Palu

Palu Random creator
Day one day in my live

17/11/2022

Belanja online aman dan nyaman di Ayesfath Mulia, Bogor Utara, Kota Bogor - Melayani Dunia Ilmu Pengetahuan

07/06/2019

Kami mengucapkan

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك
"Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu."

*Selamat Hari Raya 'Idul Fitri 1440 H*

*Mohon maaf lahir batin "Minal Aidzin wal Faidzin*

عيدكم سعيد
Semoga hari rayanya penuh dengan kebahagiaan

( Nurul Laiq & keluarga)

13/03/2019

Museum Sulteng akan Dilengkapi Display Sejarah Kebencanaan

PALU – Museum Negeri Sulawesi Tengah kedepannya akan dilengkapi dengan ruangan khusus atau display pameran, terkait sejarah kebencanaan.

Wakil Kepala Museum Sulteng, Iksam, pada Selasa (12/3/2019) mengungkapkan, rencana tersebut ditargetkan dapat terlaksana tahun ini, dengan dukungan penuh dari United Nations Educational, Scientific adn Cultural Organization (UNESCO), yakni organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Pihak UNESCO Jakarta membuka peluang dan jika memungkinkan, tahun ini akan ada satu ruangan khusus atau display di ruang pameran museum, tentang sejarah kebencanaan dan pengetahuan lokal tentang mitigasi,” jelas Iksam.

Dirinya menjelaskan, dalam display tersebut, nantinya akan berisi berbagai pengetahuan terkait sejarah seluruh bencana yang pernah terjadi di Sulteng, di antaranya terkait sejarah bentang alam, serta unsur-unsur yang berkaitan dengan kebencanaan di Sulteng. Saat ini kata Iksam, Museum Negeri Sulteng telah memiliki display yang berkaitan dengan sejarah geologi Sulteng secara umum.

“Tentu kita akan mulai dari sejarah alamnya dulu, kemudian menyentuh secara keseluruhan aspek kebencanaan yang ada di Sulteng, termasuk nanti semua unsur yang mempengaruhi, seperti perubahan lingkungan hidup dan lingkungan sosial.

Hal yang jelas, pengetahuan tentang bencana dari segala perspektif, akan menjadi salah satu pertimbangan kita, agar kita tahu bagaimana menghadapi bencana,” ujarnya.

Dalam display sejarah kebencanaan tersebut nantinya, lanjut Iksam, juga akan tersedia Kid Corner, yang menjadi sarana edukasi bagi pengunjung usia dini. Hal ini dijelaskannya karena edukasi berbasis pengetahuan lokal sebaiknya dimulai dari usia anak-anak.

“Begitu perencanaannya, akan ada display khusus tentang sejarah kebencanaan, dan di dalam display itu ada lagi kid corner-nya,” imbuhnya. Iksam menjelaskan, secara umum, inisiatif untuk membuat ruang khusus yang menampilkan display tentang sejarah kebencanaan tersebut, datang setelah pihaknya berkunjung ke Jepang, pertengahan Januari 2019 lalu, dalam rangka mempelajari metode penyimpanan koleksi museum yang aman bencana dan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal yang diterapkan di sana.

Di sejumlah museum di lokasi yang pernah terdampak tsunami di Jepang, seperti di Miyagi, terdapat ruang dengan display khusus tentang memori kebencanaan tersebut. “Hal ini yang membuat kami berinisiatif untuk melakukan hal serupa di Museum Negeri Sulteng,” ujarnya.


Saat ini ungkapnya, pihak UNESCO sedang mendukung Museum Negeri Sulteng terkait proses recovery terhadap koleksi-koleksi yang mengalami kerusakan, akibat bencana alam pada 28 September 2018 lalu. Tahapan recovery tersebut telah dimulai sejak bulan November 2018 dan ditargetkan akan selesai pada Juli 2019 mendatang.

“Kita mengumpulkan koleksi yang rusak, kemudian mengidentifikasi dan sekarang dalam tahap memperbaiki. Kemungkinan besar setelah masa recovery berakhir, akan dimulai tahapan pembuatan display sejarah kebencanaan. Paling tidak sudah ada tanda dari UNESCO, bahwa hal itu bisa dimungkinkan terwujud,” demikian Iksam.

Penulis: Jefrianto
Foto: Dokumentasi Iksam
Editor: Yardin Hasan

Keterangan foto:
Salah satu display di sebuah museum di Miyagi, Jepang, yang memuat tentang memori bencana tsunami yang melanda daerah tersebut, 2011 lalu. Museum Negeri Sulteng juga akan melakukan ha serupa, dengan menginisiasi ruang khusus display sejarah kebencanaan.

-----------------------
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Palu didukung oleh Emergency Response Capacity Building (ERCB) dan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

11/02/2019

Komnas HAM Sulteng: Mekanisme Dana Stimulan Perpanjang Derita Korban Bencana

Palu - Kepala Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah, Dedy Askary, mengatakan, rumitnya skema pencairan dana stimulan rumah yang rusak, justru memperpanjang penderitaan korban bencana alam di Sulawesi Tengah.

“Skema pencairan dari pemerintah mengabaikan suara korban,” kata Dedi dalam siaran persnya, pekan lalu.

Menurut Dedi, seharusnya pemerintah pusat mempercayakan penanganan pascabencana kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Tengah. Sebab bencana 28 September 2018 bukan dikategorikan sebagai bencana nasional.

Dedi juga menyinggung pelibatan 5.000 babinsa dalam proses verifikasi data lanjutan untuk pencairan dana stimulan. Kebijakan itu, katanya, berpotensi melampaui kewenangan lintas satuan kerja pemerintah daerah.

“Pemerintah pusat cukup sebagai pendamping dan memfasilitasi ketersediaan ahli,” kata dia.

Sebelumnya, dalam rapat percepatan pemulihan dan rekonstruksi bencana Sulawesi Tengah di Kantor Bdan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 4 Februari 2019, disepakati, bahwa sebelum pemberian stimulan untuk rumah rusak dan santunan duka, akan dilakukan verifikasi data kembali yang dibantu oleh TNI dari kesatuan Zipur.

Di kesempatan yang lain, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Palu, Iskandar, menjelaskan, dana stimulan perbaikan rumah bagi korban bencana juga tidak diberikan langsung ke orang per orang. Tetapi dicairkan melalui kelompok masyarakat (Pokmas) yang beranggotakan 15-20 orang korban bencana.

Pokmas kemudian membuat proposal rencana anggaran sesuai kebutuhan anggota. Dana yang dicairkan dibayarkan ke toko untuk pembelian material bangunan.

Targetkan Februari

Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, mengatakan, dana stimulan dan santunan duka untuk korban bencana ditargetkan cair pada bulan Februari. Akan tetapi pencairan dana itu harus melalui verifikasi ulang dari pemerintah pusat agar data penerima benar-benar akurat.

"Semoga data yang telah saya tetapkan SK sesuai dengan data yang ada di lapangan," kata Longki Djanggola.

Gubernur Longki Djanggola, mengatakan, keterlibatan TNI- POLRI dalam verifikasi data sangat penting untuk membantu percepatan pencairan dana stimulan sehingga masyarakat segera merasakannya.

Bupati Sigi, Moh Irwan Lapata, juga setuju dengan pelibatan personil TNI. Itu menunjukkan keseriusan pemerintah agar data yang dihasilkan lebih akurat.

"Saya melihat itu positif untuk memperoleh hasil yang akurat dan tidak ada unsur rekayasa," kata Irwan Lapata, ditemui saat penyerahan bantuan dari Jepang di Desa Lanagaleso, Kecamatan Dolo, Jumat, 8 Februari 2019.

Menurut Irwan, kemungkinan besar akan ada penambahan data dari hasil verifikasi di lapangan, sekitar satu persen. Namun untuk mekanisme pencairan dana stimulan, ia masih menunggu petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis.

"Saya belum bisa mengomentari lebih jauh karena aturannya belum ada berupa petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis," kata Irwan.

Ada tiga bank yang telah disepakati untuk menyalurkan dana stimulan dan dana santunan korban bencana gempabumi, tsunami dan likuifaksi di empat wilayah, Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.

Ketiga bank itu adalah Bank Mandiri untuk Kota Palu, BNI untuk Kabupaten Sigi dan BRI untuk Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong.[]

Reporter : Rahmat Dhani dan Pataruddin
Foto: Penyerahan bantuan dari Jepang untuk Sigi
Editor: Ika Ningtyas
_______________________

Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Palu didukung oleh Emergency Response Capacity Building (ERCB) dan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

30/01/2019

Pemerintah Jerman akan Bantu Pemulihan Sulteng

PALU - Pemerintah Jerman berkomitmen membantu masa rehabilitasi dan rekontruksi daerah-daerah terdampak bencana di Sulawesi Tengah, dengan menyiapkan anggaran sekitar 25 juta Euro atau sekitar Rp400 miliar.

Komitmen bantuan itu disampaikan Kerry Khan, perwakilan Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia saat menemui Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, Rabu 30 Januari 2019.

Kedatangan Kerry didampingi oleh perwakilan badan kerjasama ekonomi dan pembangunan luar negeri Jerman (BMZ), Bank KFW dari Jerman, dan Badan PP untuk Pembangunan (UNDP).

Menurut Kerry, Pemerintah Jerman akan berfokus pada 2 hal yaitu pemulihan fasilitas publik dan pemulihan ekonomi masyarakat yang hilang karena bencana.

"Kita semua berada di jalur yang tepat karena punya hubungan yang kuat dengan Indonesia," kata Kerry, sesuai siaran pers Biro Humas Pemprov Sulteng, Rabu.

Kerry mengatakan, dia sudah berkeliling ke sejumlah lokasi terdampak bencana dan berbincang dengan korban. Dari dialog itu, kata Kerry, ia mempelajari ketahanan masyarakat menghadapi dan berupaya bangkit dari bencana.

Ia menambahkan, usai pertemuan dengan gubernur akan mengunjungi Taman Nasional Lore Lindu. Sebab, c***r biosfer tersebut juga mendapat perhatian dari Pemerintah Jerman.

Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, mengucapkan terima kasih atas kepedulian Pemerintah Jerman. Ia menjelaskan, pihaknya sudah menetapkan rencana aksi pemulihan yang memuat prioritas-prioritas dalam pemulihan pascabencana.

Rencana aksi lanjutan, kata Longki, akan ia paparkan lebih detail di Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Bappenas. Rencana aksi itu akan menjadi pedoman rehabilitasi dan rekontruksi yang bisa menjembatani keinginan Pemerintah Jerman membantu Sulteng.

“Pada 6 Februari akan terurai hal-hal apa yang dibutuhkan,” kata gubernur ke Kerry.[]

Penulis: Pataruddin
Editor: Ika Ningtyas
__________
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Indonesia & Internews dengan melibatkan para jurnalis di Palu. Kabar Sulteng Bangkit juga didukung oleh KataData, Emergency Response Capacity Building (ERCB) dan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

09/01/2019

Membaca Perilaku Hewan Sebagai Pertanda Bencana Alam

PALU -- Beberapa binatang memiliki perilaku yang tidak lazim saat bencana alam akan terjadi. Perilaku aneh tersebut adalah insting binatang dalam merespon perubahan atau gejala alam disekitarnya. Dalam beberapa kasus, beberapa binatang berhasil mengevakuasi diri saat bencana alam terjadi.

Perilaku binatang dalam merespon gejala alam, telah lama menjadi perhatian manusia. Termasuk peneliti. Meski ada perdebatan, namun di beberapa kelompok masyarakat meyakini kemampuan binatang tersebut.

Masyarakat adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah, secara turun temurun meyakini perubahan perilaku hewan yang tidak lazim sebagai salah satu pertanda datangnya bahaya. Misalnya, jika terdengar kokok ayam bersahutan pada separuh malam.

“Dalam tradisi Toro disebut Untongobengi. Bagi kami ini adalah pesan alam yang harus diwaspadai,” kata Rukmini Toheke, Tokoh perempuan adat Ngata Toro.

Rukmini pernah membuktikannya. Entah kebetulan atau tidak, semalam sebelum peristiwa likuefaksi di Kelurahan Petobo pada 28 Sptember 2018, Rukmini mendengar kokok ayam bersahutan di sekitar rumahnya.

Keesokan paginya, Rukmini yang masih memegang teguh pengetahuan dari leluhurnya, segera memerintahkan anak-anaknya mengemasi barang dan dokumen penting. Sekeluarga mereka mengevakuasi diri ke rumah kerabat di jalan Banteng, Palu Selatan.

‘’Dan benar saja. Pada sore harinya terjadilah peristiwa dahsyat itu,’’ katanya, saat menjadi pembicara di Bincang Santai Kabar Sulteng Bangkit, Jumat 28 Desember 2018.

Menurut dia, seandainya ia mengabaikan nasehat orang tuanya terdahulu, kemungkinan ia dan anak-anaknya akan menjadi korban likuefaksi di Petobo. Sebab setelah bencana terjadi, ia mendapati rumahnya telah hilang ditelan lumpur.

Perilaku binatang yang tidak lazim saat bencana alam akan terjadi, juga pernah disaksikan Ebhy, perempuan yang tinggal di Kelurahan Lasoani, Mantikulore, Kota Palu.

Ia menuturkan, sebelum gempa berkekuatan 7,4 terjadi, ia menyaksikan kucing kesayangannya tiba-tiba berlari sambil menjerit keluar rumah. Padahal, kata Ebhy, kucing jenis anggora itu jarang keluar sendiri dari pekarangan rumahnya.

“Tidak lama setelah dia (kucing) lari keluar rumah, gempa besar mulai terjadi. Saya juga akhirnya ikut lari keluar rumah,” kata Ebhy.

Di Kabupaten Donggala, beberapa warga juga mendapati keanehan perilaku hewan sesaat sebelum tsunami menyapu permukiman mereka. Seperti yang dituturkan Rustam (38), kepada Kabar Sulteng Bangkit, Sabtu 5 Januari 2019.

Beberapa menit sebelum tsunami terjadi, tiba-tiba seekor sapi peliharaannya datang mengendus-endus dinding rumahnya. Tak berselang lama, sapi itu kemudian lari terbirit-birit ke arah bukit di belakang permukiman mereka.

“Dua kali dia datang cium-cium dinding. Setelah yang kedua kali itu dia langsung lari,” ujarnya.

Arkeolog Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah, Iksam, mengatakan dalam beberapa kelompok masyarakat memang mayakini perilaku aneh binatang sebagai pertanda datangnya bencana alam.

“Di daerah Sumatera itu kajang. Kalau di daerah Sulawesi itu kucing. Kucing dianggap memiliki kepekaan yang tinggi,” katanya, Senin 7 Januari 2019.
Perilaku aneh binatang bisa terlihat beberapa hari hingga sehari sebelum datangnya bencana. Namun ada p**a binatang berperilaku aneh sesaat sebelum bencana datang.

Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah itu mencontohkan, katak yang tiba-tiba berbunyi, cicak yang tiba-tiba tidak nampak di dinding, kelompok burung yang menghilang atau tidak bersuara, atau ayam jantan yang tiba-tiba berkokok diluar jadwal normal.

Sebenarnya temuan kasus-kasus itu, kata Iksam, berasal dari pengalaman yang kemudian menjadi pengetahuan. Terkadang pengetahuan tersebut juga tidak sengaja diwariskan.

Menurut Iksam apa yang bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman tersebut, termasuk perilaku aneh binatang, adalah sikap tenang atau tidak panik saat menghadapi bencana.

“Kalau kita panik, apapun pengetahuan mitigasi bencana yang kita miliki tidak akan bisa kita praktikkan. Saat bencana terjadi perhatikan dahulu lingkungan di sekitar kita. Termasuk kemana arah evakuasi,” katanya.

Kerafian lokal mengenai mitigasi bencana, kata dia, umumnya mengajarkan manusia agar memperhatikan lingkungan sekitarnya. Pesan edukasi tersebut yang bisa diambil nilainya dan diterapkan kepada generasi sekarang besok dan yang akan datang.[]

Penulis: Zainal Ishaq
Editor: Ika Ningtyas
_________________
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Indonesia, Internews dan Katadata dengan melibatkan para jurnalis anggota AJI Palu. Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

05/01/2019

Mangrove Gonenggati, Peredam Tsunami di Teluk Palu

Lebatnya hutan mangrove Gonenggati menyambut saya ketika memasuki Kelurahan Kabonga Besar, Kabupaten Donggala. Keteduhan hutan segera menyejukkan tubuh, setelah menempuh hampir satu jam perjalanan dari Kota Palu di bawah terik sang surya.

Batang-batang mangrove tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter dengan akar-akarnya yang menghujam kuat. Menjadi rumah yang nyaman bagi udang, kepiting dan burung-burung pantai.

Saya mengunjungi hutan mangrove itu di Sabtu siang pekan kedua Desember. Hutan mangrove Gonenggati membentang sepanjang tiga kilometer di pesisir Teluk Palu, menjadi pagar alami yang memisahkan kawasan laut dengan daratan di Kabonga.

Ada enam spesies mangrove yang tumbuh alami sejak puluhan tahun di hutan Gonenggati: Rhizophora apiculata, Avicennia Lanata, Nypa Fruticana, Rhizophora Mucronata, Rhizophora Stylosa dan Sonneratia Alba.

Hutan seluas 10 hektar ini bisa disebut hutan mangrove terluas dan terapat di Teluk Palu. Sebab sebagian besar kawasan pesisir di Teluk Palu telah beralih fungsi menjadi pemukiman, hotel, warung makanan dan pelabuhan.

Sejatinya hutan ini tetap terjaga berkat kehadiran Kelompok Tani Hutan Gonenggati Jaya. Kelompok ini awalnya beranggotakan 15 orang, gabungan dari warga setempat yang sebagian besar adalah nelayan.

Ketua KTH Gonenggati Jaya, Yuryanto, mengatakan, kelompoknya terbentuk setelah melihat hutan mangrove di wilayahnya terancam. Dulunya banyak orang menebang mangrove untuk berburu cacing dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan.

Padahal, kehadiran mangrove itu cukup penting bagi nelayan sekitar sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan kepiting. “Dulu hutan mangrove lebih luas daripada sekarang,” kata Yuryanto.

Salah satu upaya kelompok adalah melarang penebangan. Untuk memulihkan ekosistem, mereka melakukan pembibitan mangrove secara swadaya dengan memanfaatkan biji yang telah matang.

Setelah tumbuh sekitar dua bulan, bibit itu mereka tanam di lahan-lahan yang mangrovenya telah rusak atau gundul. Yuryanto menyebut sudah ribuan bibit yang mereka hasilkan dan tanam di pesisir Kabonga Besar.

Tak ingin penebangan terjadi lagi, KTH Gonenggati kemudian menginisiasi wisata edukasi. Mereka merekrut 15 orang lagi dari warga sekitar dan bekerja sama dengan Kesatuan Pemangku Hutan Banawa Lalundu.

Mereka memoles hutan mangrove seperti yang saya nikmati siang itu. Membangun titian jalan menggunakan bambu, sehingga saya bisa menembus menikmati bagian dalam hutan. Ada pondok-pondok dan anjungan kayu untuk beristirahat dengan latar Teluk Palu yang menawan. Botol-botol plastik bekas minuman dicat warna-warni, menghiasi spot-spot untuk berswafoto.

Dengan cara itu, KTH Gonenggati berhasil menarik banyak pengunjung terutama generasi muda. Siang itu, ada belasan pelajar —dengan seragam yang masih melekat, asyik bercengkerama di Gonenggati.

“Harapannya selain berwisata, mereka bisa belajar bagaimana pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” kata Yusranto berharap.

Peredam Tsunami
Gempa berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang rumah Iwan di Jumat sore, 28 September 2018. Saat itu ia baru sampai di rumah, setelah seharian berada di laut untuk menangkap ikan.

Rumah Iwan retak ringan di beberapa sudut. Ia beruntung, tsunami tak mengenai rumahnya di Kelurahan Kabonga Besar yang terletak satu kilometer dari pesisir Teluk Palu.

Nelayan berusia 44 tahun itu, mengatakan, tsunami tak mengenai pemukimannya karena terhalang oleh hutan mangrove yang tumbuh rapat di pesisir. “Nelayan di Kabonga Besar sama sekali tidak ada yang terkena tsunami,” kata dia, pekan kedua Desember.

Ketua KTH Gonenggati, Yusyanto, mengatakan, setelah ia mendengar kabar adanya tsunami, beberapa pengurus kelompok mengecek kondisi wisata hutan mangrove. Hasilnya, tidak ada kerusakan, hanya beberapa pondok dan anjungan basah oleh air laut. Dari jejak yang ditinggalkan, ia memperkirakan, air laut sempat naik setinggi 2-3 meter.

Tapi berkat hutan mangrove, kata Yusyanto, air laut bisa diredam sehingga tidak sampai ke pemukiman warga. Bahkan air laut juga tak mengenai ruas jalan utama yang menghubungkan Kabonga Besar dan Donggala kota.

“Hutan mangrove membentuk jaring yang memperlambat gelombang tsunami,” kata Yusyanto.

Tanpa hutan mangrove itu, Yusyanto, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Gelombang tsunami akan langsung menerjang ke daratan dan merusak bangunan-bangunan di pesisir sebagaimana yang terjadi pada pemukiman di pesisir lainnya pada 28 September 2018.

Ia pun meminta agar pemerintah Sulawesi Tengah mengkoservasi mangrove di sepanjang pesisir Teluk Palu yang rawan tsunami. “Menanam mangrove saat ini akan bisa dinikmati oleh generasi kita 50 tahun nanti,” katanya.

Peran hutan mangrove dalam mengurangi dampak kerusakan tsunami telah banyak diteliti. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memberikan contoh hutan mangrove di Tamil Nadu, India, yang dapat memperlambat gelombang laut dan melindungi 700 orang yang tinggal dalam jarak 100 meter hingga 1 kilometer dari hutan tersebut.

FAO juga menyebutkan, saat tsunami Aceh (2004), jumlah korban jiwa di Pulau Simeuleu, yang dekat dengan pusat gempa relatif sedikit. Sebagian karena disebabkan oleh hutan bakau yang mengelilingi p**au tersebut. Termasuk juga dengan hutan bakau yang mengurangi kekuatan tsunami di provinsi Phang Nga (Thailand) sehingga hanya sedikit wilayah pedalaman yang rusak.

Kantor Berita Inggris, BBC, edisi 12 mei 2015 menurunkan laporan, tentang dampak tsunami 2004 yang mengakibatkan 6 ribu orang di sebuah desa di Srilanka meninggal. Sebaliknya dua desa lain yang memiliki hutan bakau yang rapat, tercatat hanya dua orang yang tewas. Bencana itu membuat Srilanka memutuskan untuk menanam dan melindungi kawasan pantai dengan hutan mangrove.

Ketua Relawan Mangrove Teluk Palu, Ismail, mengatakan, dulunya hutan mangrove banyak tumbuh di pesisir Kelurahan Talise. Namun keberadaan hutan magrove semakin susut karena kawasan pesisir beralihfungsi menjadi tambak garam, pemukiman, dan infrastruktur.

Mangrove jomblo yang pernah tumbuh sebelum bencana, menjadi jejak bahwa dulunya ada hutan mangrove di Pantai Talise. “Saat jembatan kuning dibangun, itu mematikan seribu lebih pohon mangrove,” kata Ismail.

Menurut Ismail, setelah tsunami 2018, konservasi mangrove harus menjadi kebutuhan utama daripada membangun tanggul yang bernilai miliyaran rupiah. Sebab mangrove lebih banyak menguntungkan bagi nelayan dan warga sekitar, sebagai peredam tsunami dan menahan gelombang pasang.

“Membangun tanggul pun akan hancur juga kalau dihantam tsunami,” katanya.

Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, mengatakan, pembangunan tanggul adalah solusi paling cepat untuk menahan gelombang pasang yang menyebabkan banjir rob ke perkampungan warga.

“Untuk jangka panjang kami akan menanam mangrove,” kata Longki, Jumat siang.

Penulis: Ika Ningtyas
__________________�
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Indonesia, Internews dan Katadata dengan melibatkan para jurnalis anggota AJI Palu. Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

04/01/2019

Pantai Besusu, Saksi Bisu Tiga Tsunami
(Bagian 1)

PALU — Pantai Besusu di Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, merupakan salah satu kawasan pesisir yang paling terdampak bencana gempa bumi dan tsunami 28 September 2018.

Survei tsunami yang dilakukan oleh Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, tinggi tsunami di kawasan pantai tersebut mencapai 7,67 meter dengan jarak genangan 428,9 meter.

Gempa bumi berkekuatan M 7,4 menyebabkan banyak kerusakan bangunan infrastruktur. Seperti patahnya Jembatan Palu IV yang menghubungkan Kelurahan Besusu Barat dan Kelurahan Lere. Anjungan Nomoni dan Anjungan Nusantara pun ambles.

Tsunami juga menghancurkan bangunan di pesisir. Serta, menghanyutkan ratusan orang yang memadati lokasi tersebut karena bersamaan dengan pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni ke III.

Sebelum bencana 28 September, kawasan pantai seluas hampir 2 kilometer tersebut ternyata menyimpan sejarah panjang kebencanaan, khususnya tsunami.

Pantai tersebut menjadi saksi terjadinya tsunami tahun 1927 dan 1938 yang skala kerusakannya hampir sama dengan tsunami yang terjadi 28 september 2018 lalu.

Anggota Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh Ripsah Efriansyah, menceritakan, ia pernah mendapatkan cerita dari mantan ketua adat Besusu, Azwar Tandjegau dan ketua Adat Besusu saat ini, Wahyudin Lawide.

Keduanya pernah menjelaskan, bahwa dahulu kawasan pantai tersebut dibagi atas tiga wilayah. Yakni Bambana atau Lembana yang berarti kawasan muara. Wilayah ini dimulai dari kawasan depan TVRI hingga Jembatan Palu IV atau kawasan muara Sungai Palu.

Kedua, kawasan Enjere atau tempat berlabuhnya perahu di lokasi Anjungan Nusantara.

Ketiga kawasan Binangga atau sungai di kawasan sekitar Jalan Cut Meutia hingga kawasan muara sungai Pondo.

Phai, sapaan akrab Moh Ripsah Efriansyah juga menjelaskan, kawasan pantai Besusu, terutama di kawasan Enjere, dulunya merupakan lokasi tempat berlabuhnya perahu dan kapal-kapal berukuran kecil.

Lokasi itu dulunya menjadi tempat transaksi jual beli antara masyarakat sekitar dengan orang-orang yang datang membawa barang dari arah Donggala.

Sejarawan Universitas Tadulako, Wilman Darsono Lumangino, membenarkan cerita itu. Namun kata dia, kawasan tersebut bukan pelabuhan tapi hanya tempat menambatkan perahu.

“Dulunya, kapal berukuran kecil dan perahu layar sering singgah untuk bongkar muat barang,” kata Wilman.

Perahu dan kapal singgah itu, sebagian besar berasal dari Donggala dan kawasan Pantai Barat. Untuk mendukung aktivitas bongkar muat ini, dibangunlah pelabuhan rakit.

Komoditas yang diperdagangkan saat itu di antaranya kopra, rotan, kayu cendana dan kayu gopasa dari Mandar.

Wilman menjelaskan, aktivitas bongkar muat di kawasan Enjere ini, dimulai sejak akhir abad ke-18 atau di akhir tahun 1700-an. Lalu berhenti di akhir 1970–an.

“Ada beberapa fase di mana kawasan ini dijadikan lokasi tambatan perahu. Fase pertama hingga 1935 dan fase selanjutnya hingga 1970-an,” katanya menjelaskan.

Saat ada perahu datang, pasar tumpah segera muncul di sekitarnya.
Kawasan tersebut semacam pelabuhan rakyat. Sebab Pelabuhan Talise atau yang dikenal dengan Pelabuhan Limbuo, di dekat Enjere, hanya melayani perdagangan yang dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, khususnya untuk komoditi garam dan kopra.

Kawasan Enjere, Bambana, serta Binangga sendiri, dalam perkembangannya menjadi lokasi pariwisata. Sepanjang pantai kemudian beralihfungsi menjadi anjungan, taman dan pusat rekreasi masyarakat.(Bersambung)

Penulis: Jefrianto
Editor: Ika Ningtyas
_________________
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Indonesia, Internews dan Katadata dengan melibatkan para jurnalis anggota AJI Palu. Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

22/12/2018

Teluk Palu, Paling Rawan Tsunami

PALU — Pengamat kebencanaan Sulawesi Tengah, Abdullah, mengatakan, pantai Teluk Palu adalah wilayah paling rawan tsunami di dunia. Sebab dalam 100 tahun telah terjadi tiga kali tsunami —peristiwa yang tak pernah terjadi di pantai lain.

Tsunami itu terjadi pada 1 Des 1927 setinggi 15 meter dan menyebabkan 14 orang tewas dan 40 terluka. Kemudian pada 20 Mei 1938 dengan tsunami setinggi 4 meter. Terakhir, tsunami pada 28 September 2018.

“Tidak ada pantai yang pernah mengalami dua kali tsunami dalam 100 tahun. Teluk Palu justru terjadi tiga kali tsunami,” kata Abdullah, dalam diskusi terfokus yang dilaksanakan Kelompok Muda Peduli Hutan (Komiu) dan LBH Apik, di salah satu hotel di Kota Palu, Kamis (20/12/2018).

Abdullah, mengatakan, Teluk Palu dilalui sesar aktif Palu-Koro yang sering memicu gempa dan tsunami. Sesar Palu-Koro adalah sesar geser dengan ciri sinistral, dengan panjang 500 km. Sekitar 250 km sesar itu berada di laut dan sekitar 250 km di darat.

Teluk Palu sendiri memiliki panjang 30 kilometer, lebar sekitar 9 km dan kedalaman maksimum 700 meter.

Dengan kerawanan yang tinggi itu, kata Abdullah, seluruh kawasan pantai Teluk Palu harus bebas dari pemukiman. Sebab sesuai pengalaman 28 September 2018, warga yang tinggal di pantai tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan diri karena tsunami datang hanya 3-4 menit setelah gempa 7,4 SR.

Dalam Peta Ruang Rawan Bencana, wilayah pantai Teluk Palu telah ditetapkan masuk zona merah atau terlarang. “Pemerintah dan warga harus taat pada zona terlarang itu,” kata Abdullah yang juga dosen Geofisika Universitas Tadulako.

Sebelum bencana 28 September, kawasan pantai Teluk Palu adalah salah satu pemukiman padat. Akibatnya, tsunami banyak menelan warga di kawasan pesisir. Kelurahan Talise, misalnya, mencatat jumlah korban jiwa per 19 Desember 2018 berjumlah 168 orang dan rumah rusak berat sebanyak 169 unit.

Sedangkan di Kelurahan Lere, tercatat, ada 93 korban jiwa dan 267 rumah lenyap karena hempasan tsunami.

Juru bicara Satuan Tugas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulawesi Tengah, Rudy Nofrianto, mengatakan, pemerintah belum menentukan kampung mana saja yang akan dipindahkan.

Saat ini, kata Rudy, pemerintah bersama pihak terkait masih mendetailkan Peta Zona Ruang Rawan Bencana. Pendetailan itu nantinya menyangkut batas wilayah per zona, dan lokasi-lokasi yang akan dipindahkan.

“Kemungkinan selesai Rabu pekan depan,” kata Rudy dihubungi lewat telepon.

Penulis: Ika Ningtyas
__________________
Kabar Sulteng Bangkit adalah media tempat berbagi kabar tentang Palu & sekitarnya pascabencana alam pada 28 September 2018. Halaman ini dikelola oleh AJI Indonesia & Internews dengan melibatkan para jurnalis di Palu. Ingin menghubungi redaksi atau memberikan informasi terkait penanganan pascabencana silahkan kontak WA: 0813-4466-5586 atau Email: [email protected].

Address

Ruko Taman Kenari Blok E No. 1
Bogor

Opening Hours

Monday 08:00 - 17:00
Tuesday 08:00 - 17:00
Wednesday 08:00 - 17:00
Thursday 08:00 - 17:00
Friday 08:00 - 17:00
Saturday 08:00 - 13:00

Telephone

081330704084

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Palu posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share