05/12/2025
**Jejak Air Tersembunyi Bogor: Dari Parit Pajajaran Hingga Banjir Modern**
Oleh : Taufik Hassunna
Bogor, sebuah kota yang lebih dari sekadar "Kota Hujan" dengan pohon kenari rindang dan Kebun Raya asri. Bayangkan Bogor sebagai "Kota Parit"—sebuah peradaban yang dibangun di atas jaringan saluran air kuno yang usianya bisa mencapai lebih dari dua abad. Diapit oleh Sungai Cisadane dari Gunung Salak dan Ciliwung dari Gunung Pangrango/Gede yang berhimpitan kurang dari satu kilometer di pusatnya, lokasi ini menjadi magnet bagi peradaban sejak era Pakuan Pajajaran. Tak heran, pemerintah pusat menganugerahkan predikat "Kota Pusaka" bagi Bogor, sebuah kota yang memuliakan warisan budayanya. Namun, di balik julukan dan sejarah gemilang itu, banyak dari parit-parit bersejarah ini kini "nyaris tinggal kenangan", tertutup beton, dangkal, atau dipenuhi sampah. Mari kita telusuri kisahnya, dari foto kolonial hingga kenangan warga era 60-90an.
Warisan Berliku: Dari Parit Pajajaran hingga Kanal Kolonial
Jejak sejarah menunjukkan bahwa Sungai Cipakancilan sudah mengalir dari selatan Bogor, tercatat di peta kuno Pakuan Pajajaran sebagai sodetan Cisadane-Ciliwung. Jejak ini kemudian diadaptasi dan dimodernisasi oleh Belanda. Selokan Kali Baru, misalnya, digali pada tahun 1739 oleh Demang Kampoeng Baroe Marta Di Mangsa untuk mengairi sawahnya. Proyek ini kemudian diperpanjang oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff hingga Weltevreden (Jakarta Pusat), selesai pada tahun 1753. Dikenal juga sebagai "Oosterslokkan", saluran ini menghubungkan Katulampa ke Cikeas hingga Kanal Bekasi Timur.
Tak hanya itu, "Westerslokkan" yang merupakan sodetan dari Dam Empang ke Cipakancilan, selesai dibangun pada tahun 1776. Foto Dam Empang tahun 1898 memperlihatkan kondisi alami dengan air deras dan anak-anak yang beraktivitas di tepi air. Sebuah pemandangan yang kontras dengan kondisi urban pada tahun 2015.
Kemudian ada Kali Cibalok, dengan hulu di Gadog Ciawi (bagian dari Ciliwung). Alirannya memanjang di belakang Suryakencana, masuk ke Kebun Raya Bogor (KRB) di pinggir Pegadaian Pasar Bogor. Jalur ini keluar di seberang Hotel Salak Heritage, menuju Pengadilan, Sawojajar, Martadinata, sebelum pintu utama Istana Bogor, menyusur Regina Pacis, dan terus ke depan Museum Peta, menyeberang di ujung Martadinata Air Mancur. Foto tahun 1902 menunjukkan Cibalok mengalir deras di antara rimbunnya bambu KRB. Gambaran yang sangat berbeda dengan kondisi kering dan penuh bebatuan pada tahun 2021. Keberadaan gorong-gorong Cibalok di bawah Gereja Zebaoth dan halaman Istana Bogor bahkan diperkirakan berusia lebih dari 200 tahun, sejak pembangunan Istana pada tahun 1745.
Rekayasa Kuno di Tengah Modernisasi Kota
Bogor juga menyimpan keajaiban rekayasa lainnya. Sebuah "aquaduct" di Kedunghalang Talang (foto dari Nederlands Fotomuseum sekitar 1880) melintang di atas Jalan Raya Pos Kedung Halang, sebelum belokan ke Jalan Pemda Cibinong. Struktur monumental ini masih berdiri dan berfungsi sebagai irigasi sawah hingga kini.
Di wilayah Cibuluh-Cimanggu-Kebon Pedes, aliran anak sungai Cipakancilan yang disebut 'Ciéréng' telah menyusut drastis, 75% tertutup rumah, dari lebar 8 meter menjadi hanya 1 meter. Muara Cipakancilan sendiri terletak di persimpangan dam (terekam pada 20 April 2019), di mana ia bersatu dengan Ciliwung di bawah Jembatan Kebon Pedes, dengan satu pintu air biru mengalirkan sebagian airnya ke Cilebut.
Tak luput dari perhatian, saluran air di sepanjang **Jl. Kapten Muslihat hingga Jl. Juanda**, yang dulunya merupakan warisan drainase terbuka, kini telah ditutup dengan lempengan beton. Begitu p**a selokan di seberang Rumah Dinas Walikota, yang dulunya selalu berair deras dari Baranangsiang Indah, melalui Hotel Amarosa, pagar Kebun Raya, hingga Pangrango Plasa, sebelum bercabang ke Jl. Pajajaran (McD-Kumbang-IPB) atau menuju kawasan perbukitan hingga Warung Jambu, kini tak lagi seperti dulu.
Bahkan di bawah tanah pun ada jejak kuno. Sebuah saluran kuno, yang disebut **"gonggo"**, mengalir di bawah rel kereta api Bojong Neros. Diperkirakan berusia 135 tahun (sejak operasional KA) atau bahkan 198 tahun (dari tahun pembangunan KRB 1817), "gonggo" ini kini menghadapi tantangan serius akibat proyek double track PT KAI.
Kenangan Warga 60an-90an: Dari Berenang Hingga Bertahan Banjir
Generasi 60-90an masih ingat Bogor sebagai surga air bersih. Di Cipakancilan, anak-anak lompat dari jembatan dekat Hotel BLV (sekarang BTM), berenang bebas setiap sore—air jernih, dalam, penuh ikan. "Tiap p**ang sekolah langsung ke sungai, loncat dari jembatan seperti pahlawan film," kenang warga Pulo Empang. Kali Cidepit di Kebon Kopi-Kotaparis jadi tempat mandi favorit 70-80an, air dingin dari sodetan Cipakancilan, warga cuci jemuran sambil gosip. Bahkan "Cibalok" di Kebun Raya masih deras, tempat berteduh hujan sambil petik kenari.
Tapi 80-90an mulai berubah. Pendangkalan Cipakancilan akibat puing rumah, banjir Lawanggintung nerjang Menteng Asri. Warga 90an ingat selokan seberang Rumah Dinas Walikota masih deras, tapi sampah mulai numpuk. "Dulu mandi, sekarang cuma liat air keruh," cerita generasi itu. Gonggo Bojong Neros masih alir stabil, tapi double track KA 90an akhir ubah pola banjir lokal.
Dulu untuk Mandi, Kini Hanya "Nyaris Tinggal Kenangan"
Kisah Kali Cidepit di Kebon Kopi - Kotaparis pada tahun 1926, di mana warga masih bisa mandi di sana (Achterzijde van de woonwijk Kota Paris Buitenzorg 1926), adalah gambaran kontras akan betapa bersihnya air sungai di masa lalu. Kini, banyak saluran air kita telah mengalami degradasi parah. Cipakancilan, yang dulunya bersih dan bisa untuk berenang di sekitar Hotel BLV (sekarang BTM), kini dangkal hanya setinggi betis akibat pembuangan puing dan sampah.
Pendangkalan ini bukan hanya menghilangkan jejak sejarah, tetapi juga memicu masalah serius. Banjir dari Cipakancilan lama yang turun dari arah Lawanggintung kerap menerjang permukiman di Pulo Empang. Meskipun tanggul telah ditinggikan sebagai upaya darurat, masalah drainase yang buruk dan proyek pembangunan masih menjadi pemicu utama banjir di banyak titik, termasuk Cibuluh dan Sukadamai. Pada 5 Desember 2025, Mushola Al-Barokah di Sukadamai bahkan terendam banjir akibat drainase yang tersumbat.
Pemerintah Kota Bogor telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, yang mencakup 27 halaman dan 57 pasal, untuk mengatasi dampak alih fungsi lahan dan berkurangnya resapan air. Data persentase drainase yang dalam kondisi baik (2015-2024) menunjukkan adanya upaya, namun tantangan masih besar.
Revitalisasi "Kota Pusaka": Mengembalikan "Lancar Jaya" dan Mitigasi Bencana
Bogor, dengan segala kekayaan warisan hidrologinya, membutuhkan lebih dari sekadar mitigasi parsial. Ini adalah panggilan untuk revitalisasi komprehensif. Sebuah survei pada 14 Oktober 2021 yang melibatkan Bappeda, PUPR, Disparbud, Balai Arkeologi, Universitas Pakuan, dan komunitas Bogor Historia di area ex Taman Topi dan Stasiun Bogor menunjukkan kesadaran akan pentingnya inventarisasi.
Kita perlu:
* Inventarisasi Menyeluruh: Memetakan seluruh jaringan saluran air kuno, termasuk yang tersembunyi, dan mengintegrasikannya ke dalam Masterplan Drainase Bogor.
* Revitalisasi Berbasis Warisan dan Mitigasi Bencana: Pengerukan Cipakancilan dan Ciéréng untuk mengembalikan kedalaman asli, serta pertimbangan pembukaan kembali saluran tertutup atau pengembangan *green infrastructure*. Upaya ini bukan hanya untuk melestarikan sejarah, tetapi juga sebagai 'bagian krusial dari mitigasi bencana banjir dan longsor'. Restorasi fungsi alami sungai dan resapan air akan mengurangi debit banjir di hilir dan meningkatkan stabilitas lereng, terutama di area yang rawan bencana akibat kerusakan alam.
* Edukasi dan Partisipasi Publik: Menggelar program edukasi tentang nilai historis dan ekologis saluran air kuno, melibatkan masyarakat dalam pemeliharaan. Ini juga termasuk edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan untuk mencegah bencana alam.
* Penegakan Aturan Tegas: Menerapkan Peraturan Daerah secara konsisten terhadap pelanggaran sempadan sungai dan pembuangan limbah, yang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan alam dan pemicu bencana hidrometeorologi.
* Wisata Sejarah Air : Mengembangkan "jalur wisata sejarah air" yang menyoroti situs-situs kunci seperti Dam Empang, Cipakancilan, dan rute gorong-gorong Kali Cibalok. Program ini dapat berfungsi sebagai sarana edukasi sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya warisan hidrologi Bogor.
Bogor bukan hanya kota air yang rentan banjir, tapi juga kota yang memiliki solusi historis dalam jejak-jejak airnya. Melestarikan dan merevitalisasi warisan ini berarti melindungi kota dari kerusakan alam dan bencana. Mari kita selamatkan warisan ini, agar anak cucu kita kelak bisa kembali melihat sungai-sungai Bogor "lancar jaya", bukan sekadar "nyaris tinggal kenangan".
berat