05/07/2025
"Anakku yang Bodoh"
Sebuah Renungan Mendalam untuk Orang Tua
Kisah ini dibuka dengan gambaran yang mengiris hati. Doni, putra sulung yang malang, harus merasakan pukulan dan makian dari ayahnya karena nilai rapornya yang buruk. Sang ayah, yang berambisi melihat semua anaknya cerdas dan berprestasi, tak segan melampiaskan kekesalannya di depan adik-adik Doni. Ibu Doni hanya bisa memeluk putranya, merasakan kepedihan yang sama, namun tak berdaya menghadapi temperamen suaminya.
"Doni bukan anak ayah," lirih Doni dengan mata tertunduk, sebuah kalimat yang menusuk hati sang ibu. Malam itu, Doni mengigau, tubuhnya panas. Kejadian itu memicu penyesalan sang ayah, namun pemahaman akan latar belakang Doni—yang lahir di tengah kesulitan dan kekurangan gizi—masih terhalang oleh ambisinya.
Ketika "Kebodohan" Menjadi Alasan untuk Membuang
Alih-alih memahami, sang ayah justru memilih jalan pintas: mengirim Doni ke pesantren. Alasannya, agar Doni "dididik dengan benar." Namun, tersirat kekhawatiran yang lebih dalam, yaitu rasa malu dan keinginan untuk memisahkan Doni dari adik-adiknya yang dianggapnya lebih berhasil. Sang ibu tahu, ini adalah upaya sang ayah untuk membedakan mana anak yang "bisa diandalkan" dan mana yang "harus dibuang."
Doni kecil, yang sangat dekat dengan ibunya, terpaksa berpisah. "Doni enggak mau jauh-jauh dari bunda," pintanya pilu. Namun, bentakan sang ayah memutus harapan itu. Sang ibu hanya bisa merindukan Doni dari kejauhan, terhalang larangan suaminya untuk menjenguk.
Transformasi di Balik Diamnya Doni
Tahun-tahun berlalu. Doni tumbuh di pesantren, jauh dari hingar bingar dunia yang ditekankan sang ayah. Ia tidak lagi mengejar nilai akademik semata, melainkan menemukan kedalaman spiritual. Sholat tahajud, zikir, kemandirian, dan kesantunan menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Ia tak banyak bicara, namun kehadirannya memancarkan ketenangan. Berbeda jauh dengan adik-adiknya yang tumbuh dalam kemanjaan dan gaya hidup modern, Doni memilih jalan kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan.
Namun, di mata sang ayah, Doni tetaplah "anak yang gagal." Setelah lulus, Doni tidak disuruh kuliah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di masjid kampung, menjadi ketua Remaja Islam. Ini justru menambah kekesalan sang ayah yang menjunjung tinggi reputasi. Puncaknya, Doni dituduh mencuri, sebuah fitnah yang menghancurkan hati sang ibu. Meskipun Doni terbukti tidak bersalah, sang ayah tetap mengusirnya dari rumah.
"Maafkan aku bunda, Doni belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah," ucap Doni, memeluk ibunya dan adik-adiknya satu per satu, berpesan agar menjaga sholat. Sebuah perpisahan yang menyakitkan, namun Doni menerimanya dengan ikhlas.
Badai Datang, Doni Pulang
Enam tahun berlalu. Keluarga itu menikmati kemewahan, namun ada lubang kosong di hati sang ibu. Hingga prahara itu datang: sang ayah tersangkut kasus korupsi. Reputasi hancur, harta disita, dan keluarga menjadi pesakitan. Anak-anak yang selama ini dimanjakan, kini tak berdaya menghadapi kesulitan. Mereka menjadi beban, tak mampu bertahan dalam badai.
Di tengah keterpurukan itulah, sosok yang selama ini "dibuang" kembali. Doni, putra sulung yang gagah, datang dengan senyum khasnya. Ia memeluk ibunya dan adik-adiknya, menyatukan kembali keluarga yang hancur. Dengan bekal pengalaman dan tabungannya dari luar negeri, Doni membuka usaha percetakan. Ia mengambil alih peran sebagai pelindung dan penopang keluarga.
Lebih dari itu, Doni menjadi imam sholat di rumah, membimbing keluarganya dengan tutur kata lembut dan penuh hikmah. Ia mengajarkan tentang makna kehormatan sejati, bukan dari harta dan jabatan, melainkan dari kedekatan dengan Allah. Ia menegaskan bahwa musibah yang menimpa bukanlah azab, melainkan dialog cinta dari Allah untuk mengajarkan sabar, ikhlas, dan hakikat kehidupan.
Sebuah Hikmah untuk Kita Semua
Kisah ini adalah pengingat yang kuat bagi setiap orang tua:
Jangan Memaksakan Kemampuan Anak: Setiap anak memiliki keunikan dan potensi yang berbeda. Memaksa mereka menjadi apa yang kita inginkan hanya akan membebani dan menghancurkan harga diri mereka.
Jangan Merendahkan Kemampuan Anak: Label "bodoh" atau "gagal" bisa membekas dalam jiwa anak dan menghambat perkembangannya. Percayalah pada potensi mereka, meskipun belum terlihat jelas.
Kesuksesan Bukan Hanya Diukur dari Akademik: Nilai rapor hanyalah salah satu indikator, bukan penentu segalanya. Karakter, kemandirian, dan kedalaman spiritual seringkali jauh lebih berharga.
Anak yang Kelihatannya "Terbelakang" Belum Tentu Gagal: Doni membuktikan bahwa kesuksesan bisa datang dari jalan yang tak terduga, dari ketekunan dalam beribadah dan pengabdian.
Kasih Sayang Harus Adil dan Sesuai Porsi: Jangan membeda-bedakan anak, apalagi karena prestasi mereka. Setiap anak berhak mendapatkan cinta dan dukungan yang setara.
Pentingnya Harta yang Halal: Kisah ini juga mengingatkan bahwa harta yang tidak halal tidak akan membawa keberkahan dan kebahagiaan sejati.
Semoga renungan ini bermanfaat bagi kita semua, agar Allah menjadikan kita dan keluarga kita hamba yang dirahmati, diridhoi, diberkahi, dibebaskan dari siksa api neraka, dan dimasukkan ke dalam surga. Aamiin ya Allah. 🙏