Author Dva

Author Dva Penulis Novel

04/02/2025

Grup Rahasia Keluarga Suamiku

[Mas, ada temanku yang mau berkenalan dengan kamu. Dijamin cantik, seksi pokoknya.]

[Ah masa sih? Coba d**g kamu kirim fotonya sekarang.]

[Iya ni, coba kamu kirim ibu pengen lihat.]

Aku termenung menatap pesan berbalas di WhatsApp keluarga suamiku.

Sebuah pesan masuk adik iparku mengirim foto wanita cantik, seksi dengan baju kekurangan bahan.

[Cantik sekali, Dek. Oh iya, siapa namanya? Tidak seperti Mbakmu kucel banget, nggak sedap dipandang.]

[Iya cantik, siapa namanya? Cocok kalau bersanding dengan kamu Bian.]

Aku meremas ponsel Mas Bian dengan kesal. Ternyata ini grup Wa baru keluarga suamiku. Pantesan saja grup satunya sepi seperti kuburan.

Geram tentu saja bahkan mertuaku juga setuju dengan Nadia. Memang awalnya mereka tidak menyukaiku.

Sesak rasanya dada ini membaca pesan di grup mereka. Sungguh tega mereka kepadaku padahal selama ini aku yang membiayai kehidupan mereka dengan berjualan gorengan dan syukur masih ada sisa tabunganku selama gadis.

[Oh iya Mas. Nggak mau apa ketemuan dengan Mbak Siska? Nanti direbut orang, baru tau rasa.]

[Oke Mas mau. Nanti tolong kamu bilang ketemuan di Restoran di Jln. Gading Cempaka ya.]

Tidak kuat rasanya membaca pesan dari Mas Bian. Mana janjimu Mas? Yang akan menjadikan aku wanita satu-satunya dihatimu?

Apa karena aku tidak kaya? Percuma cinta yang ku tanaman dengan tulus kamu balas dengan penghianat ini.

***

"Mas kok uang bulananku dikurangi sih?" Tanyaku.

"Udah syukur aku kasih, kamu pikir cari uang gampang? Pergunakan uang itu seperti biasa. Jangan sering mengeluh, capek aku dengarnya," bentaknya dengan marah.

Aku menatapnya dengan tatapan kesal setengah hati. "Emang kamu pikir lima ratus ribu itu cukup untuk kita satu bulan. Belum lagi untuk Ibumu, Mbak Ika dan Nadia kamu pikir cukup? Belum untuk bayar air, listrik, belajar dapur saja tidak cukup," balasku dengan membentak.

"Selama ini cukupkan?" Tanya Bian.

"Selama ini aku cukup-cukupkan Mas. Jangankan untuk membeli skincare buat mak-"

"Sudah cukup ini aku tambahin lima ratus ribu lagi," potong Mas Bian berlalu pergi.

Astaghfirullah, kami berubah mas!

"Mbak Intan, minta uang d**g! Aku mau ke kampus ni," sahut Nadia dengan menengadahkan tangannya ke arahku.

"Tidak ada uang, kamu pikir cari uang gampang apa?" Cecarku dengan kesal.

"Kok gitu sih, cepetan nanti aku telet," bentaknya dengan kesal. Bahkan Nadia tak menganggapku sebagai kakak iparnya.

"Tidak ada masih juga bertanya," balasku membentak.

"Bu, lihat Mbak Intan tidak mau memberikan uang." Aduh Nadia kepada wanita paruh baya dan tak lain mertuaku sendiri.

"Loh kok gitu Intan? Cepat kasih Nadia uang," perintah ibu.

"Aku tidak mau dan bodo amat," sahutku dengan kesal. Sungguh aku teramat sakit hati karena sikap mereka.

Dulu jika mereka meminta uang pasti akan aku berikan. Tapi tidak dengan sekarang, setelah mengetahui kebus**an mereka.

Terlebih Ibu, Mbak Ika dan Nadia. Hanya menampilkan wajah lembut disaat butuh saja.

"Ambil Uang ini Nadia, cepat pergi nanti kamu telat," sahut mas Bian dengan memberikan uang merah sejumlah sepuluh puluh lembar. Sama saja dengan uang bulananku, menyebalkan!

Ha? Dengan aku saja begitu pelit kamu , Mas!

"Emm Bian ibu dan Mbakmu mau juga d**g. Kan nanti kita mau ketem-"

Nampaknya Ibu mertua hampir saja keceplosan, dan ku lirik dari ekor mataku mas Bian melotot.

Baiklah Mas, akan aku ikuti semua permainanmu.

"Ketemuan siap, Bu?" Tanyaku pura-pura tak tahu.

"Udah nggak usah banyak b*c*t kamu Intan, cepat beres-beres dan jualan. Jangan hanya jadi beban suami saja," sahut Mbak Ika—ipar julidku.

Akhirnya aku mengalah saja toh bikin sakit saja.

Setelah membersihkan rumah, akhirnya aku bisa selonjoran. Belum sampai satu menit teriakan Ibu mertua menggema.

"Intan … !"

"Intan … !"

Hu menyebalkan.

"Ada apa Bu?" Tanyaku dengan kesal baru saja beristirahat.

"Tolong Ibu … Ibu terpeleset ni. Sekalian urutin!"

"Cuman bisa nyusahin aja," gerutku.

"Apa kamu bilang?"

"Nggak ada!" Sahutku dengan sewot.

"Tolong urut kaki Ibu ni sakit," lirihnya.

Dulu aku sangat menghormatimu, melakukan apa saja agar ibu bisa menerima aku dengan baik. Ternyata aku salah.

"Malas Bu, Intan juga capek," ucapku berlalu pergi tanpa memperdulikan teriakan mertuaku yang begitu keras.

"Intan … !”

"Hey... Mau kemana kamu? Dasar menantu kurang ajar," jerit Ibu mertuaku.

Bodo amat bu, terserahlah aku capek.

***

Ting…!

Ting...!

Ponselku kembali berbunyi. Pesan dari Mas Bian. Yang membuat mood ku buruk!

[Intan..!]

[Intan, kenapa kamu sekarang kurang ajar! Tidak kamu kasihan dengan Ibu? Tidak Kusangka ternyata kamu seperti itu.] Bunyi pesan Mas Bian.

[Aku bukan pembantu Mas. Aku ini istri kamu.] Balas ku dengan kesal.

[Kamu jangan kurang ajar!]

[Bodo Amat!]] Balasku dengan cepat.

Mengetik..

Gegaslah aku mematikan ponsel, daripada naik darah. Kan nggak lucu.

Lebih baik aku menyenangkan diriku, rasanya sudah lama aku tidak makan dengan kenyang. Ku putuskan untuk membeli apa saja yang aku s**a. Yang tidak pernah diberi oleh Mas Bian.

Gegaslah aku menaiki angkot ke pusat kuliner, rasanya air liurku tidak tertahan lagi ini mencicipi aneka makan.

"Bu baksonya satu, mie ayam satu sama es teh satu ya." Pesanku kepada pada penjual bakso.

Tidak lama pesanan ku telah sampai aku pun mulai menikmatinya dengan rasa senang bercampur sesak. Nampak penjual bakso dan pembeli menatapku dengan aneh. Biarkan saja lagian aku tidak peduli.

Setelah rasanya puas aku mencicipi aneka makanan. Aku berpindah ke toko baju untuk membeli pakaian yang terbilang layak, tidak seperti pakaian lusuh yang aku miliki.

Drett...

Drett...

Lagi-lagi hidupku tidak tenang.

"Intan, dimana kamu? Kenapa tidak ada makanan di rumah,” tanya wanita paruh baya tak lain mertuaku dengan kesal.

"Beli aja kok susah sih Bu, lagain aku ini bukan pembantu! Aku ini istri Mas Bian," balasku dengan kesal dan tak lupa mematikan ponsel.

Terserahlah aku nggak peduli, toh bukan perutku.

Huhh.. Ternyata sudah lebih dari dua jam aku pergi dari rumah dan keputusan untuk kembali. Rasanya badan ini lelah.

Sambil menunggu gr4b yang ku pesan. Lebih baik aku menikmati secangkir es dawet pasti sangat menyegarkan dikala panas seperti ini.

Sambil menikmati secangkir es dawet, ku hidupkan dataku untuk melihat siapa yang mencariku namun tidak ada.

Iseng-iseng aku buka Story Nadia dengan caption [Persiapan Bertemu Dengan Orang Spesial.]

Nampak mereka bertiga sedang di pusat perbelanjaan dengan ya penampilan yang glamor apa lagi, Nadia dan mbak Ika memakai baju kurang bahan.

Tin..

Tin..

Nampak grab yang ku pesan sudah ada, gegas aku memasuki mobil tersebut dan tidak lupa menenteng belanjaan dan juga makanan untukku nanti.

Setelah sampai di rumah ku putuskan untuk mengunci diri di dalam kamar dan menangis sepuasnya-puasnya.

"Rasanya menyesal pun tidak ada gunanya, Ma ... Pa… Kak Ingri, Intan rindu," ucapku lirih.

26/10/2024

Aku kira hidup pernikahanku bahagia ternyata penuh dengan luka, lelaki yang aku kira bisa menyayangiku ternyata bermanja mesra bersama wanita lain.
____________________________
Judul: Adikku Ternyata Pelakor Dalam Rumah Tanggaku
Napen: Deva_Melany
Di aplikasi KBM App

“Terimakasih ya, Sayang! Mas, begitu puas,” ujar lelaki yang baru saja bertarung hebat denganku. Aku tersenyum senang melihat ia begitu menikmati pertarungan yang beberapa saat telah berhenti menciptakan sensasi di atas angin ini.

Aku menciumnya dan melingkarkan tangan ke perutnya. “Sama-sama, Mas.” Setelah cukup lama bermanja di pelukan lelaki halalku. Aku memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu.

Kurang lebih 15 menitan aku keluar dari kamar mandi dengan senyuman merekah. Teringat ibadah yang kami lalui tadi, pipiku bersemu merah menatap malu.

Apalagi Mas Putra memujiku dengan kata-kata manisnya yang membuat aku terbang melayang ke angkasa raya.

“Duhh, dada ini berdebar terus! Seperti abg saja aku ni,” gumamku geli pada diri sendiri. Kutatap lelaki syurgaku yang telah terbuai indahnya mimpi dibalut lelah karena olahraga kami.

Aku tersenyum menatap ke arahnya. Dan setelah mengoleskan krim wajah aku pun beranjak ke atas ranjang dan mulai ikut serta kedalam mimpi indah suamiku.

Baru saja kantuk menyerang mataku terdengar notif WA dari ponsel suamiku. Siapa malam-malam mengirim pesan?

Aku tak menghiraukannya dan ingin kembali melanjutkan tidurku. Namun, tampaknya pesan yang dikirim seseorang tidak hanya satu kali saja. Dengan perasaan kesal aku menyambar ponsel yang beberapa waktu lalu tampak disembunyikan Mas Putra.

Keningku menggerutu karena mendapati ponsel Mas Putra dalam keadaan terkunci, sejak kapan ia melakukan itu?

Segala tanggal telah aku masukkan namun tak satupun bisa menjadi kata kunci untuk ponsel Mas Putra, beruntung saja ponsel Mas Putra bisa buka dengan sidik jarinya. Perasaan ini sedikit ketar ketir melihat nomor yang diberi nama “Aryo Bengkel” ini.

Lagi dan lagi aku mengerutkan kening karena menatap nama sang pengirim bukankah ia staf yang sering membersihkan mobil kami?

Aku segera membuka dan menggeram kesal karena WhatsApp Mas Putra lagi-lagi dikunci. Dengan berhati-hati aku mengambil tangannya dan membuka aplikasi berwarna hijau itu.

[Mas, aku lagi kangen nih! Udah nyut-nyutan tauk.]

Foto

Dadaku berdebar kencang membaca pesan tak senonoh yang dikirimkan oleh Aryo bengkel ini. Terlihat foto menjijikkan yang baru saja dikirimkan oleh nomor itu. Tampak wanita setengah bu9ill yang tak terlalu jelas wajahnya yang memamerkan belahan dada dan juga s3l4n9k4 nya memenuhi layar ponsel Mas Putra.

“Kurang aja kamu, Mas! Dasar laki-laki kadal.”

Aku men scroll isi percakapan mereka dengan menahan gemuruh di dada, ingin sekali aku cekik lelaki yang baru saja menghabiskan malam syahdu bersamaku ini.

Mataku melotot membaca pesan berbalas antara dia dengan sundal itu.

[Entah setan apa yang merasuki ku hingga harus menikah dengan wanita modelan, Esti! Tak ada yang dapat aku banggakan darinya andai saja aku bisa bertemu denganmu lebih dulu, mungkin hidupku tak akan sesunyi ini bersama wanita mandul yang tak bisa memberikan aku keturunan.] Kata-kata yang Mas Putra ucapkan seakan seperti tombak yang menembus jantungku. Air mata ini mengalir dengan sendirinya dengan kasar ku hapus air mata ini.

[Lepaskan saja,Mas! Aku akan selalu menemanimu dan tak akan mengecewakan kamu sedikitpun. Bahkan kamu saja klepek-klepek aku buat, kan?] Ujar wanita itu bertanya kepada Mas Putra.

[Tentu saja, Sayang! Tapi, Mas belum bisa menceraikannya sekarang sih mandul itu masih sangat berguna untuk kita! Bahkan uangnya bisa Mas gunakan untuk memanjakanmu ahahah.]

Tanganku terkepal kuat membaca pesan di antara mereka tidak hanya membahas malas ranjang saja tetapi Mas Putra bahkan hanya memanfaatkan aku hingga detik ini.

Kuraba dada ini terasa amat nyeri mendapatkan fakta yang menyakitkan. Air mataku mengalir deras walau sudah aku cegah.

Aku mengambil ponselku dan membuka WhatsApp web dan menyadap ponsel Mas Putra. Kepercayaan yang aku bangun ternyata disalah gunakan oleh lelaki ini, kebaikan yang aku berikan hanya dipandang sebelah mata olehnya.

Tepat aku mengembalikan ponsel Mas Putra kembali ke tempatnya, ia terbangun dan menatapku dengan bingung.

“Kenapa tidak tidur, Dek? Hari sudah malam loh! Apa masih kurang?”

“Tidak Mas! Aku hanya terbangun saja ingin buang air kecil,” ujarku dengan tenang sambil menahan gemuruh amarah di dadaku.

Mas Putra mengangguk. “Ya udah cepat ke kamar mandi setelah itu kembali tidur, aku tak ingin kamu sakit, Sayang!” Mas Putra menjawab. Dulu kata-kata manisnya begitu membuat aku meleleh tapi, tidak dengan sekarang rasanya aku ingin meludahi wajahnya itu.

Sesampainya di kamar mandi kutatap wajahnya dengan senyuman pahit. Aku tertawa sumbang meratapi hidup rumah tanggaku ini.

***

Pagi menyapa, rasa malas dan juga ngantuk membuatku enggan untuk turun dari atas ranjang. Kutatap lelaki yang menggores luka hatiku ini terlihat nyenyak sekali tanpa sedikitpun menghargai perasaanku.

“Estiiiiii,” teriak Mas Putra dari kamar di pagi yang cerah namun redup yang aku rasakan.

Aku pun melangkah mendekati Mas Putra yang berkacak pinggang dengan tatapan tajam. “Ada apa sih, Mas pagi-pagi udah teriak? Malu tauk didengar tetangga!”

“Bodo amat! Ini juga salahmu kenapa tidak membangunkan aku. Lihat sekarang,” ujar Putra sambil menunjuk jam yang tergantung cantik di dinding rumah mereka. “Sudah jam 7 pagi dan kamu tak membangunkan aku? Istri macam apa kau ini, hah! Dasar beban, cuman taunya menghabiskan uangku saja,” bentak Putra sambil berlalu pergi dengan kaki yang dihentakan.

“Astaghfirullah, sepertinya Mas Putra sedang datang bulan,” gumamku sambil terkikik geli bercampur sakit.

Setelah perdebatan kami tadi aku pun segera melangkah kaki ke taman belakang daripada menyiapkan keperluan Mas Putra.

Brakkk

Terdengar gebrakan meja makan yang terdengar nyaring membuat aku tersenyum kaget. “Estiiiiii,” teriak Mas Putra menggelegar.

Aku berjalan santai ke arahnya yang diliputi amarah di ujung kepala.

“Ada apa lagi, Mas? Nggak sakit apa tenggorokanmu pagi-pagi sudah teriak, hah?”

“Bac*t! Mana sarapan kenapa hanya itu saja yang kau masak,” tunjuk Putra kearah meja makan dengan menu seadanya.

“Nggak usah ngegas d**g, Mas! Aku masak sesuai dengan uang yang kamu kasih loh lagian hanya itu yang tersisa di kulkas,” ujarku sesantai mungkin.

Kilatan marah menghiasi mata Mas Putra yang tak setuju mendengar ucapanku. “Kan kamu tau sendiri gajian aku berapa Esti dan tak akan cukup jika harus memenuhi semuanya. Kau kan punya penghasilan sendiri jadi tak usahlah perhitungan d**g,” decak Putra kesal.

“Makan apa yang ada Mas, lagian kamu nggak berangkat kerja udah jam 8 loh, nggak takut di pecat?”

Mas Putra menatap jam di pergelangan tangannya dan mulai melangkah tanpa berpamitan denganku terlebih dahulu. Aku menghela nafas sesak sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh.

“Ini belum seberapa, Mas! Kamu akan merasakan akibatnya lebih dari ini bersama selingkuhanmu itu,” gumamku sambil berlalu pergi dari sana.

Next?

 #6"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seha...
26/09/2024

#6

"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seharian ini, hah?" Bu Rahayu, berkacak pinggang di hadapan Fia.

"Buk, aku tidak enak badan itu sebabnya aku tidak masak hari ini. Tadi —" Fia, memijat pelipisnya. Pusing yang entah kenapa kembali datang sejak pagi tak kunjung hilang.

"Alasan aja kamu. Cepat buatkan bubur ayam buat Rara, semua gara-gara kamu jadi kandungan Rara bermasalah. Kalau saja sesuatu terjadi pada mereka berdua sudah ibu habisi kamu. Cepetan! Sebentar lagi menantu kesayanganku akan p**ang." Ucap Bu Winda tidak terbantahkan.

Dengan langkah berat, Fia kembali ke dapur membuat bubur meski tubuhnya begitu lemah. Semula Faris akan mengantarnya ke dokter. Namum, entah drama apa yang sudah dilakukan oleh m4dunya sehingga ia terjatuh dan sayangnya di hadapan Fia yang semula ingin menolong kini ia manjadi tersangka.

"Assalamualaikum, buk. Tolong bantu Rara dulu," Faris meminta Ibunya untuk membantu agar Rara duduk dengan nyaman.

"Faris, suruh istrimu yang m A n d u l itu bawa bubur ke sini. Kebangetan banget sih, kalau nggak s**a bukan berarti mencelakai calon anakmu. Apa dia pura-pura lupa kalau anak kamu itu calon cucu ibu?" kesal Bu Winda.

Tanpa menjawab Faris pun pergi meninggalkan dua wanita yang tengah duduk di ruang keluarga. Ia mencari istri tuanya yang tengah menyiapkan bubur untuk istri mudanya.

"Mas,"

Faris berlalu begitu saja mengambil bubur yang sudah dibuat oleh Fia dan membawanya ke depan. Tidak ada kata terima kasih atau sapaan dari pria yang selalu memberikan kenyamanan untuknya. Fia hanya bisa menghela napasnya.

Acara makan malam berlangsung begitu cepat. Seperti biasa Fia akan makan di dapur. Namun, kali ini Fia memilih untuk tiduran tubuhnya semakin lemah. Akan tetapi tugasnya tidak mungkin di ganti sehingga Fia tetap mengerjakan meksi dengan wajah pucat.

Dari jauh Faris terdiam di tempat, memperhatikan apa yang tengah di kerjakan oleh Fia. Niatnya untuk mengambil air minum ia urungkan, seakan kakinya menempel dengan lantai. Ia tertegun melihat Fia yang berapa kali hampir jatuh. Jauh di sudut hatinya, tidak percaya jika istri tuanya tega melakukan hal itu hanya saja Faris sulit untuk membela terlebih di hadapan Ibunya.

Bruk!!

"Aku tidak apa-apa, mas. Pergilah, jangan membuat masalah untukku, lagi." Ucapnya lirih, sarat akan penekanan.

"A —" Faris, urung menahan langkah Fia. Wanita yang terluka karena ulahnya itu berlalu pergi. Wajahnya yang pucat pasi membuatnya tersadar jika ia tidak adil pada istrinya yang lain.

"Kamu sedang apa Faris? Jangan bilang kamu mau mendekati wanita tidak tahu diri itu? Cepat, urus Rara. Ibu tidak mau sesuatu terjadi padanya." Tegas Bu Winda.

"Buk, Fia sedang sakit. Apa tidak bisa jika Fia tetap istirahat? Besok aku cari pembantu untuk —" Faris kembali terdiam.

"Kamu pikir sanggup? Banyak yang harus pikirkan, bukan cuma wanita itu saja Faris. Kamu tahu apa yang terjadi, sudahlah ibu tidak mau mendengar bantahan." Bu Winda, masuk menutup pintu kamar dengan kencang.

Suara adzan berkumandang Fia terjaga, sejak semalam ia sulit untuk tidur sehingga pagi ini tubuhnya kembali lemah

Brakk!!

"Selesai masak kamu belanja. Ingat semua yang ada di daftar harus ada. Pantang p**ang sebelum mendapatkannya." Sentak Bu Winda, mengejutkan Fia yang tengah menyiapkan sarapan di meja.

"Apa lihat, lihat? Kamu mau mengiba di depan ibu? Jangan harap, ibu iba!" imbuh Bu Winda sengit.

"Astaghfirullahaladzim, buk, apa ibu lupa cuma ngasih daftar belanja tanpa memberikan u a n g, padaku?" ucap Fia santun.

"Tau nggak ada u a n g, kamu d**g yang bayar Giman sih. Jangan berlagak tidak tahu, du_it yang kamu simpan itu du_it dari anakku jadi semua itu milikku. Cepetan pergi sana, ingat jangan lama-lama!"

"Astaghfirullahaladzim," lirih Fia.

Langkahnya gontai meninggalkan rumah mewah suaminya. Lebih tepatnya rumah orang tuanya karena Faris di larang pindah dari rumah itu sehingga Faris mengikuti keinginan mereka sampai berpoligami karena permintaan orang tuanya.

Sampai di pasar Fia membeli semua keinginan Ibu mertuanya, lima kantong besar kini ada di hadapan Fia.

"Alhamdulillah, selesai."

"Fia, kamu Fia kan?" tanya seseorang. Melihat wajah Shafia yang bingung.

"Ini, aku, kamu lupa sama aku?"

"Astaghfirullahaladzim," lirih Fia, tidak lama tubuhnya ambruk, membuat mereka terkejut.

"Fia, bangun Fia!"

Mereka saling bantu mengangkat tu_buh Fia yang tidak sadarkan diri ke rumah sakit. Setelah menunggu dua jam akhirnya Fia sadar.

"Aku di mana?" tanya Fia, bingung melihat kamar bercat putih aroma obat tercium di indra penciuman.

"Kamu di rumah sakit, Fia. Gimana keadaan kamu?"

"Aku,"

"Ibu Fia, selamat anda sedang mengandung Itu yang menyebabkan tu_buh Bu Fia lemah, nanti akan saya resep kan vitamin agar Bu Fia tidak lembah," dokter menjelaskan kondisi Fia yang lemah karena sedang mengandung.

"Apa. Jadi kamu hamil Fia?"

"Apa dok, saya hamil?" tanya Fia, tanpa menjawab pertanyaan pria di depannya. Ia begitu syok namun, juga bahagia.

"Itu benar Bu Fia, sebentar lagi suami ibu akan datang ke sini jadi–"

"Apa, suamiku akan ke sini? Dok, tolong sembunyikan kehamilanku dari suamiku, aku mohon,"

"Fia!"
***
Judul: Istri Untuk Suamiku
Penulis : Rafli123
Aplikasi : KBM App

D U N I A Memang an-eh, sering kali seseorang menilai sesuatu hanya dari sesuatu yang kelihatan. Aku di H I N A hanya ka...
26/09/2024

D U N I A Memang an-eh, sering kali seseorang menilai sesuatu hanya dari sesuatu yang kelihatan. Aku di H I N A hanya karena memakai appron yang b e l e p o t a n dengan tepung.... #6

"Lu hanyalah wanita mis-kin yang dipun-gut dengan Mas Zaky, seharusnya bersyukur bisa tinggal di rumah me-wah ini. Buktikan donk rasa syukur lu, dengan menjadi ba-bu di sini."

Ucapan Aulia begitu menya-kitkan, tapi di pendengaran Hanna ucapannya hanyalah sebuah angin yang tidak perlu dianggap.

"Sudah bicaranya?" Hanna bertanya dengan memperhatikan jam di tangannya, karena jam 10 pagi, ada jadwal meeting dengan rekan bisnisnya.

"Kalau sudah, saya mau pergi dulu. Ada hal yang lebih penting, yang harus diurus daripada mendengarkan ucapan tiada maknanya," lanjut Hanna.

"Apaan sih, urusan apa p**a yang penting? Sadar diri donk, lu hanya perempuan yang berasal dari kalangan rakyat menengah ke bawah! Sibuk apa sih memangnya?" Aulia menatap sin-is kepada Hanna.

"Apapun kegiatan saya, kamu nggak perlu tahu. Nggak penting juga kan? Urusin saja kuku-kuku merah menyala itu."

Satu bulan Hanna berada di rumah Dena, Hanna bisa melihat jika kegiatan Aulia hanya sibuk merawat diri, tanpa peduli dengan urusan yang lain.

"Apaan sih lu? Ngga usah ikut campur urusan gue!"

"Nah, kamu saja ngga boleh kan jika saya ikut campur dengan urusanmu, begitu juga saya, saya juga punya privasi."

"Menantu ngga tahu terima kasih, sudah syukur saya merestui kamu menikah dengan Zaky, tapi setelah menikah dengan anak saya, kamu malah seen-aknya saja," pe-kik Dena saat melihat Hanna pergi begitu saja tanpa memperdulikan ucapannya.

"Nyeb-elin banget sih jadi orang, udah miskin belagu lagi," teriak Aulia.

"Berhenti! Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini, akan saya pastikan, Zaky menc+eraikan kamu saat itu juga!"

"Silakan saja Mama mau ngomong apa dengan Mas Zaky. Saya mau pergi pun sudah izin dengannya, kalian tidak bisa meni-ndas saya seperti ini."

"Benar-benar menantu nggak tahu diri, semakin lama kamu menjadi pemban-gkang begini!" ger-am Dena, ia sangat em-osi karena Hanna tidak peduli dengan ancam-annya.

"Terserah mau ngomong apa, bukan saya tidak menghormati kalian, tapi sikap kalian sangat keterlaluan," gumam Hanna dan ia melangkah keluar rumah dan menuju ke sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah Dena.

Rumah yang dituju oleh Hanna adalah rumah yang telah dibelinya setelah ia menikah dengan Zaky. Tujuannya untuk mempersiapkan diri saat Hanna akan bertemu dengan rekan-rekan bisnisnya.

Mobil Hanna pun diletakkan di rumah me-wah tersebut.

Sesampainya di rumah mew-ah tersebut, Hanna disambut Mbok Ika. Mbok Ika adalah asisten rumah tangga yang dipercayakan Hanna untuk mengurus rumah yang baru saja dibelinya.

"Non Hanna mau sarapan dulu?" tanya Mbok Ika saat melihat Hanna duduk sejenak di ruang makan.

"Nggak Mbok, tolong buatkan jus apel saja ya, Mbok!"

"Baik, Non."

Beberapa menit kemudian, jus apel pun selesai dibuat oleh Mbok Ika. Hanna pun minum segelas jus apel. Setelahnya, Hanna menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

"Ah, rasanya lelah juga ya kalau seperti ini terus."

Setelah mengganti pakaian, ia menatap dirinya di cermin.

"Tetap, semangat! Bukankah aku ingin memiliki suami yang benar-benar tulus mencintaiku," gumam Hanna dengan menatap dirinya di pantulan cermin.

"Mama Dena benar-benar kelewatan, jika saja dia tahu siapa aku, mungkin sepanjang hari, wajahnya tersenyum menatapku."
"Ah sudahlah, jangan dipikirin soal sikap Mama Dena, yang penting Mas Zaky selalu baik."

**

"Lama-lama dia melu+njak, Ma! Mas Zaky sih, terlalu manjain istri. Istri kampu+ngan gitu aja dimanjain terus." Aulia terus saja nged+umel saat Hanna tetap keluar rumah. Kakak iparnya sama sekali tidak takut dengan ancaman yang dilontarkan oleh sang Mama.

"Gemas juga sih, Mama. Tapi, mau bagaimana lagi? Zaky terlalu percaya dengan wanita kampung itu," balas Dena.

Penyamaran Hanna sebagai wanita sederhana benar-benar terlihat nyata, hingga kini satu pun orang yang berada di rumah Bhaskara tidak mengetahui jika Hanna seorang kong+lomerat. Identitas yang tersembunyi membuat ia dengan mudah menjalankan misinya.

"Jika sikap Hanna seperti ini, kita jadi nggak bisa menguasainya, Ma. Dia nggak nurut sama kita, jadi siapa donk yang bersihkan rumah sebesar ini," kel-uh Aulia.

Dena menghela nafasnya, rasa ke-salnya terhadap Hanna semakin bertambah. Ia tak menyangka jika Hanna yang ia anggap bisa dikendalikan, nyatanya salah.

"Sudah ah, pusing Mama. Lebih baik kita shopping saja dan ke salon."

"Asyik, waktunya shoping," teriak Aulia dengan hati yang riang. Ia terlihat seperti anak kecil yang dibelikan es cream dengan orang tuanya.

"Ngapain? Girang amat," celetuk Nadine yang baru saja nongol.

"Suka-s**a donk," ketu+s Aulia.

"Ditanyain se-wot amat, cepat tua!"

"Apa-apaan sih kalian ini, kalau ketemu kerjaannya ribut mulu. Pusing Mama lihat kalian."

"Mama mau ke mana? Sudah rapi saja," tanya Nadine.

"Shoping."

"Dengan Kak Aulia?"

"Iya, kamu mau ikut?"

"Nggak ah, Ma. Aku juga mau ke kampus."

"Ke kampus terus, tapi ngga selesai-selesai kuliahnya," sindir Aulia.

"Kakak macam apa sih yang s**a nyindir adeknya sendiri?"

"Oh, jadi kamu merasa di sindir?"

"Ehmm, tapi kalau dipikir-pikir masih mendingan aku lah ya. Kamu sih selesai kuliahnya cepat, tapi ujung-ujungnya cuma sibuk mengurusi kecantikan saja."

"Sudah!" pekik Dena, ia merasa jengah melihat dua putri kandungnya bertengkar tanpa ujung.

Aulia dan Nadine terdiam. Nadine pun berpamitan kepada Dena untuk berangkat ke kampus.

**

Saat ini di restoran Liberty, Hanna sedang meeting bersama beberapa orang investor dari Kanada. Hanna dipercaya oleh sang Papa untuk menggantikan dirinya, karena saat ini Raditya sedang business trip ke Australia.

Sebagai an-ak tun+ggal pew+aris kekay-aan Dirgantara, Hanna telah belajar banyak hal yang berkaitan dengan dunia bisnis. Bukan hanya mengurusi toko roti miliknya, tapi ia sering terjun untuk mengurusi perusahaan sang papa.

Selesai meeting, Hanna memutuskan untuk segera keluar dari ruang vip restoran Liberty.

Aulia dan Dena yang sedang menikmati makanan di restoran Liberty, merasa tak asing dengan sosok wanita yang keluar dari ruang vip.

"Ma, kayak Hanna nggak sih?" tanya Aulia dengan tatapan lurus ke depan, karena posisi saat ini Hanna keluar dari ruang Vip yang berseberangan dengan tempat Aulia dan Dena.

"Nggak mungkin ah, Hanna mana mamp**ah makan di sini. Orang mis-kin kayak dia mana tahu dengan restoran bintang lima."

"Lah bisa saja kan, Ma? Dia kan udah nikah dengan Mas Zaky, bisa saja ia po-roti u4-ng Mas Zaky untuk kesena-ngannya," balas Aulia yang membuat Dena semakin pa-nas mendengarnya.

***

Istri Terh-ina Ternyata Seorang Kong-lomerat
Penulis : Yelvi Amalia
User name KBM : Yelvi2511

Judul  Dimulai dari minus, ya!Penulis Rani ryaniKBM APP*BAB 6*Telponku berdering daritadi, sementara aku harus segera me...
26/09/2024

Judul Dimulai dari minus, ya!
Penulis Rani ryani
KBM APP

*BAB 6*

Telponku berdering daritadi, sementara aku harus segera menyelesaikan laporanku karena manager accounting telah menagih sejak kemarin. Ku abaikan telpon dari Andri, dan mengirimkannya sebuah pesan mengabarkan bahwa nanti akan ku telpon balik. Setelah pesan itu terkirim, aku fokus melanjutkan pekerjaanku.

Waktu istirahat makan siang telah tiba, aku segera mengambil ponselku untuk menghubungi Andri. Sejujurnya hatiku cemas karena mengabaikannya, tetapi aku harus profesional menyelesaikan pekerjaanku. Dengan lincah jariku mencari kontaknya di whatsapp lalu ku pilih menu Video Call. Dengan sekejap andri menerima panggilan videoku.

“Lagi dimana abang??” Tanyaku saat melihat banyak orang lalu lalang disekitarnya

“Dirumah sakit. Mama sakit. Kata dokter harus operasi” ucapnya dengan nada memelas

Andri duduk di depan ruang rawat inap rumah sakit. Matanya yang biasanya penuh semangat setiap menatapku kini tampak suram dan kosong. Dia seperti terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung. Aku mencoba memberinya kekuatan meskipun aku sendiri merasakan kepanikannya

“Via, abang benar-benar ngga tahu harus bagaimana lagi,” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Ekonomi keluarga abang semakin kacau, dan sekarang Mama harus menjalani operasi. Abang ngga punya cukup v_4_n_6 untuk membayar biaya rumah sakit.”

Aku berusaha memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang juga kurasakan. “Abang, kita akan cari cara. Via ada di sini sama abang, kita akan hadapi ini bersama.”

Dia mengubah posisi ponselnya, sehingga membuat layar ponselku penuh dengan wajahnya. Via, abang ngga mau membebani kamu dengan masalah abang. Kamu sudah terlalu banyak berkorban.”

Aku menggeleng, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Abang, via sudah bilang, via ingin kita menghadapi semua ini sama-sama. Abang ngga perlu merasa sendirian. Lagip**a sejak pertama kali bertemu mama abang, via dapat merasakan kasih sayangnya. Via juga ngga mau mama kenapa-kenapa."

Andri terdiam sejenak, tampak ragu. Namun, aku bisa melihat bahwa dia sedang berjuang melawan keputusasaan yang semakin menggerogotinya. “Via, Mama butuh operasi dalam waktu dekat. Kalau tidak segera bertindak, abang takut kondisi mama semakin memburuk.”

Hatiku ikut terhimpit mendengar kata-kata itu. Aku tahu betapa Andri mencintai mamanya, dan aku tidak bisa membiarkan dia melewati semua ini sendirian. Aku menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang di tengah situasi yang kacau ini.

“Abang, via punya sedikit tabungan. Mungkin tidak banyak, tapi via ingin membantu biaya rumah sakit mama,” ucapku akhirnya, meski ada keraguan yang menyelinap di dalam hatiku.

Andri tampak kaget mendengar tawaranku. “Via, kamu ngga perlu melakukan itu. Ini tanggung jawab abang, bukan tanggung jawab kamu.”

“Ini bukan soal tanggung jawab, Bang. Ini tentang kita. Kita adalah tim, dan tim selalu mendukung satu sama lain. Via ngga akan membiarkan abang menghadapi ini sendirian. Lagian kan kita berencana untuk menikah, mama abang akan jadi mama via juga." Ucapku dengan penuh percaya diri bahwa pernikahan diantara kami akan terwujud cepat atau lambat.

Andri menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. “Via, kamu terlalu baik. abang ngga tahu bagaimana abang bisa membalas semua kebaikanmu.”

Aku tersenyum, meskipun hatiku masih penuh dengan kecemasan. “Kita akan melewati ini, bang. Via yakin kita bisa."

Beberapa hari kemudian, aku berkunjung kekota andri untuk menemaninya menunggu mama di rumah sakit, saat ini dokter sedang melakukan proses operasi mama andri. Ruang tunggu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah-langkah perawat yang sesekali terdengar di kejauhan. Andri duduk di sampingku, menatapku dalam, seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahannya untuk tidak runtuh.

“Via, abang takut mama kenapa-kenapa” ucap Andri dengan suara bergetar.

Aku mencoba menenangkan hatiku sebelum menjawab. “Kita tidak boleh berpikir buruk, bang. Mama itu kuat, dan dokter-dokter di sini juga hebat. Kita harus tetap berharap yang terbaik.”

Dia mengangguk pelan, meski kekhawatiran jelas terpancar di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha keras untuk tetap tenang, tapi aku bisa merasakan bahwa dia berada di ambang kehancuran.

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Setiap detik yang berlalu menambah beban di hati kami. Aku berusaha untuk tetap positif, meski di dalam hati, ada rasa takut yang sama besar.

Akhirnya, dokter keluar dari ruang operasi. Wajahnya tenang, tapi penuh dengan keseriusan. Kami segera berdiri, mendekatinya dengan harapan dan kecemasan yang bercampur aduk.

“Bagaimana keadaan mama saya, Dok?” tanya Andri dengan nada penuh harap.

Dokter itu tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Operasi berjalan dengan lancar. Mama Anda baik-baik saja, tapi dia butuh banyak istirahat untuk pulih.”

Perasaan lega langsung menyelimuti kami. Andri hampir tak bisa berkata-kata, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak…”

Aku mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang. “Lihat, Kan?! Mama tuh kuat. Kita harus lebih kuat untuk terus mendukungnya sampai dia benar-benar pulih.”

Andri menoleh padaku, menatapku dengan mata yang penuh dengan rasa syukur. “Via, terimakasih yaa.

Aku tersenyum, merasa sedikit lega. “Abang, via melakukan ini karena via peduli sama abang dan keluarga abang. Kita akan melewati semua ini bersama-sama.”

Namun, di tengah kebahagiaan ini, ada perasaan lain yang mulai merayap ke dalam hatiku. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul sejak kami tiba di rumah sakit ini. Ada sesuatu yang membuatku merasa bahwa masalah kami belum benar-benar selesai.

Saat kami meninggalkan rumah sakit, Andri tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Via, ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.”

Hatiku berdegup kencang. “Ada apa, bang?”

Andri menghela napas panjang, seolah-olah dia sedang bersiap untuk mengucapkan sesuatu yang sangat penting. “Orang dari masa lalu yang pernah abang sebutkan… dia kembali. Abang baru saja mendapat kabar darinya.”

Kata-kata itu membuat darahku terasa membeku. “Siapa? Apa yang dia inginkan dari abang?”

Andri tidak segera menjawab, tapi aku bisa melihat bahwa apa pun yang akan dia katakan selanjutnya, itu tidak akan mudah untuk diterima.

*********
Yuk lanjut baca kisahnya hanya di KBM App 😊

Address

Bengkulu
Bengkulu
38113

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Author Dva posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share