16/09/2025
Part 2
"Please, diam dulu Al," lirih dia berbisik.
Aku mematung, air mata ku mulai membanjir. Detak jan tungnya jelas ku rasakan, ba hunya mulai bergetar, apa dia juga menangis?
"Maaf, maafkan Kakak, Al. Maaf ..."
Dia terus mengucapkan maaf, entah maaf untuk kesalahannya yang mana. Mungkin, dia hanya ingin jadi kakak yang baik untuk ku, tanpa embel-embel cinta yang selalu ku pak sakan.
Tapi hati ku begitu ke ras, aku belum bisa menerima penolakannya.
"Apa yang Kakak lakukan?" Tanya ku di sela isak tangis. Da da ku se sak, kenapa dia meme luk ku? Padahal sejak aku bicara dengan Papa waktu itu, aku tak pernah lagi merasakan pelu kan kasih sayangnya.
Jangan kan pelu kan, dia bahkan tak pernah menatap ku. Selalu menghindar saat aku mengajaknya bicara. Ini pelu kan pertama sejak bertahun-tahun lamanya.
Dan pe lukan ini semakin membuat perasaan ku padanya meng ge bu. Perasaan yang sebelumnya berusaha ku pa damkan kini berko bar lagi.
Tidak, aku tak boleh seperti ini. Apa aku bisa berdamai dengan takdir? Menerimanya sebagai Kakak lalu melupakan perasaan ku.
Aku mena rik diri, buru-buru menghapus air mata. Tak ingin terlihat le mah di matanya.
"Kakak gak seharusnya pe luk aku," ucap ku.
Dia diam, aku lekas berbalik hendak pergi. Tapi dia menahan le ngan ku, membuat air mata ku kembali menetes.
"Al, gak bisa yah kita kaya dulu lagi?" Tanyanya.
Aku tak menjawab, sibuk menahan tangis yang kian menye sakkan da da. Dia sendiri yang lebih dulu menjauh, lalu kenapa sekarang bertanya seperti itu?
"Kenapa tanya aku, Kak? Bukannya yang awalnya menjauh itu Kakak?"
Dia kembali diam, mungkin membenarkan ucapan ku. Ku lepas tangannya dari le nganku, lalu pergi ke kmar. Aku bahkan belum menunjukan dimana kmarnya agar dia bisa beristirahat. Lebih lama dekat dengannya membuat ku mulai tak wa ras.
Keesokan harinya, Kak Aksa memintaku untuk menemaninya jalan-jalan. Aku sempat menolak, ku minta Kak Ria menemaninya, tapi Kak Ria menolak dengan alasan tak enak ba dan. Padahal aku tahu dia baik-baik saja.
"Kakak gak enak ba dan, Al. Kamu saja yang temani, biar Zaki menemani Kakak di apartemen. Kakak mau minta dia antar Kakak ke Dokter," begitu katanya.
Aku menghela nafas panjang, Kak Ria pasti ingin membuat hubungan ku dan Kak Aksa kembali seperti dulu. Akhirnya aku mengangguk. Setelah sarapan kami bersiap.
"Kamu gak keberatan kan menemani Kakak?" Tanya Kak Aksa saat kami di dalam lift.
Aku menggeleng, menatapnya sekilas lalu pura-pura sibuk dengan ponsel ku. Aku terkejut saat tiba-tiba dia mengambil ponsel ku, memas**an benda pipih itu ke saku mantelnya.
"Kakak simpan dulu ponsel kamu, kita nikmatin jalan-jalan dulu," katanya.
Aku mence bik, kejadian ini seperti dejavu. Dulu, saat kami liburan keluarga ke Swiss, dia melakukan hal yang sama saat aku terlalu fokus ke ponsel dan mengabaikannya.
"Kakak disini, bukan di dalam hp kamu," katanya waktu itu. Dia menegaskan bahwa saat dengannya, dia harus menjadi fokus ku, bukan yang lain.
Ku berikan kunci mobil ku saat kami sampai di basement, dia tersenyum, mengu sap puncak kepala ku dengan lmbut. Aneh, dia tak pernah seperti ini sejak beberapa tahun lalu.
"Jadi, mau kemana kita?" Tanyanya saat duduk di balik kemudi.
"Terserah," jawabku.
Aku tahu, sebenarnya dia tak butuh aku sebagai pemandunya jalan-jalan. Toh, bukan hanya sekali ini dia ke LA, dulu dia sering kesini untuk mewakili Papa kunjungan kerja. Entah apa maksudnya mengajakku, dengan alasan ingin di temani karena tak tahu tempat mana saja yang bagus untuk di kunjungi.
***
Hampir tengah malam aku dan Kak Aksa p**ang. Rasa lelah membuat ku mengantuk, hingg beberapa kali aku menguap.
"Tidur saja, nanti Kakak bangunkan kalau sudah sampai di Apartemen," ucapnya sembari mengu sap puncak kepalaku.
Aku mengangguk, menyandarkan tbuhku ke sandaran, mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata.
Bayangan kebersamaan kami tadi kembali berputar, Kak Aksa sangat berusaha kembali berbaikan dengan ku. Dia bahkan sangat perhatian, hal yang menurut ku sedikit berlebihan ketika aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya.
Dulu pernah aku pernah melakukan berbagai cara untuk mena rik simpati dan perhatiannya, tapi nihil, dia tetap dingin bahkan tak meli rik ku. Sekarang dia bersikap seperti tak pernah terjadi apapun di antara kami. Kak Aksa kembali ke setelan awal saat aku masih remaja dulu.
Tapi perhatiannya itu justru membuat ku tkut, sempat terpikir ingin berdamai dengan keadaan, tapi aku tkut rasa cinta untuknya malah semakin besar. Karena setiap kali dekat dengannya, deba ran di hati ku kian nyata.
Perlahan mata ku terpejam, lelah tbuh tak selelah hati dan pikiran ku. Akhirnya aku terpejam.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun saat aku bermimpi aneh. Aku bermimpi Kak Aksa me nge cup bbr ku. Hangatnya bahkan terasa nyata. Ya Tuhan, mimpi macam apa itu? Memalukan!
Ku edarkan pandangan, ini di basement apartemen?
"Kamu sudah bangun? Kakak baru akan membangunkan mu," ucapnya.
Aku menoleh, Kak Aksa tengah mengutak-atik ponselnya.
"Kita sudah sampai? Sudah berapa lama kita sampai?" Aku bertanya, dda ku berde bar, jntngku berdetak tak karuan mengingat mimpi barusan.
Bisa-bisanya aku bermimpi seperti itu, apa karena aku begitu mengharapkan Kak Aksa? Bahkan tanpa sadar aku menyen tuh bbrku sendiri, mimpi yang benar-benar serasa nyata.
"Baru saja, ayo turun. Atau mau Kakak gen d**g seperti biasa?" Tawarnya sembari tersenyum. Dia tampak biasa saja, berarti yang barusan memang benar-benar mimpi. Ya ampun Alinea, bisa-bisanya ngarep!
Aku kikuk, dulu saat aku tertidur, aku pasti minta di gen d**g Kak Aksa dengan alasan pu sing baru bangun. Padahal aku ingin man ja-man jaan padanya.
"A-aku bisa jalan sendiri," ucapku, buru-buru membuka set belt lalu turun lebih dulu. Aku bisa mendengar suara kekehan dari Kak Aksa.
Aku berjalan beberapa langkah di depannya, teringat tentang ponsel ku yang belum dia kembalikan, aku pun berbalik.
"Jalan-jalannya sudah selesai, boleh Kakak kembalikan ponsel ku?" Ku ulurkan tangan, menunggu dia yang justru merespon dengan senyuman saja.
"Memangnya ada apa sih di hp kamu? Takut pa car kamu ma rah yah gara-gara gak ngasih kabar seharian?" Katanya.
"Mana ada pa car," ujar ku sembari mendelik. Boro-boro bisa punya pa car, selain tak mau pa tah hati lagi, nama Aksara masih menjadi penghuni tetap di hati ku. Sulit menggantinya dengan nama yang lain.
"Bagus deh."
"Eh, maksud Kakak?"
Baca lengkapnya di KBMAPP
Judul KAKAK, AKU MENCINTAIMU!
Penulis SAVANA ALIFA