26/09/2025
Akhir-akhir ini rame banget musisi-musisi di Indonesia cabut katalog musik mereka dari Spotify. Majelis Lidah Berduri dan Frau, misalnya, mutusin buat angkat karyanya dari platform itu.
Alasannya macem-macem. Buat Majelis Lidah Berduri, Spotify dianggap ikut melanggengkan genosida Palestina lewat investasi pemiliknya ke industri perang. Selain itu, sistem Spotify juga dianggap ngedukung praktik industri musik yang ekstraktif dan ngebiasain cara kerja ekonomi neolib.
Padahal kita tahu, Spotify punya basis pendengar yang gede banget. Tapi masalahnya, alternatif yang bener-bener adil buat musisi dan pendengar belum ketemu. Eksperimen Majelis Lidah Berduri lewat album Hujan Orang Mati (2024) jadi bukti kalau musik sebenernya bisa tetap nyampe ke telinga pendengar lama maupun baru, bahkan tanpa lewat Spotify. Intinya: komunitas musik nggak ilang, mereka cuma pindah tempat.
Yang menarik, mereka tekankan kalau keputusan ini bukan sekadar provokasi atau gaya-gayaan moral. Ini soal isu yang lebih luas: Gaza sampai Papua, ekonomi ekstraktif sampai kebebasan pekerja dan seniman. Dalam pernyataannya, mereka nulis: “Kebebasan Palestina mestilah sekarang, kebebasan dari praktik ekonomi ekstraktif di manapun—Gaza sampai Papua—dan bagi siapa pun—warga, kelas pekerja, maupun seniman—mestilah secepat-cepatnya.”
Tapi masalah ini nggak bisa dilempar ke musisi doang. Algoritma Spotify hidup karena kita juga nyetor klik: play, repeat, bikin playlist. Tanpa sadar, kita ikut ngidupin paradoks ini. Jadi, boikot sejatinya bukan cuma urusan musisi, tapi tanggung jawab pendengar juga.
Pertanyaannya sekarang: ada nggak jalan yang bener-bener efektif buat musisi dan audiens keluar dari lingkaran ini? Biar musik balik lagi jadi suara, bukan senjata.