02/07/2025
Fusi Besar-Besaran Partai Politik Pemilu 1977: Konsolidasi Politik Era Orde Baru
Dalam sejarah demokrasi elektoral Indonesia, Pemilu 1977 menandai titik balik dramatis dalam lanskap partai politik. Inilah pertama kalinya terjadi fusi atau peleburan besar-besaran partai politik secara terstruktur dan terpusat oleh negara, yang merampingkan puluhan partai menjadi hanya tiga peserta Pemilu. Kebijakan ini merupakan buah dari strategi politik Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto yang ingin menciptakan stabilitas politik melalui penyederhanaan sistem kepartaian.
Latar Belakang Fusi: Dari Fragmentasi ke Sentralisasi
Pasca Pemilu 1955, sistem politik Indonesia sangat fragmentatif. Saat itu, Pemilu diikuti oleh 118 peserta untuk DPR dan 91 peserta untuk Konstituante, termasuk 36 dan 39 partai politik masing-masing. Fragmentasi tersebut mencerminkan semangat demokrasi multipartai awal kemerdekaan, namun juga melahirkan ketidakstabilan politik, seringnya pergantian kabinet, dan krisis legitimasi pemerintahan.
Ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan pasca-G30S/PKI, prioritas utama rezim baru adalah penataan kembali sistem politik nasional demi menjaga ketertiban dan pembangunan ekonomi. Maka, untuk Pemilu 1977, pemerintah melaksanakan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui proses fusi yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Proses Fusi: Tiga Pilar Politik
Fusi partai dilakukan dengan menyatukan partai-partai berdasarkan orientasi ideologi dan sejarah pergerakan:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dibentuk dari peleburan empat partai Islam: Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan hasil fusi lima partai beraliran nasionalis dan kerakyatan: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai IPKI, Partai Murba.
3. Golongan Karya (Golkar) tetap berdiri sendiri dan difungsikan sebagai kekuatan utama penopang pemerintahan Orde Baru. Golkar bukan partai politik dalam pengertian klasik, melainkan "kekuatan sosial fungsional" yang didukung oleh birokrasi, militer, dan kelompok teknokrat.
Motif dan Implikasi Politik
Meski dikemas dengan alasan efisiensi dan stabilitas, fusi partai merupakan bagian dari strategi hegemonik negara untuk meminimalkan oposisi dan memperkuat kontrol pemerintah atas politik elektoral. Dengan hanya tiga peserta, kompetisi politik menjadi terkonsentrasi dan cenderung tidak setara, terutama karena dominasi Golkar yang selalu menang telak dalam enam kali Pemilu Orde Baru (1971–1997).
Langkah ini juga berdampak panjang terhadap budaya politik Indonesia. Penyeragaman dan penyerapan partai menyebabkan melemahnya kaderisasi ideologis dan menghambat dinamika oposisi. Bahkan, dalam literatur politik, fusi 1973 (yang efektif pada Pemilu 1977) disebut sebagai bentuk depolitical engineering yang membentuk sistem semi-otoriter dengan wajah demokratis.
Penutup: Warisan Fusi dan Pembelajaran Demokrasi
Fusi partai politik dalam Pemilu 1977 adalah pelajaran berharga tentang bagaimana desain kelembagaan dapat digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Ketika rezim berganti dan era Reformasi dimulai pada 1998, sistem multipartai kembali dibuka lebar, hingga dalam Pemilu 1999 terdapat 48 partai politik peserta suatu reaksi langsung terhadap represi politik di masa sebelumnya.
Namun demikian, warisan fusi 1977 masih relevan dalam diskursus konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini, terutama dalam upaya menyederhanakan sistem kepartaian secara lebih demokratis melalui ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan verifikasi partai politik.