01/12/2025
Apakah kata “jangan” benar-benar membuat anak berhenti melakukan kesalahan? Faktanya, tidak. Dalam banyak kasus, larangan justru memperkuat keinginan anak untuk melakukan hal yang sama. Semakin sering dilarang, semakin besar rasa ingin tahu mereka. Ironisnya, banyak orang tua merasa sedang mendidik padahal tanpa sadar sedang menanamkan perlawanan halus di kepala anak.
Menurut riset dari University of Washington, otak anak usia dini merespons kata negatif secara berbeda dari orang dewasa. Saat mendengar kata “jangan”, otak mereka belum mampu memproses makna larangan, melainkan fokus pada kata kerja yang menyertainya. Jadi ketika orang tua berkata “jangan lari”, yang terekam di otak anak justru kata “lari”. Maka tak heran jika anak malah berlari semakin cepat, bukan berhenti.
1. Kata “Jangan” Tidak Mengajarkan Apa yang Harus Dilakukan
Ketika orang tua berkata “jangan berisik”, “jangan rebutan”, atau “jangan nangis”, sebenarnya anak tidak mendapat informasi tentang apa yang seharusnya dilakukan. Ia hanya tahu bahwa tindakannya salah, tapi tidak tahu apa pengganti yang benar. Dalam kondisi itu, anak merasa disalahkan tanpa bimbingan, dan ini membuat mereka lebih mudah frustrasi.
Kalimat positif jauh lebih efektif untuk mengarahkan perilaku. Alih-alih berkata “jangan rebutan”, orang tua bisa mengatakan “ayo bergiliran”. Dengan begitu, anak memahami arah tindakannya, bukan sekadar larangan. Disiplin bukan soal membatasi, tapi mengarahkan. Bahasa yang digunakan menentukan seberapa sehat hubungan anak dengan aturan.
2. Larangan Tanpa Penjelasan Menumbuhkan Ketakutan, Bukan Kesadaran
Banyak anak patuh bukan karena mengerti, tapi karena takut dimarahi. Ketakutan itu memang menghasilkan kepatuhan cepat, tapi dangkal. Begitu tidak ada pengawasan, anak akan kembali melakukan hal yang sama. Ini bukan disiplin sejati, tapi kontrol sementara.
Disiplin sejati tumbuh dari pemahaman. Anak yang tahu alasan di balik aturan akan lebih mudah mengendalikannya sendiri tanpa harus diingatkan terus-menerus. Ketika orang tua mau meluangkan waktu menjelaskan “kenapa sesuatu tidak boleh dilakukan”, anak belajar berpikir, bukan hanya patuh.
3. Semakin Dilarang, Semakin Penasaran
Setiap kali anak dilarang melakukan sesuatu, sistem dopamin di otaknya terpicu. Dopamin ini yang menimbulkan rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba lagi. Maka ketika orang tua berkata “jangan pencet tombol itu”, justru bagian otak yang terkait dengan eksplorasi menjadi aktif. Akibatnya, anak terdorong untuk melakukannya.
Cara yang lebih efektif adalah memberi konteks dan pilihan. Misalnya ketika anak ingin menyentuh sesuatu yang berbahaya, arahkan dengan kalimat “tombol ini belum boleh dipencet, tapi kamu boleh lihat bagaimana cara kerjanya”. Dengan begitu, rasa ingin tahunya tetap hidup, tapi terkelola. Larangan yang cerdas bukan menutup ruang eksplorasi, melainkan mengarahkannya dengan aman.
4. Disiplin Tidak Akan Tumbuh Tanpa Keterlibatan Emosional
Anak tidak belajar disiplin dari ancaman, tapi dari hubungan emosional yang aman. Saat orang tua marah dan hanya mengucapkan “jangan”, anak kehilangan koneksi emosional dan lebih fokus pada nada suara, bukan makna kata. Dalam kondisi tegang, otak anak tidak bekerja secara rasional.
Sebaliknya, ketika anak merasa diterima bahkan saat salah, ia lebih terbuka menerima arahan. Kalimat lembut seperti “aku tahu kamu ingin bermain, tapi sekarang waktunya membereskan mainan” memberi pesan disiplin tanpa merusak kedekatan. Disiplin sejati lahir dari rasa percaya, bukan ketakutan.
5. Anak Belajar dari Contoh, Bukan Perintah
Anak yang tumbuh di lingkungan penuh larangan akan belajar dua hal: bagaimana menghindari kesalahan dan bagaimana menyembunyikan kesalahan. Mereka tidak belajar bertanggung jawab, hanya belajar aman dari teguran. Sebaliknya, anak yang melihat orang tuanya disiplin dalam tindakan akan menirunya tanpa banyak perintah.
Ketika orang tua menepati janji, mengatur waktu, dan berbicara dengan tenang, anak menyerap pola itu sebagai bagian dari dirinya. Disiplin bukan hasil nasihat, tapi pantulan perilaku. Orang tua yang ingin anaknya konsisten harus menunjukkan konsistensi terlebih dahulu, bahkan dalam hal-hal kecil seperti menepati ucapan.
6. Kalimat Positif Lebih Efektif Membangun Pola Disiplin Jangka Panjang
Kata “jangan” bersifat reaktif, sedangkan kalimat positif bersifat edukatif. Dengan kalimat positif, anak memahami konteks dan tujuan dari perilakunya. Misalnya mengganti “jangan berlari di rumah” menjadi “tolong jalan pelan supaya tidak jatuh”. Anak mendapat arah yang jelas tanpa merasa dimarahi.
Selain itu, kalimat positif menumbuhkan suasana komunikasi yang lebih sehat di rumah. Anak merasa dihargai, bukan dikontrol. Semakin sering orang tua berlatih menggunakan kalimat afirmatif, semakin kuat kebiasaan disiplin yang tumbuh dari kesadaran, bukan dari rasa takut.
7. Tujuan Akhir Disiplin Adalah Kemandirian, Bukan Kepatuhan
Jika anak hanya patuh karena takut, ia akan kehilangan arah ketika tidak ada pengawasan. Tapi jika ia disiplin karena memahami makna dari tindakannya, maka kendali diri akan tumbuh dari dalam. Orang tua yang terlalu sering memakai kata “jangan” sebenarnya sedang membangun dinding, bukan fondasi.
Kemandirian berawal dari ruang untuk memilih. Anak perlu diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan kecil dan belajar dari konsekuensinya. Di sanalah disiplin tumbuh alami sebagai bagian dari tanggung jawab, bukan tekanan.
Tulisan ini bukan sekadar ajakan mengganti kata, tapi mengubah cara pandang. Jika kamu setuju bahwa disiplin seharusnya lahir dari kesadaran, bukan dari larangan, bagikan pandanganmu di kolom komentar. Siapa tahu, satu kalimat positif dari kita bisa mengubah cara orang tua lain mendidik anak mereka hari ini.