20/06/2025
Generasi Bima Kehilangan Arah: Ketika Sejarah Terlupakan, Masa Depan Dipertaruhkan
Di tengah gegap gempita kemajuan zaman, generasi muda Bima kini berada di persimpangan yang mengkhawatirkan. Mereka berdiri di atas tanah leluhur yang kaya sejarah, namun tak lagi mengenali akar jati diri yang menjadi pondasi kejayaan masa silam. Warisan nilai, semangat juang, dan kearifan lokal yang dahulu menjadi pembeda, kini perlahan memudar, terkikis oleh arus globalisasi dan budaya instan.
Setiap bangsa besar selalu belajar dari sejarahnya. Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan menghidupkan kembali etos samurai, disiplin, loyalitas, dan kerja keras. Sementara itu, orang Bima hari ini justru semakin jauh dari sejarahnya sendiri sejarah yang sarat dengan keteladanan, kepemimpinan, dan keberanian para pendahulu seperti Sultan Abdul Kahir dan Sultan Ismail, yang berani berdiri tegak melawan kolonialisme demi kehormatan dan kemerdekaan tanah Mbojo.
Sayangnya, cerita-cerita kebesaran itu kini hanya menjadi lembaran usang di buku sejarah, yang tak lagi dibaca apalagi direnungkan. Generasi muda lebih mengenal tokoh-tokoh fiksi dari layar daripada sosok nyata dari darah dan tanahnya sendiri. Akibatnya, mereka kehilangan sosok role model panutan sejati yang bisa menjadi mercusuar arah dalam membangun bangsa. Tanpa panutan, tanpa pijakan sejarah, mereka kehilangan arah, identitas menjadi kabur, mimpi menjadi semu, dan kontribusi terhadap tanah air pun menjadi samar.
Krisis ini bukan semata persoalan budaya, melainkan juga krisis nasionalisme. Ketika generasi tidak lagi mengenal siapa dirinya dan dari mana asalnya, maka ia pun tak tahu ke mana harus melangkah. Pembangunan fisik bisa terus berjalan, tapi pembangunan karakter akan stagnan. Negara bisa maju secara teknologi, tapi rapuh secara mental dan moral.
Kini saatnya Bima bangkit. Kita harus menghidupkan kembali ruang-ruang edukasi sejarah lokal di sekolah, pesantren, bahkan di lingkungan keluarga. Tokoh-tokoh Bima harus diangkat kembali sebagai inspirasi hidup, bukan hanya sebagai nama jalan. Kearifan lokal seperti rimpu dan semangat maja labo dahu nggahi rawi pahu harus dimaknai ulang sebagai identitas, bukan sekadar simbol tradisi.
Membangun negeri ini tidak cukup hanya dengan infrastruktur megah, tetapi harus dimulai dari membangun manusia terutama yang mengenali dirinya, menghargai sejarahnya, dan mencintai tanahnya. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi generasi asing di negeri sendiri.
Mari kita wariskan kepada anak-anak Bima, bukan hanya pendidikan, tetapi juga kebanggaan terhadap jati diri bangsanya. Sebab yang paling berbahaya bukan ketika kita dijajah bangsa lain, tetapi ketika kita kehilangan siapa diri kita sebenarnya.