di sebuah tempat usaha kuliner di ...
10/12/2025

Perjalanan Malam Ke Pangandaran

Sore hari, April tanggal 15 tahun 1995
Aku yang bekerja di sebuah tempat usaha kuliner di daerah Bandung, mendapat kabar dari seorang sahabat yang baru datang dari Pangandaran. Sahabatku ini bekerja di samping tempat kerjaku. Rupanya dia dititipi pesan oleh bibiku yang ada di Pangandaran bahwa bibiku mau ada acara menikahkan anaknya.

Intinya, aku diminta datang lah ke sana. Aku di Bandung sudah berkeluarga dan memiliki rumah kecil di daerah Cijerah.

Hari itu hujan gerimis mengguyur lembut jalanan Bandung. Aku, sudah bersiap-siap untuk memulai perjalanan ke Pangandaran, memenuhi undangan bibiku. Istriku yang sedang punya anak kecil tadinya mau ikut, sudah bersiap-siap malah. Tapi akhirnya batal karena si kecil mendadak rewel dan badannya panas. Akhirnya, aku antarkan ke dokter anak langganan lalu setelah urusan beres aku berniat ke Pangandaran sore itu juga, walau sebenarnya berat karena tahu anakku sedang sakit. Tapi setelah berdiskusi sebentar dengan istri, akhirnya aku jadi untuk pergi.

Karena istri tidak jadi ikut, akhirnya aku mengajak teman agar diperjalanan nanti aku tidak kesepian. Aku mengajak Kuswoyo yang sering aku panggil Yoyo. Juga seorang teman lagi bernama Asep. Jadi kami bertiga sudah siap untuk berangkat.

Hujan makin deras ketika aku sudah memegang kemudi mobil sedan antik tua yang telah menemaniku bertahun-tahun. Di sampingku duduk Yoyo, teman yang terkenal cerewet, sementara di kursi belakang ada Asep, yang lebih pendiam namun selalu setia dan selalu mau jika aku ajak kemana-mana.

Yoyo dan Asep ini pernah beberapa kali saya ajak ke rumah bibiku yang akan kami datangi. Mereka bahkan hafal jalan alternatif yang biasa aku lewati jika ke Pangandaran.

Mobil yang kami kendarai terus melaju di atas aspal. Perjalanan ditengah guyuran hujan tidak terasa dingin karena candaan Yoyo yang selalu ada saja bahan untuk kami tertawa. Namanya mobil tua, beberapa kali mengalami mogok dijalan, membuat perjalanan semakin lama saja.

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setibanya di Tasikmalaya, jalanan macet karena ada longsor yang menutup sebagian badan jalan.

"Ini macet banget, Ton! Kayak parade motor malam Minggu!" keluh Yoyo sambil menyandarkan kepalanya.

Aku menghela napas panjang. "Iya, Yo. Kayaknya kita harus ambil jalur alternatif. Lewat jalan yang pernah kita lewati dulu , lewat Cekos Salopa, meskipun agak kurang mulus, tapi setidaknya nggak stuck begini ya."

Padahal, aku rencananya mau lewat kota Banjar walau jauh tapi jalanan relatif mulus dengan penerangan jalan yang sangat baik.

"Ya udahlah, gas aja. Kalau nggak lewat sana, kapan sampai?" sahut Asep dari belakang, tiba-tiba komentar, kirain sudah tidur karena dari tadi dia diam saja.

Tanpa berpikir panjang, aku putar arah karena jalur alternatif itu sudah kelewatan di belakang lumayan jauh. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya harus berbelok ke jalur alternatif, jalan perkampungan dengan penerangan seadanya. Saya sudah beberapa kali lewat jalur ini karena memang bisa memotong jalan, lumayan untuk mempersingkat waktu daripada lewat kota Banjar, akan jauh sekali.

Semakin jauh kami melaju, suasana makin sunyi. Awalnya kami masih berpapasan dengan beberapa kendaraan, namun semakin lama jalanan menjadi kosong. Aku menenangkan diri dengan berpikir bahwa ini wajar, mengingat mereka melalui jalan kampung, hujan masih deras p**a. Rupanya, hujan malam itu merata, karena dari awal berangkat dari Bandung hujan tidak berhenti.

"Aneh juga ya, biasanya jalan kampung nggak sepi-sepi amat," gumam Yoyo sambil melirik keluar jendela. Suasana di luar gelap tapi terlihat masih banyak lampu dari pemukiman warga yang jaraknya agak berjauhan satu sama lain. Pemandangan di luar sudah didominasi oleh Rumpun Bambu, pohon-pohon kelapa dan ladang warga. Ditambah jalan yang berbukit dan berkelok-kelok, membuat aku harus selalu waspada

"Ah, paling orang-orang lebih milih jalan utama," jawabku, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai timbul.

Tiba-tiba, mobil terasa tidak stabil. Suara berderak pelan mulai terdengar. "Ton, ini mobil kenapa? Kayak nggak enak jalannya," kata Asep.

"Aku juga ngerasain. Kayaknya kita berhenti dulu deh, periksa mobilnya," jawabku sambil menepikan mobil, kebetulan aku lihat di depan tidak jauh dari situ ada sebuah bangunan, rupanya sebuah pos ronda yang malam itu sedang tidak digunakan dan kondisinya gelap. Tidak jauh dari pos ronda ada sebuah bangunan rumah yang terasnya terang oleh lampu neon panjang.

Setelah kami berhenti,
Kami bertiga keluar, hujan masih turun deras. Dengan payung yang memang selalu saya siapkan di dalam mobil, aku membuka kap mesin, sementara Yoyo dan Asep duduk di bangku pos ronda. Suasana dingin dan sunyi semakin menambah kesan menyeramkan.

"Yo, kamu liat nggak tadi? Jalan ini kok ada pertigaan ya?" tanya Asep sambil menggosok tangannya yang dingin.

"Iya. Padahal setahuku, jalan ini dulu lurus terus. Tapi mungkin ada perubahan jalan," jawab Yoyo, meski ragu.

Aku yang mendengar obrolan mereka tidak ngeh, karena aku pikir mereka mungkin salah lihat atau lupa, aku juga tidak memperhatikan itu tadi saat mengemudi.

Setelah memastikan mobil baik-baik saja, kami memutuskan untuk istirahat sebentar di pos ronda sambil merokok. Tidak banyak obrolan yang kami lakukan. Kedua temanku malah lebih banyak mengeluh kedinginan.

Setelah dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Sekitar dua jam kemudian, kami melihat kerumunan orang di depan sebuah rumah. Lampu-lampu terang benderang, suara musik jaipong menggema di udara, padahal hujan masih cukup deras tapi kami bisa mendengar dengan baik.

"Wah, ada acara, tuh! Seru banget kayaknya," ujar Yoyo sambil menurunkan kaca jendela.

Aku memperlambat laju mobil. "Kita pelan-pelan aja biar nggak ganggu mereka. Lumayan hiburan."

Di depan kami, di jalanan yang kami lalui, terlihat banyak kerumunan orang sedang menonton acara tersebut. Entah acara apa, tapi kami pikir itu acara hiburan dirumah orang sedang hajatan. Ciri khas di kampung jika ada acara hiburan pasti rame orang bergerombol untuk nonton.

Lampu redup mobilku belum begitu jelas melihat mereka karena jarak yang masih puluhan meter ditambah hujan yang membuat kabut di kaca depan.

Kami terus melaju pelan, hingga akhirnya kami sudah cukup dekat dengan tempat acara keramaian itu. Tapi tetap belum melihat secara jelas, acara apa sih itu..?

Yoyo masih membuka kaca samping sambil terus ngoceh tentang keramaian yang ia lihat. Asep juga memperhatikan dari balik kaca. Hingga akhirnya kami sudah bisa melihat dengan sangat jelas..

Aku spontan menginjak rem secara mendadak. Ketakutan yang teramat sangat..

"Astaga... itu orang-orangnya..." Aku tidak bisa melanjutkan kata-kata.

Asep, yang menatap dengan mata terbelalak, berteriak, "Mereka nggak punya wajah, Ton! Mukanya rata semua!"

Yoyo, yang tadinya ngoceh, hanya bisa menganga sambil buru-buru menutup kaca mobil.

Kami melihat sesuatu yang sangat menyeramkan di tengah guyuran hujan, suara sinden dan kerumunan orang itu seperti patung-patung hidup, menari dengan gerakan kaku sambil menghadap ke arah kami. Tanpa pikir panjang, aku memacu mobilnya secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Setelah melaju tanpa henti, kami tiba di jalan yang mulus. Aku menghela napas lega. Aku kira memang sudah sampai di jalur utama karena jalan itu lebar dengan aspal bergaris-garis Marka jalan.

"Kita sudah di jalan utama. Kita istirahat di warung itu dulu," kataku sambil menunjuk sebuah warung kecil di pinggir jalan.

Kami akhirnya duduk di emperan warung yang sederhana. Penjaga warung, seorang perempuan tua, menghampiri kami, dan kami pesan tiga gelas kopi hitam. Nenek itu sepertinya agak tuli karena kami ngomong harus beberapa kali baru ia mengangguk dan mengerti. Setelah beberapa saat, pemilik warung pun datang dan meletakkan tiga cangkir kopi panas di atas meja.

"Bu, tadi di jalan kami lihat... orang-orang aneh," kata Yoyo, tiba-tiba mulai bercerita pada pemilik warung.

Tapi perempuan tua itu tidak merespons. Mungkin benar dia tuli, Pikirku. Wajahnya tertutup bayangan dari kerudung yang ia kenakan.

"Aneh banget. Kayak dia nggak dengar," bisik Asep. Aku pun mengangguk, walau memang aku tidak memikirkan hal itu juga.

Setelah menghabiskan kopi, aku memanggil penjaga warung untuk membayar. Beberapa kali kami memanggil perempuan tua itu tidak juga muncul. Akhirnya aku mencari ke bagian dapur, warung itu ada dua ruangan, satu ruangan untuk pembeli duduk dan mungkin makan karena ada meja dan bangku panjang, saat itu kami hanya duduk-duduk di depan warung di bangku panjang juga.

Ketika saya masuk, langsung ke bagian dapur, aku spontan keluar dengan wajah ketakutan..

Di dapur itu, aku melihat perempuan tua itu ada di sana...
Tapi wujudnya sangat menakutkan,
Saat aku masuk, perempuan tua itu membuka kerudung yang menutupi kepalanya..

"Ya Tuhan! Dia juga tanpa wajah, sama seperti orang-orang tadi!"

Saat aku sudah berada di luar, aku semakin ketakutan, di luar warung aku melihat Yoyo dan Asep sudah tergeletak di emperan warung, mereka pingsan. Dan di dekatnya ada satu sosok pocong yang melayang-layang..

Aku berteriak histeris, ketakutan...namun tiba-tiba pandanganku gelap. Aku pingsan seketika.

Keesokan paginya, kami ditemukan oleh seorang petani di area pemakaman desa. Mobilku terparkir agak jauh, ada di jalan desa.

"Saya nggak ngerti, Pak. Kami kok bisa di sini?" tanyaku dengan gemetar.

Petani itu hanya menggeleng. "Kalian harus bersyukur masih selamat. Tempat ini terkenal angker. Banyak yang mengalami hal seperti ini ketika masuk ke daerah sini tanpa berdoa. Warga asli sini saja pernah tiga hari tidak ketemu, tahu-tahu ada di makam ini, berada di dalam keranda itu" kata petani itu sambil menunjuk keranda jenazah yang tersimpan di sebuah bangunan tanpa dinding di tengah area makam tersebut.

Hari itu juga aku melanjutkan perjalanan ke tempat bibiku, disana kami bercerita tentang pengalaman kami, hingga banyak yang menyarankan agar kami nantinya p**ang ke Bandung berangkat pagi-pagi saja dari Pangandaran.

Ya, malam itu benar-benar pengalaman yang hingga kini selalu kami ingat. Dan sejak kejadian itu, aku tidak pernah berani melewati jalur alternatif Cekos Salopa lagi jika malam hari.

Oh iya, Asep teman saya waktu itu, kini sudah meninggal, tapi kenangan bersama almarhum akan tetap aku ingat, Asep meninggal pas rame pandemi covid. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik disisi-Nya, serta diterima amal baik dan pengampunan atas dosa yang mungkin pernah diperbuat, Aamiin..

***
Sampai jumpa di cerita berikutnya. Dan tentunya semakin mencekam. Semoga terhibur. Terimakasih.

Buat sobat yang tidak s**a cerita horror, bisa baca cerita yang lebih ramah anak dan inspiratif harian, dengan mengikuti kami di Cerita Dongeng Indonesia



Rumah Kontrakan Di TangerangBagi sebagian orang, tinggal di kontrakan hanyalah pilihan sementara atau solusi praktis unt...
10/12/2025

Rumah Kontrakan Di Tangerang

Bagi sebagian orang, tinggal di kontrakan hanyalah pilihan sementara atau solusi praktis untuk hidup hemat atau transisi menuju rumah impian.

Namun siapa sangka, rumah kontrakan yang tampak biasa bisa menyimpan misteri kelam yang tak kasatmata. Indonesia dikenal kaya akan cerita mistis, dan salah satu bentuk gangguan yang sering terdengar adalah kemunculan sosok menyerupai penghuni rumah.

Fenomena ini disebut "doppelgänger" oleh sebagian orang, dan sering kali menandai bahwa si penghuni sedang tidak sendirian.

Awal tahun 2010, Linggar yang bekerja sebagai sekuriti di sebuah pabrik, bersama istri dan empat anaknya pindah ke sebuah kontrakan baru di wilayah Tangerang Selatan. Rumah itu besar, bersih, dan harga sewanya tergolong sangat murah: hanya Rp800 ribu per bulan. Fasilitas sangat bagus, sumur dengar air jernih yang tidak berbau dan kamar mandi yang sangat bagus. Halaman cukup luas dan ada satu lagi sumur yang ada di samping halaman.

Jadi, rumah itu memiliki dua sumur, di dalam rumah dan di samping halaman. Sumur yang di samping halaman ini sudah cukup tua dan sepertinya jarang dipakai walau terlihat bersih dan airnya juga jernih.

Keadaan rumah terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tengah yang ada tivinya, dan ruang tamu. Di dekat ruang tamu, ada satu kamar lagi yang disediakan untuk tamu tapi saat itu digunakan oleh Linggar dan istrinya. Sementara anak-anaknya tidur di kamar dekat ruang tengah.

Mereka sangat merasa beruntung, karena di kota Tangerang, untuk rumah seperti itu biasanya harga sewa mencapai jutaan. Tapi ini benar-benar murah dan diluar perkiraan mereka yang tadinya ragu untuk menyewa rumah tersebut.

Namun, kebahagiaan mereka ternyata hanya diawal saja. Seperti pepatah, ada harga ada rupa, seolah pas dengan keadaan rumah itu..

Di hari-hari pertama mereka sangat menikmati suasana hunian mereka. Namun sejak memasuki bulan kedua, udara pengap dan sumur tua di halaman depan menjadi pertanda akan ada yang tidak beres.

Malam itu, Linggar p**ang mengambil hape yang tertinggal. Seperti biasa, ia duduk di ruang tengah, menyalakan rokok, dan menghidupkan ponsel Nokia miliknya. Anak-anak dan istrinya sudah tidur, ia tidak membangunkan mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dan salam dari luar. “Assalamualaikum, Ma, bukain pintunya dong...”

Linggar kaget, karena suara itu sangat familiar, yakni suara yang sangat mirip dengan suaranya, mirip suara Linggar sendiri.

Penasaran, ia mengintip dengan membuka tirai sekat yang terpasang di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu.

Sosok itu sudah ada di ruang tamu, di dekat pintu kamar depan yang digunakan olehnya untuk tidur bersama istrinya. Sosok itu masih terdengar berbicara dan memanggil istri Linggar.

Linggar semakin ketakutan, karena sosok yang memanggil dan saat itu sedang menggantungkan kunci motor di dekat pintu kamar adalah dirinya sendiri. Lengkap dengan gestur dan nada bicara yang biasa ia lakukan setiap p**ang kerja.

Linggar yang ketakutan langsung balik badan dan komat-kamit baca doa yang ia bisa, hingga akhirnya suara sosok yang menyerupai dirinya hilang dari pendengarnya. Linggar memberanikan diri kembali mengintip, ternyata sosok itu sudah tidak ada.

Bergegas ia membuka kamar depan, istrinya terlihat sedang tidur memeluk anak yang paling kecil. Ia kemudian keluar dan berangkat lagi ke pabrik tempatnya bekerja. Pagi harinya ia bercerita pada istrinya, istrinya bilang tidak mendengar suara apapun, mungkin benar karena istrinya memang saat itu tertidur p**as.

Kejadian itu hanyalah awal.

Beberapa hari berikutnya, anaknya yang berusia dua tahun sempat menunjuk ke luar jendela dan mengatakan, “Itu Aa ambil mainan aku.” Padahal sang kakak sedang tidur di kamar tengah. Linggar pun mengecek keluar, dan benar saja ada mainan anaknya di dekat sumur tua. Ia memutuskan mengambil mainan itu, tapi keesokan harinya mainan itu kembali berada di tempat yang sama, ada di dekat sumur.

Gangguan berikutnya datang saat malam menjelang. Suara ketukan jendela, suara tangisan perempuan, dan suara istri memanggil dari kamar mandi... semua itu berulang kali terjadi. Bahkan suatu malam, saat Linggar diminta mengambilkan handuk, ia melihat istrinya berdiri dengan baju yang basah-basah, membawakan handuk yang ia minta. Tapi tidak ada satu menit, saat ia kembali ke kamar, ia mendapati istrinya... masih asyik bermain dengan anaknya di tempat tidur. Dan istrinya menggunakan baju yang berbeda dengan yang tadi dipakai saat dirinya membawakan handuk untuk istrinya. Saat ditanya, istrinya mengaku tidak kemana-mana dari tadi.

Linggar masih berusaha bertahan dan mengabaikan semua keanehan yang terjadi di rumah itu, hingga pada suatu malam...

Saat itu, malam sedang diguyur hujan deras dan Linggar kebagian sift pagi jadi ia malam itu berada di rumah.

DI luar hujan semakin deras dengan angin yang cukup kencang, menikmati sebatang rokok ia duduk di ruang tamu sendirian. Jam belum begitu larut, baru jam sebelas lebih.

Saat sedang menikmati suasana dengan suara hujan yang menenangkan fikiran. Tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk..

Tok..tokk.. tokkk...

Tapi tidak ada suara salam atau orang memanggil, Linggar menajamkan pendengarannya..

Tok..tokk.. tokkk..
Suara itu terdengar lagi, hingga Linggar yang tidak curiga langsung bangkit dari tempat duduk untuk melihat orang yang mengetuk pintu.

Linggar mengintip dari jendela dengan membuka sedikit tirai, tidak ada siapapun di dekat pintu..

Lampu teras yang temaram masih bisa melihat jelas suasana di luar, hujan terlihat sangat deras dan angin benar-benar kencang..

Linggar menyapu pandangan dari arah kiri, tempat arah pintu, karena tidak melihat apapun pandangan bergeser dari kiri ke kanan...

Saat itulah ia langsung gemetar ketakutan ketika pandangan mengarah ke teras bagian kanan, di atas kayu yang menopang atap teras... Linggar melihat sosok perempuan sedang bergelantungan di kayu itu..

Dan yang membuat ia semakin ketakutan, sisok itu ternyata adalah sosok istrinya sendiri yang ia sangat yakin jika istrinya sedang tidur di kamar..

Kengerian itu baru awal, karena selanjutnya sosok perempuan itu turun dari posisi gelantungan dengan cara melayang pelan..

Linggar seperti kaku, tidak bergerak dan tidak bereaksi.. terhipnotis dengan apa yang ia lihat..

Sosok perempuan itu benar-benar sama, persis sekali dengan istrinya seperti pinang dibelah dua...

Ia berdiri menempel di kaca jendela, memperhatikan Linggar yang masih posisi kaku mengintip dari balik jendela, hingga akhirnya Linggar seperti tersadar... Ketika ia melihat kengerian yang begitu dekat..

Perempuan itu tetap diam tidak berekspresi sama sekali, ketika tangannya kirinya menggorok lehernya sendiri di depan Linggar, tangan kanannya memegangi rambutnya ketika leher itu putus terlepas dari badannya...

Linggar sontak mundur, berteriak ketika kepala itu ditenteng, sosok yang sudah tanpa kepala itu berjalan perlahan, melayang-layang keluar teras menembus hujan, menuju ke arah sumur tua di samping halaman sambil membawa kepalanya yang sudah terpisah dari badan.

Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.. Linggar menggambarkan apa yang ia lihat malam itu seperti adegan sebuah film horror yang paling horror...

Beberapa bulan Linggar dan keluarga masih menempati rumah itu, namun akhirnya tak tahan, Linggar memutuskan untuk tidak lagi menempati kontrakan tersebut. Ia dan keluarganya kembali tinggal di rumah orang tua yang berada di daerah Karawaci, sementara rumah itu dibiarkan kosong meski sewanya tetap dibayar selama beberapa bulan, sampai akhirnya ia bilang ke pemilik tidak akan memperpanjang sewa rumah itu.

“Aku enggak pernah cerita ke istri tentang kejadian ini, kejadian dimana aku melihat perempuan gelantungan dan potong lehernya sendiri. Takutnya istriku tambah takut jika aku tinggal sendirian di rumah,”

Begitulah pengalaman Linggar yang sangat seram.

Ketika ditanya apakah dia tahu siapa sosok-sosok yang kerap menyerupai dirinya dan anggota keluarganya, Mas Linggar hanya menjawab lirih, “Nggak tahu. Yang pasti "mereka" tahu betul kebiasaan saya. Bahkan... Cara saya jalan dan logat bicara mereka tirukan semua.”

Kini, kontrakan itu sudah lama kosong. Barang-barang Mas Linggar pun sudah dipindahkan seluruhnya, dan sejak saat itu, ia belum pernah lagi mencari tempat tinggal baru, masih ikut orang tua yang sudah sepuh sekalian merawat mereka. Trauma yang ia alami bukan sekadar ketakutan biasa tetapi rasa tidak percaya terhadap apa yang dilihat dan didengar oleh panca indranya sendiri.

Kisah Mas Linggar jadi pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat berteduh, tapi juga ruang yang menyimpan energi baik atau buruk, tergantung siapa yang pernah tinggal di dalamnya. Dan mungkin, sebagian dari mereka belum benar-benar pergi.

***
Sampai jumpa di cerita berikutnya. Dan tentunya semakin mencekam. Semoga terhibur. Terimakasih.

Buat sobat yang tidak s**a cerita horror, bisa baca cerita yang lebih ramah anak dan inspiratif harian, dengan mengikuti kami di Cerita Dongeng Indonesia



Rumah Mewah Tengah MalamRumah besar itu berdiri angkuh di tengah deretan hunian elite—rapi, mewah, dan seolah tak pernah...
09/12/2025

Rumah Mewah Tengah Malam

Rumah besar itu berdiri angkuh di tengah deretan hunian elite—rapi, mewah, dan seolah tak pernah tersentuh gangguan apa pun. Tapi kalau kau berdiri cukup lama di depannya, ada rasa aneh yang merayap pelan… seperti ada sesuatu yang mengintip dari balik jendela gelapnya.

Vita, mantan asisten rumah tangga yang pernah bekerja di sana, tahu betul bahwa rumah itu tidak sesederhana tampaknya. Di balik tembok tebal dan lantai mengilap, ia pernah mengalami kejadian-kejadian mistis yang membuat logika menyerah dan membuatnya tak pernah berani menoleh ke rumah itu lagi.

Saat pertama kali ia datang ke rumah itu, majikannya langsung memperkenalkan seluk beluk rumah juga tugas-tugasnya.

Namun ada sesuatu yang dirasakan aneh oleh Vita, manakala ia menginjakkan kaki di lantai tiga, Vita langsung diberi peringatan oleh ibu pemilik rumah soal kamar yang jarang dipakai. Sesuatu yang sangat membuat dia bingung, pada awalnya.

"Vita, ini kamu wajib nih beresin kamar ini." ujar si ibu yang kemudian bilang lagi, sambil menunjuk mobil-mobilan kecil di bawah lemari, "Tapi ingat, yang itu nggak boleh diberesin ya. Gak boleh dipindah ke tempat lain. Gak boleh kamu masukin ke kerdus atau apapun, biarkan saja ditempatnya."

Vita hanya bisa mengangguk, meski hati kecilnya penuh tanda tanya. Namun malam setelah kamar itu dibersihkan, kejadian aneh pun mulai terjadi.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Vita, jika ia tidur selalu mematikan lampu. Karena jika kamar terang dia tidak bisa tidur.

Di dalam kamar sudah gelap, saat ia hendak tidur di ranjang susun bagian atas, Vita merasakan punggungnya dielus oleh sesuatu yang halus. Rasanya seperti sentuhan tangan anak kecil.

Kaget, Vita kemudian menoleh, dalam gelap tentu tidak bisa melihat apa-apa. Vita kemudian melangkah ke tempat saklar dan menyalakan lampu kamar.

Kosong..
Tidak ada apa-apa di kamar kecuali dirinya sendiri, ia pun langsung merinding..

Duduk di tepi ranjang, sambil memikirkan apa yang barusan menyentuh punggungnya.

Tiba-tiba,
Dari arah belakang terdengar suara lirih anak kecil, "Makasih ya, mbak..."

Vita kaget bukan main dan spontan me oleh ke atas kasur, ke arah belakangnya..

Saat itulah Vita benar-benar ketakutan, suara yang ia dengar sangat jelas dan tidak mungkin halusinasi..

Ketika ia menoleh ke belakang, ternyata tidak ada siapapun disitu. Tidak ada sumber suara yang barusan ia dengar..

Vita langsung ke luar kamar, sambil berfikir dan meyakini jika barusan yang bersuara tidak mungkin manusia. Karena benar-benar tidak ada siapa pun di belakangnya. Dan kejadian itu bukan yang terakhir. ART lain yang bekerja di rumah itu pun mengaku pernah diganggu dengan cara serupa.

Dan menurut mbak Yani, pembantu yang sudah lama disitu, banyak sudah pembantu yang bekerja di rumah itu hanya bertahan satu dua hari, paling lama seminggu. Karena melihat makhluk yang sangat mengerikan.

Oh iya, mbak Yani ini pembantu paling lama bekerja di rumah itu. Sudah bekerja selama tujuh tahun, tapi karena rumahnya dekat dua tidak pernah menginap disitu. Data g pagi dan p**angnya selepas Maghrib.

Vita yang mendengar cerita dari mbak Yani makin penasaran dan banyak bertanya. Tapi tidak semuanya bisa dijawab tuntas oleh mbak Yani yang memang saat itu belum pernah mengalami hal aneh atau seram.

Belum,
Karena di beberapa bulan berikutnya mereka berdua akhirnya dibuat pingsan oleh satu peristiwa yang sangat mengerikan.

Gangguan tak hanya datang dari kamar. Suatu malam, jam sudah lewat di angka satu dini hari. Karena Vita cerita jika ia setiap malam selalu ketakutan. Malam itu Yani menginap di rumah majikannya menemani Vita di kamarnya.

Kamar Vita ada di samping kamar yang sering ia bersihkan, dimana di kamar itu ada mainan yang tidak boleh disentuh.

Entah kenapa, makam itu keduanya malah asyik ngobrol dan cerita, mata mereka tidak merasakan kantuk.

Saat sedang asyik ngobrol itulah, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara bel rumah, bel itu tiba-tiba berbunyi.

"Ting-tong... Ting-tong..." berulang kali, semakin keras, seperti ada yang marah karena tak dibukakan pintu. Vita dan Yani, saling menatap ketakutan.

"Mbak, itu makin kenceng. Ting-tong itu kayak orang marah nggak dibukain bel," ujar Ika gemetar. Yani juga heran, akhirnya mereka sepakat untuk mengecek ke depan, karena tombol bel itu ada di dinding dekat pintu depan.

Yani mengira itu adalah Bobby, anak majikannya yang biasa p**ang malam, dengan pelan mereka berjalan melewati tangga, turun ke bawah dan mengintip dari balik tirai.

Vita dan Yani sama-sama merasakan takut. Tapi takutnya Yani karena kewatir dimarahi oleh Bobby karena lama tidak dibukakan pintu. Sementara Vita, takut karena hal lain, hal yang berhubungan dengan hantu.

Setelah mengintip keluar, ternyata tidak ada orang di depan pintu,

Kosong..
Sepi, bel tidak berbunyi lagi..
Teras depan pintu temaram oleh lampu yang memang letaknya agak jauh, tidak berada di depan pintu karena lampu di teras depan pintu mati beberapa hari yang lalu dan memang belum ganti oleh Pak Darsim.

Pak Darsim adalah sopir pribadi di rumah itu, sama seperti Yani, pak Darsim orang daerah situ juga yang jarang menginap. Hanya sesekali tidur di rumah majikannya jika akan ada acara mengantarkan majikan pagi-pagi sekali. Dan sesekali mengerjakan beberapa pekerjaan di luar tugasnya sebagai sopir, kadang membereskan taman, mengganti lampu mati dan sebagainya. Pokoknya sesuai perintah majikannya ia kerjakan.

Kembali ke Yani dan Vita,
Karena suara bel ternyata tidak berbunyi lagi dan tidak ada orang yang mereka lihat, mereka akhirnya berniat masuk kembali ke kamar untuk tidur.

Baru beberapa langkah mereka berjalan,
Tiba-tiba bek berbunyi lagi, mereka pun mengintip ke luar seperti tadi, kali ini Vita yang mengintip.. ternyata sama, tidak ada orang yang menekan bel itu, tidak tampak sosoknya. Tapi anehnya, bek itu terus-menerus berbunyi..

"Ah, konslet kaki ini Mbak" Vita ngomong begitu ke mbak Yani.

"Masa sih?" Sahut Mbak Yani sembari memutar kunci, dan langsung menarik gagang pintu depan, bermaksud melihat tombol bel itu.

Ting-tong... Ting-tong...

Suara bel masih terus berbunyi membuat suasana berisik di tengah malam.

Ketika pintu sudah terbuka,
Yani langsung berdiri kaku, tubuhnya bergetar hebat dan tak bisa berkata-kata...

Tepat di depan tembok yang ada tombol bel, Yani melihat sosok pocong yang melayang-layang. Bagian kepalanya dibentur-benturkan ke tombol bel yang ada di samping pintu...

Vita yang saat itu ikut keluar, langsung menjerit dan pingsan seketika, ia rupanya sangat ketakutan. Pocong itu bertubuh kecil, seperti tubuh anak-anak usia belasan tahun. Ia terus melayang dan ketika sadar ada yang memperhatikan, tubuhnya langsung berayun-ayun melayang ke arah Yani yang masih terpaku di depan pintu, Yani pun akhirnya tidak ingat apa-apa lagi...

Pagi harinya, mereka sudah ada di kamar tamu, majikannya menemukan mereka tergeletak di depan pintu, dengan keadaan pintu terbuka. Saat itu majikannya ingin ke dapur jam tiga pagi, ketika merasakan ada hembusan angin dari arah ruang tamu. Setelah di cek ternyata pintu depan terbuka lebar dengan dua pembantunya tergeletak tak sadarkan diri...

Ia dan suaminya yang menggotong keduanya dan menidurkan mereka di kamar tamu, yang letaknya tidak jauh dari pintu tempat mereka pingsan.

Akhirnya mereka berdua Bercerita tentang apa yang mereka lihat. Majikan malah tidak begitu saja percaya dengan cerita itu. Dan tidak mendengar ada bel berbunyi.

Entah benar atau tidak tentang ucapan majikannya, tapi...
Ini cukup aneh bagi Yani dan Vita,
Yang aneh, suara bel itu seolah tak pernah terdengar oleh pemilik rumah. Seolah hanya mereka yang dipilih untuk mendengar.

Setelah kejadian itu, Yani tidak mau lagi tidur di rumah majikannya. Vita pun akhirnya memilih untuk kost tidak jauh dari rumah majikannya.

Suatu hari Vita bercerita pada pak Darsim. Tentang pocong dan suara anak-anak yang mengganggunya..

Pak Darsim seolah tidak kaget, ia bahkan banyak bercerita, menurut cerita dari sopir itu, kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya. Bahkan disebutkan, waktu itu katanya pocongnya ada tiga. Pocongnya itu melayang. Dan yang dua bermain ayunan besi yang ada di taman samping. Pocong itu dilihat oleh pembantu sebelum Vita datang, yang hanya bertahan selama tiga hari, terus minta keluar, dia sangat ketakutan.

Yang membuat Vita agak shock, ketika pak Darsim bercerita jika anak majikannya mati tidak wajar beberapa tahun yang lalu, mereka dinyatakan meninggal tapi warga sekitar tidak pernah melihat prosesi pemakamannya. Bahkan tidak pernah diadakan pengajian layaknya orang yang habis kena musibah meninggal dunia. Majikannya hanya mengatakan sudah dimakamkan di makam keluarga.

Keluarga itu agama Islam tapi tidak seperti orang-orang, kata pak Darsim mengakhiri.

Memang, majikan Vita sangat baik pada pembantunya, tidak pernah marah dan menggaji sesuai kesepakatan dan tepat waktu dibayarkan.

Tapi memang agak tertutup dan hanya berkata seperlunya saja jika ada dirumah.

Sudah beberapa bulan Vita bekerja di rumah itu. Karena ada acara liburan panjang, majikannya berniat berwisata ke Bali. Vita ditugaskan untuk menjaga rumah bersama Yani. Tadinya mereka mau diajak ikut ke Bali tapi akhirnya dibatalkan karena akan ada tukang batu yang disuruh membetulkan septiktank, sudah dua hari seperti tersumbat dan tidak lancar untuk membuang air.

Yani dan Vita ditugaskan masak untuk pekerja yang mau membetulkan saluran yang tersumbat, dan tentunya untuk menjaga rumah.

Setelah dilakukan pengecekan ternyata yang bermasalah sakuran p**a di kamar mandi, hingga harus dilakukan pembongkaran. Vita hendak menelpon majikan tapi diurungkan.

Terjadi kehebohan, ketika tukang membongkar ubin, dan mencari p**a yang bermasalah, tukang itu malah menemukan tengkorak manusia, ada tiga tengkorak bertumpuk, berita tentang kejadian itu akhirnya menyebar. Dan sebelum majikannya p**ang, mereka sudah diamankan polisi untuk dimintai keterangan.

Dan kasus ini pernah viral di berbagai media belasan tahun lalu, yang akhirnya diketahui jika ketiga anak majikan Vita dan Yani ternyata dibunuh oleh orang suruhan ibunya sendiri. Dan yang lebih miris, majikan Vita dan Yani adalah ibu tiri dari anak-anak yang malang tersebut.

Kini, rumah itu terbengkalai dan tidak pernah dihuni lagi. Dan semua pembantunya pun sudah lama tidak pernah menceritakan tentang rumah itu lagi.

Dan Bobby, anak yang masih hidup kala itu, kuliah di UNY, dan Vita tidak tahu lagi kabarnya setelah ia tidak bekerja lagi di rumah itu.

***
Sampai jumpa di cerita berikutnya. Dan tentunya semakin mencekam. Semoga terhibur. Terimakasih.

Buat sobat yang tidak s**a cerita horror, bisa baca cerita yang lebih ramah anak dan inspiratif harian, dengan mengikuti kami di Cerita Dongeng Indonesia



Address

Banjar
46323

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Horror Nusantara posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Horror Nusantara:

Share