29/12/2025
TERHARU
“Dalam Gelap, Mereka Tetap Saling Menjadi Cahaya” 💔
Di sebuah rumah kecil yang nyaris tak bersuara, dua sosok renta duduk berdampingan.
Tak ada lampu terang.
Tak ada televisi.
Tak ada jendela besar tempat cahaya masuk.
Namun justru di situlah, hidup bertahan—pelan, rapuh, tapi penuh keteguhan.
Namanya Mbah Ponijan, 70 tahun.
Sejak usia 10 tahun, dunia baginya hanyalah gelap.
Tak pernah lagi ia mengenal warna pagi, senja, atau wajah orang-orang yang lewat.
Di sisinya, Mbah Riyati, 67 tahun.
Perempuan yang juga tak lagi melihat.
Tangannya kini sering gemetar, langkahnya tertatih, namun hatinya tak pernah meninggalkan suaminya—sedetik pun.
Setiap pagi, saat kebanyakan orang masih mengeluh soal hidup, Mbah Ponijan dan Mbah Riyati sudah duduk di depan rumah.
Serabut kelapa dihamparkan.
Bau alam yang kasar dan getir itu menjadi pengingat: hari ini harus tetap hidup.
Mbah Riyati mengelabang serabut kelapa pelan-pelan.
Tangannya gemetar, tapi tak pernah berhenti.
Di sampingnya, Mbah Ponijan menganyam keset—bukan dengan mata, melainkan dengan rabaan.
Setiap simpul adalah ingatan.
Setiap tarikan adalah doa.
“Satu minggu, Nak… satu keset saja baru jadi,” ucap Mbah lirih.
Tak ada keluhan.
Hanya fakta yang diterima dengan pasrah.
Jika sudah terkumpul dua atau tiga keset, mereka pun bersiap menjualnya.
Tak ada motor.
Tak ada sepeda.
Hanya langkah pelan dua lansia buta yang saling menggenggam tangan.
Mbah Riyati berjalan di depan, menggandeng suaminya.
Mbah Ponijan mengikuti setiap langkah, percaya sepenuhnya pada tangan yang menuntunnya.
Di jalan, mereka sering menabrak batu, tiang, bahkan jatuh.
Luka-luka kecil menghiasi tubuh renta itu.
Namun mereka tak pernah berbalik pulang.
Harga keset: Rp10.000
Harga sapu: Rp5.000
Murah.
Terlalu murah untuk peluh seminggu.
Terlalu murah untuk luka dan rasa sakit.
Di zaman yang serba cepat, dagangan mereka jarang dilirik.
Keset buatan tangan dianggap kuno.
Tak estetik.
Tak layak difoto.
Mbah tak marah.
Tak juga menyalahkan siapa pun.
Karena hanya itulah yang mereka bisa.
Malam tiba.
Di rumah kecil itu, nasi putih tanpa lauk sudah terasa mewah.
Kadang hanya garam.
Kadang tak ada apa-apa.
Jika beras habis dan dagangan tak laku, mereka memilih diam—menahan lapar bersama.
Dalam gelap, mereka duduk berdekatan.
Tangan saling menggenggam.
Bukan untuk melihat…
melainkan untuk memastikan:
“Kamu masih di sini.”
“Aku masih bersamamu.”
Tak ada janji masa depan.
Tak ada tabungan.
Tak ada jaminan esok akan makan.
Yang ada hanya satu hal:
kesetiaan dua manusia yang tak pernah saling meninggalkan, meski dunia seolah telah memalingkan wajah.
Dan di tengah kegelapan yang panjang itu,
mereka membuktikan satu hal sederhana—
bahwa cinta,
tak pernah membutuhkan cahaya untuk tetap hidup. 🥺💔