22/10/2025
Tiongkok kembali menarik perhatian dunia setelah pemerintahnya menerapkan peraturan baru yang cukup ketat terhadap para influencer dan kreator konten daring. Sejak 10 Oktober 2025, pemerintah melalui Administrasi Radio dan Televisi Negara (NRTA) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memperbarui pedoman yang mewajibkan setiap pembuat konten untuk menunjukkan gelar atau sertifikasi akademik sebelum mereka mengunggah konten yang membahas topik profesional seperti kedokteran, hukum, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Kebijakan ini disebut sebagai langkah strategis untuk memerangi misinformasi serta meningkatkan kualitas konten yang tersedia secara daring. Seperti yang dikutip dari Marketing4eCommerce, pemerintah Tiongkok berharap kebijakan baru ini dapat menciptakan ruang digital yang lebih bertanggung jawab dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Dalam aturan tersebut, platform besar seperti Douyin yang merupakan versi Tiongkok dari TikTok, serta Weibo dan Bilibili, kini diwajibkan untuk memverifikasi latar belakang pendidikan atau sertifikasi para penggunanya sebelum mereka boleh membagikan konten profesional. Menurut laporan People’s Daily Online, pembuat konten di bidang kesehatan wajib memiliki lisensi medis atau sertifikat resmi, dan pihak platform diberi waktu dua bulan untuk melakukan proses verifikasi tersebut. Jika terbukti melanggar, akun kreator dapat ditutup secara permanen atau dikenakan denda maksimal sebesar 100 ribu yuan, yang setara dengan sekitar 225 juta rupiah. Nilai denda ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah Tiongkok dalam menegakkan aturan baru di dunia digital yang semakin berkembang pesat.
Menurut China Media Project, aturan ini merupakan bagian dari langkah besar Tiongkok dalam memperkuat pengawasan terhadap media digital dan ekonomi kreator yang kini tumbuh sangat cepat. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memang aktif membatasi ruang bagi konten yang dianggap menyesatkan atau tidak bermoral. Pemerintah menilai bahwa banyak influencer memberikan saran medis, keuangan, atau hukum tanpa dasar keilmuan yang jelas, sehingga menimbulkan kekacauan informasi dan risiko sosial di masyarakat. Dengan adanya aturan baru ini, pemerintah berharap masyarakat dapat menerima informasi yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun demikian, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi. Sejumlah pengamat dan aktivis kebebasan berekspresi menilai langkah tersebut bisa menjadi bentuk pembatasan terhadap suara-suara independen. Berdasarkan laporan Freedom House tentang kebebasan internet di Tiongkok, pengawasan digital di negara itu sering digunakan tidak hanya untuk menekan penyebaran hoaks, tetapi juga untuk mengontrol opini publik. Banyak kreator merasa khawatir bahwa aturan ini akan membuat ruang digital hanya diisi oleh mereka yang memiliki gelar formal, sementara pembuat konten yang belajar secara otodidak atau berbagi pengalaman pribadi tanpa sertifikasi akan tersingkir dari ruang publik.
Tidak sedikit pihak yang mendukung kebijakan ini. Seorang analis media di Beijing, seperti yang dikutip dari Heraldo USA, menyatakan bahwa aturan baru ini dapat menjadi langkah awal menuju internet yang lebih cerdas dan terverifikasi. Ia menambahkan bahwa di masa ketika siapa pun bisa menjadi sumber informasi, publik perlu tahu siapa yang benar-benar berbicara berdasarkan pengetahuan, bukan sekadar opini pribadi. Dalam konteks ini, kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakat dari informasi keliru, terutama di bidang-bidang yang dapat berdampak langsung terhadap kehidupan orang banyak seperti kesehatan dan keuangan.
Walaupun niatnya baik, pelaksanaan kebijakan ini tentu tidak mudah. Proses verifikasi kredensial bagi jutaan kreator membutuhkan sistem yang kuat dan transparan. Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa proses tersebut bisa disalahgunakan atau justru memperlambat inovasi kreator kecil yang belum memiliki akses pendidikan formal. Tantangan lainnya adalah menentukan batas antara konten profesional yang wajib diverifikasi dan konten umum atau hiburan yang bersifat opini pribadi. Tanpa batasan yang jelas, risiko salah tafsir bisa sangat besar dan dapat menimbulkan ketidakadilan bagi para kreator.
Kebijakan baru Tiongkok ini menggambarkan dua sisi dari dunia digital modern. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk melindungi publik dari misinformasi, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran akan berkurangnya kebebasan berekspresi. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa kebenaran dan tanggung jawab dalam berbagi informasi memang penting, namun pengaturannya harus dilakukan secara proporsional dan terbuka. Di era ketika siapapun dapat menjadi influencer, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi, sedangkan pembuat konten harus menyadari bahwa setiap kata yang mereka bagikan membawa tanggung jawab moral. Kebijakan ini mengingatkan kita bahwa menjadi berpengetahuan bukan hanya soal memiliki gelar, tetapi juga tentang bagaimana ilmu dan integritas digunakan untuk membangun ruang digital yang lebih sehat, cerdas, dan beretika.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.