GSA DAILY

GSA DAILY بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Sejarah! Aceh Daerah Paling Sulit Dikuasai Belanda Karena Memiliki Pemimpin yang HebatAceh adalah salah satu wilayah di ...
16/12/2025

Sejarah! Aceh Daerah Paling Sulit Dikuasai Belanda Karena Memiliki Pemimpin yang Hebat

Aceh adalah salah satu wilayah di Nusantara yang paling sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Bagaimana tidak, Aceh selain memiliki pemimpin perang yang hebat, juga memiliki kekuatan militer dan sipil yang tangguh.

Daftar beberapa pahlawan dari Aceh yaitu :

1. Sultan Iskandar Muda
2. Teungku Chik Di Tiro
3. Teuku Umar
4. Panglima Polem
5. Teuku Nyak Arif
6. Bapak Teuku Muhammad Hasan
7. Potong Nyak Dhien
8. Potong Nyak Meutia
9. Laksamana Malahayati
10. Pocut Baren
11. Teungku Fakinah

Sejak masuk ke Nusantara, yaitu pada tahun 1850-an Kompeni Belanda baru menyatakan perang dengan Aceh yaitu pada tahun 1870-an. Hal tersebut karena perjanjian antara Belanda dan kerajaan Aceh yang ternyata dilakukan oleh Belanda sendiri.

Sejak saat itulah terjadi perang di berbagai titik di tanah Serambi Mekah yang terus berkecamuk. Belanda harus bekerja ekstra untuk menaklukkan pejuang-pejuang Aceh yang tangguh. Pada tahun 1942 Aceh kemudian direbut oleh Jepang sebelum akhirnya Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik (KISSPOL), Effendi Hasan, mendesak pemerintah pusat segera menetapkan banjir ...
16/12/2025

Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik (KISSPOL), Effendi Hasan, mendesak pemerintah pusat segera menetapkan banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional. Tanpa penetapan tersebut, Aceh khususnya berisiko mengalami kemunduran serius dalam aspek sosial dan ekonomi, bahkan terancam kembali menjadi salah satu wilayah termiskin di Pulau Sumatera.

Effendi Hasan, menegaskan bahwa dampak banjir yang telah berlangsung hampir tiga pekan menunjukkan skala krisis yang melampaui kemampuan normal pemerintah daerah. Pemulihan ekonomi masyarakat akan berjalan lambat, sementara kerusakan infrastruktur dasar sangat luas.

“Jika tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, Aceh sangat terancam semakin miskin,” kata Effendi kepada AJNN, Senin, 15 Desember 2025.

Menurut dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK) itu, hingga hari ke-19 pascabencana, kondisi di berbagai wilayah terdampak masih sangat memprihatinkan. Masyarakat masih menghadapi keterbatasan akses air bersih, jalan-jalan utama yang terputus, pasokan listrik yang belum pulih, jaringan internet terganggu, serta sisa material banjir berupa kayu gelondongan dan kendaraan yang berserakan di badan jalan.

“Ini bukan lagi persoalan darurat lokal. Ini adalah krisis kemanusiaan yang membutuhkan intervensi nasional secara terkoordinasi, sistematis, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Effendi menilai, keterbatasan pemulihan sosial, ekonomi, dan infrastruktur menunjukkan bahwa kapasitas penanganan di tingkat daerah telah melampaui batas kemampuan normalnya. Tanpa dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, proses pemulihan dikhawatirkan berjalan lambat dan memperlebar ketimpangan sosial.

Meski demikian, KISSPOL menyampaikan apresiasi atas langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Aceh dalam merespons bencana di tengah keterbatasan sumber daya dan tingginya tekanan sosial di lapangan. Namun, skala bencana ini jelas membutuhkan dukungan yang jauh lebih luas dari Pemerintah Pusat.

Ia juga mendukung langkah Pemerintah Aceh untuk membuka ruang kerja sama kemanusiaan internasional, termasuk melibatkan lembaga-lembaga internasional berpengalaman dalam penanganan bencana, baik pada fase tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon).

“Pelibatan lembaga internasional adalah praktik lazim dalam penanganan bencana berskala besar. Ini bukan soal kedaulatan, melainkan wujud solidaritas kemanusiaan global yang tetap berada dalam kerangka hukum dan kendali negara,” sebutnya.

Ia menilai keterlibatan mitra internasional akan memperkuat kapasitas teknis, pendanaan, serta transfer pengetahuan, terutama dalam pembangunan infrastruktur tahan bencana, pemulihan layanan publik, dan penguatan ketahanan masyarakat lokal.

Menurutnya, penetapan status bencana nasional menjadi fondasi penting agar sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan mitra internasional dapat berjalan secara terkoordinasi, transparan, dan akuntabel.

Effendi menegaskan bahwa penanganan bencana tidak boleh terjebak pada ego sektoral. Yang dibutuhkan sekarang, kata dia, adalah kerja bersama antara nasional dan internasional. Supaya Aceh tidak hanya pulih, tetapi bangkit lebih kuat dan lebih siap menghadapi risiko bencana di masa depan.

Ia juga mendorong agar penanganan pascabencana tidak berhenti pada bantuan darurat semata, melainkan diarahkan pada agenda rehabilitasi dan rekonstruksi berkelanjutan yang berbasis mitigasi bencana, keadilan sosial, serta perlindungan kelompok rentan.

Sebagai lembaga kajian independen, KISSPOL menyatakan komitmennya untuk terus mengawal kebijakan kebencanaan agar kepentingan masyarakat terdampak tetap menjadi pusat dalam setiap pengambilan keputusan publik.***

Sosok pendiri, sejarah dan latar belakang penyebab lahirnya pemberontakan GAM di Aceh4 Desember diperingati sebagai hari...
16/12/2025

Sosok pendiri, sejarah dan latar belakang penyebab lahirnya pemberontakan GAM di Aceh

4 Desember diperingati sebagai hari lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia. Motivasi yang paling mengemuka di balik gerakan ini adalah adanya rasa mengecewakan terhadap sikap Jakarta yang sentralistis, terutama dalam masalah porsi ekonomi, selain memecahkan masalah politik kesejahteraan Aceh.

4 Desember 1976 merupakan hari di mana Tengku Hasan di Tiro, orang yang memprakarsai lahirnya GAM serta pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan tersebut dilangsungkan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.Diawal masa berdirinya GAM, nama resmi yang digunakan adalah Aceh Merdeka (AM).

Dilansir dari BBC, Hasan Tiro telah memprakarsai gerakan ini dengan jalan diplomasi dan militer yang panjang. Dan pada akhirnya Hasan Tiro menggalang ide kemerdekaan tersebut, namun akhirnya dijawab secara militer oleh Presiden Suharto.
Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara pada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979.

Saat berada di Swedia, pria kelahiran 25 September 1925 ini berpikir bahwa Ia akan melanjutkan gagasan kemandiriannya membawa rakyat Aceh dan kali itu dengan tekanan pada perjuangan diplomatik.
Meskipun demikian, di pertengahan tahun 80-an, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer dengan mengirimkan ratusan pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran di Libya.
Anak-anak muda didikan militer Libya inilah yang belakangan tampil sebagai Tentara Neugara Aceh, TNA, yang kemudian disegani.

Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 menyulut kembali ide kemerdekaan yang masih bersemayam di masyarakat Aceh. Semula gerakan tersebut masih tertutup, namun lama kelamaan semakin terbuka.
Media-media di Indonesia pada saat itu bahkan dengan mudah dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan oleh pihak militer. Selain itu, dengan berhasilnya kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia tahun 1999 juga memunculkan perlunya referendum di seluruh wilayah Aceh.

Tuntutan tersebut memang masih tetap ditolak, namun secara perlahan namun pasti, sosok Hasan Tiro masih terus memprakarsainya.
Pada pertengahan tahun 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di akuntansi melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi.

Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal di antara kedua pihak masih membahas kegagalan. Selanjutnya berganti dengan kepemimpinan Megawati, upaya tersebut juga mengalami jalan buntu.

Di masa Megawati ini p**a, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap.

Adanya konflik berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia mulai mengalami perubahan setelah adanya bencana alam tsunami yang telah banyak menimbulkan korban jiwa.

Artinya, bencana alam yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 ini tidak mampu meyakinkan kedua belah pihak, tidak terkecuali Hasan Tiro.
Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak pun mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah.

Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM, perjanjian damai itu akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Poin penting dalam kesepakatan tersebut yaitu Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh dan memberikan amnesti bagi anggota GAM.

Empat bulan dari peristiwa tersebut, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan kemudian dibentuk komite pelestarian untuk membubarkan mantan tentara dengan warga sipil.

Perubahan politik di atas, termasuk digelarnya pemilihan kepala daerah di Aceh, membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu.
Warga Aceh berbondong-bondong menyambutnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di Pusat Kota Banda Aceh.

Sejak saat itulah, Hasan Trio kembali menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun menyandang status sebagai pengungsi politik.

Pada tanggal 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Trio Kembali memperoleh status kewarganegaraannnya setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya.

Gubernur Mualem Mengaku Tak Surati Dua Lembaga PBB untuk Bantu Aceh Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem, mengaku ...
16/12/2025

Gubernur Mualem Mengaku Tak Surati Dua Lembaga PBB untuk Bantu Aceh

Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem, mengaku tidak mengetahui ihwal Pemerintah Aceh mengirim surat ke dua lembaga PBB, yaitu Unicef dan UNDP, untuk terlibat dalam menangani bencana banjir dan longsor di provinsi paling ujung barat Indonesia.

“Kita tidak ngerti karena bukan kita yang buat. LSM yang buat. Itu diluar kewenangan kita, kita nggak tau,” kata Mualem di Kantor Gubernur Aceh, Selasa, 16 Desember 2025.

Mualem mengatakan Pemerintah Aceh belum pernah meminta bantuan asing. Namun, kata dia, pihaknya juga tidak menolak jika ada bantuan asing jika ingin membantu Aceh menangani korban bencana banjir dan longsor.

“Bagi saya prinsip kita tidak meminta. Tapi mereka mau sumbang ya, silahkan. Kan begitu,” ujar Mualem.

Di sisi lain, Mualem berharap kepada Presiden Prabowo mengeluarkan pernyataan dalam tulisan mau lisan tentang bantuan asing ini, agar Pemerintah Aceh tidak salah dalam mengambil kebijakan.

“Alhamdulillah Pak Presiden katakan sanggup, ya sanggup. Itu semua tergantung pada pusat,” ucap Mualem.

Sebelumnya, UNDP dan UNICEF, merespons surat resmi Pemerintah Provinsi Aceh terkait permintaan dukungan penanganan pascabencana yang melanda Aceh serta wilayah Sumatra Utara dan Sumatra Barat, mengatakan terus memantau perkembangan situasi secara seksama.

Mereka juga terlibat aktif bersama pemerintah Indonesia dalam mengawal respons darurat di provinsi-provinsi terdampak. Di lapangan, PBB memberikan dukungan teknis sesuai mandat program yang sedang berjalan, baik di tingkat daerah maupun nasional melalui kementerian terkait.

“PBB siap memperkuat dukungan tersebut dengan terus bekerja sama secara erat dengan pemerintah,” demikian pernyataan Kantor Perwakilan PBB di Indonesia.

UNDP Indonesia mengonfirmasi telah menerima surat resmi dari Pemerintah Provinsi Aceh pada Minggu, 14 Desember 2025. Saat ini, UNDP tengah melakukan peninjauan untuk menentukan bentuk dukungan terbaik bagi para national responders atau tim penanggulangan bencana, serta masyarakat terdampak, sejalan dengan mandat UNDP dalam pemulihan dini (early recovery).***

Sejarah wakaf Habib Bugak Seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qu...
16/12/2025

Sejarah wakaf Habib Bugak

Seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.

Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar'iyah Mekkah.

Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang-orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang-orang Aceh yang menetap di Mekkah.

Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam.

Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah berupa 2 buah aset, hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.

Hotel besar kedua ini mampu menampung lebih dari 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap.

Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 miliar rupiah.

Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 miliar rupiah.

Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, meskipun beliau sudah wafat. Demikian p**a belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau.

Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof.Dr. Al Yasa' Abubakar melalui sms perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah.

Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak mencantumkan nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.

Karena terdorong oleh kehebatan karomah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau.

Karena menurut penulis beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karomahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan.

Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.

Bugak Asyi, Asal Habib Bugak

Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak di wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri dari huruf: ba, waw, kaf, alif dan hamzah.

Maka harus ditelusuri suatu wilayah, daerah, kampung atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas di seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800an, atau tahun dibuatnya ikrar waqaf.

Menurut penelusuran penulis, untuk saat ini ada beberapa yang berkaitan dengan Bugak. Pertama, Bugak yang masuk di wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua di Kabupaten Bireuen.

Menurut mantan Bupati Bireuen, Mustafa A.Glanggang, daerah Bugak tanpa tambahan kata di muka atau belakang, hanya terdapat di wilayah Bireuen saja dan tidak ada di wilayah/kabupaten lainnya.

Menurut sejarahnya, Bugak (sekarang menjadi bagian kecamatan Jangka) dulunya adalah sebuah pusat kota yang berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu.

Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar dan lainnya.

Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan polisi sekureng, disebutkan sebuah wilayah bernama Bugak yang menjadi wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.

Di antara kata Bugak disebutkan p**a beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya, yang sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai sekarang yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan Peusangan, kecamatan Jangka dan kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.

Kedua, Kuala Bugak, terletak di Peurelak Aceh Timur. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan dasar-dasar yang menguatkan bahwa wilayah ini yang disebut Bugak.

Selain itu karena ada tambahan Kuala di depannya, kehidupan sosial masyarakatpun di sekitar Kuala Bugak tidak mendukung fakta.

Setelah mengadakan survei di sekitar Kuala Bugak, penulis semakin yakin, bahwa Kuala Bugak bukanlah daerah yang dimaksud, karena di sekitar daerah tersebut tidak terdapat situs atau peninggalan dari seorang Habib atau keturunan Rasulullah yang memiliki peran besar.

Penulis hanya membahas beberapa keturunan sayyid yang tinggal sebagai nelayan empat generasi lalu, yang berasal dari Malaysia. Kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan juga tidak menggambarkan peran Kuala Bugak sebagai sebuah pusat perekonomian pada masa itu.

Ketiga, Bugak-Bugak lain. Diantaranya ada yang Menyebutkan Matang Buga, dan lainnya. Namun sejauh ini penulis belum mendapat fakta yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.

Dengan kata lain, tidak adanya fakta-fakta dasar yang dapat dikondisikan sebagai wilayah yang disebut Bugak, sebagaimana dimaksud pada ikrar waqaf tersebut.

Berdasarkan beberapa hasil survei dan analisisnya di atas, maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa Bugak yang terdapat di sekitar kecamatan Jangka, adalah wilayah yang memiliki peluang besar sebagai Bugak yang disebutkan pada perjanjian ikrar waqaf tersebut. Selain analisis di atas, ada beberapa fakta yang memperkuat dugaan tersebut sebagaimana akan dibahas selanjutnya.

Habib dan Keturunannya di Bugak

Masayarakat Nusantara, khususnya di Aceh telah memberikan gelar Habib kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.

Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim.

Selain memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.

Masyarakat yang bukan keturunan Rasulullah, tidak akan dianugerahi gelar Habib, bahkan mereka tidak biasa atau tidak berani memakai gelar terhormat tersebut. (Lihat pembahasan sebelumnya menurut Snouck dan Muhammad Said)

Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak keturunan Sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan sebagian besarnya adalah Al-Habsyi.

Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu. Menurut penelitian dan penelusuran penulis, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi.

Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi 8 generasi.

Menurut beberapa Orang Tuha dan Tgk. Imeum di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah salah satu orang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan.

Hal ini diperkuat dengan dokumen-dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H/ 1825 M yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.

Kunyah Habib Abdurrahman = Habib Bugak

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan ke tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya.

Demikian p**a dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena dia tinggal di Bugak.

Menurut penelitian penulis di sekitar Bugak dan wilayah yang berhampiran dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi, karena dia adalah Teungku Chik dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki otoritas pemerintahan sekaligus berwenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya.

Dan sampai saat ini belum penulis temukan seorang Habib yang memakai kunyah Habib Bugak kecuali kepada Habib Abdurrahman bin Alwi.

Masa Hidup Habib Abdurrahman Berdekatan Dengan Ikrar Waqaf

Ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H disebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun waqaf di buat pada tahun 1222 H. Bahkan ada dokumen Sultan yang menyebutkan kuasa Habib pada tahun 1224 H.

Waqif adalah Habib Hartawan-Dermawan Dari Bugak

sebagaimana dinyatakan Dr. Al Yasa', bahwa waqif mestilah seorang Habib dari Bugak yang hartawan lagi dermawan. Harta waqaf di Mekkah tersebut boleh jadi beliau beli lalu diwaqafkan atau memang harta warisan nenek moyang beliau dan beliau waqafkan mengingat betapa nikmatnya yang diperoleh di Aceh.

Menurut penelusuran penulis, di daerah Bugak dan sekitarnya, belum ditemukan dari kalangan Habib yang melebihi Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi serta anak keturunannya dalam hal kehormatan maupun kehartawanannya.

Hal ini dibuktikan dengan beberapa dokumen yang ditandatangani Sultan Aceh yang menyebut wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Habib Abdurrahman dan keturunannya.

Sebagai orang yang terpandang, berpangkat serta dekat dengan Sultan, tentulah dia memiliki banyak konsesi yang diberikan Sultan atau para uleebalang kepada dia yang menjadikan dia sebagai salah seorang hartawan di Bugak dan sekitarnya pada masa itu.

Hal serupa juga disampaikan oleh keturunan beliau dan diperkuat dengan dokumen Kesultanan.

Namun pada zaman revolusi sosial, terutama pasca perang cumbok antara uleebalang dengan ulama, banyak harta benda yang dimiliki uleebalang yang disita para ulama, termasuklah tanah-tanah yang selama ini di bawah kendali Habib Abdurrahman.

Jika dibandingkan harta yang diperolehnya ketika berada di Aceh, maka tentu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta warisan yang beliau tinggalkan di Mekkah pada zaman itu.

Dan pada umumnya mereka yang datang dari Arab yang penuh padang pasir dan sudah tinggal di Aceh, akan tetap memilih tinggal di sini, tentu karena alamnya bagaikan surga.

Mungkin inilah salah satu yang menjadi pertimbangan Habib Bugak mewaqafkan hartanya di Mekah karena ketertarikan yang besar kepada alam Aceh.

Maka sangat wajar apabila ia mewaqafkan hartanya di Mekah, namun khusus untuk kepentingan masyarakat Aceh, tempat ia mendapat kenikmatan.

Mengenal Pahlawan dari AcehSejumlah sejarawan dan pelaku sejarah Belanda mengakui perang melawan Aceh sejak tahun 1873 a...
16/12/2025

Mengenal Pahlawan dari Aceh

Sejumlah sejarawan dan pelaku sejarah Belanda mengakui perang melawan Aceh sejak tahun 1873 adalah perang yang paling menyedot biaya dan stamina.

Perlawanan muncul dari delapan penjuru angin. Dari pergerakan berkelompok, hingga serangan tiba-tiba yang dilakukan orang per orang. Serangan oleh individu ini melahirkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (Aceh gila). Atjeh Moorden secara harfiah berarti pembunuhan Aceh.

Untuk mengapresiasi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintah menobatkan mereka yang berjasa sebagai Pahlawan Nasional. Dari total 163 Pahlawan Nasional yang ditetapkan dari tahun 1959 hingga 2014, sebanyak 7 di antaranya berasal dari Aceh.

1. Cut Nyak Dhien (lahir 1850-wafat 1908)

Cut Nyak Dhien adalah istri Teuku Umar. Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak melanjutkan perjuangan melawan pasukan kolonial Belanda di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Ketika ditangkap Belanda atas laporan seorang pengikutnya, Cut Nyak Dhien sudah renta dan rabun. Untuk memutus pengaruhnya bagi gerilyawan, Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat. Pada tanggal 6 November 1908, malaikat maut menjemputnya. Jasad Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang. Gelar pahlawan nasional disematkan pada tahun 1964.

2. Cut Nyak Meutia (1870 - 1910)

Cut Nyak Meutia memimpin perlawanan di Aceh Utara. Seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia juga melanjutkan perjuangan suami. Ketika suami pertamanya yang juga pemimpan pasukan gerilyawan, Teungku Chik Tunong meninggal dunia, Cut Meutia melanjutkan perjuangan bersama suami keduanya, Pang Nanggroe.

Ketika Pang Nanggroe gugur pada tanggal 26 September 1910, Cut Meutia melanjutkan perjuangan dengan pasukan yang tersisa. Pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan pasukan Marsose di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur. Cut Nyak Meutia mendapat gelar pahlawan nasional bersamaan dengan Cut Nyak Dhien pada tahun 1964.

3. Teungku Chik di Tiro (1836-1891)

Teungku Chik di Tiro adalah ulama sekaligus panglima besar Perang Aceh. Nama aslinya Teungku Muhammad Saman.Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian meredup pada tahun 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Aceh. Bersama Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil, perang di jalan Allah. Dari Lamlo, Pidie, Teungku Chik di Tiro hijrah ke Aceh Besar dan menjadikan Desa Meureu, Indrapuri, sebagai basis gerilyawan. Meureu yang kontur alamnya perpaduan antara dataran rendah dan perbukitan dinilai cocok sebagai benteng pertahanan alami. Pada tahun 1881, pasukan Teungku Chik di Tiro merebut satu per satu benteng Belanda seperti di Lambaro dan Aneuk Galong.

Masa perlawanan Teungku Chik di Tiro, Belanda dibuat kalang kabut. Setidaknya, Belanda empat kali mengganti gubernurnya saat menghadapi Teungku Chik di Tiro. Teungku Chik di Tiro meninggal bukan karena peluru Belanda, melainkan karena diracun melalui makanan yang disajikan oleh seorang perempuan Aceh pada tahun 1891. Jasadnya dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri, tempat ia menggerakkan perlawanan melawan Belanda.Atas jasa-jasanya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional pada tahun 1973.

4. Teuku Umar (1854-1899)

Teuku Umar adalah salah satu pemimpin pasukan di bawah panglima besar Teungku Chik di Tiro. Umar yang sempat bergabung dengan Belanda, kemudian berbalik arah melawan Belanda. Ada yang bilang Teuku Umar menyusup ke pasukan Belanda sebagai strategi perang. Namun ada juga yang menyebut Teuku Umar kembali menyerang Belanda setelah diancam istrinya, Cut Nyak Dhien. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kembali ke Belanda bersama 13 pengikutnya.

Belanda kemudian menganugerahkan gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Belanda. Cut Nyak Dhien dibuat malu oleh keputusannya. Tiga tahun bergabung dengan Belanda untuk kedua kalinya, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda pada tanggal 30 Maret 1896 dengan membawa lari senjata dan amunisi. Teuku Umar tertembak dalam pertempuran dini hari 11 Februari 1899. Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada tahun 1973 bersamaan dengan Teungku Chik di Tiro.

5. Teuku Nyak Arif (1899-1946)

Teuku Nyak Arief adalah Residen/Gubernur Aceh pertama periode 1945-1946. Lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh, Teuku Nyak Arief adalah keturunan ulee balang Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Dikenal sebagai orator ulung, ia banyak terlibat dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Tahun 1919, ia adalah ketua National Indische Partij cabang Kutaraja. Pada tahun 1927, ia salah satu anggota Dewan Rakyat Volksraad sampai dengan tahun 1931.Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan dibawah tanah melawan penjajahan Belanda di Aceh.

Teuku Nyak Arief juga banyak bergiat di bidang peningkatan pendidikan. Pada tanggal 11 Juli 1937, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara. Di Banda Aceh, perguruan ini diketuai oleh Bapak Teuku Muhammad Hasan, dan Teuku Nyak Arief sebagai sekretaris.

Masih berduet dengan Bapak Teuku Muhammad Hasan, Teuku Nyak Arief memelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.Teuku Nyak Arief termasuk yang tidak setuju ketika ulama PUSA di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh juga melakukan hubungan dengan Jepang dan Jepang untuk mengusir Belanda. Namun, ketika pada bulan Oktober 1945 datang utusan tentara sekutu yang ingin melucuti Jepang, Teuku Nyak Arief yang sudah membantu penduduk Aceh juga menolak.

Pada bulan Desember 1945, meletuslah perang Cumbok. Ini adalah pertarungan antara kaum uleebalang dengan kaum ulama, meskipun ada juga uleebalang yang berpihak pada ulama. Tak sedikit kaum uleebalang yang terbunuh. Yang melarikan diri selamat keluar Aceh.

Perpecahan itu membuat Teuku Nyak Arief galau. Ia ingin seluruh kalangan bersatu, bukan bercerai berai. Sikapnya itu dianggap oleh kaum muda PUSA sebagai pengkhianatan.Teuku Nyak Arief pun ditangkap oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang mendukung kaum ulama pada Januari 1946. Ia ditawan di Takengon dan meninggal di sana pada 4 Mei 1946. Kepada keluarganya, Teuku Nyak Arief berpesan,Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya.

Jenazahnya kemudian dikebumikan di Lamreueng, Aceh Besar, di pinggir Krueng Lamnyong, Darussalam. Teuku Nyak Arief mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 1974.

6. Sultan Iskandar Muda (1593-1636)

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang membawa Aceh ke zaman keemasan. Pada masanya, Aceh menguasai Sumatera dan sebagian daerah yang saat ini masuk ke wilayah Malaysia seperti Johor dan Kedah. Pada masanya p**a Aceh menyerang Portugis di Malaka. Iskandar Muda mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 1993. (Baca juga: Para Perempuan di Sekeliling Sultan dan Raja Aceh di Dunia Internasional)

7.Teuku Muhammad Hasan (1906-1997)

Teuku Muhammad Hasan adalah aktivis kemerdekaan dan Gubernur Sumatera pertama. Dikalangan orang pergerakan, ia diberi sebutan Mr atau Mister. Lahir di Sigli pada tanggal 4 April 1906, Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh yang peduli pendidikan. Pada usia 25 tahun, ia bersekolah di Universitas Leuden, Belanda. Di sana, ia bergabung dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo.

Perannya yang paling menonjol adalah ketika terpilih menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Ir. Sukarno. Tim inilah yang merumuskan dasar-dasar negara Indonesia, termasuk Piagam Jakarta.
Ketika ageresi militer Belanda II berhasil merebut Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Indonesia, Mr Teuku Muhammad Hasan bersama Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang bermarkas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Dipimpin Syafruddin Prawiranegara, Teuku Muhammad Hasan duduk sebagai Wakil Ketua Menteri sekaligus Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh peduli pendidikan. Ia mendirikan Uversitas Serambi Mekkah yang masih berdiri hingga saat ini.
Namanya juga tercatat sebagai tokoh yang memelopori nasionalisasi perminyakan dan pertambangan. Pada tahun 1956, Hasan mengetuai tim nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak asing menjadi Pertamina pada tahun 1957 dan Pertamin pada tahun 1961. Kedua perusahaan ini kemudian bergabung menjadi Pertamina pada tahun 1968. Teuku Muhammad Hasan meninggal pada tanggal 21 September 1997 dalam usia 91 tahun.
Pada tahun 2006, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional.

Address

Beureunun
24173

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when GSA DAILY posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share