28/05/2025
Bakar Tongkang adalah tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi, Riau, sebagai bentuk syukur kepada Dewa Kie Ong Ya, dewa laut yang diyakini telah menunjuki jalan hidup kepada para leluhur mereka. Tradisi ini dimulai sekitar tahun 1826 ketika sekelompok imigran dari Fujian, Cina Selatan, berlayar menuju Sumatera menggunakan kapal tongkang dan akhirnya menetap di Bagansiapiapi setelah mengikuti cahaya kunang-kunang yang disebut "siapi-api".
*Sejarah Bakar Tongkang*
Para imigran Tionghoa ini mengalami kebimbangan dan kehilangan arah di tengah laut, namun setelah berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya, mereka melihat cahaya kunang-kunang yang membawa mereka ke daratan Selat Malaka. Setelah menemukan lokasi yang potensial untuk kehidupan, mereka berburu menangkap ikan untuk kebutuhan hidup dan akhirnya memutuskan untuk menetap di daerah tersebut.
*Makna dan Prosesi Bakar Tongkang*
Sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada Dewa Kie Ong Ya, para imigran melakukan upacara membakar tongkang sebagai sesajen kepada dewa laut. Prosesi Bakar Tongkang dilakukan setiap tahun pada tanggal 16 bulan kelima menurut kalender Tionghoa, yang dikenal sebagai "Go Ge Cap Lak" dalam bahasa Hokkien.
Selama prosesi, replika kapal tongkang diarak dari kelenteng menuju lokasi pembakaran, diiringi atraksi seni budaya khas Tionghoa seperti barongsai dan musik tradisional. Setelah kapal dibakar, masyarakat akan memperhatikan arah jatuhnya tiang layar kapal, yang diyakini dapat menentukan keberuntungan dan rezeki mereka.
*Dampak dan Signifikansi*
Tradisi Bakar Tongkang telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di Riau, menarik puluhan ribu wisatawan dari dalam dan luar negeri. Selain itu, tradisi ini juga menjadi simbol keberagaman budaya Indonesia dan meningkatkan sektor pariwisata di Riau ¹ ².