Kesenian Indonesia

Kesenian Indonesia trima kasih sudah hadir,bantu suport like,coment,ikuti .salam budaya KESENIAN INDONESIA
sebagi wadah bagi pencinta kesenian seluruh indonesia .salam rahayu

----Tek kasih inpo buat hari kamis 17 Juli 2025 HANYA MALAM Di Krumput Tunjungseto sempor ----Ancer2 e kt Kedoya lurus t...
18/07/2025

----Tek kasih inpo buat hari kamis 17 Juli 2025 HANYA MALAM
Di Krumput Tunjungseto sempor ----
Ancer2 e kt Kedoya lurus terus lokasine ngarep SD N 3 Tunjungseto (Sanggar WLB)----

minggu 6 juli kawan duren sawit jkt timur
02/07/2025

minggu 6 juli kawan duren sawit jkt timur

Potret penari Ronggeng di daerah Jawa Tengah yang diperkirakan diambil antara tahun 1880-1908. Ronggeng sudah ada di Pul...
15/06/2025

Potret penari Ronggeng di daerah Jawa Tengah yang diperkirakan diambil antara tahun 1880-1908.

Ronggeng sudah ada di Pulau Jawa sejak zaman Mataram Kuno abad ke-8 masehi, seperti yang tercantum pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur.
Relief tersebut menampilkan adegan perjalanan rombongan hiburan dengan musisi dan penari wanita.
Di Jawa, penampilan ronggeng tradisional menampilkan rombongan tari perjalanan yang berjalan dari desa ke desa. Pas**an tari terdiri dari satu atau beberapa penari wanita profesional, disertai oleh sekelompok musisi memainkan alat musik: rebab dan gong. Istilah "ronggeng" juga diterapkan untuk penari wanita.
Selama penampilan ronggeng, para penari profesional perempuan diharapkan untuk mengundang beberapa penonton laki-laki atau klien untuk menari dengan mereka sebagai pasangan dengan memberi uang tips untuk penari wanita, diberikan selama atau setelah tarian.
Sumber narasi : wikipedia.org
Sumber foto : Kassian Céphas /rijksmuseum.nl/nl

● BABAD CIREBON VERSI CATATAN KLENTENG TALANG ●Catatan ini berasal dari buku karya Ir. Mangaradja Onggan Parlindungan ya...
06/06/2025

● BABAD CIREBON VERSI CATATAN KLENTENG TALANG ●
Catatan ini berasal dari buku karya Ir. Mangaradja Onggan Parlindungan yang diterbitkan pada tahun 1964 atau 8 tahun sebelum Carita Purwaka Caruban Nagari diterbitkan oleh Drs. Atja, yang mana buku tersebut bejudul Tuanku Rao. Naskah ini menjadi lampiran dalam buku tersebut.
Parlindungan menyatakan bahwa ia menerima bahan-bahan buku itu dari orang Belanda yang bernama Poortman yang naskah aslinya berasal dari arsip kelenteng Talang di Cirebon. Catatan ini juga sudah dipakai oleh Mr. Slametmuljana dalam bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia yang berbahasa Indonesia pada tahun 1968 yang dilarang beredar pada masa Orde Baru, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul A Story of Majapahit.
De Graaf dan Pigeaud, dua pakar sejarah dari Belanda menyatakan bahwa ketika pertama kali membaca naskah ini merasa asing dan mengabaikannya akan tetapi kemudian menganggap naskah tersebut sebagai objek studi yang berguna.
Sedangkan M.C. Ricklefs menyatakan bahwa ke hati-hatian jelas sangat dituntut, menerima semua bagian dalam naskah ini secara apa adanya merupakan tindakan yang bodoh.
Isi naskah tersebut tertulis, pemukiman Cina Pertama di Gunung Jati, Cirebon. Tahun 1415, Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Kong Hu Cu (Confusius) mendirikan menara mercusuar di atas bukit Gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun p**a Komunitas Muslim Cina Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing lengkap dengan masjidnya. Kampung Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. Secara bersama-sama, ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan p**a memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok dinasti Ming. Pada waktu itu, daerah Cirebon penduduknya masih jarang tetapi tanahnya sangat subur karena terletak di kaki gunung Ciremai.
Tahun 1450 – 1475, sebagaimana pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun Komunitas Cina Muslim Hanafi sudah sangat merosot karena sudah putus hubungan dengan Tiongkok Daratan. Masjid Sarindil sudah menjadi pertapaan karena masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di situ sudah tidak ada lagi, sedangkan masjid di Talang sudah menjadi klenteng. Sebaliknya, Masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di Sembung sangat berkembang dan sangat teguh imannya di dalam agama Islam. Pada waktu itu perkembangan di Sembung sama seperti di Bagan Siapi-api, Pattani dan Sambas yaitu masyarakat Tionghoa yang terisolasi tetap beragama Islam Hanafi dan tetap menggunakan bahasa Tionghoa untuk mengerjakan ibadah.
Ekspansi Kekuasaan Demak di Jawa Barat, tahun 1526, armada dan tentara Islam Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta dalam armada itu seorang Tionghoa Muslim peranakan yang pandai bahasa Tionghoa bernama Kin San. Panglima tentara Demak (Syarif Hidayat Fatahillah) serta Kin San dari Talang pergi ke Sarindil, tempat bertapa Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bersama Haji Tan Eng Hoat, tentara Islam Demak secara damai memasuki Sembung.
Atas nama Raja Islam Demak, Panglima Tentara Demak memberikan gelar kepada Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bunyi gelar itu, “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi”. Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke barat. Kin San satu bulan bertamu pada Haji Tan Eng Hoat.
Sultan Trenggana memberikan gelar “Maulana-Ifdil Hanafi” kepada Haji Tan Eng Hoat. Dengan demikian, Jafar Sadik gelar Sunan Kudus mengizinkan Haji Tan Eng Hoat, di daerah Cirebon tetap beragama Islam Madzhab Hanafi dengan terus menggunakan bahasa Tionghoa dalam menjalankan ibadah. Mereka tidak dipaksakan harus beralih ke madzhab Syafi’i yang ibadahnya menggunakan bahasa Arab.
Berdirinya Kesultanan Cirebon, tahun 1552, setelah seperempat abad, Panglima Tentara Demak datang lagi ke Sembung, tanpa tentara. Haji Tan Eng Hoat terheran-heran. Kabarnya, Panglima Tentara Demak pernah menjadi Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan dikalangan keturunan Jin Bun di Demak. Dia pun tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang, karena di Kesultanan Pajang, Madzhab Syi’ah sangat berpengaruh. Bekas Panglima Tentara Demak bertapa seumur hidup di Sarindil. Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa Islam di Sembung pun sudah sejak 4 generasi putus hubungan dengan Yunnan yang Islam. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah keturunan Hokkian yang cuma sangat sedikit sekali yang mau masuk Islam. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Tentara Demak supaya membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung mendirikan suatu Kesultanan sebagaimana Jin Bun di Demak dahulu. Tidak ada jalan lain untuk menjamin masyarakat Tionghoa dan madzhab Hanafi, kecuali melepaskan diri dari Demak. Walaupun sudah tua, bekas Panglima Tentara Demak itu menerima permintaan itu.
Tahun 1552 – 1570, dengan bantuan masyarakat Islam Tionghoa Sembung, bekas Panglima Tentara Demak itu mendirikan Kesultanan Cirebon yang berpusat di tempat Keraton Kesepuhan sekarang. Sembung ditinggalkan dan menjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung hijrah dengan nama-nama Islam dan nama-nama Indonesia asli menempati kota Cirebon yang baru muncul. Sultan Cirebon yang pertama tentu saja bekas Panglima Tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk tentar Islam dari bekas penduduk Sembung. Orang-orang Tionghoa yang non-Islam terpaksa tunduk kepada Tentara Tionghoa Islam Cirebon yang baru dibentuk itu.
Tahun 1553, supaya ada ibu negara di Kesultanan Cirebon yang baru tampil itu, maka Sultan Cirebon pertama (yang sudah lanjut usianya) menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung, penganten putri diarak ke Keraton dengan kebesaran, seolah-olah dari istana kaisar-kaisar Tiongkok Dinasti Ming pada zaman Laksamana Haji Sam Po Bo. Sang putri dikawal oleh sepupunya, Tan Sam Cai.
Tahu 1553 – 1564, Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan Cirebon. Secara de jure berkuasa sampai ke Samudera India, secara de facto berkedudukan di dekat Kadipaten. Dari situ beliau sangat berjasa dalam mengembangkan agama Islam Madzhab Syafi’i dalam bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut.
Lalu, tahun 1564, Haji Tan Eng Hoat wafat di dalam ekspedisi militer merebut kerajaan Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di daerah Galuh, di sebuah p**au di tengah suatu danau.
Karier Tan Sam Cai di Cirebon, tahun 1569 – 1585, Tan Sam Cai yang tidak pernah s**a memakai nama Muhammad Syafi’i bergelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula menjadi Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon. Dia sangat setia mengunjungi Klenteng Talang untuk membakar hio. Walaupun demikian, secara finansial Tan Sam Cai sangat berjasa memperkuat Kesultanan Cirebon, sehingga dia tetap dipertahankan. Sebagaimana sultan Turki, Tan Sam Cai mendirikan harem tempat simpanan ratusan gula-gula kaki dua yakni di Istana Sunyaragi.
Tahun 1570, Sultan Cirebon pertama wafat dan karena Sultan Cirebon yang kedua masih muda remaja, maka Tan Sam Cai secara de facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang menentang kekuasaan Tan Sam Cai hanyalah Haji Kung Sem Pak alias Muhammad Nurjani, keturunan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Ia menjadi Pakuncen dan tinggal di Sembung.Tahun 1585, Tan Sam Cai wafat termakan racun di harem Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji Kung Sem Pak dari pemakaman para pembesar Kesultanan Cirebon di Sembung. Dalam hujan lebat terpaksa jenazahnya dibawa kembali ke Cirebon! Atas permintaan istrinya 😊 Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong), jenazah Tan Sam Cai dimakamkan secara Islam di pekarangan rumahnya sendiri. Walaupun dia dikuburkan secara Islam, tetapi atas permintaan penduduk Tionghoa non-Islam, di Klenteng Talang, diadakan p**a upacara naik arwah untuk mendiang Tan sam Cai. Namanya dituliskan dengan tulisan Tionghoa di atas kertas merah, supaya disimpan di Klenteng Talang untuk selama-lamanya. Tan Sam Cai dengan nama Sam Cai Kong, menjadi orang suci yang mengabulkan do’a.

Raja Mataram Kuno Ini Tinggalkan 45 Prasasti Selama Berkuasa, Bahas Keringanan Pajak hingga Penertiban Perampokimages in...
25/04/2025

Raja Mataram Kuno Ini Tinggalkan 45 Prasasti Selama Berkuasa, Bahas Keringanan Pajak hingga Penertiban Perampokimages info
Dyah Balitung adalah salah satu raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno
dari tahun 899 hingga 911. Ketika berkuasa, dia memakai gelar Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarattungga.
Pria yang berasal dari Watukura, atau sekarang dinamakan Bagelen di Kecamatan Purwodadi, Purworejo, Jawa Tengah ini tercatat sebagai 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa. Hal ini karena dia mencetak setidaknya 45 prasasti selama berkuasa.
Dyah Balitung tercatat telah mengeluarkan prasasti pada tahun 11 September 899 dengan nama Prasasti Telahap. Prasasti ini saat ini hanya sebagian yang masih bisa terbaca.
“Prasasti ini tampaknya mencatat hibah sīma yang diberikan oleh Balitung,” tulis Novida Abbas dalam Liangan. Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro.
Catatan mengenai prasasti
Pada tahun 900 M, Balitung mengeluarkan Prasasti Ayam Teas III yang menjadikan Desa Ayam Teas sebagai tanah tempat pedagang. Kemudian ada Prasasti Taji pada tahun 901, berisikan peresmian tanah di wilayah Taji menjadi daerah perdikan untuk bangunan suci “kuil Dewasabhā“.
Pada tahun yang sama, ada juga Prasasti Luitan yang berisi tentang persoalan pajak.
Disusul, pada tahun 902 ada Prasasti Watukara yang menyebutkan jabatan Rakryan Kanuruhan yaitu semacam perdana menteri.
Dyah Balitung begitu fokus memperhatikan kondisi masyarakat. Hal ini terbaca dari Prasasti Telang yang dicetak pada 904 berisi mengenai pembangunan komplek penyeberangan di tepi Bengawan Solo.
“Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang,” jelasnya.
Ada juga Prasasti Rumwiga yang dikeluarkan pada tahun 904 berisi tentang permohonan pengurangan besarnya pajak di desa Rumwiga. Permohonan ini dikabulkan oleh raja.
Masyarakat di desa Rumwiga juga mengadu mengenai penyelewengan pajak kepada Mpu Daksa yang menjabat sebagai Mahamantri I Hino atau calon raja. Hal ini diabadikan dalam Prasasti Rumwiga II yang dicetak pada 905 M.
Dyah Balitung juga mengeluarkan Prasasti Poh pada tahun 905 yang berisi pembebasan pajak untuk Desa Poh. Hal ini karena masyarakat di tempat itu ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan.
Pada tahun 905, Dyah Balitung mengeluarkan Prasasti Kubu-Kubu yang berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan. Hal ini karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan atau Bali.
Ada juga Prasasti Mantyasih (907) dan Prasasti Kinewu (907) yang memberikan anugerah kepada beberapa tokoh berjasa lainnya. Prasasti Rukam (907) mencatat pemberian anugerah kepada Rakryan Sanjiwana karena merawat bangunan suci di Limwung.
Ada juga Prasasti Bangle (908) yang tidak bisa terbaca secara keseluruhan. Sedangkan Prasasti Kaladi (909) mencatat soal tindakan Dyah Balitung soal perampok-perampok di daerah Gunung Penanggungan, Jawa Timur.
Prasasti Tulungan (910) tercatat sebagai prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung. Prasasti ini ditemukan di Jedung, Mojokerto, Jawa Timur di mana Dyah Balitung sudah menyandang gelar Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.

Hari-hari Terakhir Amangkurat IRaja Mataram yang terkenal bengis itu harus menghabiskan masa-masa terakhir kekuasaannya ...
13/04/2025

Hari-hari Terakhir Amangkurat I
Raja Mataram yang terkenal bengis itu harus menghabiskan masa-masa terakhir kekuasaannya dalam pelarian, intrik dan pengkhianatan.
Sungguh malang nasib Amangkurat I, di usia senjanya, ia harus hidup dalam pelarian yang melelahkan. Raja yang pada masa kejayaannya terkenal bengis itu gagal mempertahankan takhta setelah istana kebanggaannya jatuh dan pemberontakan rakyat tidak lagi dapat dicegah. Ditambah p**a pengkhianatan dari orang-orang di sekitarnya, semakin melengkapi penderitaan penguasa Mataram itu. Sang raja benar-benar kehilangan kuasanya.
Pelarian Amangkurat I terjadi pada 1677. Saat itu sebagian besar wilayah ibukota Mataram telah diduduki oleh Raden Trunajaya. Bersama pas**an Maduranya, ia berhasil menjatuhkan pertahanan istana yang terkenal sulit ditembus. Trunajaya juga mampu menumpas perlawanan dari ketiga putra Amangkurat I (Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger, dan Pangeran Singasari) yang mati-matian mempertahankan takhta peninggalan ayahnya.
Diceritakan sejarawan H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, Amangkurat I meninggalkan istana pada suatu malam di bulan Juni 1677. Tujuan pertamanya adalah Imogiri, makam keluarga raja-raja Mataram. Dalam perjalanan tersebut ia hanya dikawal oleh sedikit keluarga saja. Hanya ada putra-putranya, beberapa pejabat yang setia, dan dua orang perempuan yang kemungkinan istrinya. Beruntung usaha raja keluar dari kediamannya itu berjalan mulus tanpa dihalangi oleh siapa pun, terutama pas**an Trunajaya.
Di Imogiri, Sunan mengumpulkan pas**an untuk menjaganya selama dalam pelarian. Ada cukup banyak orang yang bersedia mengikutinya. Sementara pas**an lainnya diperintahkan menjaga Imogiri dari serangan Trunajaya. Selain pas**an penjaga, ia juga membawa serta semua pusaka berharga istana Mataram, kecuali pusaka-pusaka berukuran besar yang bobotnya akan menghambat perjalanan, seperti meriam keramat Nyai Setomi dan harta kekayaan kerajaan sebesar 350.000 ringgit.
Setelah mengumpulkan segala kebutuhannya di Imogiri, Raja berusia lanjut itu pergi menuju Barat. Namun di Imogiri ia harus berpamitan dengan putranya yang berusia 12 tahun, bernama Raden “Goude”. Pangeran kecil itu dalam kondisi sakit parah sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan. Ia ditinggalkan bersama ibunya di Imogiri untuk perawatan. Sayang, tidak lama setelah itu si anak meninggal, dan ibunya dijadikan istri oleh Raden Trunajaya.
Mengenai kisah pelarian Amangkurat I itu, J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek, mencatatnya sebagai perjalanan yang menyedihkan. Raja bersama pengawalnya beberapa kali menemui nasib malang. Seperti ketika di Karanganyar, sejumlah besar harta bendanya nyaris digondol sekawanan perampok. Tetapi menurut Meinsma, dengan kesaktiannya, Amangkurat I berhasil mengagalkan aksi tersebut. Malah para perampok harus kehilangan nyawanya.
Setiba di Jagabaya, Sunan mendengar kabar bahwa Pangeran Puger dan Pangeran Singasari berhasil keluar dari Mataram. Keduanya membangun benteng pertahanan di wilayah tersebut. Ia lalu berusaha bergabung dengan putra-putranya. Tetapi, kata de Graaf, penerimaan mereka terhadap ayahnya begitu dingin. Perselisihan dalam keluarga di masa lalu rupanya masih terbawa, meski mereka tengah menghadapi kesulitan seperti itu.
Raja pun akhirnya memutuskan pergi meninggalkan kedua putranya. Ia kembali melanjutkan perjalanan. Tetapi setelah memasuki wilayah Nampudadi, dijumpainya si putra sulung, Pangeran Adipati Anom. Tidak seperti kedua saudaranya, Adipati Anom menerima ayahnya secara terbuka. Ayah-anak itu pun pergi bersama menuju barat.
Selama perjalanan, raja yang sudah tua itu jatuh sakit. Saat tiba di wilayah Kadipaten Panjer (sekarang Kabupaten Kebumen), hari sudah larut malam. Ia tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Saat itulah ia singgah di rumah Ki Kertawangsa atau Ki Gede Panjer III yang merupakan penguasa daerah tersebut. Ki Kertawangsa masih keturunan Ki Ageng Mangir dengan Pembayun (putri Panembahan Senopati).
Saat itu, Ki Kertawangsa bermaksud memberi tamunya air kelapa muda. Tapi karena langit sudah gelap dan hujan turun, dan tidak memungkinkan memanjat pohon kelapa untuk memetik kelapa muda, sehingga kemudian Ki Kertawangsa memberikan air kelapa tua (kelapa aking). Ternyata hal ini membuat kondisi Amangkurat I berangsur membaik.
Sebagai bentuk rasa terimakasihnya, Amangkurat I mengangkatnya sebagai tumenggung untuk wilayah Panjer (sekarang Kebumen) dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung (K.R.A.T) Kelapa Aking (memerintah 1677-1710). Tidak hanya itu, Amangkurat I juga menikahkan puterinya, R.Ay. Kaleting Abang dengan Kertawangsa.
Seiring berjalannya waktu, penyebutan nama Kelapa Aking mengalami perubahan menjadi Kolopaking dan digunakan secara turun temurun dalam keluarga keturunan Kertawangsa hingga saat ini.
Setelah sampai Di Banyumas terpaksa beristirahat selama tiga hari. Akhirnya Amangkurat I pun meninggal di Wanayasa atau Ajibarang, yang letaknya berdekatan.
Menurut seorang peneliti Belanda Francois Valentijn, Adipati Anom terlibat dalam kematian Amangkurat I. Dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien, Valentijn menyebut jika Adipati Anom memberikan sebutir pil untuk mempercepat meninggalnya sang ayah. Namun de Graaf mempertanyakan tindakan Adipati Anom tersebut. Ia tidak tahu keuntungan apa yang didapat Pangeran Mataram itu dengan membunuh raja yang tengah sekarat tersebut. Toh, hanya persoalan waktu sampai Amangkurat I menutup mata selama-lamanya.
Sebelum wafat, Amangkurat I menyerahkan beberapa pusaka kerajaan kepada Adipati Anom, yakni gong Kiai Bicak dan keris Kiai Balabar. Ia juga minta kepada putranya untuk dimakamkan di Tegalwangi, tepat di sebelah pusara gurunya Tumenggung Danupaya. Sekarang makamnya berada di Komplek Makam Tegal Arum Dusun Pekuncen, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.

8 april jadwal ini saya tulis tgl tgl 26 feb 2025 Selamat menonton
27/03/2025

8 april jadwal ini saya tulis tgl tgl 26 feb 2025
Selamat menonton

Masih Lebaran Tgl 5 april
27/03/2025

Masih Lebaran Tgl 5 april

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎Apa Kenal, Andryyanto, Anto Tok, Sarwono Husodo, Ary Anc Rantau Jo...
26/03/2025

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎

Apa Kenal, Andryyanto, Anto Tok, Sarwono Husodo, Ary Anc Rantau Jones, Andi Andii, Warsito Ito, Nikhen, Undang Bae Setiawan, Putra Rbs, Diman, Sutrisno Jon, Ardies Ardies, Anton Wijaya, Setiawan Sugiharto, Eko Phoer, Arif Kancil, Nono, Shi Upie, Adi Putra, Asih Marsih, Sentit Semen, Faisal Sal, M R Kamandaka, Siyadi, Ellizz Elizz

Beri komentar untuk menyambut mereka di komunitas kita, berat

LENGSERNYA TRAH AMANGKURAT DI MATARAMRaja-Raja Mataram Islam yang bergelar Amangkurat memang penuh kontroversi dan konfl...
25/03/2025

LENGSERNYA TRAH AMANGKURAT DI MATARAM

Raja-Raja Mataram Islam yang bergelar Amangkurat memang penuh kontroversi dan konflik, meskipun begitu Trah ini sempat memimpin Jawa selama 3 generasi, yaitu Amangkurat I, II dan III. Trah Amangkurat pada akhirnya dihapuskan untuk kemudian digantikan dengan Trah Pakubwana.

Kisah Penghapusan Trah Amangkurat dimulai naik tahtanya Raden Mas Sutikna menggantikan kedudukan ayahnya Amangkurat II ( Raden Rahmat). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Mas Sutikna adalah anak satu-satunya Amangkurat II, istri yang lain dari Amangkurat II diguna-guna oleh ibu Raden Mas Sutikna sehingga tidak ada satupun yang memiliki keturunan. Raden Mas Sutikna ketika masih muda dijuluki dengan nama Pangeran Kencet, dijuluki demikian karena ia menderita cacat (kencet) di bagian tumitnya sejak kecil.

Watak Amangkurat III dikisahkan mirip dengan kakeknya (Amangkurat I), ia berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan darinya, ia juga dikenal sebagai Raja yang gegabah dalam mengambil keputusan.

Sebelum menjadi Raja Kasunanan Kartasura, Raden Mas Sutikna menjabat sebagai Adipati Anom, ia memperistri sepupunya sendiri yang bernama Raden Ayu Lembah, anak Pangeran Puger. Namun pernikahannya dengan Ayu Lembah tidak bertahan lama, sebab istrinya berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindareja.

Tragedi perselingkuhan itu kemudian menyebabkan Raden Sukra dijatuhi hukuman mati, sementara Ayu Lembah sendiri rupanya bernasib sama, Amangkurat III memaksa pamannya Pangeran Puger untuk membunuh Ayu Lembah, putrinya sendiri.

Selepas peristiwa itu, Amangkurat III menikah lagi dengan Raden Ayu Himpun, adik dari Ayu Lembah, akan tetapi lagi-lagi pernikahan ini kandas ditengah jalan. Amangkurat III menceriakan Ayu Himpun karena waktu itu Pangeran Puger dianggap melakukan pembangkangan pada Amangkurat III.

Amangkurat III kemudian mengangkat Permaisuri baru, kali ini ia mengawini wanita desa yang masih gadis wanita itu dikisahkan diambil dari Desa Onje.

Tingkah laku Amangkurat III yang sewenang-wenang dan gegabah dalam mengambil keputusan membuat sebagian pejabat Istana tidak lagi s**a kepada Rajanya. Diam-diam mereka mendukung Pangeran Puger untuk menjadi Raja di Kertasura, dukungan ini kemudian ditanggapi oleh Raden Surya Kusumo yang tak lain merupakan putra Pangeran Puger untuk melakukan pemberontakan.

Belum juga terlaksana, upaya pemberontakan yang dilancarkan keluarga Pangeran Puger tercium oleh Amangkurat III, oleh karena itu, Raja kemudian mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger beserta seluruh keluarganya, akan tetapi upaya pembunuhan gagal. Sebab sebelum dibunuh Pangeran Puger telah mengetahui rencana pembunuhan keluarga dan dirinya. Dalam rangka menghindari upaya pembunuhan, Pangeran Puger dan seluruh anggota keluarganya melarikan diri ke Semarang.

Di Semarang Pangeran Puger diliputi kegelisahan karena merasa jiwanya terancam, ia takut suatu waktu keponakannya menyerbu Semarang, oleh karena itu Pangeran Puger kemudian mengadakan persekutuan dengan VOC Belanda, ia mengiming-imingi VOC dengan keuntungan yang besar bila bersedia membantunya melengserkan keponakannya dari tahta. Kerjasama antara Pangeran Puger dan VOC kemudian terbina.

Pada tahun 1705 Pangeran Puger dengan dibantu VOC bergerak ke Kartasura untuk melakukan serangan, di sisi lain Amangkurat III membangun pertahannya di Unggaran. Pertahanan dikepalai oleh Arya Mataram. Akan tetapi dikemudian hari Arya Mataram membelot ia bergabung dengan pas**an Pangeran Puger.

Pada Tahun 1706 gabungan pas**an Pangeran Puger, Arya Mataram dan VOC Belanda berhasil merebut keraton Kertasura setelah terlibat peperangan yang sengit dengan pihak Kesultanan. Biarpun demikian Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Ponorogo.

Sesampainya di Ponorogo bukannya berbaik-baik dengan Adipati-nya, Amangkurat III justru merasa curiga terhadap kesetiaan rakyat dan Adipati Ponorogo. Ia pun menyiksa Adipati dan beberapa pejabat tinggi Keadipatian.

Melihat Adipatinya disiksa Rakyat Ponorogo berontak, mereka melakukan pengepungan, tujuannya menangkap Amangkurat III, akan tetapi Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Madiun. Dari Madiun Amangkurat III kemudian bertolak ke Kediri, untuk bergabung dengan Untung Suropati yang kala itu sedang berperang melawan VOC Belanda.

Pangeran Puger yang masih belum puas kerena belum berhasil meringkus keponakannya akhirnya melancarkan serangan ke Kediri, ia mencoba memberantas pas**an Amangkurat III yang kala itu sudah bergabung dengan Untung Suropati.

Pada Tahun 1708 Pangeran Puger berhasil merebut Kediri, Amangkurat III tertangkap, sementara Untung Suropati berhasil melarikan diri. Setelah tertangkap Amangkurat III dikirim ke Batavia dan selanjutnya di buang ke Srilangka. Amangkurat III wafat pada tahun 1734 di tempat pembuangannya.

Amangkurat III menjabat sebagai Sultan Kasunanan Kartasura dari tahun 1703 hingga 1705, ini berarti ia hanya memerintah seumur jagung saja, yaitu hanya memerintah selama 2 tahun lebih sedikit. Kekalahan Amangkurat III kemudian mengantarkan Pangeran Puger menjadi Raja Kartasura selanjutnya, adapun gelar yang disematkan kepada Pangeran Puger adalah Pakubwana I. Namun selepas wafatnya Pakubuwana ternyata anaknya yang bernama Raden Mas Suryaputra justru mengambil gelar Amangkurat sebagai gelarnya menyalahi pakem. Ia bergelar Amangkurat IV.

Oleh : Sejarah Cirebon

Gunung Cilik Kreo Kejajar terletak di pinggir jalan atas wisata telaga menjer,Dulu pernah di asumsikan oleh beberapa pak...
24/03/2025

Gunung Cilik Kreo Kejajar terletak di pinggir jalan atas wisata telaga menjer,
Dulu pernah di asumsikan oleh beberapa pakar kalau gundukan tanah ini adalah Piramida atau candi yang tertutup sendimen tanah pasca letusan gunung jamur dieng berabad silam, hingga pernah dilakukan penggalian dan benar setelah digali kurang lebih 5-7 meter ditemukan beberapa tatanan batuan andesit yang menyerupai pola candi,
Namun entah mengapa proses ekskavasi tersebut dihentikan dan lubang galian kembali ditutup..
Ada yg ingin mencoba mengali ?

Address

Banyumas

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Kesenian Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share