Ngopilotong News

Ngopilotong News Update Info Hits

KH. AS'AD HUMAM PANTAS JADI PAHLAWAN NASIONALSatir tentang Revolusioner Sunyi yang Mengajarkan Bangsa Membaca Alquran---...
13/11/2025

KH. AS'AD HUMAM PANTAS JADI PAHLAWAN NASIONAL

Satir tentang Revolusioner Sunyi yang Mengajarkan Bangsa Membaca Alquran

---

Di antara riuhnya bangsa yang lebih sibuk menghitung kursi politik ketimbang huruf hijaiyah, lahirlah seorang bayi di Yogyakarta tahun 1933. Bayi itu tumbuh menjadi lelaki bernama KH. As'ad Humam. Tidak ada yang menyangka, dari sosok sederhana inilah lahir sebuah revolusi pendidikan Alquran. Bukan revolusi dengan senjata, tapi dengan huruf-huruf hijaiyah yang ditata rapi menjadi enam jilid buku mungil bernama *Iqro'*.

# # Laboratorium Tanpa Modal, Startup Tanpa Investor

As'ad tumbuh di lingkungan pesantren Krapyak, Yogyakarta. Hidupnya berkisar antara mushola, masjid, dan anak-anak yang mengaji dengan suara belepotan. Ia melihat metode lama Baghdadiyah terasa lambat—anak harus mengeja, "alif fathah a, ba fathah ba." Butuh bertahun-tahun hanya untuk bisa membaca satu mushaf.

Ia resah, lalu mengajak pemuda masjid Al-Munawwir membentuk Tim Tadarus Angkatan Muda Masjid (AMM). Inilah laboratorium pendidikan yang lebih mirip *startup* tanpa investor, modalnya semangat dan doa. Bayangkan, di era orang butuh pitch deck dan venture capital, beliau cukup berbekal niat lillahi ta'ala.

# # Enam Jilid yang Mengubah Segalanya

Tahun 1988, setelah eksperimen panjang, lahirlah metode *Iqro'*. Enam jilid, sederhana tapi jenius. Jilid 1 memperkenalkan huruf hijaiyah, jilid 2 belajar penyambungan, jilid 3–4 masuk bacaan panjang dan tanwin, lalu jilid 5–6 mengantar murid pada tajwid dasar.

Filosofinya absurd sekaligus elegan: **"Lihat huruf → baca. Titik."** Tidak perlu mengeja panjang lebar, langsung membacanya. Sebuah kesederhanaan yang membuat para ahli pendidikan geleng-geleng kepala—kok bisa simpel begini tapi efektif?

Dalam beberapa tahun, *Iqro'* meledak. Dari mushola kecil Krapyak, ia menjelma menjadi kurikulum tak resmi seluruh negeri. Anak-anak yang dulu butuh tiga tahun untuk membaca lancar, kini hanya butuh hitungan bulan. Para guru TPQ bersorak, orang tua terharu, dan anak-anak merasa Alquran jadi sahabat dekat—bukan momok menakutkan.

# # Sang Master Anonimitas

Yang lebih ironis, nama KH. As'ad Humam tidak pernah tercetak di *cover Iqro'*. Hanya ada tulisan "Tim Tadarus AMM Yogyakarta." Di zaman orang berlomba *branding* diri, beliau justru memilih anonimitas.

Bayangkan, wak! Kalau beliau hidup di era media sosial, mungkin sudah ada *trending worldwide*. Influencer pendidikan akan berebut wawancara eksklusif. Podcast akan antri. TED Talk sudah pasti. Tapi beliau memilih jalan sunyi, agar metode ini jadi milik umat, bukan warisan pribadi. Ini bukan kesederhanaan biasa—ini kesombongan terbalik yang menampar keras budaya narsis kita.

# # Pengakuan yang Terlambat Datang

Jasa besar ini akhirnya mendapat pengakuan. Kementerian Agama RI memberikan penghargaan khusus kepadanya pada 1990-an. Bahkan UNESCO mencatat *Iqro'* sebagai salah satu inovasi pendidikan Islam berbasis masyarakat dari Indonesia—sesuatu yang jarang sekali terjadi.

Berbagai ormas Islam, dari NU hingga Muhammadiyah, mengakui karya ini. Uniknya, *Iqro'* justru menyatukan, bukan memecah. Di negeri yang hobi terpecah karena perbedaan organisasi, mazhab, bahkan jenis sajadah, *Iqro'* diterima semua. Ironi yang indah.

# # Kepergian Sang Revolusioner Sunyi

Pada 2 Februari 1996, As'ad Humam wafat di Yogyakarta, usia 63 tahun, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Krapyak. Tidak ada sirine kenegaraan, tidak ada upacara bendera, tidak ada pengawal bersenjata.

Tapi setiap kali seorang anak kecil di pelosok membaca *Bismillahirrahmanirrahim* dengan lancar, di situlah pahala beliau mengalir tanpa batas. Setiap mushola yang ramai anak TPQ, setiap suara mengaji yang terdengar di sore hari—itu adalah monumen hidup yang lebih megah dari marmer dan perunggu.

# # Warisan yang Tak Pernah Mati

Warisan KH. As'ad Humam bukan hanya buku enam jilid, tapi juga lahirnya jaringan TPA/TPQ di seluruh negeri. Dari kampung hingga kota, dari surau di Sumatera sampai mushola di Kapuas Hulu, hampir semuanya mengajarkan Alquran dengan *Iqro'*.

Inilah penghargaan sejati yang lebih megah dari Nobel—amal jariyah yang tidak pernah putus. Sementara pahlawan nasional lainnya punya patung yang sesekali dilirik saat macet, As'ad Humam punya jutaan anak yang setiap hari membaca huruf-huruf yang ia tata.

# # Penutup: Kesombongan Kerendahan Hati

As'ad Humam mengajarkan pada dunia: orang hebat sejati tidak perlu panggung megah. Cukup satu ide sederhana, dijalankan dengan ikhlas, lalu biarkan sejarah yang bersujud di hadapannya.

Di negeri yang gemar memberikan gelar pahlawan pada mereka yang jago pidato, mahir berkampanye, atau punya koneksi istana—KH. As'ad Humam diam-diam mengubah peradaban dari bawah. Tanpa toa, tanpa spanduk, tanpa drama.

Dan itulah mengapa beliau *pantas* jadi pahlawan nasional. Bukan karena beliau minta, tapi karena bangsa ini berhutang budi pada orang yang mengajari anak-anaknya membaca kalam Ilahi.

*Subhanallah.*

---

**Catatan Kaki untuk Bangsa yang Pelupa:**
Jika kita bisa memberikan gelar pahlawan pada mereka yang mengangkat senjata, kenapa kita ragu memberikannya pada orang yang mengangkat derajat umat dengan pena dan huruf? Ah, mungkin karena jasanya terlalu besar untuk diukur dengan logika birokrasi kita yang sempit.

*Wallahu a'lam bishawab.*

CAHAYA DIBALIK MIHRAB, PART 2
12/11/2025

CAHAYA DIBALIK MIHRAB, PART 2

BerandaFIKSICahaya dibalik Mihrab : Benang Merah, Takdir Cahaya dibalik Mihrab : Benang Merah, Takdir Redaksi November 11, 2025 Bagikan: facebook x whatsapp Email more close Cahaya dibalik Mihrab : Benang Merah, Takdir WEKACE Bagikan ke media lain facebook x whatsapp Email pinterest telegram line li...

CINTA DI UJUNG SAWAHBab 1: Kabar dari Balai DesaSore itu, hembusan angin membawa aroma tanah basah menyusuri pematang sa...
12/11/2025

CINTA DI UJUNG SAWAH

Bab 1: Kabar dari Balai Desa

Sore itu, hembusan angin membawa aroma tanah basah menyusuri pematang sawah Desa Sukamakmur. Di kejauhan, siluet Gunung Merapi tampak samar diselimuti kabut tipis, seolah mengawasi hamparan sawah yang menghijau di kaki lerengnya. Burung-burung pipit beterbangan di atas padi yang mulai menguning, pertanda musim panen akan segera tiba.

Sholeh, pemuda berusia 25 tahun dengan kulit sawo matang hasil terpaan matahari, sedang memeriksa saluran irigasi yang baru saja ia perbaiki. Tangannya yang kasar namun terampil mengatur aliran air dengan presisi, memastikan setiap petak sawah mendapat jatah air yang merata. Ini buah dari pengalaman bertahun-tahun membantu ayahnya menggarap sawah seluas setengah hektare—satu-satunya harta keluarga mereka.

Di balik keterampilan bertani yang mumpuni, Sholeh menyimpan pengetahuan yang jarang dimiliki petani seumurannya. Ia paham betul tentang pH tanah, rotasi tanaman, dan sistem irigasi tetes yang pernah dipelajarinya di kampus. Meski kini ia kembali ke desa, ilmu-ilmu itu tidak pernah ia lupakan. Bahkan, ia sering bereksperimen di sudut kecil sawahnya, mencoba metode-metode baru yang ia baca dari buku-buku tua atau artikel yang ia simpan saat masih kuliah.

"Leh! Sholeh!" teriak Budi, sahabatnya sejak kecil, sambil berlari terengah-engah dari arah jalan desa. Sarung yang dililitkan di pinggangnya berkibar-kibar mengikuti langkah cepatnya.

Sholeh menoleh, mengelap keringat di dahinya dengan ujung sarung yang melingkar di pinggangnya. Sinar matahari sore memantul dari permukaan air sawah, menciptakan kilatan-kilatan emas yang menyilaukan mata. "Ada apa, Bud? Kayak dikejar setan aja."

Budi berhenti di hadapannya, tangannya bertumpu di lutut, masih mengatur napas. Wajahnya memerah, entah karena lelah berlari atau karena antusiasme yang meluap-luap. "Kamu belum dengar berita? Tadi Pak Lurah ngumumin di balai desa!"

"Berita apa?" Sholeh turun dari pematang, kakinya yang terbiasa berjalan tanpa alas di lumpur sawah bergerak lincah. Ia melepaskan cangkul dari bahunya dan menancapkannya di tanah gembur.

"Besok! Besok akan datang dokter baru ke puskesmas desa kita!" Budi berbinar-binar, matanya membulat seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. "Katanya dokter perempuan, masih muda, dan... cantik!"

Sholeh tersenyum tipis sambil membasuh tangannya di air irigasi. "Terus kenapa? Emang kamu sakit apa sampai seantusias itu?"

"Leh, kamu ini. Dengar dulu yang lengkap!" Budi mendekat, menurunkan suaranya seperti berbagi rahasia besar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar. "Kata Pak Lurah, dokter ini bukan sembarangan. Dia anak Bupati Kota Sebelah! Tapi entah kenapa, dia minta ditempatkan di desa kita yang terpencil ini. Kata orang-orang, dia akan bertugas minimal dua tahun di sini."

Sholeh mengangkat alis, tangannya berhenti mengambil cangkul. Itu memang tidak biasa. Desa Sukamakmur terletak di kaki pegunungan, tiga puluh kilometer dari kota kecamatan, jauh dari hiruk pikuk kota. Jalan menuju desa masih berbatu dan berlubang, belum sepenuhnya diaspal. Hanya ada satu angkot yang beroperasi sehari tiga kali p**ang-pergi. Listrik baru masuk lima tahun lalu, itupun masih sering padam. Sinyal telepon seluler hanya kuat di titik-titik tertentu.

Anak pejabat yang rela tinggal di desa seperti ini? Ada yang tidak wajar.

"Mungkin dia dihukum," canda Sholeh sambil kembali ke sawahnya, mengambil cangkulnya dan berjalan menuju petak sebelah yang masih perlu diperbaiki salurannya.

"Atau mungkin dia mencari kedamaian," sahut Budi mengikutinya, melangkah hati-hati di pematang yang licin. "Atau... mencari jodoh di desa!" Budi terkekeh sendiri, suaranya menggema di hamparan sawah yang mulai sepi karena petani lain sudah p**ang.

Sholeh menggeleng, tersenyum geli. "Kamu ini kebanyakan nonton sinetron. Ayo, bantu aku selesaikan ini. Sebentar lagi maghrib."

Budi pun membantu, dan keduanya bekerja dalam diam yang nyaman, hanya diiringi suara gemericik air dan sesekali suara kodok yang mulai bernyanyi menyambut senja. Langit berubah warna dari biru menjadi jingga, lalu merah menyala di ufuk barat. Ketika azan maghrib berkumandang dari masjid kecil di tengah desa, mereka berdua baru selesai.

"Besok pagi kamu bantu aku ke pasar, ya? Beras hasil panen minggu lalu sudah kering, siap dijual," pinta Sholeh sambil membersihkan cangkulnya.

"Siap, Leh. Jam berapa?"

"Subuh. Kita harus berangkat pagi supaya dapat harga bagus."

Budi mengangguk. "Oke. Aku p**ang dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

---

Malam itu, setelah shalat isya berjamaah di masjid bersama ayahnya, Sholeh berbaring di kamarnya yang sederhana. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu hanya berisi tikar anyaman pandan, bantal tipis yang sudah kempes, sebuah lemari kayu tua warisan kakeknya, dan rak sederhana berisi buku-buku. Di dinding tergantung kalender bekas dan foto keluarga—satu-satunya foto yang pernah mereka ambil, saat ibunya masih hidup.

Cahaya lampu lima watt yang tergantung di langit-langit memberikan penerangan yang redup. Sholeh menatap plafon bambu yang mulai menghitam karena jelaga, pikirannya melayang jauh.

Ia teringat ibunya yang sakit tiga tahun lalu. Demam tinggi yang tidak kunjung turun selama seminggu. Batuk yang semakin parah hingga ibunya tidak bisa berbaring. Puskesmas desa saat itu tidak memiliki dokter tetap, hanya bidan dan perawat yang datang dua kali seminggu. Mereka harus membawa ibunya ke kota dengan menyewa mobil tetangga.

Perjalanan yang melelahkan di jalan berbatu selama dua jam. Ibunya mengerang kesakitan setiap mobil melewati lubang. Biaya yang menguras habis tabungan keluarga—hasil panen dua musim lenyap dalam seminggu di rumah sakit. Dan akhirnya, ibunya tetap meninggal. Pneumonia berat yang terlambat ditangani, kata dokter di rumah sakit.

"Kenapa tidak dibawa lebih cepat?" tanya dokter itu dengan nada menyalahkan yang masih terngiang di telinga Sholeh.

Karena kami tidak tahu, dokter. Karena di desa kami tidak ada yang bisa mendiagnosis penyakitnya. Karena kami miskin dan tidak punya uang untuk langsung ke rumah sakit tanpa kepastian. Karena jalan ke kota begitu jauh dan kami tidak punya kendaraan.

Sholeh menghela napas panjang. Matanya terasa panas.

Sejak itu, Sholeh bermimpi suatu hari bisa melanjutkan kuliah yang sempat ia tinggalkan setelah lulus SMA dengan nilai terbaik se-kecamatan. Ia diterima di Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa penuh, jurusan Teknik Pertanian. Masa depan tampak cerah. Ia ingin menjadi ahli pertanian yang bisa membantu para petani di desanya meningkatkan hasil panen, memperbaiki kesejahteraan mereka.

Tapi takdir berkata lain. Semester ketiga, ayahnya jatuh sakit. Asam urat yang kronis membuat ayahnya tidak bisa bekerja di sawah. Tidak ada yang bisa menggarap sawah mereka. Kalau sawah tidak digarap, mereka tidak punya uang untuk makan, apalagi untuk biaya pengobatan ayah.

Dengan hati berat, Sholeh membuat keputusan tersulit dalam hidupnya. Ia p**ang. Meninggalkan kampus, teman-teman, impian, dan masa depan cerahnya. Pulang ke desa, mengambil cangkul, dan menjadi petani seperti ayahnya.

"Leh, kamu tidak usah p**ang. Bapak bisa minta tolong tetangga," kata ayahnya saat itu, suaranya lemah di telepon.

"Bapak jangan khawatir. Saya p**ang dulu, bantu Bapak. Nanti kalau Bapak sudah sehat, saya kuliah lagi," jawab Sholeh, meski dalam hatinya ia tahu itu hampir mustahil.

Tiga tahun berlalu. Ayahnya membaik tapi tidak bisa bekerja berat lagi. Sawah menjadi tanggung jawab penuh Sholeh. Uang yang terkumpul selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan ayah. Impian kuliah lagi semakin jauh, semakin samar, seperti kabut di puncak gunung.

Tapi Sholeh tidak pernah berhenti belajar. Di malam-malam seperti ini, setelah tubuhnya lelah bekerja seharian, ia membaca buku-buku lama yang ia bawa dari kampus. Ia belajar sendiri, menerapkan ilmunya di sawah. Hasilnya, sawah keluarganya yang hanya setengah hektare itu menghasilkan panen lebih banyak dari sawah tetangga yang lebih luas. Beberapa petani mulai bertanya dan belajar dari Sholeh.

"Kamu pintar, Leh. Kenapa tidak jadi penyuluh pertanian saja?" tanya Pak Harto, petani yang sawahnya berbatasan dengan sawah keluarga Sholeh.

"Untuk jadi penyuluh, harus ada ijazah minimal D3 pertanian, Pak. Saya kan belum lulus kuliah," jawab Sholeh dengan senyum pahit.

Kini, di malam yang sunyi itu, ditemani koor kodok dan jangkrik di luar jendela, Sholeh bertanya-tanya. Dokter baru itu, akankah ia bertahan di desa yang keras ini? Desa tanpa mall, tanpa kafe, tanpa hiburan apapun? Atau seperti dokter-dokter sebelumnya yang datang dan pergi, kadang hanya bertahan sebulan, tidak pernah benar-benar peduli pada nasib warga desa?

Sholeh mengingat dokter terakhir yang bertugas di puskesmas dua tahun lalu. Pemuda lulusan swasta yang ditempatkan di desa untuk mengabdi. Tapi ia tidak pernah benar-benar ada. Datang terlambat, p**ang cepat, lebih sering ke kota dengan alasan berbagai urusan. Warga yang sakit harus menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari. Akhirnya dokter itu mengajukan pindah ke kota dan tidak pernah kembali.

Apakah dokter baru ini akan sama? Anak pejabat lagi. Pasti manja, tidak tahan hidup susah, pikir Sholeh.

Tapi ada bagian kecil di hatinya yang berharap. Berharap dokter ini berbeda. Berharap tidak akan ada lagi ibu-ibu seperti ibunya yang meninggal karena terlambat ditangani. Berharap anak-anak desa tidak perlu pergi jauh-jauh ke kota hanya untuk berobat penyakit ringan.

Sholeh memejamkan mata. Besok, ia harus bangun pukul tiga pagi untuk memuat beras ke gerobak, kemudian berangkat ke pasar yang berjarak sepuluh kilometer. Ia perlu menjual beras hasil panen untuk membeli pupuk musim tanam berikutnya dan obat untuk ayahnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan dokter cantik dari kota.

Tapi takdir, seperti aliran sungai yang melewati sawahnya setiap hari, memiliki jalannya sendiri yang tak terduga. Sungai bisa tenang, bisa deras, bisa berbelok ke arah yang tidak pernah diduga. Dan besok, kehidupan Sholeh akan mulai berbelok, perlahan tapi pasti, membawanya ke arus yang tidak pernah ia bayangkan.

Di tempat lain, di sebuah rumah mewah di kota, seorang perempuan muda sedang mengemas barang-barangnya. Amira, sang dokter yang akan tiba besok, menatap foto keluarganya di meja. Foto itu menunjukkan dirinya tersenyum di antara ayah dan ibunya yang berpakaian formal.

"Mira, kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya ibunya yang berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Iya, Bu. Aku sudah bulat memutuskan. Aku perlu ini," jawab Amira tanpa menoleh, tangannya terus melipat pakaian.

"Tapi kenapa harus ke desa terpencil? Kenapa tidak rumah sakit di kota saja? Ayahmu bisa mengatur itu."

Amira berbalik, menatap ibunya dengan tatapan serius. "Justru itu, Bu. Aku ingin membuktikan aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan Papa. Aku ingin jadi dokter yang benar-benar berguna, bukan dokter yang kariernya mudah karena anak pejabat."

Ibunya menghela napas, lalu menghampiri dan memeluk putrinya. "Ibu mengerti, sayang. Tapi ibu khawatir. Hidup di desa itu tidak mudah. Kamu terbiasa hidup nyaman di kota."

"Aku akan belajar, Bu. Aku harus belajar." Amira membalas pelukan ibunya. "Lagip**a, ini juga karena aku ingin menjauh sebentar dari... kamu tahu lah."

Ibunya mengangguk paham. Ya, ia tahu. Amira baru saja putus dari tunangannya, seorang pengusaha muda yang ternyata hanya tertarik pada status keluarganya, bukan pada dirinya sebagai manusia. Pengkhianatan itu melukai Amira dalam-dalam. Ia butuh penyembuhan, dan ia memilih desa sebagai tempat penyembuhan itu.

"Dua tahun, Bu. Beri aku waktu dua tahun. Aku akan kembali lebih kuat," kata Amira dengan senyum tulus.

"Baiklah, sayang. Ibu dan Ayah akan selalu mendukungmu."

Malam itu, dua jiwa di dua tempat yang berbeda, sama-sama terjaga. Keduanya tidak tahu bahwa esok hari, takdir akan mulai merajut benang-benang merah yang akan menyatukan hidup mereka dalam sebuah cerita yang indah, penuh lika-liku, tapi juga penuh makna.

Di langit malam yang sama, bintang-bintang berkelap-kelip, seperti menyaksikan awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan mengubah banyak hal di Desa Sukamakmur.

---

Bersambung ke Bab 2: Pertemuan Pertama

CAHAYA DIBALIK MIHRABSubuh baru saja usai ketika Ahmad membersihkan lantai masjid dengan sapu lidi tuanya. Helai-helai d...
10/11/2025

CAHAYA DIBALIK MIHRAB

Subuh baru saja usai ketika Ahmad membersihkan lantai masjid dengan sapu lidi tuanya. Helai-helai daun kering dan debu-debu halus tersapu perlahan oleh tangannya yang terampil. Pemuda berusia 24 tahun itu sudah menjadi marbot Masjid Al-Ikhlas sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu—tepatnya saat ia baru lulus SMA dan bermimpi melanjutkan kuliah.

Mimpi itu terkubur bersama jenazah ayahnya. Ahmad harus memilih: melanjutkan sekolah atau menghidupi ibunya yang lumpuh sebelah badan akibat stroke. Pilihannya jelas. Ia mewarisi posisi ayahnya sebagai marbot dengan gaji sembilan ratus ribu rupiah sebulan, ditambah sedikit uang dari sedekah jamaah.

"Ahmad, sudah selesai belum, Nak?" suara Pak Ustadz Mahmud menginterupsi lamunannya.

"Sebentar lagi, Ustadz. Tinggal bagian serambi."

"Sudah sarapan?"

Ahmad tersenyum tipis. "Tadi sudah, Ustadz. Roti sama teh manis."

Ustadz Mahmud menghela napas panjang. Ia tahu "roti" yang dimaksud Ahmad adalah sisa roti tawar kemarin yang dicelup air panas. Tapi ia juga tahu Ahmad terlalu tegar untuk mengeluh atau meminta belas kasihan.

"Nanti siang ke rumahku ya. Istri Ustadz masak banyak," kata Ustadz Mahmud sambil menepuk bahu Ahmad.

"Jazakallahu khairan, Ustadz. Tapi saya harus p**ang siang ini, Ibu butuh obatnya."

Setelah Ustadz Mahmud pergi, Ahmad melanjutkan menyapu. Pikirannya melayang ke ibunya yang menunggu di rumah kontrakan berukuran 3x4 meter di gang sempit Kampung Melati. Setiap hari ia berharap bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya, tapi apa daya, gaji marbot hanya cukup untuk makan seadanya dan membeli obat-obatan.

"Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Aku tidak meminta kekayaan, hanya cukup untuk mengobati Ibu," bisiknya pelan sambil terus menyapu.

Suara yang Mengubah Pagi

"Assalamualaikum," sapa suara lembut dari arah pintu masjid.

Ahmad menoleh. Seorang wanita berjilbab putih panjang berdiri di ambang pintu, siluetnya disinari cahaya pagi yang mulai terang. Membawa kotak makanan bergambar bunga-bunga di tangannya. Wajahnya berseri, matanya memancarkan ketenangan yang jarang Ahmad lihat—bahkan di antara para jamaah masjid yang ia temui setiap hari.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Ahmad sambil menundukkan pandangan, seperti yang diajarkan ayahnya. "Ada yang bisa saya bantu?"

Wanita itu melangkah masuk dengan sopan, memastikan jilbabnya menutupi dengan sempurna. "Saya Zahra. Keluarga saya baru pindah ke komplek Bukit Indah sebelah. Ini ada sarapan untuk marbot masjid," ujarnya sambil menyerahkan kotak makanan.

Ahmad tertegun sejenak. Komplek Bukit Indah? Itu kompleks perumahan mewah dengan rumah-rumah megah yang harganya miliaran rupiah. Ahmad sering melewatinya saat p**ang ke kontrakannya, selalu merasa seperti dua dunia yang berbeda—satu dunia gemerlap di balik pagar tinggi, satu dunia redup di gang-gang sempit.

"Jazakillahu khairan," ucap Ahmad sambil menerima kotak itu dengan kedua tangan. Tangannya bergetar sedikit. "Tapi ini terlalu—"

"Ini sedekah dari keluarga kami. Tolong terima ya, Pak Marbot," potong Zahra dengan senyuman tulus. "Ayah saya bilang, orang yang menjaga rumah Allah harus dijaga juga oleh hambanya."

Ahmad terdiam. Kata-kata itu menyentuh hatinya yang lelah. Sudah lama sekali tidak ada yang menyebut pekerjaannya dengan nada hormat seperti itu. Biasanya orang hanya bilang, "Tukang bersih-bersih masjid."

"Barakallahu fiikum," ucap Ahmad lirih. "Semoga Allah membalas kebaikan keluarga Ikhwan."

"Ukhti," koreksi Zahra dengan lembut. "Panggil saya Ukhti saja."

"Maaf, Ukhti Zahra."

Zahra tersenyum. "Boleh saya tahu nama Akhi?"

"Ahmad. Ahmad bin Hasan."

"Senang berkenalan dengan Akhi Ahmad. Insya Allah mulai besok saya akan rutin mengaji di masjid ini. Kata Ustadz Mahmud, di sini ada pengajian ba'da Subuh untuk ibu-ibu."

"Benar, Ukhti. Setiap hari kecuali hari Minggu."

"Alhamdulillah. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Akhi. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Ahmad memandangi punggung Zahra yang menjauh. Ada yang berbeda dari wanita itu. Bukan karena ia cantik—Ahmad bahkan tidak sempat menatap wajahnya dengan seksama—tapi ada aura ketenangan dan kehangatan yang terpancar darinya.

Setelah Zahra pergi, Ahmad membuka kotak makanan itu. Matanya membulat. Di dalamnya ada nasi uduk lengkap dengan ayam goreng, telur balado, tempe orek, dan kerupuk. Ditambah pisang dan sebotol jus jeruk. Makanan yang tak pernah ia makan dalam satu waktu sekaligus.

"Ya Allah..." bisiknya lirih. Air matanya hampir menetes. Ia teringat ibu di rumah yang pagi ini hanya makan bubur instan karena uangnya menipis menjelang tanggal gajian.

Tanpa pikir panjang, Ahmad menutup kembali kotak itu. Ia akan bawa p**ang dan berbagi dengan ibunya. Perut kosongnya bisa ia tahan, tapi senyum ibu saat melihat makanan enak tidak bisa ia tunda.

Percakapan Sore Hari

Sore harinya, Ahmad kembali ke masjid untuk melaksanakan sholat Ashar dan membersihkan masjid jelang Maghrib. Ia terkejut melihat Zahra sudah berada di teras masjid, duduk di kursi sambil membaca Al-Qur'an.

"Assalamualaikum, Ukhti," sapa Ahmad.

Zahra mendongak dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Akhi Ahmad. Alhamdulillah, hari ini saya bisa ikut pengajian ba'da Ashar."

"Masya Allah. Semoga berkah ilmunya."

"Aamiin. Oh ya, Akhi, tadi makanannya enak?"

Ahmad terdiam sejenak. "Jazakillahu khairan, Ukhti. Sangat enak. Ibu saya sangat senang."

"Ibu Akhi?" Zahra tampak terkejut. "Maaf, saya tidak tahu kalau—"

"Tidak apa-apa, Ukhti. Justru Ibu sangat berterima kasih. Sudah lama beliau tidak makan makanan seenak itu."

Zahra tersenyum sedih. "Kalau begitu, mulai besok saya akan bawa lebih banyak. Untuk Akhi dan Ibunda."

"Ukhti, tidak perlu repot-repot. Ini sudah sangat—"

"Akhi Ahmad," potong Zahra dengan lembut tapi tegas. "Bukankah dalam hadits disebutkan, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain? Ini bukan tentang repot atau tidak. Ini tentang berbagi berkah."

Ahmad tidak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, matanya berair. Sudah lama ia tidak merasakan kebaikan manusia yang tulus seperti ini.

Hari-Hari Berikutnya

Sejak hari itu, Zahra rutin datang ke masjid. Tidak hanya mengaji, tapi juga membantu mengajar anak-anak TPA. Ia sabar mengajari anak-anak mengaji dengan metode yang menyenangkan. Suaranya yang merdu saat melagukan ayat-ayat Al-Qur'an membuat anak-anak betah berlama-lama di masjid.

Ahmad yang awalnya hanya memperhatikan dari kejauhan, lambat laun terpesona dengan akhlak dan kesalehan wanita itu. Bukan hanya pada dirinya, tapi pada semua orang. Zahra memperlakukan tukang parkir masjid dengan hormat yang sama seperti ia memperlakukan Ustadz Mahmud. Ia menyapa ibu-ibu tua yang datang mengaji dengan penuh kelembutan. Ia bermain dengan anak-anak TPA seperti kakak kandung mereka sendiri.

"Subhanallah," gumam Ahmad suatu sore sambil melihat Zahra mengajari anak-anak membuat wudhu yang benar. "Wanita solehah seperti ini masih ada di zaman sekarang."

"Kamu s**a dia, ya?" tanya Pak Karno, tukang parkir masjid yang sudah berusia 60 tahun, sambil nyengir.

Ahmad tersentak. Wajahnya merona. "Astaghfirullah, Pak Karno. Jangan sembarangan."

"Hahaha, wajar kok, Nak. Kamu masih muda. Dia juga baik. Kalau jodoh, ya jodoh."

"Pak Karno, dia dari keluarga kaya. Lihat mobilnya, Toyota Alphard hitam yang antar-jemput dia. Sopirnya pakai seragam. Saya? Marbot miskin yang p**ang naik angkot."

Pak Karno menepuk punggung Ahmad. "Nak, jodoh itu bukan soal harta. Tapi soal hati dan takdir. Kalau memang Allah mentakdirkan, apa susahnya?"

Ahmad tersenyum pahit. Ia ingin percaya kata-kata Pak Karno, tapi hatinya tahu perbedaan mereka terlalu jauh. Ia dan Zahra seperti bintang dan bumi—satu di langit, satu di tanah. Tidak mungkin bersatu.

Tapi kenapa setiap kali Zahra tersenyum, hatinya berdegup lebih kencang? Kenapa setiap kali ia mendengar suara Zahra melantunkan ayat-ayat suci, dadanya terasa hangat? Kenapa setiap malam ia berdoa, nama Zahra selalu terselip dalam doanya?

"Ya Allah," bisik Ahmad dalam sujudnya malam itu, "jika dia adalah takdirku, mudahkanlah jalannya. Jika bukan, jauhkanlah perasaan ini dari hatiku. Aku hanya hamba-Mu yang lemah, yang tidak pantas mengharap lebih dari yang Engkau berikan."

Sebuah Percakapan yang Mengubah Segalanya

Tiga minggu berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Suatu sore setelah mengajar TPA, Zahra menghampiri Ahmad yang sedang menyapu halaman masjid.

"Akhi Ahmad, boleh bicara sebentar?"

Ahmad menghentikan sapuannya. "Tentu, Ukhti. Ada yang bisa saya bantu?"

"Sebenarnya... saya ingin berterima kasih."

"Berterima kasih? Untuk apa, Ukhti?"

Zahra tersenyum. "Karena Akhi dan masjid ini telah mengubah hidup saya. Di rumah, saya hidup dalam kemewahan tapi hampa. Di sini, meski sederhana, saya merasakan kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan uang."

Ahmad terdiam. Jantungnya berdegup kencang.

"Dan..." Zahra melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "saya kagum dengan kesabaran Akhi. Bagaimana Akhi merawat ibunda, bagaimana Akhi menjaga masjid dengan sepenuh hati meski gajinya tidak seberapa. Itu... itu sangat mulia di mata Allah."

"Ukhti, itu hanya kewajiban saya sebagai anak dan sebagai muslim," kata Ahmad dengan rendah hati.

"Tapi tidak semua orang melakukannya dengan ikhlas seperti Akhi."

Keduanya terdiam. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma bunga kamboja dari pojok masjid. Suara adzan Maghrib dari masjid seberang mulai terdengar.

"Saya harus sholat," ujar Zahra sambil beranjak. "Jazakallahu khairan atas percakapannya, Akhi."

"Wa iyyaki, Ukhti."

Ahmad memandangi punggung Zahra yang menjauh menuju tempat wudhu. Hatinya bergejolak. Apakah ini perasaan yang halal? Apakah ia berdosa karena mencintai wanita yang jauh di atas derajatnya?

Tapi satu yang ia tahu pasti: Zahra telah menyentuh hatinya dengan cara yang tak pernah dilakukan siapa pun. Dan ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan ini.

Malam itu, dalam sujud malamnya yang panjang, Ahmad menangis. Ia memohon petunjuk. Ia memohon kekuatan. Ia memohon keikhlasan.

Karena mencintai dalam diam adalah ujian yang paling berat—apalagi jika yang dicintai adalah bintang di langit, sementara ia hanya debu di tanah.

---

Bersambung ke Bab 2: Benang Merah Takdir

https://www.wekace.com/2025/11/akhirnya-soeharto-sah-pahlawan-nasional.html
10/11/2025

https://www.wekace.com/2025/11/akhirnya-soeharto-sah-pahlawan-nasional.html

BerandaNEWSAkhirnya, Soeharto Sah Jadi Pahlawan Nasional Akhirnya, Soeharto Sah Jadi Pahlawan Nasional Redaksi November 10, 2025 Bagikan: facebook x whatsapp Email more close Akhirnya, Soeharto Sah Jadi Pahlawan Nasional WEKACE Bagikan ke media lain facebook x whatsapp Email pinterest telegram line....

Malam ini, saya duduk di warung kopi pinggir jalan dengan secangkir kopi pahit tanpa gula. Di sebelah saya, seorang tour...
08/11/2025

Malam ini, saya duduk di warung kopi pinggir jalan dengan secangkir kopi pahit tanpa gula. Di sebelah saya, seorang tour guide sedang asyik menyalakan rokok sambil scrolling TikTok. Ia baru saja dapat kabar bahagia: pajaknya ditanggung pemerintah. PPh 21 DTP, katanya. Gratis tiga bulan. Oktober sampai Desember 2025.

"Lumayan, bang," katanya sambil menghembuskan asap. "Gaji bersih nggak dipotong pajak. Bisa beli rokok lebih banyak."

Saya tersenyum miris. Negara memberi keringanan agar daya beli meningkat. Tapi yang dibeli? Sebungkus Gudang Garam dan korek api.

PPh 21 DTP: Angin Segar atau Sekadar Hembusan Asap?
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025, pemerintah resmi menanggung pajak penghasilan Pasal 21 bagi pekerja sektor pariwisata dengan gaji maksimal Rp10 juta per bulan. Tujuannya mulia: menjaga daya beli, mendukung pemulihan ekonomi, memberi "ruang bernapas" bagi rakyat.

Tapi ironisnya, ruang bernapas itu malah diisi asap rokok.

Data dari ejournalbrin mencatat bahwa 33,8% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas adalah perokok aktif. Artinya, satu dari tiga orang dewasa di negeri ini lebih akrab dengan sebatang rokok ketimbang sebuah buku. Dan ketika pemerintah memberikan insentif pajak untuk meningkatkan kesejahteraan, uang yang tersisa malah lari ke industri tembakau—bukan ke toko buku, bukan ke kursus online, apalagi ke tabungan masa depan.

Jadi, siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan ini? Pekerja pariwisata, atau pabrik rokok?

Kopi dan Buku: Pasangan Sempurna yang Diabaikan
Ada slogan yang beredar di kalangan pegiat literasi: "Pasangan kopi itu buku, bukan rokok." Tapi di warung-warung kopi dari Sabang sampai Merauke, kita lebih sering melihat kep**an asap daripada halaman yang terbuka.

Menurut repositoryub, semakin tinggi literasi informasi tentang bahaya merokok, semakin rendah p**a sikap merokok di kalangan remaja. Tapi masalahnya, siapa yang mau membaca soal bahaya merokok kalau momen ngopi hanya diisi dengan scrolling media sosial dan menyalakan rokok?

Repositori Kemendikbud mencatat bahwa Gerakan Literasi Sekolah mendorong siswa membaca buku non-pelajaran setiap hari. Tapi begitu lulus sekolah, apa yang terjadi? Buku diganti rokok. Halaman diganti layar ponsel. Wawasan diganti gosip.

Kita punya insentif pajak untuk meningkatkan daya beli. Tapi tidak ada insentif untuk meningkatkan daya pikir.

Rokok Menurunkan IQ, Tapi Gengsi Naikkan Harga Diri
Penelitian dalam ejournal.brin menunjukkan bahwa merokok memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kemampuan kognitif seseorang. Fungsi berpikir menurun. Konsentrasi merosot. Produktivitas anjlok.

Tapi entah kenapa, merokok tetap dianggap "keren". Di kafe-kafe hipster dengan harga kopi Rp45.000, orang rela menghabiskan uang untuk v**e yang dikemas aesthetic. Di warung kopi kaki lima, sebatang Sampoerna Mild jadi simbol solidaritas antar teman.

Ironisnya, pajak yang ditanggung pemerintah untuk sektor pariwisata justru bisa habis dalam tiga bungkus rokok per minggu. Uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli buku, ikut webinar, atau sekadar ditabung—malah menguap bersama asap nikotin.

Negara Kasih Uang, Rakyat Bakar Uang
Mari kita hitung sederhana:

Insentif PPh 21 DTP: Misalnya, seorang tour guide dengan gaji Rp8 juta seharusnya dipotong pajak sekitar Rp400 ribu. Dengan kebijakan ini, ia "dapat" bonus Rp400 ribu per bulan selama tiga bulan. Total: Rp1,2 juta.

Harga rokok: Satu bungkus rokok rata-rata Rp20.000. Jika ia merokok satu bungkus per hari, dalam sebulan ia menghabiskan Rp600.000. Dalam tiga bulan? Rp1,8 juta.

Artinya, insentif dari pemerintah tidak cukup untuk menutupi kebiasaan merokok. Belum lagi biaya kesehatan jangka panjang: ISPA, kanker paru-paru, stroke. Yang gratis cuma tiga bulan. Yang mahal seumur hidup.

Dari Asap Menuju Aksara: Utopia yang Tidak Pernah Tiba
Kampanye literasi selalu mengatakan: "Asap rokok cepat hilang, tetapi kata dalam buku abadi."

Tapi realitanya? Warung kopi penuh asap, perpustakaan sepi pengunjung. Orang lebih s**a menghabiskan waktu dengan rokok dan gosip ketimbang buku dan diskusi.

Pemerintah sudah turun tangan lewat kebijakan fiskal. Tapi kalau pola pikir dan kebiasaan tidak berubah, insentif pajak hanya akan jadi subsidi terselubung untuk industri rokok.

Refleksi di Ujung Malam
Kopi saya sudah dingin. Tour guide di sebelah saya sudah menyalakan rokok kedua. Ia masih scrolling TikTok, menonton video lucu, tertawa sendiri.

Saya bertanya dalam hati: Kapan terakhir kali ia membuka buku? Kapan terakhir kali ia berpikir panjang tentang masa depannya? Atau apakah ia sudah terlalu nyaman dengan zona aman—gaji cukup, rokok tersedia, hidup berjalan begitu saja?

Kebijakan PPh 21 DTP adalah angin segar. Tapi angin segar itu tidak akan berarti apa-apa jika dipakai untuk menyalakan api rokok, bukan untuk membuka halaman buku.

Malam ini, saya menutup warung kopi dengan satu pertanyaan:

Sudah berapa lama kita menikmati kopi tanpa rokok, dan memilih membaca sesuatu yang memperkaya pikiran?

Karena di setiap tegukan kopi seharusnya ada pemikiran—bukan asap yang hilang ditiup waktu.

Pajak gratis tiga bulan. Tapi kebodohan? Seumur hidup.

Kopi habis. Rokok masih menyala. Buku tetap terlipat rapi di tas.

Address

Bontang

Telephone

+6285796155356

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ngopilotong News posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Ngopilotong News:

Share