Novel Ku

Novel Ku Cerita pendek yang menyayat hati serta memberikan inspirasi...
Semoga terhibur...

Ponselnya berdering, panggilan dari ayahnya.  "Ada apa, Ayah?"  "Besok jam 7 malam, kamu akan bertemu calon istrimu," su...
12/06/2025

Ponselnya berdering, panggilan dari ayahnya.

"Ada apa, Ayah?"

"Besok jam 7 malam, kamu akan bertemu calon istrimu," suara Victor dingin, tanpa basa-basi.

"Apa?!"

"Keluarga kita butuh aliansi dengan HA Group. Kamu akan menikahi putri mereka, Ruby Steal."

Clayton tertawa getir. "Kenapa bukan Daniel? Dia kan putra mahkota?"

"Karena Ruby bukan pilihan utama untuk Daniel," jawab Victor. "Dan kamu… lebih cocok dengannya."

Kalimat itu membeku di udara.

Esok malam, di restoran mewah La Cielo, Clayton memakai setelan Armani hitam, tapi raut wajahnya lebih gelap dari bajunya. Di seberang meja, duduk seorang gadis dengan rambut ikal coklat dan mata yang terlalu cerah untuk suasana ini.

"Hai! Aku Ruby," ujarnya sambil menyodorkan tangan.

Clayton tidak menjabat. "Kita di sini karena dipaksa. Jadi tolong, jangan berpura-pura senang."

Ruby tidak tersinggung. Malah, dia tersenyum lebih lebar.

"Wah, langsung to the point ya? Aku s**a itu."

Clayton mengerutkan kening. "Kamu tidak marah?"

"Aku sudah terbiasa jadi orang yang tidak diinginkan," jawab Ruby sambil mengaduk jusnya. "Tapi hey, setidaknya kita bisa saling membuat hidup lebih menarik, kan?"

Dipaksa Menikah: Clayton dan Ruby - MommyMoo
Clayton, anak ke dua dari keluarga Laurent harus menikah dengan Ruby Steal anak dari perusahaan pesa...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/7a90cc1b-a6cd-47df-95ca-5c1d9bf891f9

08/06/2025

Pengen buat cerbung, kalian s**a cerita apa sih? Komen yaaa...

Judul: “Masih Anakmu, Bu”Oleh: (Eny Tri Susanti)“Ibu… Aku sudah menikah. Tapi bukan berarti aku tidak ingin ditanya,‘Kam...
07/06/2025

Judul: “Masih Anakmu, Bu”

Oleh: (Eny Tri Susanti)

“Ibu… Aku sudah menikah. Tapi bukan berarti aku tidak ingin ditanya,

‘Kamu sudah makan?’ atau sekadar…

‘Apa kamu bahagia, Nak?’”

Namaku Laila.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara.
Dulu aku anak kesayangan Ibu.
Setiap pulang sekolah, beliau selalu menyiapkan teh manis dan lauk kes**aanku.
Tapi semuanya berubah sejak aku menikah.
Awalnya aku pikir wajar.
Aku sekarang punya keluarga sendiri.
Ibu pasti ingin memberi ruang.
Tapi lama-lama… bukan ruang yang kurasakan.
Melainkan sepi.
Ibu tak pernah lagi menelepon lebih dulu.
Tak pernah bertanya kabar.
Saat aku datang berkunjung, Ibu hanya sibuk dengan adik-adikku.
Aku hanya duduk memandangi beliau dari balik dinding dapur.
Padahal aku rindu.
Rindu pelukan yang dulu hangat.
Rindu percakapan panjang sambil menyisir rambutku.
Pernah sekali aku berkata sambil tersenyum getir:
“Bu, Laila kangen, lho…"
Tapi Ibu hanya menjawab singkat:
“Kamu kan sudah punya suami. Jangan terlalu sering mikirin rumah sini.”
Hatiku mengkerut.
Aku tahu Ibu tidak bermaksud jahat…
Tapi tetap saja, kalimat itu seperti tembok yang semakin menjauhkan kami.
Sampai suatu hari aku jatuh sakit.
Demam tinggi, suami sedang dinas luar kota.
Dan aku menggendong anakku sambil menangis diam-diam.
Tak ada yang tahu.
Tak ada yang bertanya,
“Laila, kamu kenapa?”
Ibu hanya kirim pesan ke grup keluarga:
“Besok arisan, jangan lupa ya. Bawa kue.”
Aku menangis lama malam itu.
Bukan karena demam.
Tapi karena aku merasa tak lagi menjadi "anak" di mata Ibu.
Hanya seseorang yang pernah dititipkan… lalu dilupakan.
Padahal Bu,
Aku masih ingin dimarahi karena pulang malam.
Masih ingin ditanya,
“Udah makan belum?”
“Jangan terlalu capek ya, Nak.”
Aku masih anakmu, Bu…
Sekalipun aku sudah menjadi istri dan ibu.
Hatiku tetap ingin pulang…
Pulang ke hatimu.

Judul: “Tenang di Pundakmu”**Oleh: (Eny Tri Susanti)**“Bukan rumah besar yang membuatku nyaman…tapi pundakmu yang selalu...
04/06/2025

Judul: “Tenang di Pundakmu”

**Oleh: (Eny Tri Susanti)**

“Bukan rumah besar yang membuatku nyaman…

tapi pundakmu yang selalu siap kutangisi.”

Namaku Salma. Aku menikah dengan Haris tiga tahun lalu.

Pernikahan kami sederhana, tanpa pesta besar.

Cincin kawin kami pun hanya perak biasa, tapi Haris memakainya setiap hari, seolah itu mahkota.

Kami tinggal di rumah kontrakan kecil, tapi cukup untuk kami berteduh dan saling mencintai.

Haris bekerja sebagai guru honorer di sekolah swasta.

Gajinya tak seberapa, tapi dia selalu berangkat pagi dengan wajah bahagia.

Setiap pulang, dia membawa oleh-oleh kecil untukku. Kadang gorengan, kadang buku bekas dari pasar loak.

“Aku nemu buku ini di lapak, kayaknya kamu s**a,” katanya.

Dan aku tersenyum, bukan karena bukunya…

tapi karena dia selalu ingat aku, bahkan dalam kesederhanaannya.

Aku tahu Haris lelah. Tapi dia tak pernah mengeluh.

Bahkan ketika aku hamil dan harus berhenti bekerja, Haris menenangkan:

“Rezeki kita Allah yang jamin, Sayang. Tugas kita cuma berusaha dan saling percaya.”

Dan dia benar.

Setiap bulan cukup, walau pas-pasan.

Kami bahagia bukan karena isi dompet, tapi isi hati kami yang saling menguatkan.

Suatu malam, listrik rumah kami padam karena belum bayar.

Aku menangis di dapur, merasa gagal jadi istri.

Tapi Haris memelukku sambil berkata pelan:

“Kita nggak miskin, Sayang. Kita cuma sedang diuji. Tapi asal kamu tetap bersamaku, aku kuat menghadapi apa pun.”

Aku menangis lebih keras, tapi kali ini dalam pelukan yang penuh ketenangan.

Waktu terus berjalan.

Anak pertama kami lahir, dan Haris mencium keningku di ruang bersalin sambil berbisik:

“Terima kasih ya, sudah kuat. Kamu ibu terbaik untuk anak kita.”

Kini kami masih tinggal di kontrakan yang sama.

Masih makan sederhana. Tapi kami kaya.

Kaya dalam sabar, kaya dalam syukur.

Karena rumah tangga bukan tentang seberapa sering kamu tertawa…

tapi seberapa kuat kamu saling menggenggam, saat dunia terasa berat.

Judul: “Sepasang Sandal Butut”Oleh: (Eny Tri Susanti)“Ayahku bukan orang hebat di mata orang lain.Tapi kini aku sadar…Di...
02/06/2025

Judul: “Sepasang Sandal Butut”

Oleh: (Eny Tri Susanti)

“Ayahku bukan orang hebat di mata orang lain.

Tapi kini aku sadar…

Dialah orang paling luar biasa yang pernah Allah titipkan padaku.”

Namaku Fikri. Sejak kecil aku tinggal hanya berdua dengan ayahku.

Ibuku wafat saat aku masih lima tahun.

Ayah bekerja sebagai tukang becak. Pendiam, kurus, dan sering dianggap remeh orang.

Termasuk olehku.

Aku tumbuh jadi anak yang mudah merasa malu.

Malu punya ayah dengan baju lusuh.

Malu saat ayah mengantar ke sekolah pakai becak sendiri.

Malu saat teman-teman menertawakan sandal bolong yang dipakainya.

Ayah hanya senyum. Tak pernah membalas.

Dia tetap antar aku ke sekolah, tetap beri uang jajan meski sedikit.

Ketika aku remaja, sikapku makin dingin.

Jarang bicara, sering menghindar.

Saat diajak makan bersama, aku lebih memilih makan di luar.

Saat dia belikan nasi bungkus, aku malah buang karena gengsi.

“Fikri, ini Ayah bungkusin dari warung sebelah. Masih hangat.”

“Udah, Ayah. Aku nggak mau makan makanan murahan!”

Wajah ayah menunduk. Tapi tetap diam. Seperti biasa.

Sampai suatu malam… aku pulang larut.

Lapar. Kesal. Lelah. Rumah gelap dan sepi.

Aku buka dapur, dan menemukan sepiring nasi goreng dengan telur dadar dan sambal kes**aanku.

Di sampingnya, secarik kertas:

“Maaf ya, Fik. Ayah cuma bisa masak seadanya. Semoga cukup buat ganjal perutmu.”

–Ayah

Aku mendengus. Tak memakan makanan itu.

Keesokan paginya, aku bangun karena suara tetangga panik.

Ayah ditemukan tergeletak di teras masjid.

Jatuh pingsan setelah sholat Subuh.

Kami larikan ke rumah sakit.

Tapi nyawanya tak tertolong.

Kata dokter kelelahan berat dan lambungnya luka karena sering menahan lapar.

Aku pulang ke rumah dengan dada sesak.

Menangis sendirian di kamarku.

Lalu kutemukan dompet ayah yang usang di atas meja.

Isinya hanya uang sepuluh ribu, dan selembar kertas doa.

Tulisannya:

Lanjut kolom komentar ya!!!

Judul: “Satu Mangkok Sayur, Seribu Penyesalan”Oleh: (Eny Tri Susanti)“Aku ingin suami seperti yang di Instagram: romanti...
02/06/2025

Judul: “Satu Mangkok Sayur, Seribu Penyesalan”

Oleh: (Eny Tri Susanti)

“Aku ingin suami seperti yang di Instagram: romantis, mapan, penuh kejutan.

Tapi aku lupa…

Bahwa suamiku yang sederhana adalah jawaban dari doa ibuku:

‘Semoga kau menikah dengan lelaki yang sabar dan tak pernah menyakitimu.’

Namaku Siti. Usia 28 tahun.

Menikah dengan Hasan, lelaki yang bekerja sebagai buruh bangunan.

Kami tinggal di rumah kontrakan kecil dengan dapur yang selalu bocor saat hujan.

Sejak awal pernikahan, aku sering mengeluh.

“Kapan sih bisa tinggal di rumah sendiri?”

“Aku bosan makan tempe terus, Mas…”

“Coba Mas kerja di kantor, bukan bawa pasir tiap hari!”

Hasan hanya diam. Kadang tersenyum, kadang menghela napas.

Temanku sering pamer di grup WA:

suami mereka ajak staycation, beli gelang emas, atau kirim bunga di kantor.

Sementara aku?

Hanya mendapat satu mangkok sayur bayam dan kecupan di kening tiap pagi.

“Jangan lupa sarapan ya, Siti…” katanya setiap hari sebelum berangkat kerja.

Tapi aku malah merasa jijik dengan kesederhanaannya.

Sampai suatu hari, aku pergi menginap ke rumah kakakku.

Ingin “istirahat” sejenak dari Hasan dan hidup miskin ini.

Tiga hari aku di sana. Hasan hanya mengirim pesan:

“Siti sehat? Kalau capek, nggak usah masak. Nanti Mas pulangin uang lebih.”

Aku tidak balas.

Malam keempat, aku pulang ke rumah.

Rumah kosong. Gelap. Tapi ada aroma harum dari dapur.

Di meja, ada sepiring nasi, telur dadar, dan semangkuk sayur bayam.

Lalu kudengar suara langkah dari arah kamar.

Hasan muncul dengan wajah pucat dan kaki yang dibalut perban.

“Maaf ya, Siti. Mas jatuh dari tangga proyek kemarin.

Tapi Mas sempat masak, Mas tahu kamu s**a sayur bayam.”

Aku terdiam.

Lelaki itu… yang kupandang rendah… tetap memikirkan seleraku,

bahkan saat tubuhnya sendiri sakit.

Malam itu aku menangis di sajadah.

Bukan karena Hasan marah. Tapi karena dia terlalu sabar…

dan aku terlalu buta.

Lanjut di kolom komentar ya!!!

**Judul: “Terlambat Mencintai”**Oleh: (Eny Tri Susanti)“Dia cerewet, s**a menangis, dan terlalu sabar…Maka aku mengabaik...
01/06/2025

**Judul: “Terlambat Mencintai”**

Oleh: (Eny Tri Susanti)

“Dia cerewet, s**a menangis, dan terlalu sabar…

Maka aku mengabaikannya.

Tapi saat liang kubur menelannya…

barulah aku sadar, aku telah kehilangan surga yang paling nyata di dunia ini.”

Namaku Rizal. Dan aku tidak pernah menjadi suami yang baik.

Istriku, Aini, adalah perempuan yang sangat sederhana.

Tak cantik menurut standar kebanyakan. Tak pintar berdandan. Tak pernah protes meski aku pulang larut tanpa kabar.

Kami menikah karena dijodohkan.

Dan sejak hari pertama pernikahan, aku tak pernah benar-benar mencintainya.

Aku sering marah tanpa sebab.

Sering membandingkannya dengan perempuan lain.

Sering menyindir masakannya, bajunya, bahkan tangisnya.

Dan dia?

Dia hanya diam. Sesekali tersenyum. Kadang hanya bilang,

“Maaf, Mas… Aini belum bisa jadi istri yang baik.”

Lucunya, justru aku yang jauh dari kata “baik”.

Beberapa tahun menikah, aku mulai punya penghasilan lebih.

Pergaulanku naik kelas. Aku sering pergi dengan teman-teman kantor.

Pulang makin malam, kadang tidak pulang.

Dan Aini tetap menungguku.

Dengan secangkir teh. Dengan wajah lelah. Dengan mata sayu.

Dan satu kalimat yang terus ia ucapkan:

“Mas sudah makan?”

Aku tak pernah sadar… bahwa itu adalah bentuk cinta paling tulus.

Suatu malam, Aini demam tinggi.

Aku menganggapnya sepele.

Bilang saja, “Minum paracetamol, besok juga sembuh.”

Paginya, dia pingsan di dapur.

Dan itu terakhir kalinya aku melihat matanya terbuka.

Dokter bilang ia terlambat ditangani. Infeksi berat.

Hanya sempat masuk ICU sebentar… sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Saat aku pulang dari rumah sakit, aku melihat kamarku kosong.

Tapi rapi. Teratur. Seperti biasa.

Di atas meja, ada surat. Tulisan tangan Aini.

“Mas Rizal…

Terima kasih sudah menikahi Aini.

Maaf kalau Aini belum bisa membahagiakan Mas.

Tapi setiap malam Aini selalu berdoa…

agar Allah jaga Mas walaupun Aini nggak pandai menjaganya.

Lanjut kolom komentar

01/06/2025

Ikuti saluran kita ya teman2 untuk lebih banyak kisah haru yang lainnya...

Judul: “Anak yang Tak Pernah Dipeluk”**Oleh: (Eny Tri Susanti)**“Ibu selalu peluk kakak, ibu selalu senyum ke adik.Tapi ...
01/06/2025

Judul: “Anak yang Tak Pernah Dipeluk”

**Oleh: (Eny Tri Susanti)**

“Ibu selalu peluk kakak, ibu selalu senyum ke adik.

Tapi kenapa aku selalu jadi yang terlupa?”

Aku sempat membenci ibuku…

Sampai aku menemukan surat yang mengubah segalanya.

---

Namaku Yusuf. Anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakakku cerdas dan periang. Adikku manis dan lembut.

Dan aku? Biasa saja.

Sejak kecil, aku merasa ada yang hilang.

Kakak sering dipeluk saat pulang sekolah.

Adik selalu dibelai sebelum tidur.

Tapi aku?

Hanya diam. Melihat dari balik pintu.

Dengan hati yang bertanya: “Apa salahku, Bu?”

---

Aku tumbuh menjadi remaja yang keras.

Pendiam, kaku, dan sering menjauh.

Karena kupikir, kalau ibuku saja tak bisa mencintaiku…

Kenapa aku harus mencintai diriku sendiri?

---

Sampai suatu hari, saat usiaku 17 tahun, ibu jatuh sakit.

Parah. Stroke ringan. Harus dirawat di rumah.

Aku, yang biasa tak dianggap, tiba-tiba diminta merawatnya.

Aku heran.

“Ada kakak, ada adik. Kenapa aku, Bu?” tanyaku.

Ibu hanya menatapku, lalu meneteskan air mata.

Tapi tetap tak menjawab.

---

Hari-hari itu aku lalui dengan perasaan campur aduk.

Mengganti pakaian ibu. Menyuapi obat.

Membacakan Al-Qur’an di samping ranjangnya.

Dan anehnya, setiap aku selesai membacakan ayat…

mata ibu selalu basah.

Dan bibirnya bergetar: “Maafkan Ibu…”

---

Beberapa bulan setelah itu, ibu wafat.

Tanpa pernah menjelaskan.

Tanpa pernah benar-benar memelukku seperti kakak dan adik.

Aku marah. Aku kecewa.

Bahkan saat menguburnya, hatiku terasa kosong.

Seolah… ada luka yang tak akan pernah sembuh.

---

Beberapa hari setelah pemakaman, kakak memberikanku sebuah kotak.

“Ini titipan ibu untuk kamu, sebelum beliau wafat.”

Di dalamnya… ada sepucuk surat.

Tulisan tangan ibu. Gemetar, tapi masih bisa terbaca.

---

“Yusuf anakku,

Maaf jika Ibu terlihat tak adil.

Maaf jika Ibu jarang memelukmu.

Tapi tahukah kamu?

Dari semua anak Ibu…

Lanjut di kolom komentar yaaaa

Judul: “Perempuan yang Tak Layak Masuk Surga”Oleh: (Eny Tri Susanti)“Kamu perempuan kotor. Surga nggak pantas buat orang...
31/05/2025

Judul: “Perempuan yang Tak Layak Masuk Surga”

Oleh: (Eny Tri Susanti)

“Kamu perempuan kotor. Surga nggak pantas buat orang kayak kamu.”

Kalimat itu pernah membuatku membenci Tuhan.

Tapi hari ini, aku justru bersujud paling lama dalam hidupku.

Namaku Hana. Usia 26 tahun.

Dulu aku bekerja sebagai pemandu karaoke.

Kadang pulang pagi, kadang tidak pulang sama sekali.

Hidupku penuh tawa palsu, parfum murahan, dan dosa yang tak bisa kuhitung.

Kupikir, Tuhan sudah tak peduli padaku.

Jadi aku pun berhenti peduli pada-Nya.

Sampai suatu hari, aku jatuh cinta.

Bukan pada lelaki.

Tapi pada sepasang mata yang memandangku tanpa jijik, tanpa syahwat.

Dia bernama Zahra.

Gadis 8 tahun yang sering duduk di depan rumah kontrakanku sambil menunggu ibunya pulang kerja.

Setiap aku lewat, dia selalu menyapa:

“Kak Hana cantik hari ini.”

Awalnya aku hanya tersenyum.

Tapi setiap hari ia datang dengan pelukan dan cerita-cerita kecil.

Suatu malam, aku pulang menangis.

Ada pelanggan yang kasar.

Hidup terasa menjijikkan.

Dan Zahra tiba-tiba duduk di depan pintu rumahku dengan buku kecil di tangannya.

“Kak Hana mau aku bacain doa sebelum tidur?”

Aku kaget. Mengangguk.

Lalu dia berdoa. Dengan suara pelan.

Mataku basah. Bukan karena sedih. Tapi karena rindu.

Entah sejak kapan aku terakhir mendengar nama Allah disebut dengan cinta.

Malam itu, aku tak keluar.

Aku diam.

Menatap langit dari jendela kecil.

Ada sesuatu di dadaku yang terasa… hangat. Tapi juga sesak.

Beberapa minggu kemudian, Zahra sakit.

Demam tinggi. Dilarikan ke rumah sakit.

Aku ikut menjenguk.

Dan di situ aku bertemu ibunya.

“Terima kasih ya, Mbak Hana. Zahra selalu cerita tentang Kak Hana yang baik, cantik, dan… selalu tersenyum meski lelah.”

Aku hanya bisa mengangguk. Tapi hatiku hancur.

Karena aku tahu, senyumku itu palsu.

Dan aku belum pantas dibilang baik.

Lanjut di komentar ya!!

Address

Kota Batu

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Novel Ku posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share