25/11/2025
Retak yang Keempat: Umpatan, Gulai Tersembunyi, dan Tragedi Talang Empat
Sejak beberapa bulan terakhir, rumah kecil di Talang Empat itu sebenarnya sudah menyimpan retakan-retakan halus yang tak pernah benar-benar pulih. Dalam suasana yang sering tegang itu, terduga pelaku, yang kini diamankan polisi, kini mengaku bahwa umpatan kasarnya kepada sang istri pada pagi sebelum kejadian menjadi pemicu awal dari rangkaian suasana hati yang runyam hari itu.
Lantaran umpatan itu, sang istri disebut merajuk, memilih menjaga jarak sejenak, sebuah reaksi yang barangkali lahir dari kelelahan menghadapi hubungan keluarga yang terus diwarnai ketidakharmonisan.
Dari keterangan penyidik, pertengkaran yang berujung tragedi ini ternyata bukan yang pertama. Sudah tiga kali sebelumnya terjadi silang pendapat antara terduga pelaku dan korban. Pada pertengkaran ketiga, korban bahkan disebut telah meminta maaf, sebuah ikhtiar kecil yang mungkin datang dari seorang anak muda yang bingung mencari tempat berpijak. Namun, pengakuan terbaru menunjukkan bahwa baik korban maupun terduga pelaku sama-sama belum merasa “plong.” Ada yang masih tersangkut di hati keduanya, menggantung tanpa terselesaikan.
Ditengah relasi keluarga yang terus merenggang itu, penyidik juga menemukan fakta lain: soal makanan, sebuah gulai sederhana, yang disebut sengaja disembunyikan oleh terduga pelaku agar tidak dimakan korban. Detail kecil itu mungkin terdengar sepele, namun sering kali justru hal-hal kecil menyimpan jejak emosi yang lebih dalam. Sang istri mengaku baru mengetahui makanan itu disembunyikan setelah mencarinya, dan dari situlah benang kusut hubungan keluarga tampak semakin nyata.
Keterangan terbaru terduga pelaku juga menyebut ia sempat mengasah parang pada malam sebelum kejadian. Kepada penyidik ia mengaku mengasahnya untuk keperluan kebun, sesuatu yang menurutnya biasa ia lakukan. Namun detail ini tetap dicatat sebagai bagian dari rangkaian peristiwa yang diperiksa ulang oleh polisi, mengingat alat itulah yang kemudian dikaitkan dengan tragedi yang terjadi keesokan harinya.
Pagi nahas itu bermula dengan suasana yang sebenarnya tampak biasa: sang istri mengantar anak ke sekolah dengan sepeda motor, lalu kembali ke rumah untuk memastikan mesin air diperbaiki. Namun ketegangan kembali muncul ketika ia mendengar terduga pelaku melontarkan kata-kata kasar .. “Cuk Kela…i”.
Dari pengakuan sang istri, saat itu ia memilih diam sambil mengemasi pakaian di dalam rumah. Ia sempat mengajak korban pergi, namun korban menolak, sebuah pilihan yang kelak menjadi titik awal rangkaian kejadian yang tak terbayangkan.
Saat sang istri keluar kamar, pertengkaran keempat itu pun meletup. Terduga pelaku masuk dengan suara tinggi, menanyakan alasan kegaduhan. Ia mengaku bahwa korban berdiri, memukul bahunya, bahkan mengancam. Penyidik telah mencatat bahwa keterangan ini masih terus diuji karena belum sepenuhnya didukung oleh kondisi fisik maupun hasil pemeriksaan. Namun demikian, kronologi versi terduga pelaku tetap disajikan apa adanya untuk memastikan proses hukum berjalan secara adil.
Dalam rekonstruksi sebelumnya, terduga pelaku memperagakan bagaimana ia mencabut parang dari pinggang kemudian mengenai tubuh korban. Namun penyidik juga mencatat bahwa beberapa adegan tampak tidak sinkron dengan luka korban maupun keterangan-keterangan awal. Inkonsistensi itu membuat penyidik harus menelusuri ulang setiap detail, memastikan bahwa setiap potongan cerita dapat dipertanggungjawabkan.
Kini, setelah rangkaian pemeriksaan, rekonstruksi, hingga pengumpulan fakta pendukung, penyidik masih terus merangkai ulang mosaik peristiwa yang rumit ini. Tragedi Talang Empat bukan hanya soal pertengkaran yang memuncak, tetapi juga tentang hubungan keluarga yang lama retak dan emosi-emosi yang tidak pernah diselesaikan. Tragedi ini tentu masih menyimpan potongan demi potongan, yang akan kita coba ungkap dan sajikan pada narasi lanjutan, agar pembaca dapat mengikuti keseluruhan kisah ini secara utuh dan jernih. (Cik)