20/09/2025
Manusia, kata para antropolog, selalu mencari patron.
Dalam teori patron-klien, ada relasi timbal balik: yang kuat memberi perlindungan, yang lemah memberikan loyalitas.
Dalam bahasa kampung, patron ini lebih populer dengan istilah dekengan.
Di dunia politik, dekengan bisa berupa partai, koalisi, atau tokoh karismatik.
Dalam dunia sosial, dekengan berarti kenalan pejabat, preman, atau orang kaya yang bisa dimintai tolong.
Secara psikologis, manusia memang cenderung mencari locus of security—titik aman di luar dirinya.
Pendek kata, siapa yang membackup hidupmu, itulah dekengan.
Siapa yang jadi penopang, penyokong, atau paling tidak, siapa yang kamu sebut kalau ditanya “kowe iku wonge sopo?” Namun Gus Iqdam membalikkan kerangka ini dengan satu kalimat sederhana tapi teologis:
“Dekengan paling kuat itu ya dekengan pusat.” Pusat di sini bukan sekadar koordinat. Ia adalah metafora eksistensial: sumber kehidupan, pusat gravitasi keberadaan, yang dalam kosmologi Islam disebut Allah al-Ahad—Yang Tunggal, Yang tak bergantung pada apa pun.
Jika manusia menggantungkan hidup pada dekengan sosial, ia terjebak dalam hukum relativitas: pejabat bisa turun jabatan, orang kaya jatuh miskin, preman pensiun, bahkan kiai pun fana.
Semua dekengan dunia tunduk pada hukum entropi: melemah, lapuk, sirna. Dekengan pusat berbeda. Ia tak tunduk pada hukum waktu. Dalam filsafat, Ia disebut causa prima—sebab pertama yang tidak disebabkan, pusat yang jadi referensi segala pusat.
Lucunya, manusia modern lebih percaya statistik, grafik, dan jaringan sosial ketimbang dekengan pusat.
Padahal, dalam epistemologi tauhid, semua itu hanyalah wasilah, bukan ghayah. Humor spiritual Gus Muhammad Iqdam Kholid sederhana: kalau dekenganmu lurah, hidupmu sebatas lurah. Kalau menteri, ya sebatas menteri.
Tapi kalau dekenganmu pusat—daya tahan hidupmu setara daya tahan semesta. Dan di situlah kejutan kecil yang lembut: ternyata sejak awal, bukan kita yang memilih dekengan pusat. Tetapi justru pusatlah yang lebih dulu mendekengi kita, bahkan sejak kita dalam rahim—sebelum kita tahu arti kata aman.