03/04/2024
"Diam ... diamlah Naina! Sebentar saja dan tak akan sakit!"
Sebuah suara parau terdengar berbisik dekat telingaku. Aku tak bisa bicara, mulutku dibekap sebuah tangan dengan kuat. Dapat kurasakan embusan napasnya yang berbau alkohol memburu, menerpa wajah hingga sepanjang leherku.
Melalui bias cahaya bulan keperakan yang masuk melalui ventilasi di atas jendela kamar, dapat kulihat sosok wajah yang kini hanya berjarak sekilan dari wajahku.
Den Arya?
Pupilku melebar seketika. Hampir tak percaya dengan penglihatan sendiri. Anak majikanku, Den Arya, kini sedang berada di kamarku. Sikapnya tak sekedar mengancam, dan aku mulai merinding ketika dengan kasar jemari tangannya mulai menyentuh permukaan kulitku.
"Ja-jangan ... Den," pintaku mengiba. Namun sepertinya ia tak mendengar. Atau pura-pura tak mendengar?
Den Arya justru menyeringai. Kupikir ia akan pergi ketika menjauhkan diri dariku. Namun ternyata aku salah.
Tubuhku rasanya menggigil hebat kala Den Arya mulai membuka pakaian, lalu kembali menaiki tempat tidurku.
"Temani aku malam ini, Naina." Suara Den Arya terdengar serak.
Matanya berkilat penuh bahaya. Aku menggelengkan kepala kuat, lalu beringsut mundur untuk membentang jarak darinya. Melihat itu, Den Arya justru terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihatku ketakutan seperti ini.
"Ti ... dak, Den. Tolong jangan lakukan. Ini dosa ...." Airmataku meleleh tanpa bisa kucegah.
Den Arya kembali tertawa. Ingin aku menjerit keras, namun suara seperti tercekat di tenggorokan.
"Hidupku sudah dipenuhi banyak dosa, Naina. Tak jadi masalah jika bertambah satu lagi catatan dosaku. Menodai gadis sebaik dirimu, misalnya," bisiknya parau sambil terus bergerak mendesak hingga aku tersudut di ujung tempat tidur. Aku tak bisa lagi mundur.
"Jangan, Den ... atau saya__"
"Kau akan berteriak, Naina? Lakukanlah sampai pita suaramu rusak. Tak akan ada yang mendengar sebab di rumah ini hanya ada kita berdua sekarang," selanya yang membuat jantung ini langsung mencelos.
"Lepaskan aku!" Aku berseru marah campur ketakutan saat ia berusaha mengusaiku.
"Diamlah, Naina. Ini tak akan lama. Tenanglah, kujamin kau juga akan menikmatinya."
Kata-kata anak majikanku ini sungguh sangat menjijikkan bagiku. Andai bisa, ingin kurobek mulutnya yang kotor itu dengan sebilah pisau daging yang biasa kugunakan untuk memasak.
"Jangan, lepaskan!" Aku mulai berteriak ketika tangannya terulur hendak menjamahku. Tapi alih-alih berhenti, Den Arya tampaknya justru semakin bersemangat melakukan aksinya.
Dengan kasar ia menarikku hingga tersentak maju ke arahnya. Bagai binatang buas, ia mencabik seluruh kain yang kukenakan, merenggut paksa segalanya, membuatku pasrah tak berdaya menerima perlakuannya yang tidak senonoh.
Termasuk ... kehormatanku sebagai seorang wanita. Sesuatu yang si mbok bilang harus kujaga baik-baik, hingga ada pria baik yang kelak datang untuk meminangku dan menjadikanku istrinya.
Tak dipedulikannya tangis piluku. Den Arya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu syaitan ketika tanpa belas kasihan ia menyakitiku. Di bawah bias cahaya bulan, ia menghancurkan masa depanku.
Allah ... rasanya aku lebih memilih mati saat menunggunya 'selesai'. Malam ini terasa begitu panjang dan memilukan.
Dan Den Arya tersenyum puas setelah melakukan aksinya yang menjijikkan, sementara aku meringkuk sambil menangis kesakitan. Perih sekali di bawah sini. Di tempat yang ia robek paksa tadi. Tak hanya tubuh yang sakit, tapi jiwaku juga.
Hancur sudah masa depanku. Entah bagaimana kelak jika calon suamiku bertanya kenapa aku sudah tak lagi suci.
Calon suami?
Aku tersenyum getir. Aku bahkan tak yakin masih akan ada laki-laki yang mau mempersunting seorang perempuan yang telah ternoda sepertiku.
Tanpa bicara, Den Arya keluar setelah kembali mengenakan pakaiannya. Meninggalkan aku yang masih meratap di sini, dengan tempat tidur acak-acakan, serta seprai yang bernoda darah kesucianku.
Membayangkan wajah ibu serta kedua adikku di kampung, airmataku kembali jatuh. Yang demi mereka aku rela bekerja di rumah keluarga Tjokro Aryadhana, namun justru di tempat ini aku harus kehilangan masa depanku.
***
Plak!
Aku tersentak kaget ketika Tuan Tjokro mendaratkan sebuah tamparan keras di p**i Den Arya.
Pagi ini, sekembalinya kedua majikanku yang tak lain adalah kedua orangtua Den Arya dari tempat hajatan keluarga, aku langsung mengadukan perbuatan putra tunggal mereka.
Nyonya Ayu, begitu aku biasa memanggil nama majikan perempuanku, tampak shock sampai tak bisa bicara sepatah kata pun.
"Dasar anak tak tahu diri! Mau kamu coreng dengan aib, nama keluarga ini, hah?!" Suara Tuan Tjokro menggelegar memecah pagi yang hening di rumah ini.
"Aku khilaf," ucap Den Arya ringan, seolah tanpa beban.
Aku menatap ke arahnya, dan hati ini begitu sakit ketika ia membalas tatapanku tanpa rasa bersalah.
"Nikahi dia sebagai bentuk tanggung jawabmu!"
Gelegar suara itu kembali mengagetkan, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
"Me-menikah?" kataku mengulangi ucapan Tuan Tjokro tanpa sadar.
"Iya, Naina. Kamu akan kami nikahkan dengan baj*ngan ini." Tuan Tjokro menunjuk Den Arya dengan wajah murka sekaligus merah padam. Sementara yang ditunjuk hanya tersenyum masam tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Aku merasakan seluruh kudukku berdiri ketika tatapan mata kami kemudian bertemu. Lintas kejadian terkutuk tadi malam kembali berputar dalam kepala. Kedua netraku terasa panas, airmata kembali menggenang memenuhi pelupuk mata.
Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang telah memperkosaku? Menghancurkan hidup sekaligus masa depanku.
🍁🍁🍁