09/12/2025
Jumat kelabu, 5 Desember 2025, menjadi hari yang menyayat hati bagi masyarakat adat Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Konflik sengketa lahan di Kelurahan Rante Kurra berakhir dengan pemandangan yang tragis.
Tongkonan Ka'pun, sebuah rumah adat ikonik yang telah berdiri kokoh sejak abad ke-18 (sekitar 300 tahun), dihancurkan paksa oleh alat berat.
Apa yang seharusnya menjadi penegakan hukum berubah menjadi "medan perang" antara aparat dan warga yang mati-matian mempertahankan warisan leluhurnya.
Eksekusi ini didasari oleh surat penetapan Pengadilan Negeri (PN) Makale yang memenangkan gugatan pihak Sarra CS.
Namun, prosesnya jauh dari kata damai.
- 10.13 WITA
Ratusan aparat gabungan (Polri, Brimob, TNI, Satpol PP) tiba dengan satu unit ekskavator.
Mereka disambut blokade manusia dari keluarga pemilik tongkonan, mahasiswa, dan tokoh adat.
- 13.19 WITA
Situasi pecah, massa yang bertahan dengan lemparan batu dan petasan dibalas oleh aparat dengan tembakan gas air mata dan peluru karet.
- 13.25 WITA
Setelah massa terdesak mundur, ekskavator mulai meraung.
Dalam waktu kurang dari satu jam, sejarah 300 tahun itu runtuh menjadi puing.
Akibat bentrokan ini, belasan warga terluka (luka bacok, tusuk, hingga memar peluru karet) dan harus dilarikan ke RSUD Dr. F.K. Kalimbo.
Tongkonan Ka'pun bukan sekadar tumpukan kayu tua, tapi "nyawa" budaya bagi rumpun keluarganya.
Kehancurannya membawa kerugian tak ternilai:
- Saksi Sejarah 3 Abad
Dibangun dengan kayu jati dan arsitektur kuno yang sempurna, dindingnya penuh ukiran pa'tedong (kerbau) yang menceritakan migrasi leluhur Toraja.
- Pusat Spiritual
Tongkonan ini adalah sentra ritual Rambu Solo (kematian) dan tempat penyimpanan pusaka.
Robohnya bangunan ini berarti putusnya "garis hidup" spiritual keturunannya.
- Aset Wisata Dunia
Sebagai bagian dari warisan budaya tak benda, tongkonan ini rutin dikunjungi turis asing.
Kehilangannya adalah pukulan telak bagi pariwisata Toraja.
Peristiwa ini menelanjangi konflik tajam antara Hukum Positif (Sertifikat/Putusan Pengadilan) melawan Hukum Adat (Tanah Ulayat).
Momen paling ironis terjadi saat proses eksekusi berlangsung.
Warga menemukan Batu Tongkon (batu sakral) di lokasi, yang dalam hukum adat merupakan bukti sah kepemilikan tanah ulayat.
Namun penemuan itu terlambat, hukum negara telah mengetuk palu, dan ekskavator terus bekerja meratakan Tongkonan Ka'pun beserta 6 lumbung padi dan 4 rumah warga lainnya hingga tak bersisa.
Tragedi ini memicu gelombang protes nasional, mempertanyakan keberpihakan hukum terhadap pelestarian situs adat yang seharusnya dilindungi negara.