04/02/2025
Grup Rahasia Keluarga Suamiku
[Mas, ada temanku yang mau berkenalan dengan kamu. Dijamin cantik, seksi pokoknya.]
[Ah masa sih? Coba d**g kamu kirim fotonya sekarang.]
[Iya ni, coba kamu kirim ibu pengen lihat.]
Aku termenung menatap pesan berbalas di WhatsApp keluarga suamiku.
Sebuah pesan masuk adik iparku mengirim foto wanita cantik, seksi dengan baju kekurangan bahan.
[Cantik sekali, Dek. Oh iya, siapa namanya? Tidak seperti Mbakmu kucel banget, nggak sedap dipandang.]
[Iya cantik, siapa namanya? Cocok kalau bersanding dengan kamu Bian.]
Aku meremas ponsel Mas Bian dengan kesal. Ternyata ini grup Wa baru keluarga suamiku. Pantesan saja grup satunya sepi seperti kuburan.
Geram tentu saja bahkan mertuaku juga setuju dengan Nadia. Memang awalnya mereka tidak menyukaiku.
Sesak rasanya dada ini membaca pesan di grup mereka. Sungguh tega mereka kepadaku padahal selama ini aku yang membiayai kehidupan mereka dengan berjualan gorengan dan syukur masih ada sisa tabunganku selama gadis.
[Oh iya Mas. Nggak mau apa ketemuan dengan Mbak Siska? Nanti direbut orang, baru tau rasa.]
[Oke Mas mau. Nanti tolong kamu bilang ketemuan di Restoran di Jln. Gading Cempaka ya.]
Tidak kuat rasanya membaca pesan dari Mas Bian. Mana janjimu Mas? Yang akan menjadikan aku wanita satu-satunya dihatimu?
Apa karena aku tidak kaya? Percuma cinta yang ku tanaman dengan tulus kamu balas dengan penghianat ini.
***
"Mas kok uang bulananku dikurangi sih?" Tanyaku.
"Udah syukur aku kasih, kamu pikir cari uang gampang? Pergunakan uang itu seperti biasa. Jangan sering mengeluh, capek aku dengarnya," bentaknya dengan marah.
Aku menatapnya dengan tatapan kesal setengah hati. "Emang kamu pikir lima ratus ribu itu cukup untuk kita satu bulan. Belum lagi untuk Ibumu, Mbak Ika dan Nadia kamu pikir cukup? Belum untuk bayar air, listrik, belajar dapur saja tidak cukup," balasku dengan membentak.
"Selama ini cukupkan?" Tanya Bian.
"Selama ini aku cukup-cukupkan Mas. Jangankan untuk membeli skincare buat mak-"
"Sudah cukup ini aku tambahin lima ratus ribu lagi," potong Mas Bian berlalu pergi.
Astaghfirullah, kami berubah mas!
"Mbak Intan, minta uang d**g! Aku mau ke kampus ni," sahut Nadia dengan menengadahkan tangannya ke arahku.
"Tidak ada uang, kamu pikir cari uang gampang apa?" Cecarku dengan kesal.
"Kok gitu sih, cepetan nanti aku telet," bentaknya dengan kesal. Bahkan Nadia tak menganggapku sebagai kakak iparnya.
"Tidak ada masih juga bertanya," balasku membentak.
"Bu, lihat Mbak Intan tidak mau memberikan uang." Aduh Nadia kepada wanita paruh baya dan tak lain mertuaku sendiri.
"Loh kok gitu Intan? Cepat kasih Nadia uang," perintah ibu.
"Aku tidak mau dan bodo amat," sahutku dengan kesal. Sungguh aku teramat sakit hati karena sikap mereka.
Dulu jika mereka meminta uang pasti akan aku berikan. Tapi tidak dengan sekarang, setelah mengetahui kebus**an mereka.
Terlebih Ibu, Mbak Ika dan Nadia. Hanya menampilkan wajah lembut disaat butuh saja.
"Ambil Uang ini Nadia, cepat pergi nanti kamu telat," sahut mas Bian dengan memberikan uang merah sejumlah sepuluh puluh lembar. Sama saja dengan uang bulananku, menyebalkan!
Ha? Dengan aku saja begitu pelit kamu , Mas!
"Emm Bian ibu dan Mbakmu mau juga d**g. Kan nanti kita mau ketem-"
Nampaknya Ibu mertua hampir saja keceplosan, dan ku lirik dari ekor mataku mas Bian melotot.
Baiklah Mas, akan aku ikuti semua permainanmu.
"Ketemuan siap, Bu?" Tanyaku pura-pura tak tahu.
"Udah nggak usah banyak b*c*t kamu Intan, cepat beres-beres dan jualan. Jangan hanya jadi beban suami saja," sahut Mbak Ika—ipar julidku.
Akhirnya aku mengalah saja toh bikin sakit saja.
Setelah membersihkan rumah, akhirnya aku bisa selonjoran. Belum sampai satu menit teriakan Ibu mertua menggema.
"Intan … !"
"Intan … !"
Hu menyebalkan.
"Ada apa Bu?" Tanyaku dengan kesal baru saja beristirahat.
"Tolong Ibu … Ibu terpeleset ni. Sekalian urutin!"
"Cuman bisa nyusahin aja," gerutku.
"Apa kamu bilang?"
"Nggak ada!" Sahutku dengan sewot.
"Tolong urut kaki Ibu ni sakit," lirihnya.
Dulu aku sangat menghormatimu, melakukan apa saja agar ibu bisa menerima aku dengan baik. Ternyata aku salah.
"Malas Bu, Intan juga capek," ucapku berlalu pergi tanpa memperdulikan teriakan mertuaku yang begitu keras.
"Intan … !”
"Hey... Mau kemana kamu? Dasar menantu kurang ajar," jerit Ibu mertuaku.
Bodo amat bu, terserahlah aku capek.
***
Ting…!
Ting...!
Ponselku kembali berbunyi. Pesan dari Mas Bian. Yang membuat mood ku buruk!
[Intan..!]
[Intan, kenapa kamu sekarang kurang ajar! Tidak kamu kasihan dengan Ibu? Tidak Kusangka ternyata kamu seperti itu.] Bunyi pesan Mas Bian.
[Aku bukan pembantu Mas. Aku ini istri kamu.] Balas ku dengan kesal.
[Kamu jangan kurang ajar!]
[Bodo Amat!]] Balasku dengan cepat.
Mengetik..
Gegaslah aku mematikan ponsel, daripada naik darah. Kan nggak lucu.
Lebih baik aku menyenangkan diriku, rasanya sudah lama aku tidak makan dengan kenyang. Ku putuskan untuk membeli apa saja yang aku s**a. Yang tidak pernah diberi oleh Mas Bian.
Gegaslah aku menaiki angkot ke pusat kuliner, rasanya air liurku tidak tertahan lagi ini mencicipi aneka makan.
"Bu baksonya satu, mie ayam satu sama es teh satu ya." Pesanku kepada pada penjual bakso.
Tidak lama pesanan ku telah sampai aku pun mulai menikmatinya dengan rasa senang bercampur sesak. Nampak penjual bakso dan pembeli menatapku dengan aneh. Biarkan saja lagian aku tidak peduli.
Setelah rasanya puas aku mencicipi aneka makanan. Aku berpindah ke toko baju untuk membeli pakaian yang terbilang layak, tidak seperti pakaian lusuh yang aku miliki.
Drett...
Drett...
Lagi-lagi hidupku tidak tenang.
"Intan, dimana kamu? Kenapa tidak ada makanan di rumah,” tanya wanita paruh baya tak lain mertuaku dengan kesal.
"Beli aja kok susah sih Bu, lagain aku ini bukan pembantu! Aku ini istri Mas Bian," balasku dengan kesal dan tak lupa mematikan ponsel.
Terserahlah aku nggak peduli, toh bukan perutku.
Huhh.. Ternyata sudah lebih dari dua jam aku pergi dari rumah dan keputusan untuk kembali. Rasanya badan ini lelah.
Sambil menunggu gr4b yang ku pesan. Lebih baik aku menikmati secangkir es dawet pasti sangat menyegarkan dikala panas seperti ini.
Sambil menikmati secangkir es dawet, ku hidupkan dataku untuk melihat siapa yang mencariku namun tidak ada.
Iseng-iseng aku buka Story Nadia dengan caption [Persiapan Bertemu Dengan Orang Spesial.]
Nampak mereka bertiga sedang di pusat perbelanjaan dengan ya penampilan yang glamor apa lagi, Nadia dan mbak Ika memakai baju kurang bahan.
Tin..
Tin..
Nampak grab yang ku pesan sudah ada, gegas aku memasuki mobil tersebut dan tidak lupa menenteng belanjaan dan juga makanan untukku nanti.
Setelah sampai di rumah ku putuskan untuk mengunci diri di dalam kamar dan menangis sepuasnya-puasnya.
"Rasanya menyesal pun tidak ada gunanya, Ma ... Pa… Kak Ingri, Intan rindu," ucapku lirih.