
11/09/2025
InfoBatusangka - Di era digital yang serba cepat, fenomena konten kreator toksik atau "pacaruik" kian marak. Mereka hadir dengan kata kasar, drama, dan kebencian. Pertanyaannya: mengapa mereka bisa eksis? Jawabannya tidak sesederhana menyalahkan mereka semata. Masyarakat dan sistem media sosial turut memberi panggung.
Kita harus jujur mengakui, drama sering lebih menarik daripada konten edukatif. Video pertengkaran atau ujaran kebencian cepat viral karena jari-jari kita tak tahan untuk menonton, membagikan, atau berkomentar. Padahal, di mata algoritma, semua itu dianggap hadiah: perhatian. Setiap klik adalah bensin yang membuat konten toksik makin membara.
Pasar digital beroperasi dengan logika sederhana: perhatian adalah mata uang. Kreator yang paling banyak ditonton dan dikomentari dianggap sukses. Jalan tercepat meraih itu adalah dengan provokasi. Memancing emosi negatif jauh lebih mudah ketimbang menumbuhkan inspirasi. Maka tak heran, sebagian kreator tega memanfaatkan celah ini demi popularitas dan uang.
Model bisnis media sosial memperparah keadaan. Algoritma mengutamakan interaksi tinggi, dan konten toksik unggul dalam hal itu. Platform pun meraup keuntungan dari iklan, sementara masyarakat terjebak dalam lingkaran drama. Kreator makin ekstrem, penonton terus terseret.
Namun, semua ini bukan alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Menyebar fitnah, kata kotor, dan merusak mental orang lain tetap salah. Mereka harus bertanggung jawab. Tapi kita pun harus berkaca: apakah kita penonton yang bijak? Apakah kita berhenti memberi panggung? Perubahan tak akan datang jika hanya menunggu platform atau pemerintah.
Solusinya ada di tangan kita. Jika kita berhenti menonton, tidak mengomentari, dan tidak membagikan, kita memutus sumber kehidupan mereka: perhatian. Dukungan bisa dialihkan ke kreator yang inspiratif.
Fenomena ini adalah cermin pahit bagi masyarakat: betapa mudahnya kita terpancing emosi dan abai pada dampak jari-jemari kita di dunia maya. Sudah saatnya bijak, peduli, dan bertanggung jawab. Mari wujudkan ekosistem digital sehat, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi mendatang.(IB)