
24/08/2025
Beban masyarakat dalam beberapa tahun terakhir terlalu berat. Setelah kenaikan tarif pajak, harga-harga barang, dan tekanan ekonomi, Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 2026.
Rencana kenaikan tarif tersebut berpotensi menambah tekanan bagi masyarakat yang sudah terbebani inflasi. Alih-alih menghadirkan solusi atas defisit keuangan, kebijakan ini justru dikhawatirkan menjadikan rakyat sebagai penanggung utama kekacauan tata kelola BPJS Kesehatan.
Presiden Prabowo Subianto dikabarkan sudah menyetujui rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 2026. Ketentuan ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Penyesuaian dilakukan bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Pemerintah menyebutkan rasio klaim yang terus meningkat menekan ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Semester I 2025 tercatat beban klaim lebih besar dibanding penerimaan iuran. Jika tak ada penyesuaian, BPJS Kesehatan berpotensi gagal bayar pada pertengahan 2026.
Ekonom Universitas Patria Artha, Bastian Lubis, menilai keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 2026 merupakan langkah terburu-buru dan berpotensi membebani masyarakat di tengah tekanan ekonomi. Ia mengkritik pendekatan pemerintah seolah menjadikan masyarakat sebagai “penambal” defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
“Pemerintah tidak boleh menjadikan rakyat sebagai objek pemas**an anggaran dengan menaikkan iuran setiap kali terjadi ketidakseimbangan keuangan di BPJS,” tegas Bastian, Kamis, (21/08/2025)
Seharusnya, pembenahan dilakukan dari sisi tata kelola, efisiensi belanja kesehatan, serta peningkatan kepatuhan pembayaran iuran dari institusi besar, bukan hanya menekan peserta mandiri,” sambungnya.
Ia menambahkan bahwa akar persoalan defisit BPJS bukan semata pada rendahnya iuran, melainkan ketidakseimbangan struktural antara penerimaan dan belanja. Faktor seperti lemahnya pengawasan terhadap fraud klaim rumah sakit, kurangnya kontribusi optimal dari pemerintah daerah, serta masih tingginya pembiayaan penyakit katastropik seharusnya menjadi fokus perbaikan.
“Kalau setiap kali defisit jawabannya hanya menaikkan iuran, maka masyarakat akan terus menjadi korban,” kritiknya. (Edo)
Sc: Harian Fajar