12/11/2025
CINTA DI UJUNG SAWAH
Bab 1: Kabar dari Balai Desa
Sore itu, hembusan angin membawa aroma tanah basah menyusuri pematang sawah Desa Sukamakmur. Di kejauhan, siluet Gunung Merapi tampak samar diselimuti kabut tipis, seolah mengawasi hamparan sawah yang menghijau di kaki lerengnya. Burung-burung pipit beterbangan di atas padi yang mulai menguning, pertanda musim panen akan segera tiba.
Sholeh, pemuda berusia 25 tahun dengan kulit sawo matang hasil terpaan matahari, sedang memeriksa saluran irigasi yang baru saja ia perbaiki. Tangannya yang kasar namun terampil mengatur aliran air dengan presisi, memastikan setiap petak sawah mendapat jatah air yang merata. Ini buah dari pengalaman bertahun-tahun membantu ayahnya menggarap sawah seluas setengah hektare—satu-satunya harta keluarga mereka.
Di balik keterampilan bertani yang mumpuni, Sholeh menyimpan pengetahuan yang jarang dimiliki petani seumurannya. Ia paham betul tentang pH tanah, rotasi tanaman, dan sistem irigasi tetes yang pernah dipelajarinya di kampus. Meski kini ia kembali ke desa, ilmu-ilmu itu tidak pernah ia lupakan. Bahkan, ia sering bereksperimen di sudut kecil sawahnya, mencoba metode-metode baru yang ia baca dari buku-buku tua atau artikel yang ia simpan saat masih kuliah.
"Leh! Sholeh!" teriak Budi, sahabatnya sejak kecil, sambil berlari terengah-engah dari arah jalan desa. Sarung yang dililitkan di pinggangnya berkibar-kibar mengikuti langkah cepatnya.
Sholeh menoleh, mengelap keringat di dahinya dengan ujung sarung yang melingkar di pinggangnya. Sinar matahari sore memantul dari permukaan air sawah, menciptakan kilatan-kilatan emas yang menyilaukan mata. "Ada apa, Bud? Kayak dikejar setan aja."
Budi berhenti di hadapannya, tangannya bertumpu di lutut, masih mengatur napas. Wajahnya memerah, entah karena lelah berlari atau karena antusiasme yang meluap-luap. "Kamu belum dengar berita? Tadi Pak Lurah ngumumin di balai desa!"
"Berita apa?" Sholeh turun dari pematang, kakinya yang terbiasa berjalan tanpa alas di lumpur sawah bergerak lincah. Ia melepaskan cangkul dari bahunya dan menancapkannya di tanah gembur.
"Besok! Besok akan datang dokter baru ke puskesmas desa kita!" Budi berbinar-binar, matanya membulat seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. "Katanya dokter perempuan, masih muda, dan... cantik!"
Sholeh tersenyum tipis sambil membasuh tangannya di air irigasi. "Terus kenapa? Emang kamu sakit apa sampai seantusias itu?"
"Leh, kamu ini. Dengar dulu yang lengkap!" Budi mendekat, menurunkan suaranya seperti berbagi rahasia besar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar. "Kata Pak Lurah, dokter ini bukan sembarangan. Dia anak Bupati Kota Sebelah! Tapi entah kenapa, dia minta ditempatkan di desa kita yang terpencil ini. Kata orang-orang, dia akan bertugas minimal dua tahun di sini."
Sholeh mengangkat alis, tangannya berhenti mengambil cangkul. Itu memang tidak biasa. Desa Sukamakmur terletak di kaki pegunungan, tiga puluh kilometer dari kota kecamatan, jauh dari hiruk pikuk kota. Jalan menuju desa masih berbatu dan berlubang, belum sepenuhnya diaspal. Hanya ada satu angkot yang beroperasi sehari tiga kali p**ang-pergi. Listrik baru masuk lima tahun lalu, itupun masih sering padam. Sinyal telepon seluler hanya kuat di titik-titik tertentu.
Anak pejabat yang rela tinggal di desa seperti ini? Ada yang tidak wajar.
"Mungkin dia dihukum," canda Sholeh sambil kembali ke sawahnya, mengambil cangkulnya dan berjalan menuju petak sebelah yang masih perlu diperbaiki salurannya.
"Atau mungkin dia mencari kedamaian," sahut Budi mengikutinya, melangkah hati-hati di pematang yang licin. "Atau... mencari jodoh di desa!" Budi terkekeh sendiri, suaranya menggema di hamparan sawah yang mulai sepi karena petani lain sudah p**ang.
Sholeh menggeleng, tersenyum geli. "Kamu ini kebanyakan nonton sinetron. Ayo, bantu aku selesaikan ini. Sebentar lagi maghrib."
Budi pun membantu, dan keduanya bekerja dalam diam yang nyaman, hanya diiringi suara gemericik air dan sesekali suara kodok yang mulai bernyanyi menyambut senja. Langit berubah warna dari biru menjadi jingga, lalu merah menyala di ufuk barat. Ketika azan maghrib berkumandang dari masjid kecil di tengah desa, mereka berdua baru selesai.
"Besok pagi kamu bantu aku ke pasar, ya? Beras hasil panen minggu lalu sudah kering, siap dijual," pinta Sholeh sambil membersihkan cangkulnya.
"Siap, Leh. Jam berapa?"
"Subuh. Kita harus berangkat pagi supaya dapat harga bagus."
Budi mengangguk. "Oke. Aku p**ang dulu, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
---
Malam itu, setelah shalat isya berjamaah di masjid bersama ayahnya, Sholeh berbaring di kamarnya yang sederhana. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu hanya berisi tikar anyaman pandan, bantal tipis yang sudah kempes, sebuah lemari kayu tua warisan kakeknya, dan rak sederhana berisi buku-buku. Di dinding tergantung kalender bekas dan foto keluarga—satu-satunya foto yang pernah mereka ambil, saat ibunya masih hidup.
Cahaya lampu lima watt yang tergantung di langit-langit memberikan penerangan yang redup. Sholeh menatap plafon bambu yang mulai menghitam karena jelaga, pikirannya melayang jauh.
Ia teringat ibunya yang sakit tiga tahun lalu. Demam tinggi yang tidak kunjung turun selama seminggu. Batuk yang semakin parah hingga ibunya tidak bisa berbaring. Puskesmas desa saat itu tidak memiliki dokter tetap, hanya bidan dan perawat yang datang dua kali seminggu. Mereka harus membawa ibunya ke kota dengan menyewa mobil tetangga.
Perjalanan yang melelahkan di jalan berbatu selama dua jam. Ibunya mengerang kesakitan setiap mobil melewati lubang. Biaya yang menguras habis tabungan keluarga—hasil panen dua musim lenyap dalam seminggu di rumah sakit. Dan akhirnya, ibunya tetap meninggal. Pneumonia berat yang terlambat ditangani, kata dokter di rumah sakit.
"Kenapa tidak dibawa lebih cepat?" tanya dokter itu dengan nada menyalahkan yang masih terngiang di telinga Sholeh.
Karena kami tidak tahu, dokter. Karena di desa kami tidak ada yang bisa mendiagnosis penyakitnya. Karena kami miskin dan tidak punya uang untuk langsung ke rumah sakit tanpa kepastian. Karena jalan ke kota begitu jauh dan kami tidak punya kendaraan.
Sholeh menghela napas panjang. Matanya terasa panas.
Sejak itu, Sholeh bermimpi suatu hari bisa melanjutkan kuliah yang sempat ia tinggalkan setelah lulus SMA dengan nilai terbaik se-kecamatan. Ia diterima di Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa penuh, jurusan Teknik Pertanian. Masa depan tampak cerah. Ia ingin menjadi ahli pertanian yang bisa membantu para petani di desanya meningkatkan hasil panen, memperbaiki kesejahteraan mereka.
Tapi takdir berkata lain. Semester ketiga, ayahnya jatuh sakit. Asam urat yang kronis membuat ayahnya tidak bisa bekerja di sawah. Tidak ada yang bisa menggarap sawah mereka. Kalau sawah tidak digarap, mereka tidak punya uang untuk makan, apalagi untuk biaya pengobatan ayah.
Dengan hati berat, Sholeh membuat keputusan tersulit dalam hidupnya. Ia p**ang. Meninggalkan kampus, teman-teman, impian, dan masa depan cerahnya. Pulang ke desa, mengambil cangkul, dan menjadi petani seperti ayahnya.
"Leh, kamu tidak usah p**ang. Bapak bisa minta tolong tetangga," kata ayahnya saat itu, suaranya lemah di telepon.
"Bapak jangan khawatir. Saya p**ang dulu, bantu Bapak. Nanti kalau Bapak sudah sehat, saya kuliah lagi," jawab Sholeh, meski dalam hatinya ia tahu itu hampir mustahil.
Tiga tahun berlalu. Ayahnya membaik tapi tidak bisa bekerja berat lagi. Sawah menjadi tanggung jawab penuh Sholeh. Uang yang terkumpul selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan ayah. Impian kuliah lagi semakin jauh, semakin samar, seperti kabut di puncak gunung.
Tapi Sholeh tidak pernah berhenti belajar. Di malam-malam seperti ini, setelah tubuhnya lelah bekerja seharian, ia membaca buku-buku lama yang ia bawa dari kampus. Ia belajar sendiri, menerapkan ilmunya di sawah. Hasilnya, sawah keluarganya yang hanya setengah hektare itu menghasilkan panen lebih banyak dari sawah tetangga yang lebih luas. Beberapa petani mulai bertanya dan belajar dari Sholeh.
"Kamu pintar, Leh. Kenapa tidak jadi penyuluh pertanian saja?" tanya Pak Harto, petani yang sawahnya berbatasan dengan sawah keluarga Sholeh.
"Untuk jadi penyuluh, harus ada ijazah minimal D3 pertanian, Pak. Saya kan belum lulus kuliah," jawab Sholeh dengan senyum pahit.
Kini, di malam yang sunyi itu, ditemani koor kodok dan jangkrik di luar jendela, Sholeh bertanya-tanya. Dokter baru itu, akankah ia bertahan di desa yang keras ini? Desa tanpa mall, tanpa kafe, tanpa hiburan apapun? Atau seperti dokter-dokter sebelumnya yang datang dan pergi, kadang hanya bertahan sebulan, tidak pernah benar-benar peduli pada nasib warga desa?
Sholeh mengingat dokter terakhir yang bertugas di puskesmas dua tahun lalu. Pemuda lulusan swasta yang ditempatkan di desa untuk mengabdi. Tapi ia tidak pernah benar-benar ada. Datang terlambat, p**ang cepat, lebih sering ke kota dengan alasan berbagai urusan. Warga yang sakit harus menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari. Akhirnya dokter itu mengajukan pindah ke kota dan tidak pernah kembali.
Apakah dokter baru ini akan sama? Anak pejabat lagi. Pasti manja, tidak tahan hidup susah, pikir Sholeh.
Tapi ada bagian kecil di hatinya yang berharap. Berharap dokter ini berbeda. Berharap tidak akan ada lagi ibu-ibu seperti ibunya yang meninggal karena terlambat ditangani. Berharap anak-anak desa tidak perlu pergi jauh-jauh ke kota hanya untuk berobat penyakit ringan.
Sholeh memejamkan mata. Besok, ia harus bangun pukul tiga pagi untuk memuat beras ke gerobak, kemudian berangkat ke pasar yang berjarak sepuluh kilometer. Ia perlu menjual beras hasil panen untuk membeli pupuk musim tanam berikutnya dan obat untuk ayahnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan dokter cantik dari kota.
Tapi takdir, seperti aliran sungai yang melewati sawahnya setiap hari, memiliki jalannya sendiri yang tak terduga. Sungai bisa tenang, bisa deras, bisa berbelok ke arah yang tidak pernah diduga. Dan besok, kehidupan Sholeh akan mulai berbelok, perlahan tapi pasti, membawanya ke arus yang tidak pernah ia bayangkan.
Di tempat lain, di sebuah rumah mewah di kota, seorang perempuan muda sedang mengemas barang-barangnya. Amira, sang dokter yang akan tiba besok, menatap foto keluarganya di meja. Foto itu menunjukkan dirinya tersenyum di antara ayah dan ibunya yang berpakaian formal.
"Mira, kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya ibunya yang berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Iya, Bu. Aku sudah bulat memutuskan. Aku perlu ini," jawab Amira tanpa menoleh, tangannya terus melipat pakaian.
"Tapi kenapa harus ke desa terpencil? Kenapa tidak rumah sakit di kota saja? Ayahmu bisa mengatur itu."
Amira berbalik, menatap ibunya dengan tatapan serius. "Justru itu, Bu. Aku ingin membuktikan aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan Papa. Aku ingin jadi dokter yang benar-benar berguna, bukan dokter yang kariernya mudah karena anak pejabat."
Ibunya menghela napas, lalu menghampiri dan memeluk putrinya. "Ibu mengerti, sayang. Tapi ibu khawatir. Hidup di desa itu tidak mudah. Kamu terbiasa hidup nyaman di kota."
"Aku akan belajar, Bu. Aku harus belajar." Amira membalas pelukan ibunya. "Lagip**a, ini juga karena aku ingin menjauh sebentar dari... kamu tahu lah."
Ibunya mengangguk paham. Ya, ia tahu. Amira baru saja putus dari tunangannya, seorang pengusaha muda yang ternyata hanya tertarik pada status keluarganya, bukan pada dirinya sebagai manusia. Pengkhianatan itu melukai Amira dalam-dalam. Ia butuh penyembuhan, dan ia memilih desa sebagai tempat penyembuhan itu.
"Dua tahun, Bu. Beri aku waktu dua tahun. Aku akan kembali lebih kuat," kata Amira dengan senyum tulus.
"Baiklah, sayang. Ibu dan Ayah akan selalu mendukungmu."
Malam itu, dua jiwa di dua tempat yang berbeda, sama-sama terjaga. Keduanya tidak tahu bahwa esok hari, takdir akan mulai merajut benang-benang merah yang akan menyatukan hidup mereka dalam sebuah cerita yang indah, penuh lika-liku, tapi juga penuh makna.
Di langit malam yang sama, bintang-bintang berkelap-kelip, seperti menyaksikan awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan mengubah banyak hal di Desa Sukamakmur.
---
Bersambung ke Bab 2: Pertemuan Pertama