
31/07/2025
SANG PENJAGA CAHAYA
Cerita seorang anak dari Genteng, Banyuwangi.
Hujan turun pelan di sore itu, membasahi tanah halaman kecil di depan rumah. Seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu, tasnya sudah dipanggul, dan mushaf di dadanya dipeluk erat. Namanya Rafif, 12 tahun. Hari itu, ia pamit kepada ibu dan ayahnya untuk berangkat mondok.
Tak banyak yang diucapkan. Hanya pelukan yang lebih lama dari biasanya… dan suara ibu yang bergetar:
“Jaga diri, Nak… dan jaga Qur’an-mu. Itu cahaya hidupmu nanti.”
Langkah Rafif kecil, pelan. Tapi berat. Karena sejak hari itu, ia tahu hidupnya tak akan sama lagi.
Hari-hari pertama di pondok adalah dunia baru.
Jam 4 pagi sudah dibangunkan. Suara alarm, langkah kaki, sendal beradu. Rafif mengantuk, bingung, kadang tersesat mencari kamar mandi. Saat subuh tiba, ia duduk mengantuk di barisan belakang. Tapi itu baru permulaan.
Setiap pagi setelah shalat, ia harus menyetor hafalan. Tangan Rafif gemetar memegang mushaf. Huruf-huruf yang tadi malam ia hafal, pagi ini seakan lenyap. Guru tahfidz menatap tenang, menunggu, dan Rafif hanya bisa terdiam.
Hari itu, ia kembali ke kamar dalam diam. Malu. Gagal. Hampir menangis. Tapi tidak satu pun teman tahu, bahwa malamnya, Rafif duduk lama di pojok masjid… membuka mushaf yang mulai basah oleh air matanya.
Waktu berlalu, pelan. Teman-temannya mulai menyelesaikan juz demi juz. Tapi Rafif masih tertahan di surat yang sama.
Ia pernah hampir menyerah.
Tapi suatu malam, saat lampu-lampu asrama mulai padam, Rafif melihat seorang santri senior duduk sendirian di serambi masjid. Tangan kanannya memegang mushaf, dan mulutnya mengulang ayat-ayat dengan suara pelan, penuh cinta, seperti sedang berbicara dengan Tuhan.
Saat selesai, Rafif memberanikan diri bertanya, “Kenapa kakak murojaah sendirian tiap malam?”
Santri itu tersenyum, lalu menjawab:
“Karena kalau kita nggak jaga Al-Qur’an, maka cahaya itu akan padam…
Dan hidup kita ikut gelap.”
Sejak malam itu, Rafif berubah.
Ia bangun lebih awal. Ia mengulang hafalan di sela waktu makan. Ia duduk di pojok masjid sambil membisikkan ayat-ayat kecil berulang kali. Ia tidak lagi memikirkan siapa yang sudah khatam duluan. Karena ia tahu, ini