
09/10/2023
Sang pewaris part 3
Tangisan bayi memenuhi ruangan kamar Romlah dan Karta. Seorang bayi laki laki yang kini ada dalam dekapan Romlah. Ia memandangi bayi mungil itu, lalu menciuminya. Sementara Mak Imah telah pulang di antar Jamal, setelah selesai membersihkan dan mengurus ari ari bayi Romlah.
"Mak, bang Karta kenapa belum pulang? ini sudah sangat lama," tanya Romlah pada Mak Lasmi.
"Romlah....sebaiknya kamu istirahat dulu. Karta pasti pulang, jangan kuatir ya." Ucap Mak Lasmi mencoba merayu Romlah.
"Tapi--Mak..."
"Sudah, istirahatlah. Kasian bayimu," ujar Mak Lasmi lagi.
Romlah tak berani lagi membantah titah mertuanya. Ia meletakkan sang bayi di samping tubuhnya. Sementara Mak Lasmi pergi keluar demi suatu urusan.
"Bumi Yudhistira...Itulah namamu, nama yang bang Karta berikan," ucap Romlah yang berbaring sambil memandangi sang bayi. Romlah jadi teringat beberapa bulan lalu, saat kandungannya masih kecil.
"Dek, mudah mudahan anak kita laki laki. Abang ingin, dia yang mewarisi semuanya. Ilmu dan kekayaan yang abang punya. Kalau dia lahir, beri nama Bumi Yudhistira. Karena di bumi inilah abang bisa mendapatkan segalanya" ucap Karta kala itu. Ia sangat yakin kalau anak yang di kandung sang istri berjenis kelamin laki laki.
Sementara itu, Mak Lasmi meminta Jamal untuk mengevakuasi jenazah Karta. Karena Romlah sudah melahirkan, ia tak perlu khawatir proses persalinan sang menantu menjadi terganggu. Maka dari itu Mak Lasmi memilih untuk mengurus Romlah terlebih dahulu.
Jam menunjukkan pukul empat pagi saat Jamal dan warga desa lainnya membawa jenazah Karta ke rumah. Romlah yang sedang tertidur pun terbangun mendengar keramaian di rumahnya. Ia yang penasaran mencoba untuk bangun dan berjalan mendekati pintu kamar.
Romlah membuka pintu, alangkah terkejutnya kala ia melihat wajah pucat Karta yang tubuhnya sudah tak berbentuk lagi.
"Bang Karta!! Tidaak, kenapa? Apa yang terjadi dengan bang Karta?" Romlah berteriak sambil berjalan tertatih menghampiri sang suami yang sudah menjadi mayat. Dia tak pedulikan lagi rasa sakit pada area sensitifnya seusai melahirkan.
"Bang, bangun! Apa yang terjadi? anak kita sudah lahir," Romlah bersimpuh di samping jenazah Karta.
Meskipun hari masih belum menunjukkan siangnya, tapi rumah Karta sudah di penuhi para pelayat. Karta memang orang yang cukup terpandang di desanya. Ia memiliki beberapa petak sawah, ternak dan rumah yang cukup besar di antara warga desa lain. Selain itu, Karta juga terkenal dengan ilmu gaib yang ia miliki.
"Romlah..tenangkan dirimu. Karta di temukan meninggal di persimpangan desa. Semalam Jamal yang menemukan jenazah Karta," Mak Lasmi menghampiri Romlah yang menangis sambil memeluk jasad sang suami.
"Tidaaak, Mak...bang Karta tidak boleh pergi. Anaknya sudah lahir. Anak laki laki yang dia inginkan, bang Karta pasti senang. Ayo bangun bang! Coba lihat anak kita, dia mirip sama abang," ucap Romlah sambil terisak.
Mak Lasmi membawa Romlah ke dalam pelukannya. Ia mengusap rambut sang menantu.
"Sabar Romlah, ini sudah takdir. Kamu harus ikhlas," Mak Lasmi mencoba membujuk Romlah yang ada di pelukannya.
"Tapi kenapa harus sekarang Mak? Siapa yang tega melakukan ini pada bang Karta?" tanya Romlah. Ia melepaskan pelukan Mak Lasmi, matanya menatap satu persatu warga yang ada di sana.
"Katakan! Siapa yang melakukan ini pada bang Karta? bang Karta bukan orang yang mudah di lukai apalagi di b*nuh, dia punya ilmu kebal. Siapa yang sudah berani mengusik hidup keluarga ini?" ucap Romlah penuh amarah, matanya menatap nyalang para pria yang ada di rumahnya.
Seketika suasana menjadi hening dan tegang. Para laki laki itu tak ada yang bersuara satupun. Namun suara tangisan bayi Romlah membuyarkan semuanya.
"Romlah, sebaiknya kamu kembali ke kamar. Susui bayimu, kasian dia." Pinta Mak Lasmi pada Romlah. Ia lalu menuntun Romlah menuju kamar. Setelah itu menutup pintunya.
Segera jenazah Karta dimandikan dan akan di sholatkan menuju musholla yang tak jauh dari rumahnya. Beberapa orang membantu mengangkat keranda. Mereka berjalan beriringan. Hanya butuh waktu sebentar karena rumah Karta ke musholla hanya berjarak tiga rumah saja. Namun baru akan masuk ke dalam musholla, para pria yang mengangkat keranda itu mengeluh.
Tiba tiba langkah mereka terhenti dan berteriak satu sama lain.
"Aduh! Kenapa kaki saya kok nggak bisa gerak ya?" tanya salah seorang pria yang posisinya paling depan.
"Iya sama, kaki saya seperti ada yang menahan," timpal seorang pria di belakang.
Keranda yang di angkat itu tak bisa bergerak. Seolah tak diperbolehkan masuk ke dalam musholla. Apa yang sebenarnya terjadi?