
17/08/2025
Ketika Sejarah Hendak Ditulis Ulang oleh Sang Menteri
Dunia politik Indonesia kembali dihebohkan oleh pernyataan kontroversial Fadli Zon, Menteri Kebudayaan yang mengusulkan penggantian gelar "Bapak Koperasi Indonesia" dari Mohammad Hatta kepada Margono Djojohadikusumo, kakek dari Presiden Prabowo Subianto. Meski kemudian diklaim sebagai pendapat pribadi, usulan ini memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. Lantas, siapakah sesungguhnya sosok Mohammad Hatta yang begitu gigih ingin "digulingkan" dari tahta koperasi Indonesia ini?
Profil Sang Bapak Bangsa
Mohammad Athar—demikian nama lengkapnya—atau lebih familiar disapa Drs. Mohammad Hatta, merupakan putra Minangkabau kelahiran Fort de K**k (kini Bukittinggi) pada 12 Agustus 1902. Perjalanan hidupnya berakhir di Jakarta pada 14 Maret 1980, dan jasadnya dimakamkan di Tanah Kusir.
Kehidupan keluarganya terbilang sederhana namun bermakna. Pada 1945, ia menikah dengan Rahmi Rachim dan dikaruniai tiga putri: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Darah ulama mengalir dalam nadinya—ia merupakan cucu Abdurrahman Batuhampar, pendiri Surau Batu Hampar. Kombinasi genetik intelektual dan spiritual inilah yang kemudian membentuk karakter kepemimpinannya.
Perjalanan Akademis yang Mendunia
Jejak pendidikan Hatta sungguh menakjubkan untuk ukuran zamannya. Dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) di Bukittinggi, dilanjutkan ke MULO Padang, kemudian Handels School Batavia, dan puncaknya di Handels Hogeschool, Rotterdam, Belanda, tempat ia meraih gelar Drs. bidang ekonomi.
Bayangkan saja—seorang pemuda dari pelosok Sumatera yang berangkat ke Rotterdam bukan untuk mengejar mimpi sepakbola, melainkan untuk merumuskan konsep ekonomi kerakyatan yang kelak menjadi fondasi ideologi bangsa. Prestasi akademis ini menjadi bekal berharga bagi visi besarnya tentang Indonesia merdeka.
Karir Politik yang Gemilang
Rekam jejak politik Hatta bagaikan ensiklopedia sejarah Indonesia. Sebagai Wakil Presiden RI pertama (1945–1956), Perdana Menteri RI (1948–1949), Perdana Menteri RIS (1949–1950), Menteri Pertahanan & Luar Negeri ad-interim (1948–1950), hingga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (1945–1946). Daftar jabatan ini melampaui kompleksitas CV pejabat era digital manapun.
Warisan Intelektual yang Tak Lekang Waktu
Kontribusi terbesar Hatta terhadap bangsa dapat dirangkum dalam empat pilar utama:
Proklamator Kemerdekaan**: Bersama Soekarno, ia menjadi arsitek kemerdekaan Indonesia yang diabadikan dalam teks proklamasi 17 Agustus 1945.
Bapak Koperasi Indonesia**: Gelar ini diperoleh setelah pidato monumentalnya pada 12 Juli 1951 tentang koperasi sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme ekstrem. Pengakuan resmi diberikan pada Kongres Koperasi ke-2 di Bandung, 15–17 Juli 1953.
Pencetus Demokrasi Parlementer: Melalui Maklumat X, ia meletakkan fondasi sistem demokrasi parlementer Indonesia.
Cendekiawan Produktif: Karya-karyanya meliputi "Alam Pikiran Yunani" (ditulis di pengasingan Boven Digoel, 1935, yang bahkan dijadikan mahar pernikahan), "Demokrasi Kita", "Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo", "Mendayung antara Dua Karang", dan otobiografi "Untuk Negeriku".
Pengakuan Dunia
Penghargaan terhadap Hatta tak hanya datang dari dalam negeri. Gelar Pahlawan Proklamator melalui Keppres No. 081/TK/1986, pengabadian nama di Bandara Soekarno–Hatta, bahkan Mohammad Hattastraat di Belanda—semua ini membuktikan pengakuan internasional terhadap kontribusinya.
Kontroversi Penggantian: Margono vs Hatta
Fadli Zon mengajukan argumen bahwa Margono Djojohadikusumo lebih layak menyandang gelar "Bapak Koperasi" karena rekam jejaknya: Ketua Jawatan Koperasi (1930–1940), pencatat statistik koperasi pribumi (1939: 574 koperasi dengan 52 ribu anggota), penulis "10 Tahun Koperasi" (1941), dan pendiri Bank Negara Indonesia (1946) yang mencetak Oeang Republik Indonesia (ORI).
Namun, membandingkan keduanya ibarat membandingkan seorang ahli statistik dengan filosofnya. Margono memang berjasa dalam aspek teknis dan administratif koperasi, tetapi Hatta memberikan jiwa dan ideologi kepada gerakan koperasi Indonesia.
Filosofi Koperasi ala Hatta
Bagi Hatta, koperasi bukan sekadar institusi ekonomi berbasis simpan-pinjam. Ia memandang koperasi sebagai laboratorium sosial, instrumen pemberdayaan masyarakat, dan manifestasi nyata Pasal 33 UUD 1945. Koperasi dalam visinya adalah miniatur masyarakat ideal—gotong royong tanpa ekstrem kaya atau miskin, di mana semua pihak berbagi risiko dan keuntungan.
Jika kapitalisme adalah arena pertarungan bebas dan sosialisme ekstrem adalah revolusi kelas, maka koperasi ala Hatta adalah pesta rakyat—semua membawa kontribusi, menikmati bersama, dan saling berbagi cerita.
Refleksi Akhir
Wacana penggantian gelar "Bapak Koperasi" ini terasa seperti usulan mengubah nama Bandara Soekarno–Hatta menjadi Bandara Soekarno–Zon. Selain membingungkan, hal ini juga berpotensi mendistorsi pemahaman sejarah.
Hatta telah menulis, berpikir, dan menetapkan koperasi sebagai filosofi ekonomi bangsa. Margono memang berjasa, namun hanya ada satu sosok yang sah menyandang gelar "Bapak Koperasi Indonesia"—Mohammad Hatta. Keputusan ini sudah final, tertulis dalam sejarah, dan tidak dapat direvisi sembarangan.
Pertanyaan yang tersisa: akankah kita mempertahankan warisan ideologis Hatta dalam gerakan koperasi, ataukah kita akan terjebak dalam permainan politik identitas yang justru mengaburkan esensi koperasi itu sendiri?
---
OASE adalah ruang refleksi untuk memahami dinamika sosial-politik Indonesia melalui kacamata sejarah dan filsafat.*