04/10/2025
Biografi Teungku Abu Ibrahim Woyla
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Abu Ibrahim Woyla lahir di Kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.
1.2 Riwayat Keluarga
Teungku Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang istri, istri pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. Anak laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada istri kedua yang dinikahi di Peulantee, Aceh Barat, beliau tidak dikaruniai anak, sebab dua tahun setelahnya beliau meninggal.
Pada tahun 1954, tahun yang sangat membahagiakan bagi Teungku Abu Ibrahim Woyla dan Rukiah, karena pada tahun itu lahir anak pertama. Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Teungku Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng sebagai harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Teungku Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya.
1.3 Wafat
Teungku Abu Ibrahim Woyla wafat pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB, tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun.
Teungku Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat. Sebab belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat), bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla.
Selama hampir 30 hari meninggalnya Teungku Abu Ibrahim Woyla, masyarakat Aceh masih berduyun-duyun datang melayat ke Kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat pemakaman Abu Ibrahim Woyla.
Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla.
Begitulah pengaruh Teungku Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan. Sosok ulama yang dekat dengan masyarakat, dicintai dan mencintai umat.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
Teungku Abu Ibrahim Woyla memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR) dan selebihnya menempuh pendidikan di Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun.
Dalam sejarah masa hidupnya, Teungku Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syekh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Di antara murid Syekh Mahmud selain Teungku Abu Ibrahim Woyla, juga adalah Syekh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian menjadi seorang ulama Thoriqoh Naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syekh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syekh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun, setelah itu Syekh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syekh Jamil Jaho Padang Panjang.
Dua tahun di Padang Syekh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Makkah atas kiriman Syekh Jamil Jaho. Setelah 2 tahun di Makkah kemudian Syekh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan mendirikan Pesantren tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Teungku Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syekh Muda Waly telah kembali dari Makkah dan mendirikan Pesantren, maka Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syekh Muda Waly untuk memperdalam Ilmu Thoriqoh Naqsyabandiyah.
Namun sebelum itu, Teungku Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syekh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (Alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam Ilmu Thoriqoh pada Syekh Muda Waly, Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya.
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Kisah-Kisah
Bila mendengar kisah tentang Teungku Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya, tak ubahnya seperti membaca kisah para sufi dan ahli tasawuf. Banyak sekali tindakan yang dikerjakan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia.
Untuk mengenal perilaku Teungku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan beliau itu ternyata benar adanya.
Banyak sekali hal-hal di luar nalar melekat pada sosok Teungku Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh dinilai bahwa Teungku Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat kewalian atau orang yang dekat dan dicintai Allah.
Hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga dalam menceritakan seputar keajaiban kehidupan Teungku Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti semasa hidupnya Teungku Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat di mana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah. Beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu.
Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Teungku Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu. Karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Teungku Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang didatanginya, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini, Ustadz Muhammad Kurdi Syam (seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Teungku Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa Teungku Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilewatinya, lalu mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berdzikir La Ilaha Illallah yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Teungku Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu.
Cerita ini sudah masyhur, tapi tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A'lam.
3.2 Karomah
Menurut Teungku Nasruddin, dilihat dari kehidupannya, Teungku Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Teungku Nasruddin mencontohkan, kalau misalnya Teungku Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Teungku Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah SAW). Begitulah kehidupan Teungku Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.
Karomah lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Teungku Abu Ibrahim Woyla kalau pergi ke mana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sandal.
Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Teungku Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena di samping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan dzikir sambil jalan.
Teungku Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Teungku Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Teungku Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya. Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Teungku Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Dikisahkan juga, kalau Teungku Abu Ibrahim Woyla berada di suatu tempat, seperti di pasar, misalnya, maka semua pedagang di pasar itu berharap agar Teungku Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka. Orang-orang melakukan hal tersebut karena ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantara Teungku Abu Ibrahim Woyla.
Namun tidak segampang itu karena Teungku Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Teungku Muhammad Kurdi Syam, bahwa suatu ketika Teungku Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Teungku Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ, Teungku Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air. Setelah air itu diberikan oleh Samsul lalu Teungku Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul, tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Teungku Abu Ibrahim Woyla.
Karena tidak diterima, maka lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya. Spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja. Karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Teungku Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Teungku Nasruddin menjadi menantu Teungku Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba Subuh pagi Teungku Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya, di Pesantren Syekh Mahmud. Tampak saat itu kaki Teungku Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah, disebabkan perjalanan yang cukup jauh.
Kedatangan Teungku Abu Ibrahim Woyla disambut Teungku Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu beliau meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi. "Nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu," kata Teungku Nasruddin. "Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisa," jawab Teungku Abu Ibrahim Woyla. Lalu Teungku Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa disimpan telur, terdapat satu butir tersisa, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Teungku Nasruddin bertanya lagi, "Kenapa dengan kaki Abu?"
Teungku Abu menjawab: "Saya baru p**ang dari Bukit Qaf (Makkah), di sana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi."
Teungku Abu meneruskan: "Setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya. Karena saya takut duduk dalam kereta api itu, maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh."
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Teungku Abu Ibrahim Woyla sendiri. Suatu hari, Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing. Lalu tuan rumah itu mengatakan pada istrinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Teungku Abu Ibrahim Woyla. Tapi istrinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, "baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya," kata sang istri pada suaminya.
Tapi suaminya terus mendesak istrinya, "coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu," katanya. Lalu istrinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian p**a ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yang bernama Salmiah. Masyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan anaknya.
Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk acara pernikahan anaknya itu. Bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut.
Namun ajaibnya pada hari "H" (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
4. Teladan
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan, sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh yang dikerjakan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla.
Sikap Teungku Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Teungku Abu Ibrahim Woyla. Orang yang secara lahir terlihat selalu senang menyendiri, tapi siapa yang menyangka kalau Allah ada selalu membersamainya, dan menjadikannya seorang wali.
5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber yang mendukung.
Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 18 Juli 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 18 Juli 2024.