22/08/2025
Dinding Antara Kita: Gema Suara dan Rintih Panci Kosong
Di hadapan kita terbentang sebuah dinding tak kasat mata, namun begitu nyata. Dinding yang memisahkan dua dunia yang bernapas di bawah langit yang sama, namun dengan takdir yang berbeda. Di satu sisi, ada "DUNIA". Di sisi lain, ada "GAZA".
Lihatlah ke sisi dunia. Tangan-tangan yang berisi, terawat, mengulurkan simbol-simbol kepedulian. Sebuah mikrofon disodorkan, seolah bertanya, "Apa kabarmu?"—pertanyaan yang gemanya lebih nyaring daripada jawabannya. Jari-jari lincah menari di atas layar gawai, mengirimkan emoji senyum dan hati, lautan simpati digital yang mengalir deras namun tak pernah sampai untuk membasahi kerongkongan yang kering. Bendera berkibar gagah, tanda solidaritas yang agung. Jari membentuk simbol damai, sebuah harapan universal yang indah di atas kanvas penderitaan.
Itulah kita, dunia. Kita berbicara, kita berbagi, kita menunjukkan. Kita adalah gema, sorak-sorai, dan tanda pagar yang bergetar di jagat maya. Kita merasa telah berbuat, telah bersuara, telah menjadi bagian dari mereka.
Namun, geserlah pandanganmu ke seberang dinding itu. Ke sisi Gaza.
Di sana, tak ada tangan yang memegang mikrofon. Yang ada adalah lengan-lengan kurus kering, kulit yang membalut tulang, urat-urat yang menonjol laksana peta penderitaan. Tangan-tangan itu tidak terulur untuk bersuara, tetapi untuk meminta. Mereka tidak memegang bendera, tetapi panci-panci usang yang penyok. Mereka tidak menyajikan emoji, tetapi mangkuk-mangkuk kosong yang menengadah ke langit, berharap ada setetes belas kasih yang jatuh.
Mereka tidak meminta mikrofon, sebab suara mereka telah parau oleh tangis dan lapar. Jawaban atas pertanyaan "Apa kabarmu?" ada di dalam rongga panci yang hampa itu. Simpati yang mereka dambakan bukanlah ikon hati di layar, melainkan sebutir gandum untuk mengisi perut yang melilit. Damai yang mereka rindukan bukanlah sekadar simbol jari, tetapi berhentinya dentuman yang merenggut nyawa dan datangnya bantuan yang menyambung hidup.
Gambar ini adalah cermin yang retak bagi nurani kita. Ia menelanjangi sebuah kebenaran yang pedih: di saat dunia sibuk membicarakan penderitaan, Gaza sedang mengalaminya dalam sunyi yang paling memilukan. Suara kepedulian kita mungkin membahana ke seluruh dunia, tetapi tak mampu mengisi satu pun mangkuk yang kosong di sana.
Maka, marilah kita bertanya pada diri sendiri. Sudah cukupkah bendera yang kita kibarkan jika tak mampu menaungi mereka dari lapar? Bermaknakah emoji tangis kita jika tak sanggup menghapus air mata mereka yang sesungguhnya? Untuk apa gema suara kita, jika yang terdengar di telinga mereka hanyalah denting sendok di dasar panci yang kosong?
Sebab di dasar panci yang hampa itu, terpantul wajah kemanusiaan kita yang sedang diuji. Dan kekosongan itu adalah panggilan—bukan untuk bersuara lebih keras, tetapi untuk berbuat lebih nyata.